home_icon
SIGN IN
SIGN UP
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
LOUNGE
HOW IT WORKS
HOW TO BE DFF OF THE WEEK
TERMS OF USE
CONTACT US
  • Latest
  • Most Viewed
  • Most Loved
  • A-Z
  • My Fanfiction
  • My Subscriptions
  • My Subscribers
  • Create New Fanfiction
Fan Fiction > I See You (ISY)

I See You (ISY)

Share:
Author : aikishi
Published : 09 Sep 2014, Updated : 18 Nov 2015
Cast : Airin, Luhan, Kei, and others
Tags :
Status : Ongoing
2 Subscribes |6703 Views |4 Loves
I See You (ISY)
CHAPTER 3 : Knowing Her (Luhan POV)

“Luhan-san, kalau mau mendekati Airin-ku, lebih baik kamu menyiapkan tenaga dan kesabaran yang ekstra, karena Airin-ku ini sangat mudah merajuk lho!”, Kei-san menoleh ke arahku sambil mengedipkan matanya.

Aku hanya bisa terdiam dengan wajah memerah menahan malu. Minseok yang berdiri di sebelahku sudah tertawa dengan lantang sambil memegangi perutnya. Aku hanya menganggukkan kepalaku kearah Kei-san yang berjalan menjauh sambil menuntun Airin. Sekilas aku melihat pipi Airin yang juga memerah, entah karena apa. Semoga saja dia tidak marah kepadaku.

Busted! Perasaanmu sudah ketahuan oleh kakak gadis itu, dia bahkan memberikan restunya. Astaga Luhan, aku tidak pernah melihatmu sampai terdiam seperti ini!Hahahaha..”, Minseok masih saja mentertawakanku.

Aku hanya bisa melampiaskan rasa kesalku dengan memukul lengannya. Setelah membalas pukulanku, dia berjalan pergi. Aku baru akan meninggalkan tempat itu ketika tidak sengaja aku melihat kea rah beranda yang ada di lantai dua. Gadis itu duduk di sana dengan sebuah boneka di pelukannya. Gadis itu menutup kedua belah matanya, seperti tengah tertidur. Namun kemudian kulihat bibirnya menyunggingkan sebuah senyum. Dia membenamkan wajahnya di boneka yang ada di pelukannya. Aku meraih ponsel yang ada di sakuku kemudian mengabadikan momen itu. Aku sempat mengambil beberapa foto sampai sebuah suara mengagetkanku.

“Airin paling tidak suka di foto, kau tahu?”

Aku menoleh dan mendapati Kei-san sudah berdiri di belakangku. Aku merasa canggung karena tertangkap basah sedang memata-matai adiknya. Terburu-buru aku memasukkan ponselku ke dalam saku kembali.

“Maaf. Hanya saja aku….”, aku tergagap, tidak tahu harus bicara apa.

Kei-san hanya tersenyum dan berdiri menyejajariku, melihat kea rah adiknya. Dari matanya, aku tahu dia sangat mencintai Airin. Ada kehangatan yang terpancar dari tatapannya. Namun, disisi lain, aku juga melihat kesedihan. Kenapa?

“Kei-san, bolehkah aku bertanya sesuatu?”

“Tentu saja, Luhan-san. Ada apa?”

“Boleh aku kenapa Airin begitu menyukai matahari terbenam?”

“Entahlah, mungkin dia menyukai suasananya? Kehangatan sinar matahari sebelum masuk ke peraduan dan semilir angin”, jawab Kei-san.

“Kalau memang begitu, lantas kenapa Airin selalu terlihat sedih ketika tengah menikmatinya?”, tanyaku lagi.

Aku dapat melihat Kei-san tersentak. Kei-san menarik nafas panjang. Dari raut wajahnya, aku merasa bahwa ada sebuah beban berat yang tengah ditanggungnya. Seolah pertanyaanku mengingatkannya pada sesuatu yang menyakitkan di masa lalu, entah apa.

“Maaf, Luhan-san. Hanya saja, ini adalah cerita milik Airin, aku merasa tidak punya hak untuk menceritakannya kepadamu. Mungkin, kau bisa mencoba menanyakannya kepada Airin secara langsung.”, Kei-san akhirnya membuka mulutnya.

Aku mengangguk. Mengerti. Aku tidak bisa memaksa Kei-san untuk bercerita tentang sesuatu yang tidak dia inginkan. Apapun itu, aku rasa Kei-san pasti memiliki sesuatu di masa lalu yang hingga kini masih memberatkannya, yang tidak mau –atau tidak bisa- dia ceritakan kepada siapapun. Aku hanya menepuk pundaknya perlahan, menguatkan. Kei-san menoleh kepadaku, berterima kasih. Aku kemudian meninggalkan Kei-san yang masih berdiri sambil menatap Airin. Otakku dipenuhi dengan berbagai pertanyaan yang kurasa tidak akan aku dapatkan jawabannya dalam waktu dekat.

***

“Luhan-ssi! Hei, Luhan-ssi!”, suara seseorang menyadarkanku dari lamunanku.

“Ada apa? Maaf tadi aku tidak mendengarmu noona”, jawabku.

“Sudah giliranmu untuk foto. Sana, yang lain sudah menunggu di pantai.”, ujar Song noona.

Aku beranjak dari tempat dudukku menuju lokasi pemotretan. Aku melihat beberapa rekanku sudah berkumpul di pinggir pantai, begitu juga dengan Minseok. Aku bergegas menghampiri, sebelum fotografer kami mengamuk karena aku datang terlambat. Setelah briefing ulang mengenai konsep yang diusung pada pemotretan hari ini, satu persatu kami mulai mempersiapkan diri kembali. Beberapa orang menghampiriku untuk merapikan make-up dan pakaian yang aku kenakan. Tidak lama, aku sudah berada di bawah kilatan lampu dan bunyi shutter yang saling menyusul satu sama lain.

Untuk project kali ini, seorang fotografer yang sangat aku kagumi memang memintaku untuk menjadi modelnya. Sebenarnya, aku tidak terlalu suka menjadi objek di depan lensa kamera. Aku lebih suka menjadi orang yang berada di baliknya, memandang sebuah objek melalui viewfinder, mencari sudut yang bisa mengeksplore keindahan sebuah objek semaksimal mungkin. Namun, karena ini adalah permintaan khusus dari orang yang sangat berarti bagi karirku, aku tidak bisa berkata tidak. Meskipun begitu, bukan berarti lantas aku mengambil pekerjaan ini dengan terpaksa. Aku tidak pernah main-main dengan pekerjaanku, dan aku akan selalu melakukan yang terbaik yang bisa aku lakukan.

Untungnya, pekerjaan kali ini aku tidak bekerja sendiri. Aku bekerja bersama dengan beberapa orang lainnya, termasuk sahabatku Minseok, yang sekaligus merupakan seorang model yang cukup dikenal di Asia, ikut ambil andil dalam project ini. Setidaknya, aku tidak akan merasa canggung karena dia mengajariku berbagai triknya. Ditambah lagi, karena terbiasa mengambil foto aku jadi sedikit tahu bagaimana agar terlihat baik di foto. Sejauh ini, tidak pernah ada kendala dalam pemotretan ini.

“Luhan, Minseok, sekarang masuklah kedalam air. Kalian tidak masalah kan, sedikit basah?”

Aku dan Minseok hanya berpandangan kemudian mengangkat bahu. Aku mengeluarkan barang-barang yang ada di sakuku dan menitipkannya pada Song noona. Song noona kemudian meletakkannya di atas meja, bersama dengan benda-benda lain milik semua crew yang ada disana. Setelah memastikan semua sakuku sudah kosong, aku kembali menjalani pemotretan yang cukup, ah, sangat melelahkan ini. Ah, aku rindu berada di balik lensa, setidaknya aku tidak harus berbasah-basahan.

***

Pemotretan untuk menerbitkan sebuah kumpulan foto memang tidak pernah mudah, dan tidak pernah memakan waktu yang sedikit. Apalagi, Lee sonsaengnim adalah seorang fotografer yang perfectionis. Beliau tidak pernah mau ada kesalahan dalam setiap karyanya. Oleh karena itu, beliau selalu melakukan monitoring sebelum berkata cukup untuk setiap foto. Dan beliau sangat sulit merasa puas, harus benar-benar sempurna barulah beliau mau berhenti. Setelah berada di dalam air selama dua jam, barulah akhirnya Lee sonsaeng merasa puas dan mengizinkan kami untuk keluar.

“Ini, handuknya. Astaga kalian terlihat seperti dua ekor itik yang baru saja tenggelam”, Song noona terkikik melihat penampilanku dan Minseok yang jauh dari kata rapi.

Aku dan Minseok hanya tertawa menanggapi gurauannya sambil berlalu. Setelah mengucapkan terima kasih kepada semua orang aku berjalan menuju tenda yang sengaja disediakan untuk model berganti pakaian. Aku melirik kea rah cermin besar yang ada di sana kemudian menghela nafas panjang. Astaga, apa sih yang dipikirkan Lee sonsaengnim sampai harus membuatku terlihat seperti ini? Rambut yang basah, baju kemeja putih polosku menempel ketat hingga memperlihatkan lekuk-lekuk tubuhku, sementara celana jeansku yang basah dan berat juga bergeser beberapa senti dari tempat seharusnya. Padahal tubuhku jauh dari kata ideal, berbeda dengan Minseok yang memang memiliki perut sixpack hasil latihannya yang ketat di gym meskipun wajahnya sangat imut hampir seperti perempuan. Well, wajahku juga sering dikatakan cantik sih, tetapi aku anggap saja itu pujian.

Setelah membasuh tubuhku dengan air bersih dan mengganti pakaianku dengan yang kering, barulah aku keluar dari tenda untuk menemui Lee sonsaengnim dan kru yang lainnya. Setelah briefing singkat kami bersiap- siap untuk kembali ke penginapan. Saat kami berjalan menuju van yang akan membawa kami kembali saat itulah aku melihat Airin dan Kei, berjalan bersisian menuju tepi pantai. Airin terlihat melingkarkan lengannya di lengan Kei. Langkahku terhenti, menimbang-nimbang. Haruskah aku menyapa mereka? Setelah beberapa saat aku memutuskan untuk menghampiri mereka.

“Luhan-ssi, mau kemana?”, suara Lee sonsaengnim menahan langkahku yang akan menghampiri Airin dan Kei.

“Ah, aku ingin menyapa kenalanku. Nanti mungkin aku akan menyusul ke penginapan.”, jawabku.

Minseok yang kebetulan berjalan bersisian dengan Lee sonsaengnim melihat kea rah yang aku tuju kemudian tersenyum jahil. Kemudian dia membisikkan sesuatu ke telinga lee sonsaengnim yang membuatnya tertawa. Aku hanya menatap tidak mengerti.

“Hahaha, dasar anak muda. Ya sudah Luhan, pergilah. Jangan lupa kembali untuk makan malam bersama”, ujar Lee sonsaengnim sambil menepuk bahuku dan berlalu. Aku hanya bisa terdiam menunduk.

“Yah! Apa yang kau katakan pada Lee sonsaengnim??”, Tanyaku pada Minseok yang entah kenapa tetap tinggal meskipun van kami sudah akan pergi.

“Aku hanya bilang bahwa aku akan tinggal menemanimu dan memastikan kau tidak menggoda gadis-gadis penduduk sekitar karena kau sedang ingin mencari pasangan hidup” ujarnya sambil tertawa lepas.

Aku hanya bisa terdiam dan kemudian memukul pelan lengannya. Dia dengan santainya tertawa sambil berlari kecil menghampiri Kei. Mau tidak mau aku hanya bisa berlari kecil mengikutinya. Minseok yang sudah lebih dahulu menghampiri Kei dan Airin dengan santainya menepuk bahu Kei dan menunjuk-nunjuk ke arahku. Kei hanya tersenyum simpul sambil melambaikan tangannya. Aku tersenyum dan membalas lambaian tangannya.

“Hei, rupanya kalian juga disini?”, tanyanya begitu aku menghampirinya.

“Begitulah” jawabku sambil tersenyum.

“Apakah kalian masih ada pekerjaan?”, tanya Kei lagi.

“Tidak, seluruh kru kami sudah kembali ke penginapan. Tapi Romeo ini kemudian memaksaku menemaninya untuk menemui Julietnya.”, jawab Minseok sambil mengerling ke arahku. Mereka berdua tertawa sementara aku hanya bisa tersenyum kecut.

“Aku tidak memaksamu menemaniku!”, aku mencoba menyangkal.

“Hei, dengar! Dia bahkan tidak menyangkal disebut Romeo dan Juliet. Lantas, apakah aku pangeran kerajaan juga??”, Kei kembali menggodaku. Lagi-lagi aku hanya bisa terdiam sambil melotot kearah Minseok.

“Hei, aku hanya bercanda teman. Lagipula, Kei-san saja tidak marah kok.”

“Sana, temani Airin. Biar aku mengajak Minseok mencari Juliet untuknya, siapa tahu ada beberapa gadis disini yang tertarik padanya.”, Kei menepuk pundakku kemudian mengajak Minseok berlalu.

Aku hanya menunduk dan mengangguk. Setelah mereka berlalu barulah aku berjalan kea rah Airin, menghampirinya yang sedang berdiri diam sendiri sambil memejamkan matanya. Sejenak aku ragu, haruskah aku menegurnya atau membiarkannya tenggelam dalam kesendirian? Sepertinya dia menikmati kesendirian, menikmati suara debur ombak yang bertemu dengan tepi pantai, menikmati semilir angin yang menerbangkan rambutnya yang panjang terurai, menikmati hangatnya sinar matahari yang sedang akan tenggelam di peraduan. Ah, seanadainya saja saat ini aku memegang kameraku. Tanpa sadar aku menghela nafas panjang.

“Apa yang ada di pikiranmu, Luhan-san, sampai menghela nafas seperti itu?”, tegur Airin secara tiba-tiba. Sejujurnya aku sedikit terkejut, ternyata dia mau menegurku lebih dahulu. Dan, bagaimana dia tahu bahwa aku yang berdiri disini?

“Hei, aku memang tidak bisa melihat, tapi aku masih bisa mendengar dengan jelas percakapan kalian daritadi, jadi tentu saja aku tahu kalau itu kau”, ternyata tanpa sadar aku menyuarakan pertanyaanku.

“Tidak, aku hanya menyayangkan saja disaat seperti ini aku tidak membawa kameraku. Kau pasti akan terlihat sangat cantik dengan latar belakang matahari terbenam.”, jawabku.

Sekejap aku merasa senyum Airin memudar dari wajahnya, berganti dengan kesedihan? Entahlah, yang jelas ada sesuatu yang mengusik Airin. Dan aku rasa sesuatu itu adalah pernyataanku.

“maaf, Luhan-san, tetapi aku tidak begitu suka di foto. Lagipula, aku tidak cantik, jadi kau tidak perlu memujiku seperti itu”, jawab Airin kemudian dengan suara yang sangat sendu.

Untuk beberapa saat kami hanya bisa terdiam dan terhanyut dalam kesunyian. Tidak ada satupun di antara kami yang membuka percakapan. Aku hanya dapat menatap wajah Airin lekat-lekat, sementara Airin menundukkan wajah dan memejamkan matanya. Tidak ada lagi senyum di wajahnya. Wajahnya terlihat mendung, dan lelah. Seolah ada sesuatu yang berat yang tengah dia fikirkan. Tiba-tiba Airin menghela nafas panjang dan mengangkat kepalanya. Seulas senyum tipis yang terkesan dipaksakan terlukis di wajahnya. Dia mengalihkan wajahnya kepadaku dan tersenyum.

“Sepertinya aku sedikit lelah hari ini, jadi aku akan kembali ke penginapan sekarang. Sampai bertemu lagi, Luhan-san”, ujarnya lantas membalikkan tubuhnya. Tergesa-gesa berjalan menjauh dariku hingga dirinya kehilangan keseimbangan.

Tanpa kusadari, secara refleks aku meraih lengan Airin dan menarikknya. Namun rupanya aku menggunakan terlalu banyak tenaga hingga kami kehilangan keseimbangan dan limbung. Untungnya, aku sempat meraihnya ke dalam pelukanku, sehingga dia tidak langsung jatuh ketanah. Kami terjatuh bersama, dan aku menjadi bantalannya.  Sejenak, waktu seolah terhenti. Aku dapat mencium aroma yang menguar dari tubuhnya, seperti taman bunga. Aku mendekap Airin dalam pelukanku, menenggelamkan diri dalam aroma rambutnya yang sangat wangi. Dapat kurasakan tubuh Airin menegang, mengembalikanku kepada kesadaran. Segera kulepaskan pelukanku dari tubuhnya. Aku dapat melihat wajah Airin memerah, entah karena malu atau marah. Dia bergegas berdiri secepat yang dia bisa.

“Luhan-san, kau baik-baik saja? Ada yang terluka? Apakah tubuhmu baik-baik saja?”, tanyanya dengan nada yang sangat cemas.

“Aku baik-baik saja. Maaf, aku benar-benar tidak sengaja. Tadi kau hampir terjatuh, jadi tanpa sadar..”, aku bingung harus berkata apa.

Airin hanya terdiam, menyilangkan tangan didepan tubuhnya. Aku dapat melihat tubuhnya sedikit bergetar. Kuharap dia tidak membenciku. Sudut mataku dapat menangkap sosok Kei-san dan Minseok memandangi kami dari kejauhan. Kei-san terlihat akan berlari menghampiri kami, namun tangan Minseok menahannya. Aku tahu Minseok sedang memberiku kesempatan untuk berbicara dengan Airin.

“Ai-chan, maafkan, aku benar-benar tidak bermaksud buruk. Aku hanya..”, ujarku lagi.

“Aku tahu. Tapi tolong, jangan pernah lagi menyentuhku lain waktu. Bahkan, jangan berbuat baik kepadaku. Jangan mendekatiku. Tolong, menjauhlah dariku. Anggap saja kita tidak pernah bertemu. Tolong..”, ujarnya lantas berbalik pergi.

Aku melihat Kei-san dan Minseok berjalan mendekati kami. Aku masih tidak mengerti, mengapa Airin tiba-tiba memintaku menjauhinya? Mengapa dia tiba-tiba membenciku?

“Ai-chan? Apa salahku? Mengapa tiba-tiba kau membenciku?”, tanyaku secara lantang.

Aku dapat melihat Airin menghentikan langkahnya. Aku berjalan mendekatinya dan berdiri di hadapannya, menunggu jawaban. Saat itu, Kei-san dan Minseok sudah berada di sisi kami. Kei-san meraih tangan Airin dan menariknya dalam rengkuhannya. Mengajak Airin untuk kembali berjalan. Aku meraih pundak Airin, menahannya. Kei-san menatapku dengan wajah yang tidak dapat aku artikan. Sementara Minseok berusaha menghentikanku dengan menarik sebelah tanganku.

“Kau belum menjawab pertanyaanku. Kenapa kau membenciku? Apa karena aku tadi memelukmu? Kau tahu bahwa itu semua tidak sengaja, aku hanya berusaha melindungimu dari..”

“BERHENTI MENCOBA MENDEKATIKU!”, aku, Minseok, dan Kei-san tersentak mendengar suara lantang yang keluar dari bibir mungil Airin.

“Berhenti mencoba mendekatiku. Berhenti mencoba melindungiku. Aku mohon. Aku tidak ingin ada orang lain yang harus terluka karena aku. Aku mohon mengertilah, Luhan-san”, aku dapat melihat air mata mengalir di pipi Airin. Aku diam membisu. Begitu pula dengan Minseok dan Kei-san.

Airin kemudian menepis tanganku yang ada di pundaknya dan merangkulkan tangannya ke tubuh Kei-san. Menuntut untuk dibawa pulang. Aku hanya dapat menyaksikan mereka berjalan menjauh. Saat hendak menghampiri, Minseok menahanku. Aku memberikan peringatan kepada Minseok untuk melepaskanku dengan tatapan tajam. Namun, dia tetap menahanku untuk menghampiri Airin dan Kei hingga mereka masuk ke dalam mobil dan berlalu.

“Kenapa?!”, tanyaku frustasi kepada Minseok.

“Tidak bisakah kau melihat bahwa Airin dan Kei-san tadi terlihat sangat terpukul?! Berhentilah egois dan biarkan mereka sendiri!”, ujar Minseok.

Aku terdiam dan tersadar. Dia benar. Entah apapun maksud dari kalimat Airin, aku yakin ini semua pasti ada penjelasannya. Mungkin, aku harus bersabar untuk mendapatkan jawabannya.

“Sudahlah, kawan. Toh, kita masih punya cukup banyak waktu disini. Aku yakin kau pasti akan mendapatkan penjelasan atas sikap Airin. Lagipula, ada hal lain yang lebih mendesak.” Ujar Minseok. Aku menoleh, memandangnya tidak mengerti.

“Semua orang sudah kembali ke penginapan,lantas kita harus naik apa untuk kembali kesana? Kau lupa? Ponsel kita kan masih dititipkan kepada Song noona. Jadi, bagaimana kita menghubungi mereka agar dijemput?”

“Entahlah. Mungkin kita bisa sedikit berolahraga. Lagipula, tidak terlalu jauh bukan jarak dari sini ke penginapan?”

“Tidak. Hanya sekitar 15 menit mengendarai mobil. Melalui jalanan yang berliuk-liuk dan minim penerangan.”, jawab Minseok sarkastik.

Aku mengencangkan tali sepatuku kemudian menepuk pundak Minseok.

“kalau begitu kita harus bergegas, atau kita akan ketinggalan makan malam”, ujarku sambil berjalan menjauh.

POPULAR FANFICTION

BERITA PILIHAN

COPYRIGHT 2024 DREAMERS.ID PUBLISHED BY DREAMERS NETWORK