“Dia belum datang?? Aneh biasanya dia paling tidak suka terlambat!!” gumam Chanyeol ketika ia duduk menunggu di tepi danau itu, sembari sesekali tersenyum membayangkan reaksi Nana saat menerima bunga mawar merah yang ia beli. Ia menyentuh kelopak mawar itu dengan lembut.
“Aku harus bias. Harus. Ini kesempatanku terakhirku,” Chanyeol meyakinkan dirinya. Ia tidak dapat lagi membohongi perasaannya, tidak dapat lagi mencekal perasaannya bahwa ia memang benar sudah jatuh cinta pada Nana. Ia melirik jam tangannya kemudian ia mendengus pelan.
“Baiklah limabelas menit lagi. Aku tunggu limabelas menit lagi,” Chanyeol masih dengan setia menunggu Nana.
.
~
.
Nana menekan tuts yang menghasilkan nada rendah dengan telunjuk. Setelah beberapa detik, ia mengangkat jarinya lagi. Ia melakukannya berulang-ulang sampai hanya satu nada monoton menyedihkan di kamarnya yang sunyi saat ini. Nana menatap ke luar jendela dengan tatapan kosong yang disinari matahari sore.
Sesaaat kemudian, ia menghempaskan jari-jarinya ke tuts piano dengan keras. Ia beranjak dari duduknya dan berjalan ke arah pintu kamarnya. Sebelum ia keluar dari kamarnya, Nana berhenti di depan cermin. Ia melepas kuncir yang mengikat rambutnya dengan rapi, dan menatap pantulan dirinya sendiri dengan datar. Setelah itu, ia melangkah keluar kamar dengan langkah yang cepat.
.
Setengah jam berlalu..
Hati Chanyeol mulai gundah. Sesekali ia melihat jamnya. “Kenapa dia belum muncul juga?”
“Siapa??”
“Oh?” Chanyeol mendongakkan kepalanya ke samping dan melihat seseorang di sebelahnya. “Kau..” celetuknya
“Maaf membuatmu lama menunggu. Aku bingung untuk melompati tembok itu,” ucap Nana dengan raut wajah datar. Namun mencoba menahan sebiasa mungkin.
“Benarkah? Maaf. Hhe..” Chanyeol memberi sebuket mawar yang ia bawa tadi kepada Nana. “Lagi-lagi aku memberimu mawar layu. Mian, tapi ini juga salahmu, kenapa datang terlambat?!” gerutu Chanyeol.
Nana bergeming, ia tidak mampu mengalihkan pandangannya dari bunga mawar itu. Sedikitpun ia tidak mampu mengembangkan senyumannya. Yang ada di pikirannya sekarang ini adalah kata-kata ayahnya, yang terus terngiang-ngiang di telinganya. Dengan sekuat tenaga, ia menahan rasa sakit yang menyerang di dadanya dan juga air matanya yang sudah siap untuk keluar. Ia menundukkan kepalanya dan wajahnya tertutup oleh rambutnya yang panjang dan lurus itu.
“A–– A–– ada apa?” Chanyeol mencoba untuk melihat wajah Nana dengan sedikit menundukkan tubuhnya.
“Hmm,” Nana mengangkat kepalanya dan mencoba tersenyum, ia mengerjap matanya yang perih tertusuk oleh air mata yang ditahannya. “Tidak ada apa-apa. Aku hanya tersentuh dengan bunga ini,” terdengar di ujung suaranya sedikit serak. Cepat-cepat ia mengatur suaranya dan mengambil bunga itu dari tangan Chanyeol.
“Aphayo? Matamu bengkak. Wajahmu juga terlihat pucat. Kau baik-baik saja?” Chanyeol malah menjadi khawatir pada Nana.
“Aku tidak apa-apa,” lagi. Nana mengeluarkan suara seraknya, namun ia mencoba mengalihkan pandangan Chanyeol yang terus tertuju ke arahnya, ke pemandangan yang sudah mulai membentang di depan mereka. Matahari terbenam menampakkan sinar merahnya yang menyapu seisi danau dengan begitu indah. Tapi tidak dengan pandangan dan perasaan Nana.
Disaat hatinya yang hancur, diharuskan menikmati pemandangan itu bersama orang yang telah melukai dan menghancurkan hatinya. Nana menarik napas dalam dan sesekali melihat ke arah Chanyeol yang sedang sibuk menikmati pemandangan itu. Tersirat di pikirannya sebuah pertanyaan. Apakah ini kepura-puraan atau kesungguhan. Sungguh, ia tidak dapat membedakannya.
“Apa kita bisa pergi dari sini?”
“Ye?” Chanyeol menoleh ke arah Nana “Wae?”
“Sudah hampir gelap, apa tidak sebaiknya kita pergi saja dari sini?!” Nana menoleh ke arah Chanyeol.
“Geurae, sebelum kita pergi, ada yang ingin ku sampaikan padamu.”
Nana menggerakkan bola kepalanya ke arah Chanyeol dengan cepat. Matanya memancarkan aura ketakutan.
Apa kau ingin mengiyakan ucapan ayahku? Tidak. Kumohon jangan sekarang.
Dalam hati ia menjerit. Itu merasa takut, takut akan kenyataan yang sebenarnya.
“Sebenarnya aku––”
“Cukup!” Nana menghentikan ucapan Chanyeol dan memejamkan matanya. “Cukup. Nanti saja kita membicarakannya. Aku ingin cepat pergi dari sini.”
Chanyeol heran dengan tingkah Nana, tapi ia pun mengindahkan keinginannya. “Baiklah. Sekarang kau ingin kita kemana?”
** You Don’t Know Play Ur Love **
Di restoran, Sehun benar-benar merasa dongkol dengan Gaeun yang makan begitu lahap tanpa memperdulikannya.
“Kau tidak makan?” tanya Gaeun.
Sungguh, bukan pertanyaan ataupun pernyataan yang diharapkan sehun. “Tidak. melihatmu saja aku sudah kenyang,” jawab Sehun kesal dan lagi menatap gadis itu dengan dongkol.
“Kalau begitu, apa boleh makananmu untukku saja?” Gaeun langsung menyambar piring Sehun.
Sehun benar-benar gerah dengan Gaeun, dan kedongkolannya sudah berada di puncak ubun-ubunnya. “Terserah kau saja, aku mau ke toilet dulu,” Sehun beranjak dari tempatnya dengan wajah yang tertekuk seribu.
“Ne..” perlahan, Gaeun menoleh ke belakang, melihat Sehun yang pergi ke toilet. Kemudian ia terkikik pelan.
.
“Apa-apaan ini?! Hhe,” Sehun melonggarkan kerah kemejanya dengan kesal. “Jangankan memberi kado, mengucap selamat pun tidak. Apa dia benar-benar melupakannya. Chanyeol hyung saja ingat dengan ulang tahunku, lalu dia–– tidak mengingatnya sama sekali.” Sehun semakin melonggar kerah kemejanya, Chanyeol hendak mengomel lagi ketika ada yang masuk ke toilet.
“Ekhem..” Sehun merapikan baju dan rambutnya, kemudian ia keluar dari toilet.
“Setelah ini kita akan kemana?” tanya Gaeun yang sudah menyelesaikan makannya.
“Pulang.” Sehun beranjak dan membawa jasnya yang bergantung di sandaran kursinya, meninggalkan Gaeun yang masih duduk di tempat.
Gaeun pun mengikuti Sehun dan sesekali mengajaknya bicara. “Apa ini sudah dibayar? Hya!” Gaeun terus berjalan di belakang Sehun, sengaja tidak berjalan di sebelah pemuda itu. Ia terus menggoda Sehun hingga di parkiran. Sehun pun langsung naik mobil tanpa membukakan pintu untuk Gaeun.
“Kekanakan sekali,” Gaeun tersenyum geli kemudian masuk ke dalam mobil. Dilihatnya raut wajah sehun yang benar-benar kusut seperti benang gulungan yang tidak teratur.
“Waeyo? Kau tidak terlihat senang? Wae geurae?”
Sehun menyalakan mobil dan menyetel lagu di dalam mobilnya dengan keras tanpa memperdulikan pertanyaan Gaeun.
“Tsk,” Gaeun mendecakkan lidahnya dan ia memasang seatbelt-nya dengan tersenyum lucu melihat Sehun.
** You Don’t Know Play Ur Love **
Kenapa dia belum kembali juga
Chanyeol sesekali melirik jamnya, kemudian melemparkan pandangan ke arah toilet wanita, guna mendapatkan Nana keluar dari toilet. Karena sudah limabelas menit ia ke toilet dan sampai sekarang Nana belum juga muncul. Chanyeol gelisah di tempat duduknya yang sedang bersama Baekhyun dan Lizzy. Ia terus menggoyang-goyangkan kakinya dengan gusar.
“Lizzy,”
“Oh.”
Chanyeol mengganggu Lizzy dan Baekhyun yang sedang berdebat kecil, yang tidak diketahui Chanyeol apa. Karena ia terlalu cemas memikirkan Nana. “Maaf mengganggu keseruan kalian sebentar,”
“Wae?”
“Aku ingin kau pergi ke toilet dan melihat apakah Nana ada di sana?” kata Chanyeol tanpa ekspresi.
Lizzy mendengus pelan. “Ya, dia bukan anak kecil yang harus dijaga. Dia gadis yang sudah dewasa yang mampu menjaga dirinya,”
“Jangan menjadi pria yang posesif,” timpal Baekhyun.
Chanyeol menghela napas dalam-dalam, lalu menatap Baekhyun dan Lizzy dengan tajam. “Aku tidak posesif. Ini sudah hampir dua puluh menit berlalu ia pergi ke toilet,” ucapnya dengan tenang. “Aku hanya ingin memastikan dia baik-baik saja. Jadi kau hanya perlu masuk dan melihat apakah dia masih ada di sana atau tidak.” jelas Chanyeol.
Lizzy dan Baekhyun menatap Chanyeol sejenak dengan mata disipitkan, kemudian Lizzy menyerah dan beranjak dari duduknya pergi ke toilet. Beberapa menit kemudian Lizzy kembali dan berkata pendek.
“Eobseo,”
Chanyeol mengangkat alis. “Tidak ada di sana?”
Lizzy menggeleng dan berdebat kecil lagi dengan Baekhyun.
“Lalu dia ke mana??” gumam Chanyeol pada diri sendiri. Kemudian ia mengeluarkan ponselnya, menekan nomor Nana sebelum menempelkannya ke telinga. Nada sambung terdengar dan Chanyeol berjalan ke arah pintu kaca ganda yang terbuka lebar ke arah taman kecil yang terawat rapi di belakang kafe tersebut. Kangjoon yang membawa pesanan orang melihat Chanyeol yang melangkah keluar.
Udara malam terasa dingin dan Chanyeol memasukkan tangannya yang tidak memegang ponsel kesaku jeans-nya. Taman kecil itu sepi dan gelap, hanya ada lampu penerangan yang remang-remang. Chanyeol menjauh sebentar dari yang terlalu berisik, supaya ia bisa menelpon Nana dengan tenang. Namun, hanya Nana tidak menjawab teleponnya, Chanyeol kembali menekan nomor Nana dan kembali menempelkanya ke telinga.
Ia menuruni anak tangga yang dari Batu tiga langkah, ia berdiri di tangga itu sementara kembali mendengar nada sambung monoton di ponselnya. Tiba-tiba ia mendengar bunyi samar yang membuatnya tertegun. Ia menurunkan ponselnya dan memasang telinga. Benar, ia mendengar dering ponsel yang samar-samar. Tanpa menutup ponselnya, Chanyeol bergerak menyusuri taman mencari sumber dering ponsel yang semakin jelas dan yang kini dikenalinya. Kemudian tiba-tiba langkah kakinya terhenti dan matanya melebar kaget melihat apa yang ada di depannya.
.
~
.
Nana baru saja keluar dari toilet dan hendak kembali ke mejanya dengan lesu dan pucat. Ia menghentikan langkahnya, menggapai dinding untuk menahan tubuhnya. Nana bergegas menghampiri salah satu pintu kaca di dekatnya dan mendapati dirinya berada di taman kecil yang sepi dan dingin. Tapi Nana tidak merasakan dingin karena sakit di dadanya benar-benar menyerangnya.
“Ack,” Nana mengerang tertahan dan memejamkan matanya kuat-kuat. Ia berusaha mengatur napasnya selagi jatuh tertunduk di salah satu bangku kayu yang ada di taman itu.
“Obat,” pikir Nana sambil menggigit bibir menahan sakit. “Oh, Tuhan. Tasku ada di dalam,” Nana sudah tidak kuat lagi menahan sakit yang menyerangnya. Ia menjatuhkan ponselnya ketika hendak menghubungi Lizzy, membuatnya tidak mampu bergerak untuk mengambil ponselnya.
Tiba-tiba ponselnya berdering, Nana hampir tidak menyadari karena ia sedang kesakitan dan berusaha mengatur napasnya dan ia harus menopang tubuhnya di bangku taman itu dengan sebelah tangan supaya tidak jatuh ke tanah. Sebutir air mata jatuh bergulir di pipinya sementara ia merintih menahan sakit.
.
.
“Nana,” tepat saat itu suara Chanyeol menerobos kabut rasa sakit yang menyelubungi otaknya. Nana berusaha membuka matanya dan melihat sosok chanyeol di hadapannya.
Chanyeol merengkuh kedua bahunya. Tapi di luar dugaan, dengan sisa tenaganya ia mendorong tubuh chanyeol hingga terjatuh.
“Menjauh dariku!” cetusnya. Membuat Chanyeol semakin cemas. Dilihatnya wajah Nana yang menahan kesakitan di bawah remang-remang cahaya lampu. Ia mencoba mendekati gadis itu lagi.
“Kau kenapa?!” tanya Chanyeol panik.
“MENJAUH!!” Nana berteriak dalam ledakan tangisnya dan juga rasa sakitnya. Semampunya ia menguatkan dirinya dan melawan rasa sakitnya.
“Kau–– kau kenapa?” Chanyeol kebingungan di hadapan Nana, ia ingin menyentuh gadis itu, tapi Nana selalu menolaknya.
“Aku sudah tahu–– aku sudah tahu semuanya. Semua tentangmu yang hanya memanfaatkanku demi uangku. Kau hanya mendekatiku demi uangku. Pergi” ucap Nana lirih namun terdengar keras dan membuat chanyeol terperangah. Tanpa sadar ia juga meneteskan air matanya.”
“APA?”
Baekhyun dan Lizzy hadir di antara mereka yang tidak tahu sudah berapa lama. Lizzy melihat Nana tertunduk lemah di bangku kayu tersebut dan segera menghampirinya. Ia menyekah keringat di kepala Nana karena lelah menahan rasa sakitnya.
“Gwaenchana??” Lizzy menjadi panik.
Sedangkan baekhyun menarik kerah baju chanyeol dan menatapnya marah.
“Ini salah paham. Sungguh ini hanya salah paham,” jelas chanyeol
Satu pukulan mendarat ke wajah Chanyeol dan membuat ujung bibirnya berdarah. Chanyeol melihat Nana yang menderita di hadapannya.
Chanyeol memegang sudut bibirnya dan mendelik ke arah Nana.
Kenapa aku harus melihatmu dalam keadaan seperti ini
Chanyeol mengutuk dirinya sendiri. Chanyeol bangkit berdiri dengan tenang sesaat menundukkan kepalanya. “Aku tidak ingin membahasnya sekarang. Kita harus membawanya ke rumah sakit,” ucap Chanyeol yang melihat Nana terkulai Lemah.
Chanyeol berjalan mendekati Nana, tapi tangan Baekhyun menahannya. Chanyeol menepis tangan itu dan menarik kerah baju Baekhyun menatap Baekhyun dengan kesal. Matanya memerah menahan marah juga sedih.
“APA KAU INGIN MENCOBA MENGHABISKAN WAKTU MARAHMU UNTUKKU?” Chanyeol berteriak di depan wajah Baekhyun. “Dia sedang menahan sakit dan butuh pertolongan dokter?” tunjuk Chanyeol pada Nana. Kemudian ia melepaskan cengkramannya dengan mendorong baekhyun. “Biarkan aku yang bertanggung jawab.”
Baekhyun melihat Chanyeol dengan heran dan bingung. Ia berpikir jika semua omongan Nana tadi hanyalah bohong. Tersirat suatu pikiran dari otaknya. “Mobilku ada di sana,” Baekhyun mengarahkan tangannya ke arah parkiran dan mereka bergegas pergi menuju mobil.
Nana mencengkram baju Chanyeol dengan kuat. “Aku benci padamu,” ia mengeluarkan suaranya yang terdengar seperti bisikan serak.
“Kalau begitu bertahanlah. Biar kau bisa mengutukku dengan sesukamu.”
Nana semakin menguatkan cengkramannya.
** You Don’t Know Play Ur Love **
“Oppa,”
“Uhm,” sahut Sehun malas.
“Aish,” Gaeun merogoh tasnya dan mengambil sesuatu. “Ttadhaaa..” Gaeun menunjukkan kotak kecil kepada Sehun. “Saengil Chukahaeyo”
Sehun tertegun. Sebelah alisnya terangkat memandang Gaeun. Ia memalingkan wajahnya ke sungai Han di hadapannya, dan langsung mengembangkan senyuman di bibirnya. Kemudian ia menjitak Gaeun pelan. “Jadi dari tadi kau mempermainkanku? Hhe, gomawo,” Sehun mengambil kotak itu dari tangan Gaeun, dan tersenyum cerah.
“Eotte?” Gaeun menunjukkan pergelangan tangannya dan menggoyang-goyangnya.
Sehun melihat pergelangan tangan Gaeun dan melihat isi kotak itu dengan tersenyum kecil. “Jadi kau ingin menjadi pasanganku?” goda Sehun.
“Baiklah, sudah saatnya aku mengakui ini. Benar, aku ingin menjadi pasanganmu. Wae?? Kau tidak menyukaiku??” Gaeun menyekah rambutnya di balik telinganya. “Aku Cantik, imut, manis, dan,, sexy.” Gaeun mengubah duduknya dengan pose sexy.
“Apa barusan kau menyatakan cintamu padaku?” Sehun bertingkah bodoh.
“Namja pabo,”Gaeun menggerutu dan melipat kedua tangan di dada memandang sungai Han dengan cemberut.
Sehun meringsutkan tubuhnya mendekati Gaeun dan merangkulnya. Tangan kanan Sehun menggapai dagu Gaeun. Membuat gadis menatap langsung ke matanya. Dengan wajah yang berdekatan sepuluh senti, itu semua berhasil membuat jantung Gaeun berdetak dibatas normal.
“Apa kau sungguh dengan perkataanmu?” tanya Sehun dengan pelan dan membuat Gaeun kaku untuk bicara lagi. Sehun perlahan mendekatkan wajahnya ke Gaeun..
Chu~
Bibirnya menyentuh bibir Gaeun sepuluh detik lamanya.
Gadis itu memundurkan tubuhnya, menutup bibir, dan langsung melototi Sehun. “Hya,” sementara ia kesal dengan aksi Sehun yang yang lancang, pemuda itu tertawa terbahak-bahak.
Dan disaat itu juga ia menghancurkan hati Luhan yang menyukainya. Luhan dan Eyoung melihat pemandangan itu. Pemandangan yang seharusnya tidak diilihat oleh Luhan. Eyoung menoleh ke arah Luhan yang mulai untuk hancur. Eyoung jadi mengkhawatirkannya. Pemuda itu menelan salivanya dengan susah payah ketika melihat Gaeun dan Sehun berciuman.
Ia pun menghebuskan napasnya yang ditahannya sedari tadi.
“Baiklah, cukup. Kurasa kita harus pergi dengan cepat dari sini,” tungkas Eyoung yang menarik Luhan yang gemetar. Eyoung bisa merasakan getaran hebat itu dari tangan Luhan.
.
tbc
.