Mobil melaju perlahan, meninggalkan tempat itu dan semua kenangan yang ada di sana. Meninggalkan pria itu disana. Astaga, apa yang sudah aku lakukan tadi? Bagaimana bisa aku membentaknya seperti itu, padahal aku sadar sekali bahwa itu semua bukan salahnya. Tetapi, membayangkan dirinya terluka karena aku membuatku takut. Hal itu membawa kembali semua kenangan di masa lalu yang selama ini terus menghantuiku. Tuhan, nafasku tiba-tiba sesak. Aku menurunkan kaca mobil, berharap udara segar bisa sedikit meringankan beban di dadaku.
“Tidak seharusnya kau marah seperti itu, Ai. Tidak seharusnya”, aku mendengar suara lirih Kei-chan memecah kebisuan kami.
Aku hanya diam. Membenarkan dalam hati. Tapi, sisi hatiku yan lain melawan semua itu, sisi hatiku memberontak. Kei-chan tidak tahu rasanya! Dia tidak tahu apa yang aku rasakan, tidak seharusnya dia memberitahukan apa yang boleh dan tidak boleh aku lakukan!
“Kau tahu bahwa Luhan dan Minseok adalah satu dari sedikit orang yang tidak mempermasalahkan keadaanmu, bukan? Mereka benar-benar ingin menjadi temanmu, bukan karena rasa penasaran atau ingin tahu saja. Kau tahu itu kan, Ai? Tidak seharusnya..”
“Nii-chan tidak tahu rasanya menjadi aku! Nii-chan tidak berhak menceramahi aku tentang itu! Nii-chan tidak pernah tahu bagaimana rasanya menjadi aku! Nii-chan tidak akan pernah mengerti ketakutanku!”, tanpa sadar aku memotong kalimat Kei-chan dengan ketus. Aku tidak pernah melakukan itu sebelumnya.
Keheningan kembali memenuhi mobil kami, hanya suara laju ban yang beradu dengan aspal memenuhi pendengaranku. Aku menutup kembali kaca mobil dan menyandarkan kepalaku. Keheningan ini menusuk. Aku tahu bahwa Kei-chan pasti terluka karena ulahku. Bodohnya aku, bagaimana bisa aku melakukan ini pada Kei-chan yang sudah begitu baik kepadaku? Bagaimana bisa kalimat kasar itu terucap kepada Kei-chan ku? Air mata mengalir dari kedua mataku, membasahi pipiku. Demi tuhan Airin, bagaimana mungkin kamu menjadi sebodoh ini?
“Kei-chan, maafkan aku. Aku tidak bermaksud..”, ujarku terbata.
“Aku tahu, aku yang salah. AKu tidak seharusnya menceramahimu karena kau benar, aku tidak tahu rasanya menjadi dirimu yang terus menerus berada dalam kegelapan”, Kei-chan memotong ucapanku.
Dari caranya berbicara aku tahu dia terluka. Aku tahu dia juga mengalami kesulitan yang sama sepertiku, malah mungkin lebih. Entah berapa banyak kesempatan yang harus dilepaskannya demi aku, demi keluarga kami. Terutama setelah Ayah tiada, Kei-chan harus memikul tanggung jawab yang sangat besar sejak kecil dulu. Kei-chan sudah harus memanggul beban yang berat di pundaknya demi kami semua. Kei-chan yang menjadi pengganti Ayah, bertanggung jawab atas keluarga kami, bertanggung jawab atas aku. Sungguh bodoh sekali, bagaimana mungkin aku membentaknya dan mengatakan dia tidak memahamiku. Seandainya ada orang di dunia ini yang mengerti keadaanku, mungkin satu-satunya orang adalah Kei-chan. Tuhan, apa yang sudah aku lakukan?
Aku merasakan kecepatan mobil berkurang kemudian berhenti sama sekali. Sepertinya kami sudah sampai. Beberapa saat aku mendengar Kei-chan sibuk mematikan mesin mobil dan membuka pintunya untuk turun. Aku membuka seatbeltku dan membuka pintu. Kurasakan tangan Kei-chan membantuku untuk turun.
“Aku harap kau sadar satu hal, Ai. Kau tidak bisa terus menerus mendorong semua orang yang mendekatimu untuk menjauh. Kau harus berhenti menyalahkan dirimu sendiri atas semua hal yang terjadi di masa lalu. Kau tahu bahwa kematian ayah dan kepergian Lillian tidak ada hubungannya denganmu. Itu semua bukan salahmu. Kematian ayah adalah takdir yang tidak bisa dihindari, sementara kepergian Lillian adalah keinginannya sendiri. Tidak ada yang menyalahkanmu. Tidak aku, tidak juga Ibu. Jadi berhentilah menyalahkan dirimu sendiri, berhentilah menghukum dirimu sendiri”, ucap Kei-chan sambil melingkarkan tangannya di tubuhku.
Air mata lagi-lagi mengalir dari mataku. Aku menunduk, mencegah Kei-chan atau siapapun untuk melihatnya. Walau aku sadar sepenuhnya bahwa Kei-chan tahu aku menangis. Tentu saja dia tahu. Kei-chan perlahan menuntunku naik hingga kamarku. Kei-chan mencium keningku dan mengucap selamat malam. Setelah Kei-chan pergi, aku menutup dan mengunci pintu kamarku. Aku jatuh terduduk di depan pintu dan terisak.
“Semua itu salahku, Kei-chan. Meskipun kalian berkata sebaliknya, aku tahu itu semua salahku. Meskipun kalian bilang tidak menyalahkanku, aku tahu itu semua terjadi karena aku”
Aku tidak mampu lagi menahan air mata yang terus menerus memaksa untuk keluar. Maka malam itu, aku hanya terduduk. Menangis. Membiarkan semua masa lalu itu satu persatu kembali menguasai pikiran dan perasaanku. Menenggelamkanku kedalam lubang penyesalan dan kesedihan.
*
Aku terbangun mendengar suara ketukan halus di pintu. Entah sejak kapan aku sudah berada di atas tempat tidurku. Mungkin semalam aku terlalu lelah menangis. Kurasakan mataku terasa sangat panas dan berat. Aku meletakkan telapak tanganku ke dahi. Panas. Sepertinya aku sakit. Haha, sungguh hanya bisa merepotkan saja. Batinku berbisik lirih.
“Airin? Kau sudah bangun sayang?”, kudengar suara Ibu dari balik pintu.
Aku tidak kuasa membuka mulutku untuk berbicara. Tubuhku terasa sangat berat untuk beranjak dari sini. Aku hanya bisa terdiam. Kurasakan nafasku yang hangat. Aku mencoba untuk menggerakkan tubuhku, menggapai udara. Ibu, aku sudah terbangun tetapi entah kenapa aku tidak bisa bergerak, aku membatin.
“Ai sayang, tolong katakanlah sesuatu, nak”, kudengar suara Ibu lagi.
“Ada apa nyonya? Apakah nona Airin belum terbangun?”, ah, kurasa itu suara bibi Sanada.
“Entahlah, Sanada-san. Sejak semalam Airin tidak keluar dari kamarnya, dia bahkan tidak makan malam. Sekarang sudah sesiang ini dia belum juga bangun. Pintunya pun terkunci, tidak biasanya dia seperti ini. Aku khawatir sekali Sanada-san, tolong panggilkan Kei ya?”
Aku masih berusaha membuka mulutku untuk menjawab panggilannya, namun tidak ada suara yang keluar. Akupun berusaha menggerakkan tubuhku untuk beranjak dari tempat tidur agar dapat membuka pintu. Ugh, kenapa berat sekali?!
“Ibu, ada apa? Dimana Airin?!”, kudengar suara Kei-chan
“Entahlah, sedari tadi ibu ketuk dia tidak menjawab. Bagaimana kalau terjadi sesuatu?” ,kudengar Ibu semakin panik.
“Bibi, tolong ambilkan kunci cadangan untuk kamar Airin. Cepat ya bi!”, derap langkah terdengar menjauh.
Aku mencoba untuk menggerakkan tubuhku lagi. Berhasil! Aku berhasil membalikkan tubuhku. Sekarang aku tinggal menurunkan kakiku, duduk, kemudian berdiri dan berjalan kea rah pintu. Kau pasti bisa Airin! Ayolah!
Namun, yang terjadi adalah kebalikannya. Aku terjatuh dengan suara yang sangat keras. Sepertinya kepalaku membentur lantai. Sakit sekali. Tepat saat itu terdengar suara pintu dibuka dengan paksa. Sayup-sayup kudengar suara seseorang memanggil-manggil namaku. Siapa? Entahlah. Aku sudah tidak bisa mendengar dan merasakan apa-apa lagi.
*
‘Ayah, ayah cepatlah. Aku ingin sekali bermain di pantai! Ayah ayo cepat!’, Airin kecil berlari-lari sambil menarik tangan ayahnya.
‘Iya iya sebentar. Kita harus menunggu kakakmu dahulu. Tadi kan Kei-chan dan Lily-chan bilang juga ingin melihat matahari terbenam’, ayahnya menjelaskan dengan penuh kesabaran.
‘Ah, ayo cepat ayah! Aku kan tidak sabar ingin bermain di dalam air! Ayah kan sudah berjanji akan menemaniku!’, Airin kecil masih menarik-narik tangan ayahnya. Tidak sabar.
‘Iya, ayah janji akan menemanimu, tetapi kita tetap harus menunggu kakak-kakakmu yang sedang berganti pakaian. Lihat, itu dia mereka. Ai tunggu disini sebentar ya, Ayah akan meletakkan kamera ayah di sana bersama ibu kemudian kita semua akan bermain di dalam air.’
Ai kecil hanya memasang wajah protesnya, memajukan bibir dan membulatkan matanya yang besar. Ayahnya hanya tersenyum dan mengacak-acak rambutnya kemudian berlari-lari menuju tempat Ibu dan barang-barang mereka diletakkan. Airin dapat melihat ayahnya yang sedang berbicara kepada Ibunya, mesra. Ai kecil yang tidak sabar memutuskan untuk bermain sendiri ke dalam air, merasa tidak ada yang salah dengan itu semua. Namun, yang tidak diketahui oleh Ai kecil adalah ombak selalu datang bergelung-gelung tanpa memberikan tanda terlebih dahulu. Ai kecil terseret oleh ombak, tenggelam. Menggapai-gapai, berteriak minta tolong. Memanggil-manggil nama ayah dan ibunya.
Seluruh mata tertuju kepada Airin yang sudah nyaris tenggelam sepenuhnya. Ayahnya berlari kencang, melemparkan kamera yang masih dipegangnya. Jeritan Ibu dan kakak-kakaknya terdengar memenuhi udara. Sore hari yang indah itu berubah menjadi sebuah kenangan yang tragis. Saat tengah membawa Airin menuju tepian, sebuah gelombang yang cukup besar menghantam kembali. Menghempaskan Airin dan ayahnya ke sebuah batu karang yang berdiri tegak menjulang. Untungnya, ayahnya sempat mendekap Airin dalam pelukannya, menyelamatkan Airin dari benturan keras. Namun, nasib berkata lain kepada ayah Airin. Kepalanya terbentur dan tidak pernah sadarkan diri.
Suara jeritan dan tangisan memenuhi sore itu. 27 detik. Hanya 27 detik yang dibutuhkan lautan untuk mengambil semua kebahagian yang dimiliki oleh keluarga Yamamoto. Dan matahari yang tenggelam sempurna seolah menenggelamkan pula seluruh warna yang mengisi hari-hari Airin. Karena keesokan harinya ketika Airin terbangun, hanya kegelapan dan suara isak tangis Ibunya yang menyambutnya.
*
Aku dapat merasakan aroma yang sangat menusuk memenuhi indera penciumanku. Aroma ini, aku sangat mengenal aroma ini, juga sangat membencinya. Samar-samar aku mendengar suara jarum jam yang berputar. Aku membuka mataku. Gelap. Memangnya kau berharap apa, Airin? Ada keajaiban yang membuatmu bisa melihat kembali? Aku merasakan pusing dan sakit yang teramat sangat. Aku mengangkat sebelah tanganku dan mencoba meraba kepalaku. Kurasakan perban yang membalut dengan kencang. Aku juga dapat merasakan selang yang mengganjal di tangan kiriku. Rupanya aku memang benar berada di tempat ini lagi, pikirku.
Aku mencoba untuk duduk, namun pusing yang teramat sangat membuatku membatalkan niatan itu. Pukul berapa sekarang? Kemana perginya semua orang? Aku mencoba untuk berkonsentrasi dan menajamkan pendengaranku. Aku dapat mendengar suara Ibu dan Kei berbisik di luar ruangan. Sepertinya mereka tengah berbicara dengan orang lain. Siapa?
“Jadi, apakah dia akan baik-baik saja sensei?”, aku mendengar suara Ibu yang khawatir. Ternyata Ibu tengah berbicara dengan dokter.
“Dia akan baik-baik saja, Nyonya. Sepertinya Airin hanya demam tinggi karena terlalu lelah. Dia hanya butuh istirahat yang cukup, dalam 2 atau 3 hari dia akan pulih seperti sedia kala”, jawab dokter itu.
“Bagaimana dengan kepalanya? Apakah tidak akan ada sesuatu yang buruk yang terjadi?”, tanya Kei-chan. Menuntut.
“Kepalanya akan baik-baik saja. Tidak ada kerusakan pada otaknya. Hasil scan juga menunjukkan bahwa tidak ada keretakan atau apapun yang perlu dicemaskan. Airin tidak sadarkan diri karena panas tubuhnya yang terlalu tinggi ditambah dengan shock akibat terjatuh, bukan karena gangguan pada otaknya. Jadi, kalian tidak perlu cemas. Kalau ada masalah atau pertanyaan, jangan segan-segan untuk menemuiku lagi.”, jelas dokter itu lagi.
Aku dapat mendengar Kei-chan dan Ibu berterima kasih kepada orang tersebut, kemudian ada suara langkah yang menjauh. Tidak lama, terdengar suara pintu yang dibuka. Aku kembali memejamkan mata, berpura-pura tidur. Aku dapat mendengar suara langkah kaki yang mendekat kemudian berhenti tepat disampingku. Orang itu hanya terdiam, entah apa yang dilakukannya. Ibu kah? Atau Kei-chan?
“Aku akan pulang ke rumah sebentar, mengambil beberapa barang milik Airin dan yang akan kami butuhkan selama dia harus menginap disini. Apakah tidak masalah kalau kau menungguinya hingga dia tersadar? Aku akan kembali dalam satu jam, ah, secepat yang aku bisa”, aku mendengar suara Kei-chan dari arah pintu.
Aku tidak mendengar jawaban dari orang yang berdiri di sisi tempat tidurku. Mungkin ini Ibu. Tetapi kenapa Kei-chan berbicara dengan Ibu seperti itu? Hei, tunggu, aku dapat mendengar suara Ibu dan Kei-chan sayup-sayup di kejauhan. Lantas, siapa orang yang tengah berdiri di sisiku ini?!
Aku dapat merasakan sepasang tangan meraih tanganku. Dia menggenggamnya. Tidak terlalu kuat, namun genggaman itu membuatku merasa nyaman. Dan hangat. Aku merasa seolah mengenal genggaman ini, merindukannya teramat sangat. Aku merasakan sesuatu mendekat, kemudian sebuah ciuman mendarat di keningku. Dia menempelkan keningnya ke keningku kemudian dia berbicara dengan bahasa yang tidak dapat aku mengerti. Tunggu, suara ini?! Aku mengenali suara ini! Apa mungkin dia... ?