Aku terbangun oleh dering alarm ponsel yang selalu aku letakkan di nakas di sisi tempat tidurku. Sayup-sayup aku mendengar suara Ibu memberi perintah kepada para pekerja di resort milik kami. Pasti ibu akan sangat sibuk menyiapkan sarapan pagi untuk rombongan turis dari Korea kemarin. Aku beranjak dari tempat tidurku dan bersiap memulai rutinitas pagiku. Saat tengah membereskan tempat tidurku, aku mendengar ketuk halus di pintu. Pasti itu bibi Sanada, pengasuhku sejak kecil.
“Masuklah bi, pintunya tidak terkunci”, ujarku sambil berusaha melipat selimutku.
“Nona sudah terbangun rupanya. Sini, biar bibi saja yang merapikan. Nona bisa langsung mandi dan berbenah diri. Ini bibi sudah membawakan handuknya. Biar nanti bibi siapkan baju ganti dan perlengkapan yang lain”, ujar bibi Sanada sambil meraih selimut yang masih aku pegang.
Aku membiarkan bibi Sanada mengambil alih dan meraih handuk yang dibawanya. Aku berjalan menuju kamar mandi yang memang berada di dalam kamarku. Aku membersihkan diriku sambil bersenandung. Tetes demi tetes air membasahi tubuhku. Membersihkan tiap lekuk tubuhku. Aku meraih shampoo dan sabun yang memang selalu berada di tempat yang sama sejak bertahun-tahun yang lalu. Aku sudah sangat terbiasa dengan hal ini. Ini sudah menjadi rutinitasku sejak bertahun-tahun yang lalu. Aku tidak tahu dengan orang lain, namun bagiku ini bukanlah hal yang sulit. Selesai membersihkan diri dan mengeringkan diri dengan handuk, aku berjalan keluar dari kamar mandi menuju lemari pakaianku.
“Nona, pakaian hari ini sudah bibi siapkan. Nyonya bilang kita akan makan bersama dengan rombongan tamu, jadi nyonya meminta bibi untuk menyiapkan nona pakaian hari ini. Sudah bibi letakkan di atas meja rias”
Aku menoleh kea rah suara bibi Sanada berasal dan menyunggingkan senyum terima kasih. Aku berjalan menuju meja yang dimaksud oleh bibi sanada dan meraba pakaian yang sudah diletakkan di atas meja. Aku mulai mengenakan satu persatu pakaian tersebut. Merapikan tiap lekukannya, kemudian menyemprotkan sedikit parfum kesukaanku.
“Bibi, apakah sudah rapi?”, tanyaku pada bibi Sanada.
“Sudah, nona. Seperti biasa, nona terlihat sangat cantik mengenakan gaun itu. Warna putih memang sangat cocok dengan nona.”, jawab bibi sanada.
“bibi, boleh aku meminta bantuan bibi merapikan rambutku?”, tanyaku sambil meraih sisir.
“Tentu saja, nona. Duduklah disitu, bibi merapikan ini sebentar”
Aku duduk di kursi yang ada di hadapanku. Tidak lama, aku mendengar langkah kaki bibi Sanada mendekat dan mulai merapikan rambut panjangku. Tidak berlebihan, bibi sanada hanya menyisir rambut hitam panjangku, kemudian memasangkan sebuah bandana di kepalaku. Setelah itu, bibi sanada juga memakaikan bedak dan sedikit pewarna bibir. Bagiku, bibi sanada sudah seperti orangtuaku sendiri. Beliau sudah mengurusku dan Kei-chan sejak kami masih kecil.
“Sudah nona. Bibi memakaikan bandana berwarna putih dan sedikit make up. Tapi tenang saja, tidak berlebihan kok. Lagipula, nona memang sudah cantik tanpa make up. Sempurna”, ujar bibi sanada.
“Bibi pintar memuji. Terimakasih bibi, aku yakin bibi pasti jauh lebih cantik.”, ucapku seraya tersenyum.
Bibi sanada mengelus rambutku penuh sayang. Aku tahu, bibi sanada saat ini pasti tengah menahan tangis harunya, seperti hari-hari sebelumnya. Aku memang tidak bisa melihatnya mengusap airmata haru, namun aku bisa merasakan perbedaan gesture tubuhnya ketika dia mengelus rambutku. Aku tahu dia terharu. Aku tahu dia teramat menyanyangiku.
“Baiklah, kalau sudah selesai, bibi mau turun dahulu membantu menyiapkan sarapan lagi. Sebentar lagi tuan Kei akan menjemput nona untuk turun ke aula. Bibi harus memastikan semuanya sudah siap”, ujar bibi Sanada sambil mencium keningku. Aku menganggukkan kepala sebagai jawabannya.
Aku mendengar langkah kaki bibi Sanada menjauh dan suara pintu yang tertutup kembali. Aku berjalan menuju beranda dan duduk di ayunan berbentuk seperti cngkang telur yang diletakkan Ibu disana. Aku merasakan hangatnya sinar matahari menerpa wajahku. Menikmati semilir angin meniup helai rambutku. Selamat pagi, hari yang lain.
***
“Hei, sudah siap rupanya?” kudengar suara Kei-chan sudah berada di sisiku.
“Tentu saja! Kei-chan terlambat!”, jawabku sambil berpura-pura marah.
Kei hanya tertawa dan megacak-acak rambutku, seperti biasa. Dia meraih tanganku dan menuntunku turun ke aula. Aku mendengar sayup-sayup orang berbicara di aula. Aku menggenggam lengan Kei lebih kencang. Harus kuakui, menemui orang-orang baru bukanlah hal yang mudah bagiku. Kadang, aku lelah menjawab berbagai pertanyaan terkait dengan keadaanku. Adang, orang-orang terlalu ingin tahu bagaimana rasanya menjadi aku. Mengapa? Tidak bisakah mereka sekadar mensyukuri kehidupan yang mereka miliki saja dan tidak usah mengusikku. Aku tidak bisa melihat, aku berbeda, lantas kenapa?
Kei sangat mengerti kegundahan yang selalu aku rasakan ketika harus menemui setiap tamu di resort ini. Kei tahu ketidak nyamananku ketika mereka mulai mengajukan pertanyaan default seperti: sejak kapan? Mengapa? Sudah mencoba ke dokter ternama? Aku lelah harus menghadapi itu semua. Kei tahu itu. Untuk itulah dia selalu ada di dekatku. Sebagai pelindung dan pengalih perhatian. Keberadaan Kei sangat berarti untukku.
Aku mendapati suara bisik-bisik ketika aku mulai memasuki Aula dan duduk di tempatku seperti biasa, di sebelah ibu dan Kei. Ibu meraih tanganku, membantuku untuk duduk. Beliau juga menjelaskan menu-menu apa saja yang ada dihadapanku dengan penjelasan menggunakan arah jarum jam. Dengan begitu, aku tahu apa saja makanan yang ada di hadapanku. Aku tersenyum, berterimakasih.
“Kei, Airin. Tamu-tamu kita ini berasal dari sebuah agensi entertainment ternama di Korea Selatan. Mereka sudah satu minggu menginap di resort kita karena harus mengadakan pemotretan. Tuan Kim, mereka berdua ini adalah anak-anak kesayanganku.”, ujar Ibu memperkenalkan kami.
Aku hanya tersenyum dan menganggukkan kepalaku demi kesopanan.
“Wah, cantik dan tampan sekali anak-anak dari Nyonya yamamoto ini. Anda yakin tidak ingin menjadikan mereka model? Wajah seperti mereka bisa menjadi artis yang sangat terkenal lho di industry ini”, ujar sebuah suara yang mungkin merupakan orang yang ibu panggil ‘Tuan Kim’, ketua dari rombongan ini.
“Ah, Tuan Kim berlebihan. Lagipula, Ai dan Kei tidak mungkin tertarik memasuki dunia entertainment, terlalu banyak hal yang bisa membuat pusing. Terlalu banyak drama”, jawab Ibu.
“ha ha ha, Nyonya benar sekali. Memang sulit menjaga privasi kalau sudah memasuki dunia entertainment. Seperti tidak memiliki kehidupan pribadi, semua menjadi konsumsi publik”, ujar tuan Kim sambil tertawa.
“Silahkan dinikmati hidangannya tuan-tuan. Semoga sesuai dengan selera kalian”, ujar Ibu.
Aku mulai menikmati makanan yang ada di hadapanku. Suara alat makan berdenting dari segala penjuru. Satu dua orang terdengar berkomentar puas, atau setidaknya aku rasa mereka puas karena aku tidak benar-benar mengerti bahasa yang mereka gunakan. Namun, dari nada ceria yang mereka keluarkan dan suara denting sendok yang tak henti-henti aku rasa mereka menyukai rasa masakan resort ini. Aku menikmati makananku dalam diam. Satu dua kali sambil menjawab pertanyaan dari beberapa orang. Kenikmatan makanku terganggu ketika kurasa Kei berusaha memberitahukanku sesuatu. Aku mendekatkan telingaku kea rah tubuh Kei.
“Pria itu juga ada di sini lho”, ujar Kei di telingaku.
“Pria? Siapa?”, tanyaku bingung.
“Itu, yang kemarin menyapamu di tepi pantai. Mungkin dia salah satu modelnya. Kamu yakin tidak mau menyapanya? Dia daritadi melihat kearahmu”, goda Kei.
“Nii-chan! Tidak lucu. Lagipula aku tidak tahu dia siapa!”, jawabku.
“Yakin kamu tidak mau menyapanya? Dia duduk tepat di hadapanmu!”, Kei masih menggodaku.
Aku hanya mengangkat bahuku, tanda tidak peduli. Aku kembali menikmati makananku, meski harus kuakui bahwa aku sedikit gugup mengetahui ada orang yang mengawasiku. Sisa-sisa waktu makan pagi itu aku habiskan dengan tenang, tanpa gangguan pertanyaan yang berarti ataupun godaan dari Kei-niichan. Setelah selesai makan, Kei membawaku ke taman yang berada tepat di tengah-tengah resort kami. Disana, terdapat sebuah ayunan cukup besar yang sering aku dan Kei gunakan untuk duduk menikmati hari. Kei membiarkan aku duduk disana, sementara dirinya sendiri harus membantu Ibu berberes. Aku duduk sambil menggoyangkan ayunan tersebut ke depan dan kebelakang. Sesekali aku mendengar ada suara orang yang menyapa, yang kubalas dengan senyum atau anggukan.
“Boleh aku duduk di sebelahmu?”, sebuah suara terdengar menyapaku. Suara yang tidak asing.
“Silahkan, ini milik bersama. Semua orang yang berada di resort ini boleh menggunakannya”, jawabku sambil menggeser tubuhku. Aku dapat merasakan pria itu duduk disebelahku.
“Rupanya kamu anak pemilik resort ini. Ibumu pasti sangat mencintai resort ini. Resort ini terlihat sangat indah, setiap sisinya pasti dirawat ibumu dengan sepenuh hati”, ujarnya.
Aku hanya mengangguk. Kembali menikmati suara gemerisik daun yang ditiup oleh angin. Aku tidak tahu apa yang dilakukan pria itu disisiku, namun aku merasakan hawa yang menusuk, seperti tengah diperhatikan. Aku sedikit merasa gugup berada disebelahnya, entah kenapa.
“Jadi, namamu Airin Yamamoto?”, tanyanya tiba-tiba.
“Bukankah kemarin aku sudah memberitahukanmu ketika kau bertanya di tepi pantai itu?”, jawabku.
“Kau ingat rupanya. Berarti kamu juga mengingat namaku?”, entah mengapa aku mendengar nada berharap.
“Tentu saja, Lu Han-san.”, jawabku singkat.
“Sebenarnya aku akan lebih senang kalau kau memanggilku oppa, artinya adalah kakak laki-laki dalam bahasa Korea”, jawabnya.
“Aku rasa kita tidak seakrab itu untukku memanggilmu oppa, Luhan-san”, elakku.
“but, I insist. Justru ini bisa membuat kita lebih akrab. Oke, Ai-chan? Bolehkan aku memanggilmu Ai-chan?”
Aku hanya mengangkat bahu, tidak peduli. Kalau bukan demi kesopanan, mungkin sudah aku tinggalkan saja orang yang sok akrab ini. Aku kembali mendiamkannya, berusaha kembali menikmati suara tetesan air dari kolam yang ada di taman ini. Aku mendengar suara langkah kaki perlahan mendekat. Kei-chan, kah?
“Rupanya kau disini Luhan. Apa yang kau lakukan? Menggoda gadis cantik di pagi hari?”, ujar sebuah suara yang asing di telingaku.
“Minseok-ah! Jangan bercanda yang tidak-tidak. Kenalkan, ini Airin. Putri pemilik resort ini. Dia teman baruku”, jawab Luhan. Hei, sejak kapan aku menjadi temannya?!
“Ah, benarkah? Perkenalkan, aku Minseok. Panggil saja aku Umin. Senang berkenalan denganmu”, ujar pria itu. Suara pria ini sama menyenangkannya dengan Luhan, terdengar ramah dan hangat.
“Namaku Airin, anda bisa memanggilku Ai. Senang berkenalan dengan anda, Minseok-san”, ujarku sambil mengulurkan tangan. Aku dapat merasakan tangannya meraih tanganku dan menjabatnya. Hangat.
“Hei hei hei! Aku saja tidak dijabat tangannya oleh Ai-chan! Berani sekali kamu menjabat tangan teman baruku. Ai-chan, jangan pilih kasih. Aku juga mau berjabat tangan!”, suara Luhan terdengar merajuk. Mau tidak mau aku tertawa. Begitu pula dengan Minseok-san.
“Astaga Luhan, kalau aku jabat tangannya saja kamu sudah cemburu, bagaimana kalau aku mengajak dia berjalan-jalan, hah?”, jawab Minseok. Aku hanya tertawa mendengar kedua orang yang baru aku kenal itu saling berargumen.
Aku tidak ingat, entah kapan terakhir kali aku bisa bercanda seperti ini dengan orang asing. Biasanya, aku terlalu sibuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka sampai-sampai aku tidak pernah benar-benar 'berbicara' dengan mereka. apalagi bercanda seperti ini.
***
“Airin, masih ingin duduk disini atau berjalan-jalan?”, suara Kei-chan membuatku sedikit terkejut.
“Ah, Nii-chan. Sudah selesai membantu ibu?”, jawabku gugup.
“Sudah. Sepertinya kamu sudah memiliki teman-teman baru. Tidak mau memperkenalkan kepada ku?”, suara Kei-chan terdengar seperti menggodaku.
“Kei-chan. Perkenalkan mereka Luhan-san dan Minseok-san. Mereka adalah tamu dari resort ibu. Luhan-san, Minseok-san, ini adalah Kei yamamoto, kakakku”, aku berusaha memperkenalkan mereka.
“Sepertinya aku melihatmu berbicara dengan Ai kemarin ya, Luhan-san”, aku mendengar Kei berkata.
“Ah, ya. Kemarin aku memang melihat kalian di pantai. Kupikir anda adalah kekasihya”, jawab Luhan gugup.
“Ha ha ha, tentu saja bukan. Dia masih sendiri, tetapi kalau anda berminat dengannya, anda harus bisa menaklukkan hatinya yang dingin dulu Luhan-san”, ujar Kei.
“Nii-chan! Apa-apaan!”, ucapku protes.
“Kemarin Luhan sempat down mengira anda adalah kekasih Ai-chan, lho. Sepertinya Luhan sadar bahwa anda jauh lebih tampan dibandingkan dirinya!”, suara Minseok sepertinya tengah menggoda Luhan.
“Minseok-ah!”, suara Luhan memperingatkan temannya.
Mereka tertawa sangat puas sekali, sementara aku merasakan pipiku memanas. Entah bagaimana ekspresi Luhan. Astaga, aku sangat malu sekali berada di situasi ini. Aku tidak pernah merasa segugup dan malu ini sebelumnya.
“Kei-chan, aku mau kembali ke kamarku. Kei-chan mau membantuku atau masih mau disini dan menggodaku bersama mereka?!”, ujarku. Merajuk.
“Ya ya ya, aku mengerti. Ayo kuantar kamu kembali ke kamarmu. Atau mungkin, kamu lebih senang kalau Luhan yang mengantarkanmu?”, Kei-chan masih saja menggodaku.
“Kei-chan! Tidak lucu!”, ucapku. Malu.
“Ha ha ha. Baiklah baiklah tuan putri. Maaf sudah menggodamu, jangan marah ya.”, Kurasakan lengan kei-chan melingkar di bahuku dan menuntunku berjalan. Baru beberapa langkah, aku merasa gerakanku tertahan.
“Luhan-san, kalau mau mendekati Airin-ku, lebih baik kamu menyiapkan tenaga dan kesabaran yang ekstra, karena Airin-ku ini sangat mudah merajuk lho!”, Kei-chan menggoda Luhan. Aku kembali merasakan pipiku memanas.
Dari belakang, aku mendengar suara tawa yang sangat lantang dari Minseok-san. Entah seperti apa wajah Luhan-san saat ini. Apakah dia marah? Atau malu? Astaga, di saat seperti ini menjadi aku sangat tidak menyenangkan. Aku jadi tidak bisa melihat seperti apa ekspresi yang ditunjukkan oleh Luhan-san. Kei-chan memang menyebalkan!
***