Matahari pagi yang terik membangunkanku dari tidurku yang lelap. Ugh, aku dapat merasakan seluruh sendi di tubuhku terasa nyeri. Bagaimana tidak? Aku dan Minseok harus berlari selama setengah jam untuk mencapai penginapan ini. Jalanan yang sedikit menanjak dan gelap sama sekali tidak membantu. Ditambah lagi ketika kami tiba ternyata semua orang sudah selesai makan malam dan kembali ke kamar mereka masing-masing. Untungnya ada seseorang yang sangat ramah yang mau memberi kami makan malam meskipun terlambat. Beliau juga dengan senang hati menemani aku dan Minseok mengobrol selama makan malam. Wanita itu bernama Sanada-san, beliau memaksa untuk memanggilnya Bibi. Mengobrol dengan bibi Sanada sedikit banyak memberikan aku informasi mengenai Airin dan Kei-san. Namun, ketika aku menanyakan tentang keadaan Airin, lagi-lagi aku memperoleh jawaban yang sama.
“Maaf, Luhan-san. Untuk pertanyaan itu sebaiknya anda tanyakan langsung saja kepada Nona Airin”, ujarnya dengan wajah yang berubah mendung.
Melihat wajah Bibi Sanada, aku memutuskan untuk berhenti bertanya lebih jauh. Mungkin memang satu-satunya cara untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan itu adalah dengan menanyakannya langsung kepada Airin. Namun, melihat begitu marahnya dia kemarin, mungkin akan sangat kecil kemungkinannya untukku bahkan untuk sekedar bertegur sapa. Agh. Entahlah. Mungkin aku memang harus menahan rasa penasaranku dan kembali fokus kepada tujuan dan tugasku disini. Aku beranjak turun dari tempat tidur dan menuju kamar mandi. Bersiap-siap sebelum ikut sarapan bersama dengan kru yang lain. Hari yang lain, mungkin hari ini aku akan menemukan jawaban yang lain.
-*-
Aku tiba di aula makan ketika semua orang sudah mulai menikmati makanan mereka masing-masing. Aku dapat melihat Minseok sudah duduk disana bersama dengan Lee sonsaengnim, bersiap akan memulai makan. Akupun menghampiri mereka dan duduk di antara Minseok dan Lee-sonsaengnim. Aku baru mengangkat sendokku ketika Lee sonsaengnim mengajakku berbicara.
“Kemana perginya kalian semalam? Kenapa tidak ikut makan malam? Aku bahkan tidak melihat kalian kembali dari pantai sama sekali”
“Ah, kami menikmati sunset sambil mengobrol, sampai tanpa kami sadari bahwa waktu sudah larut. Karena semua orang sudah kembali lebih dahulu, akhirnya kami harus berlari untuk kembali kesini. Saat kami tiba semua orang sudah kembali ke kamarnya masing-masing”, Minseok menjelaskan.
“Lantas, bagaimana dengan gadis yang kau sukai itu Luhan-ssi? Berhasil mengajaknya berkencan?”, Lee-sonsaengnim menggodaku.
Aku hanya menjawab pertanyaan tersebut dengan senyum. Lee sonsaengnimpun berhenti menanyaiku dan kembali menikmati sarapannya sambil mengobrol dengan staff yang lain. Aku kembali menikmati sarapan sambil sesekali menimpali percakapan dan pertanyaan dari staff yang lain. Meskipun demikian, aku tidak bisa menahan rasa penasaranku. Kenapa Airin dan Kei-san tidak ikut sarapan seperti biasanya? Aku hanya melihat nyonya Yamamoto dan bibi Sanada. Apa mungkin mereka semua makan di tempat yang berbeda? Entahlah. Susah payah aku menghabiskan sarapanku dengan rasa penasaran seperti ini.
Selesai makan, kami semua harus bersiap-siap untuk pemotretan lagi di tempat yang berbeda. Setelah aku membereskan barang-barang yang aku perlukan, aku kemudian menghampiri Minseok yang sedang duduk di ayunan yang ada di tengah taman. Akupun duduk di sebelahnya sambil memandang ke arah beranda kamar Airin. Tidak ada, gadis itu tidak ada disana. Bahkan, jendela kamarnya masih tertutup. Apa mungkin Airin masih tidur?
“Gadis itu tidak terlihat pagi ini. Sepertinya dia cukup marah denganmu, Luhan”, ujar Minseok.
“Ah, entahlah. Mungkin nanti sore aku akan meminta maaf kepadanya. Sepertinya aku terlalu jauh mendesaknya kemarin”, jawabku sambil terus menatap kamar Airin.
“Luhan-ssi, Minseok-ssi. Kalian sudah ditunggu. Ayo, kita semua harus berangkat sekarang!”, suara Song-noona yang memanggil membuatku terkejut.
Minseok berdiri sambil menepuk pundakku kemudian berjalan menuju mobil. Akupun mengikutinya sambil sekali lagi melihat ke arah tangga menuju kamar Airin. Saat itulah aku melihat bibi Sanada turun tergesa-gesa dengan raut wajah yang terlihat cemas. Ada apa ini? Kenapa aku merasakan ada sesuatu yang terjadi? Aku baru akan menghampiri bibi Sanada saat Song-noona memanggil lagi. Karena aku tidak mungkin mengacaukan jadwal hari ini hanya karena rasa penasaran, aku memutuskan untuk bergegas menghampiri rombongan dan berangkat. Semoga tidak terjadi apa-apa dengan Airin.
-*-
“Yah, Luhan! Keluarkan ekspresimu! Fokus ke kamera. Bukan, bukan seperti itu! Yah! Kenapa kau malah melamun?!”, suara teriakan Lee sonsaengnim mengejutkanku.
“Jwiseunghabnida, sonsaengnim”, aku menundukkan tubuhku, meminta maaf.
“Yah neo! Jongshin charyeo! Kita sangat sibuk hari ini, tidak ada waktu untuk melamun!”, tegur Lee sonsaengnim lagi.
Aku kembali membungkukkan tubuh. Astaga, apa yang terjadi kepadaku? Kenapa sulit sekali untuk berkonsentrasi. Aku menepuk-nepuk wajahku, mencoba mengembalikan fokus dan kesadaranku. Ingat, Luhan, untuk saat ini kamu adalah seorang model, jadi bersikaplah professional! AKupun kembali melanjutkan pemotretan yang sempat tertunda karena ulahku yang tidak professional. Aku tahu bahwa Minseok mengamatiku, namun untuk saat ini tidak ada waktu untuk berbicara. Aku harus lekas menyelesaikan sesi ini dan kemudian mencoba untuk menghubungi Airin.
Pemotretan baru selesai menjelang sore hari saat matahari sudah mulai mendekati cakrawala. Rupanya Lee sonsaengnim tidak main-main ketika berkata bahwa hari ini akan sangat sibuk. Beliau benar-benar menguras tenaga kami habis-habisan. Ugh, untungnya aku sangat menghormati beliau, kalau tidak…..
“yah, neo gwenchana? Wae geurae?”, tepukan halus dipundak menghentikan lamunanku mengenai Lee sonsaeng.
“Eung, nan gwenchanayo noona. Kokjong hajimaseyo”, aku tersenyum kepada Song noona.
“geurae? Aku melihat hari ini kamu sedikit tidak fokus, kamu tidak sakit kan?”, tanya Song noona lagi dengan nada khawatir.
“gwenchana noona, aku hanya sedang memikirkan sesuatu saja”, jawabku lagi meyakinkan.
“Arraso. Oh ya, ini ponselmu. Memangnya kamu tidak sadar sedari kemari aku menyimpannya? Bagaimana kalau aku tidak berniat mengembalikannya?”, ujarnya bergurau.
“Ah, aku selalu percaya bahwa noona memiliki hati secantik wajahnya, jadi tidak mungkin kamu melakukannya” aku balik bergurau.
“Yaah, Luhan-ssi. Sejak kapan kamu jadi pintar menggoda seperti itu? Sejak mengenal gadis cantik itu, huh? Pacarmu ya?”, ujarnya tersenyum jahil.
“gadis? Gadis yang mana?”, aku bingung.
“Yah, cassanova! Bagaimana bisa kamu melupakan yeojachingu mu sendiri, eung?? Neo jinjja nappeun namja, ya!”, ujarnya sambil menjitak pelan kepalaku.
“Tapi aku tidak punya yeojachingu, noona. Gadis yang kau maksud adalah..?”, tanyaku kebingungan.
“Gadis yang kemarin membuatmu tetap tinggal di pantai bersama Minseok, siapa lagi hmm?”, Song noona tersenyum jahil.
“aah.. itu Airin Yamamoto, putri pemilik penginapan kita noona. Dia belum menjadi pacarku, eh, maksudku bukan, eh?”, aku tergagap.
“Aku yakin kamu bisa mendapatkannya, karena kamu orang paling keras kepala yang pernah ku kenal”
Song noona hanya menatapku sambil tersenyum. Aku hanya bisa membalas senyuman tersebut dengan kikuk. Song noona pun berlalu meninggalkan ku yang masih tersenyum-senyum sendiri seperti orang bodoh. Saat itulah aku teringat kepada keadaan tadi pagi saat bibi Sanada terlihat terburu-buru menuruni tangga. Hmm, haruskah aku menelfonnya untuk menanyakan keadaan Airin? Ah, tetapi mungkin lebih baik aku langsung menemuinya saja. Lagipula, aku tidak tahu harus berkata apa kalau harus menelfon, bisa-bisa aku dikira terlalu ikut campur urusan orang lain. Seharusnya aku meminta nomer ponsel Kei-san kemarin, sesalku.
“Aku memiliki nomer ponsel Kei-san”, aku mendengar suara MInseok dari belakangku.
Aku menoleh dan mendapati MInseok berdiri disana, mengulurkan ponselnya kepadaku sambil tersenyum jahil dan mengangkat sebelah alisnya, menggodaku.
“aku.. aku tidak mencari nomer Kei-san”, kilahku.
“Luhan-ah, memang sudah berapa lama aku mengenalmu, hmm? Kau lupa bahwa kau selalu menyuarakan pikiranmu saat sedang panik?”, jawabnya.
Ah, bodoh.
“Ya, kau memang bodoh. Baru sadar?”, tawanya yang menggelegar membuat beberapa orang menoleh kepada kami, ingin tahu.
“geumanhae, neo. Lihat semua orang memperhatikan kita karena ulahmu!”, tegurku.
Minseok hanya tertawa lebar sambil mengalungkan tangannya di bahuku kemudian menarikku untuk kembali ke mobil yang akan membawa kami kembali ke penginapan. Selama di perjalanan aku benar-benar tidak bisa mengalihkan fikiranku dari Airin. Entah kenapa aku merasa tidak enak, mungkinkah sesuatu yang buruk terjadi kepada Airin?
Setibanya di penginapan, aku langsung bergegas turun dan mencoba mencari bibi Sanada untuk menanyakan tentang Airin. Namun, sebelum aku melakukan itu, seseorang menepuk pundakku dari belakang.
“Hei, bagaimana pekerjaanmu hari ini?”
“oh, Kei-san. Pemotretannya sudah selesai dan berlangsung dengan baik dan lancer. Bagaimana denganmu sendiri?”, tanyaku balik.
“Oh, aku juga baik-baik saja”, jawabnya sambil tersenyum.
“Wajahmu terlihat tidak baik, kau baik-baik saja Kei-san?”, tanya Minseok yang kebetulan berdiri di sebelahku.
“Aku baik-baik saja, mungkin hanya sedikit lelah karena sejak pagi aku belum sempat makan. Ini pun aku hanya pulang sebentar untuk mengambil beberapa barang”, jawabnya lagi.
“Oh? Memangnya kau akan pergi kemana Kei-san?”, tanyaku.
“AH.. aku harus mengantarkan ibu ke…”, belum sempat Kei-san menyelesaikan kalimatnya, sebuat suara menyela.
“Kei, ayo berangkat. Ibu tidak ingin kita terlalu lama meninggalkan Airin. Tolong bantu ibu masukkan ini ke mobil”
“Baiklah, ibu. Luhan-san, MInseok-san, sampai berjumpa lagi. Kami pergi dulu”, ujar Kei-san sambil berlalu dengan terburu-buru.
Aku tidak sempat untuk bertanya apa-apa, hanya bisa memandang Kei-san dan Ibunya yang memasuki mobil dan pergi menjauh. Apakah memang benar terjadi sesuatu pada airin?
“Jangan khawatir, mungkin mereka hanya sedang ada acara keluarga. Ayo masuk dan makan malam. Semua orang sudah berada di aula makan”, ujar MInseok.
“Semoga saja kau benar, minseok-ah”, jawabku akhirnya sambil berjalan mengikuti Minseok menuju aula.
-*-
Sudah dua hari sejak terakhir kali aku bertemu dan berbicara dengan Kei-san. Sudah tiga hari sejak terakhir kali aku melihat Airin. Aku bahkan tidak melihat bibi Sanada. Apakah aku dan Airin harus berpisah dengan keadaan seperti ini? Dalam keadaan dia yang membenciku seperti itu? Aku menghembuskan nafas panjang. Besok kami harus kembali ke Korea. Pemotretan kami sudah selesai dan tidak ada yang harus dilakukan lagi disini. Hari inipun kami hanya akan menghabiskan waktu bebas untuk berbelanja sebelum besok kembali dengan penerbangan paling pagi. Tetapi entah kenapa aku sama sekali tidak ada niatan untuk beranjak dari ayunan ini.
Aku melihat ke arah beranda tempat Airin biasa duduk sambil memeluk bonekanya. Aku dapat mengingatnya duduk disana, didalam ayunan berbentuk cangkang telur, memeluk boneka panda, dengan rambutnya yang panjang terurai tertiup angin. Aku dapat mengingat senyumnya yang manis, pipinya yang memerah, matanya yang tertutup. Aku bahkan bisa mengingat aroma tubuhnya saat berada di pelukanku, meski hanya sesaat. Aku dapat membayangkan suara tawanya yang renyah, suaranya saat menyebut namaku. Ah, mungkin aku sudah gila.
“Sedang apa anda disini, Luhan-san? Semua orang sudah pergi menghabiskan waktu mereka. Kenapa anda hanya duduk disini, melamun?”, sebuah suara yang sangat aku kenal menyapaku, mengembalikanku dari khayalanku.
“Bibi Sanada! Kemana saja anda selama ini?”, Aku beranjak berdiri menghampiri bibi Sanada dan secara refleks memeluknya.
Aku dapat merasakan tubuh bibi sanada sedikit mengejang, terkejut. Namun, tidak berapa lama beliau balik memelukku dan mengusap punggungku, layaknya seorng ibu kepada anaknya. Aku melepas pelukanku dan tersenyum malu. Bodoh sekali, berani-beraninya aku melakukan hal ini. UNtung saja bibi Sanada tidak marah atau berteriak.
“Aku beberapa hari ini memang tidak di penginapan, mengikuti nyonya dan tuan Kei. Aku baru saja kembali pagi ini, nyonya memintaku untuk mengurus penginapan selama beliau tidak ada disini. Lagipula, nona Airin sudah sadar dan membaik, jadi tidak masalah kalau aku kembali kesini.”
“Keadaan Airin? Sadar? Membaik? Maksud bibi?”, tanyaku tidak mengerti.
“oh, Luhan-san tidak tahu?”
BIbi sanada kemudian menjelaskankan kepadaku mengenai keadaan Airin dan apa yang terjadi beberapa hari yang lalu. Penjelasan dari Bibi sanada membuatku terkejut dan tidak bisa berkata apa-apa. Ada rasa khawatir saat bibi Sanada bercerita. Namun, ada perasaan lain yang menguasaiku. Aku merasa bersalah, sangat bersalah. Mungkinkah Airin menjadi seperti itu karena kesalahanku? Mungkinkah Airin jatuh sakit karena aku?
“Luhan-san? Luhan-san? Anda baik-baik saja?”, tegur bibi Sanada.
“Ah aku baik-baik saja bibi. Bibi, bolehkah aku tahu dimana Airin dirawat saat ini?”
Bibi sanada menyebutkan sebuah rumah sakit dan nomer ruangan. AKu tidak tahu itu ada dimana, yang aku tahu aku ingin menemui Airin secepatnya. Sekarang juga. Setelah meminta tolong kepada bibi Sanada untuk memanggilkan taksi, aku bergegas keluar dari penginapan, menunggu di gerbang. Saat taksi tiba, tanpa basa basi aku segera melompat naik dan menyebutkan tujuanku. Baru saja taksi akan berangkat, seseorang mengetuk jendela. Minseok.
“Hei, mau pergi kemana?”
“Rumah sakit. Airin”
Tanpa butuh penjelasan yang panjang, Minseok bergegas menaiki taksiku. Taksipun berangkat menuju tujuan kami. Sepanjang perjalanan aku tidak dapat berhenti memikirkan keadaan Airin. Ini semua kesalahanku, aku yang membuatnya marah. Aku yang membuatnya sakit.
“Kau tahu bahwa ini bukan salahmu kan? Kau hanya berniat membantunya. Kalau kemudian dia salah mengartikannya, itu semua bukan salahmu”, ujar Minseok.
“Tidak seharusnya aku memeluknya seperti itu, Minseok-ah. Ini semua salahku”
“Yah, neo babo nya?! Kalau kau tidak memelukny, dia akan terjatuh dan mungkin terluka. Kau hanya berniat membantunya. Kita tidak pernah tau ada apa di masa lalu Airin hingga dia meresponnya seperti itu, yang jelas itu bukan salahmu! Jangan menjadi orang bodoh yang menyalahkan diri sendiri!”, tegas Minseok.
Aku hanya mengangguk, menyetujui. Meskipun, dalam hati aku masih merasa bahwa sedikit banyak aku berperan dengan sakitnya Airin. Aku menghela nafas panjang, mencoba menenangkan diri. Tidak berapa lama kami tiba di Rumah Sakit. Aku dan Minseok bergegas mencari ruangan dimana Airin dirawat. Tiba di depan ruangan, aku baru saja hendak mengetuk ketika aku mendengar suara orang bercakap-cakap, ah, tepatnya berteriak, dari celah pintu yang sedikit terbuka. Tanganku hanya bisa menggantung di udara, tidak mempercayai pendengaranku. Aku tahu itu suara siapa, karena itu adalah suara yang sudah sangat aku rindukan sejak pertama kali aku mendengarnya. Namun, bukan suara itu yang mengejutkanku, namun apa yang dikatakannya. Aku mengerjapkan mata, tidak percaya. Aku menoleh kepada Minseok yang juga memasang ekspresi terkejut yang sama.
“Apakah baru saja aku mendengar Airin-chan mengatakan bahwa dia yang membunuh ayahnya?”, suara Minseok yang berbisik memastikan bahwa kami mendengar hal yang sama.
Aku membatalkan niatku untuk mengetuk pintu, memutuskan untuk mendengarkan terlebih dahulu. Lebih tepatnya, aku merasa ini bukan waktu yang tepat untuk masuk. Sepertinya mereka tengah membicarakan sesuatu yang sangat penting. Akupun memutuskan untuk berdiri diam. Dan cerita yang aku dengar membuatku tanpa sadar menahan nafas.
Entah sudah berapa lama aku dan Minseok berdiri disini, mencuri dengar. Ya, mencuri dengar. Meskipun aku tahu bahwa hal ini tidak seharusnya kami lakukan, namun aku tidak bisa menggerakkan kakiku meninggalkan tempat ini. Aku hanya bisa berdiri diam disini, bernafas sepelan mungkin agar tidak diketahui keberadaannya. Mendengarkan kata demi kata yang keluar dari mulut Airin. Cerita masa lalu yang selama ini ingin aku ketahui. Mencoba untuk mengolahnya secara perlahan. AKu tidak pernah tahu bahwa masa lalu Airin, yang selama ini disimpannya, ternyata sepekat ini. Dan aku tidak pernah tahu bahwa aku akan mengetahuinya dengan cara seperti ini. Aku menoleh kea rah Minseok yang juga hanya dapat terdiam. Sesaat kami hanya bisa berpandangan, masing-masing memastikan pendengaran kami.
“Seharusnya bukan ayah yang mati! Seharusnya ayah tidak menolongku! Seharusnya ayah membiarkan saja aku saat itu! Seharusnya aku yang mati, bukan Ayah!”, aku dapat mendengar suara Airin yang terisak.
“Airin! Apa yang kau katakan!”, Nyonya Yamamoto terdengar serak, menegur.
“Airin, hentikan perkataan bodoh itu! Bukankah aku sudah bilang berkali-kali bahwa tidak seharusnya kau berkata seperti itu?!”, aku mengenali suara itu. Kei-san.
“Tapi itu semua benar Kei-san! Kalian tidak dapat menyangkalnya, bukan?! Aku yang seharusnya mati bukan Ayah! Seharusnya…”
Airin tidak menyelesaikan kalimatnya karena sesuatu menghentikannya. Sebuah tamparan. Aku tahu itu suara sebuah tamparan. Dan semua orang di ruangan itu memekik tertahan. Dan semua itu kemudian terganggu oleh sebuah suara yang bukan saja mengejutkan orang-orang yang ada di dalam ruangan namun juga kami yang berada di luar ruangan.
“Baby don’t cry, tonight. Eodumi geochigo namyeon. Baby don’t cry, tonight. Eobseotdeon iri doel geoya. Mulgeopumi doeneun geoseun nega aniya, kkeutnae mollaya haetdeon. So baby don’t cry, cry. Nae sarangi neol jikil teni~~” (EXO – Baby don’t cry)
Sh*t! Aku lupa mematikan ponselku, makiku. Terburu-buru aku meraih ponsel yang ada di dalam kantungku dan mencoba mematikannya. Namun terlambat. Pintu yang ada di hadapanku sudah terbuka lebar.
“Dangsineun nuguseyo?!”
Kami terbelalak dan tergagap. Bukan hanya karena kami tertangkap basah tengah mencuri dengar, atau karena orang tersebut bisa berbahasa korea, atau karena nada menghakimi yang keluar dari mulutnya. Namun ada hal lain yang membuat kami terkejut.
“Ai…rin?”