“Aku akan pulang ke rumah sebentar, mengambil beberapa barang milik Airin dan yang akan kami butuhkan selama dia harus menginap disini. Apakah tidak masalah kalau kau menungguinya hingga dia tersadar? Aku akan kembali dalam satu jam, ah, secepat yang aku bisa”, aku mendengar suara Kei-chan dari arah pintu.
Aku tidak mendengar jawaban dari orang yang berdiri di sisi tempat tidurku. Mungkin ini Ibu. Tetapi kenapa Kei-chan berbicara dengan Ibu seperti itu? Hei, tunggu, aku dapat mendengar suara Ibu dan Kei-chan sayup-sayup di kejauhan. Lantas, siapa orang yang tengah berdiri di sisiku ini?!
Aku dapat merasakan sepasang tangan meraih tanganku. Dia menggenggamnya. Tidak terlalu kuat, namun genggaman itu membuatku merasa nyaman. Dan hangat. Aku dapat merasakan sesuatu mendekat, kemudian sebuah ciuman mendarat di keningku. Kemudian dia berbicara, sesuatu yang tidak dapat aku mengerti. Tunggu, suara ini?!
***
“Onee-chan, benarkah ini kau?”, aku membuka mataku.
“Syukurlah kau sudah sadar, Ai. Biar aku panggilkan dokternya”, aku menggenggam tangannya, menahannya agar tidak pergi.
“Kau kembali? Onee-chan, kau kembali kan? Kau tidak akan pergi lagi kan?”, tanyaku, separuh memohon.
Dia hanya diam. Hanya sunyi yang aku dapatkan sebagai jawabannya. Aku dapat merasakan belaian tangannya di kepalaku, seolah menenangkan kemudian dia melepaskan genggamanku perlahan dan pergi. Aku dapat mendengar langkah kakinya menjauh, diikuti suara pintu yang terbuka kemudian menutup. Tidak berapa lama, aku mendengar langkah kaki kembali.
“Airin-san, anda sudah sadar?”, suara asing menyapaku. Rupanya tadi dia pergi memanggil dokter.
Aku hanya menganggukkan kepalaku, lemah. Membiarkan dokter itu melakukan pekerjaannya, memeriksa, memastikan, bertanya banyak hal yang hanya ku jawab sesingkat mungkin, memberi saran, anjuran, dan banyak hal yang tidak aku dengarkan sama sekali. Pikiranku sudah melayang kesana kemari tanpa bisa aku tahan. Terlalu banyak pertanyaan yang ada di kepalaku yang sangat aku ingin lontarkan kepada dia. Pertanyaan yang sudah hampir sepuluh tahun hanya ada di kepalaku. Pertanyaan yang selalu menghantuiku setiap malam semenjak kepergiannya. Kenapa?
“Baiklah Airin-san, Lillian-san, saya rasa tidak ada masalah. Silahkan panggil saya kalau kalian membutuhkan bantuan. Selamat sore”, dokter itu kemudian keluar dari ruangan. Keheningan kembali menyelimuti kami.
“Onee-chan..”
“Beristirahatlah. Kau masih belum terlalu sehat. Sebentar lagi Nii-chan dan okaasan akan kembali”, ujarnya.
“Tapi, nee-chan. Aku merindukanmu, sudah berapa lama kau tidak pernah kembali. Kau bahkan tidak pernah memberi kabar, tidak pernah menyapaku. Kau bahkan tidak mau meneleponku untuk sekedar menanyakan kabarku. Tidak bisakah kita sekedar bicara, nee-chan?”, aku berusaha menahan tangisanku. Ternyata aku sangat merindukannya.
“Tidurlah, kau butuh beristirahat. Kita akan bicara nanti, aku masih akan ada disini saat kau terbangun nanti, jadi tenanglah”, ujarnya.
Akupun hanya bisa diam dan memejamkan mata. Dia benar, aku memang merasa kelopak mataku semakin berat dan memintaku untuk memejamkannya. Mungkin, ini semua hanya mimpi. Mungkin, dia tidak benar-benar ada disini. Mungkin semua pertanyaan tadi hanya imajinasiku saja. Terlalu banyak kata mungkin yang muncul hingga sesaat kemudian alam mimpi menyambutku.
***
Entah sudah berapa lama aku berada di rumah sakit ini. Satu hari? Dua hari? Sampai saat ini aku masih belum juga bisa berbicara dengan Lily nee-chan. Dia selalu menghindar dari kemungkinan berada berdua denganku saja di ruangan ini. Setiap aku mengajakny berbicara, selalu ada seribu satu alas an untuk kemudian meninggalkanku. Seperti saat ini, dia meninggalkanku berdua saja dengan bibi Sanada.
“Bibi Sanada, sudah berapa lama aku berada disini?”, tanyaku pada bibi Sanada.
“Dua hari nona, ada apa?”
“Bibi, kembalilah ke penginapan. Bibi pasti lelah kalau harus terus menungguiku disini atau pulang pergi. Aku baik-baik saja, bibi tidak perlu khawatir”, ujarku.
“Tapi, tuan Kei sedang pergi, Nyonya dan nona Lily juga masih belum kembali dari ruangan dokter”, ujarnya ragu.
“Tidak apa bibi, aku akan baik-baik saja. Sebentar lagi mereka pasti kembali”, ujarku seraya tersenyum.
“Baiklah kalau begitu. Lagipula, bibi memang harus kembali ke penginapan untuk mengurus rombongan dari Korea itu. Besok bibi akan kembali kesini”, ujar bibi Sanada sambil mengecup keningku.
Sepeninggal bibi Sanada, aku hanya bisa berdiam diri. Mungkin memang ini yang aku butuhkan, kesendirian. AKu butuh waktu untuk sendiri dan berpikir mengenai apa yang terjadi kepadaku, kepada keluarga kami. Kepada Ayah.
“Itu semua kecelakaan. Tidak ada yang salah. Itu semua hanya kecelakaan, bukan kesalahan siapapun. Itu bukan salahku. Bukan salah siapapun..”, aku menggumamkan kalimat itu berulang kali, berharap hatiku dapat mempercayainya. Tapi, aku tahu itu salahku.
Tanpa dapat kutahan airmataku mengalir. Deras. Aku bersusah payah untuk menahannya, tetapi tidak bisa. Aku tidak tahu berapa lama aku menangis, yang aku tahu mataku terasa panas dan berat. Dadaku terasa sangat sakit. Sesak, aku tidak bisa bernapas. Itu semua salahku, bagaimanapun aku mencoba untuk tidak memikirkannya tidak akan pernah mengubah kenyataan itu.
Aku mencoba untuk menenangkan diriku, menghapus air mata yang mengalir dan memejamkan mataku. Aku berharap ini dapat membantu mengurangi rasa sakit yang menekan dadaku. Kepalaku terasa berdenyut. Ya Tuhan, apa yang sebenarnya terjadi kepadaku. Aku menarik nafas panjang dan menghembuskannya secara teratur, berharap itu dapat membuatku tenang dan menghilangkan semua rasa sakit ini. Suara detak jam yang kini memenuhi ruangan membantuku merasa lebih tenang. Perlahan-lahan dapat kurasakan rasa sakit itu mereda hingga hilang sepenuhnya. Tetapi pikiran itu masih ada disana. Tenyata, kembalinya dia tidak membuatku merasa lebih baik. Bagaimana bisa? Dia bahkan menolak untuk berbicara denganku.
Aku mendengar suara kenop pintu dibuka dan seseorang melangkah masuk. Aku memejamkan mataku dan berusaha untuk tidak membuat gerakan apapun. Aku sedang tidak ingin bicara dengan siapapun. Biarlah mereka berpikir bahwa aku sedang tidur, itu akan lebih baik.
“Ai? Apakah kau tidur?”, sayup-sayup kudengar suara Kei nii-chan memanggilku.
Aku dapat merasakan tangan nii-chan membelai halus keningku. Aku dapat merasakan tangannya menggenggam tanganku, erat. Aku mendengar suara kursi ditarik ke sisiku dan dia kembali menggenggam tanganku dan meletakkan kepalanya di sisi tubuhku. Tidak lama kemudian, dengkur halus terdengar. Dia pasti lelah. Aku berusaha untuk tidak membuat gerakan sekecil apapun agar dia tidak terbangun. Onii-chan, terima kasih untuk selalu ada di sisiku.
Suara dengkur halus Kei-chan dan detak jam yang teratur seolah menjadi irama pengantar tidur bagiku. Aku dapat merasakan kesadaranku semakin hilang dan aku benar-benar jatuh tertidur lelap dan bermimpi indah. Mimpi indah yang harus tetap menjadi sebuah mimpi, karena tidak lama kemudian aku terbangun dan mendapati kenyataan pahit yang harus aku hadapi.
***
“jadi kau akan pergi lagi? Tidak bisakah kau tinggal lebih lama? Sudah hampir 10 tahun kita tidak pernah lagi sekedar duduk makan malam bersama. Airin pasti sangat merindukanmu, Ibu juga sangat merindukanmu Lily”, aku dapat mendengar suara Ibu yang berbisik. Mereka sudah kembali rupanya, sudah berapa lama aku tertidur?.
“Maaf, Ibu. Aku juga merindukan kalian, tetapi aku tidak bisa tinggal lebih lama, aku hanya meminta izin untuk pulang satu minggu. Jadwalku tidak mungkin diganti secara mendadak. Lagipula, Ai sudah sadar dan dokter bilang dia baik-baik saja. Jadi, aku bisa kembali ke Korea dengan tenang.”, Lily nee-chan menjawab dengan berbisik pula. Jadi, dia akan pergi lagi?
“Sayang sekali kita tidak bisa merayakan ulang tahunmu bersama lagi tahun ini. Padahal, aku pikir kepulanganmu kali ini karena akhirnya kita akan merayakan ulang tahunmu dan Airin bersama-sama seperti dahulu”, ujar Kei-chan yang terdengar jelas dari sisi tempat tidurku.
“Maaf Onii-chan, tapi sepertinya tahun ini masih belum bisa. Sebenarnya aku ingin sekali merayakan ulang tahun bersama kalian, tetapi mau bagaimana lagi? Airin masih sakit, akupun tidak bisa menunda kepulanganku. Mungkin tahun depan kalian bisa bersama-sama ke Korea dan merayakan ulang tahun kami disana. Aku tahu sebuah tempat dimana sunsetnya terlihat sangat indah. Airin pasti menyukainya”, jawab Lily nee-chan.
“Kalian memang sama persis seperti ayah kalian, sangat menyukai sunset. Mungkin kalau ayah kalian masih hidup, kalian semua sekarang sudah menjadi model yang terkenal atau malah fotografer seperti dirinya. Dia senang sekali mengajak kalian menjadi model foto dan menjelaskan berbagai hal tentang kamera pada kalian meskipun kalian masih kecil dan belum mengerti apa-apa”, ujar ibu sedikit sendu.
“Ibu, memangnya Ibu lupa bahwa Lillian sekarang adalah seorang penyanyi terkenal di Korea? Bahkan mungkin di Asia. Dia bukan hanya menjadi model tetapi seorang artis terkenal. Ayah pasti bangga padanya”, ujar Kei-chan.
“Kau benar Kei, tapi tetap saja. Untuk meraih itu semua dia harus meninggalkan kita dan hidup sendiri di Korea. Meninggalkan kita semua”
“Ibu, aku disana kan bersama Kakek dan Nenek. Ibu, Kei, dan Ai bisa kapan saja datang dan menjengukku. Lagipula, sejak kepergian ayah, Ibu tidak pernah lagi menjenguk Kakek dan Nenek kan? Mereka sangat merindukan kalian semua. Mereka selalu bertanya kenapa kalian tidak pernah lagi datang dan menjenguk mereka”, ujar Lillian.
“Ibu tidak tahu bagaimana menghadapi mereka. Lagipula, Airin juga tidak mau pergi meskipun kami sudah berkali-kali mengajaknya, dia seperti enggan untuk menemui kakek dan nenek”, jelas Ibu.
“Kenapa? Bagaimanapun juga Ibu tetap menantu mereka, dan Ai tetap cucu mereka. Kenapa kalian harus ragu untuk mengunjungi mereka?“, tanya Lillian.
“Karena aku sudah membunuh ayah dan satu-satunya anak laki-laki yang mereka miliki. Karena itulah aku tidak ingin menemui mereka dan mengingatkan atas hal itu.”, kalimat itu meluncur begitu saja dari mulutku.
“Ai, aku sudah bilang, berhentilah berkata seperti itu”, ujar Kei-chan.
“Kenapa? Memang begitu kenyataannya kan? Kalau saja hari itu aku tidak melawan perintah ayah untuk menunggu dan tidak bermain di laut sendirian. Kalau saja hari itu aku mendengarkan kata-kata ayah dan menunggu hingga dia kembali tentunya saat ini ayah masih ada bersama dengan kita. Seandainya aku tidak masuk ke laut dan terbawa ombak hari itu, ayah tidak perlu menyelamatku hingga dirinya sendiri terbunuh. Kalau saat itu ayah membiarkanku tenggelam, saat ini Ibu pasti masih memiliki suami yang sangat mencintai Ibu. Ibu tidak perlu membanting tulang bekerja demi menghidupi kami sendirian. Seandainya saat itu aku tidak menyebabkan kematian ayah, Kei-chan tidak perlu berhenti menekuni piano demi membantu Ibu dan mengurusku yang merepotkan ini. Saat ini mungkin Kei-chan sudah berada di belahan dunia lain dan menjadi pianis terkenal seperti cita-cita Kei-chan sejak kecil. Seandainya ayah masih hidup, Lily nee-chan tidak mungkin pergi dari rumah dan meninggalkan kita semua. Semua ini salahku, semua ini terjadi karena aku sudah membunuh ayah. Aku yang membuat keluarga ini tidak lagi utuh”, air mataku mengalir deras. Akhirnya semua yang aku pendam selama ini aku katakan.
Aku dapat mendengar suara isak tangis ibu. Itulah yang membuatku selalu menahan semua perasaan itu, Karena aku tidak ingin mendengar ibu menangis. Sekarang aku melakukannya, membuatnya sedih.
“Karena harus mengurusku dan penginapan, Kei-chan berhenti dari sekolah musik dan tidak dapat menjadi pianis seperti keinginan Kei-chan. AKu sudah membunuh mimpi Kei-chan. Aku juga sudah merebut kasih sayang ibu dari Lily nee-chan. Karena terlalu sibuk mengurusku, Lily nee-chan jadi tidak pernah mendapatkan perhatian dari Ibu. Bahkan ketika Onee-chan memenangkan kontes menyanyi itu, Ibu dan Kei-chan tidak ada disana untuk berbagi kemenangan yang sama karena harus mengantarku ke rumah sakit. Ibu bahkan tidak membuatkan pesta kemenangan untuk Onee-chan. Padahal itu adalah sebuah prestasi yang sangat besar untuk seorang gadis berusia 13 tahun, bukan?”, aku mengingat kejadian sesaat sebelum Lily nee-chan pergi dan memutuskan untuk tinggal dengan Kakek dan Nenek di Korea. Aku dapat mengingat pertengkaran itu. Kata-kata yang dilontarkannya sepuluh tahun yang lalu.
Mereka semua terdiam, mungkin tidak tahu harus berkata apa. Atau mungkin dalam hati, mereka membenarkan itu semua?
“Seharusnya bukan ayah yang mati! Seharusnya ayah tidak menolongku! Seharusnya ayah membiarkan saja aku saat itu! Seharusnya aku yang mati, bukan Ayah!”, aku terisak.
“Airin! Apa yang kau katakan!”, aku dapat mendengar suara serak ibu.
“Airin, hentikan perkataan bodoh itu! BUkankah aku sudah bilang bahwa tidak seharusnya kau berkata seperti itu?!”, Kei-chan menegur, memperingatkan. Tetapi aku tidak dapat berhenti.
“Tapi itu semua benar Kei-chan! Kalian tidak dapat menyangkalnya, bukan?! Aku yang seharusnya mati bukan Ayah! Seharusnya…”, *PLAKK!!*
Telingaku berdenging. Aku memegang pipiku yang terasa sakit dan panas. Aku tidak dapat meneruskan kalimatku. Aku dapat mendengar suara pekikan tertahan dari Ibu dan Kei-chan. Dia menamparku. Lily nee-chan menamparku. Sejenak hanya kebisuan yang mengisi ruangan ini, sampai sebuah suara yang asing terdengar dari luar ruangan.
“Dangsineun nuguseyo?!”, aku mendengar suara Lily nee-chan berbicara dengan bahasa yang tidak aku mengerti. Siapa di luar?
“Ai..rin?”, suara itu. Kenapa aku merasa kenal dengan suara itu?
“Luhan-san? Minseok-san? Kenapa kalian bisa berada di sini?”, sapa Kei-chan.
“Ah, kami..kami mendengar dari bibi Sanada kalau Airin jatuh sakit, jadi kami memutuskan untuk datang menjenguk”, jelas Minseok-san.
“Oh, begitu.. ah, perkenalkan. Ini Lillian Yamamoto, adikku. Kakak kembar dari Airin yang datang dari Korea. Lily, ini Luhan dan Minseok, tamu kita yang juga datang dari Korea.”, ujar Kei-chan mencoba menjelaskan.
“Aku tidak ingin bersalaman dengan orang yang menguping pembicaraan orang lain, siapapun itu”, ujar Lily nee-chan ketus kemudian dapat kudengar suara langkah kaki menjauh.
Sejenak hanya hening yang memenuhi ruangan kami. Tidak ada satupun yang mengeluarkan suara.
“Luhan-san, Minseok-san, mau menemaniku minum kopi di kafetaria bawah?”, tawar Kei-chan.
“Benar, pergilah. Aku rasa Ai juga masih sedikit tidak sehat dan butuh istirahat. Maaf ya Luhan-san, Minseok-san. Padahal kalian sudah datang jauh-jauh untuk menjenguk”, aku dapat mendengar suara Ibu meminta maaf.
“Tidak apa-apa, nyonya. Kami bisa kembali lagi nanti kalau Airin-san sudah lebih sehat. Maaf karena kami datang mendadak dan mengagetkan”, suara itu. Luhan-san.
Ah, benar. Aku belum meminta maaf atas kejadian kemarin.
“Ibu, aku akan mengajak mereka ke kafetaria untuk membeli kopi dan makanan untuk Ibu dan Airin. Ai, aku pergi dulu ya.”, ujar Kei-chan sambil mengecup keningku.
Aku dapat mendengar langkah kaki menjauh dan suara pintu yang menutup. Aku merebahkan tubuhku. Lelah. Aku tidak tahu bahwa emosi bisa menguras energiku seperti ini.
“Airin..”
“Ibu, aku lelah dan ingin istirahat. Bisakah kita bicara lagi besok?”, gumamku.
“Baiklah, sekarang tidurlah. Kau pasti lelah. Kalau ada apa-apa, bilang pada ibu ya”, ujar Ibu sambil menyelimutiku dan mengecup keningku. Seperti yang biasa dia lakukan setiap malam setelah aku tertidur.
Aku tidak menjawab. Lebih tepatnya aku tidak tahu harus berkata apa. Aku sadar sudah melakukan sebuah kesalahan yang sangat besar, membuka kembali luka lama yang memang belum kering dan menuangkan alkohol keatasnya. Perih.