Gemuruh petir terus menerjang, pagi itu cuaca sangat tak mendukung bagi dirinya untuk bangkit dari tempat tidur. Seketika itu juga ia kembali menarik selimut dan mencoba kembali terlelap dalam pelukan bantal. Matanya masih sayu, pikirannya masih kacau, badannya semakin tak menentu, rasa capek, letih, lelah dan lesu menjadi satu. Hari ini, waktunya Jiyeon menenangkan diri dan dapat beristirahat dengan baik.
Kondisinya saat ini tidak baik, bahkan panas tubuhnya bisa begitu lama bersarang dibadannya. Kelelahan itu didapat dari aktivitasnya yang tak pernah lepas dan tak sedikitpun waktu Jiyeon untuk mencari udara segar, apalagi malam hari.
“Kau ini, sudah aku bilang, jaga kondisi badanmu. Buktinya sekarang, kau seperti ini..” pagi ini Sooyoung datang mengunjungi apartemennya. Tak ada satupun orang dirumah, kecuali Jiyeon. Sooyong khawatir, dengan sigap ia datang langsung kerumahnya.
“Mian, kau yang selalu khawatir padaku..”
“Tidak hanya aku, Oppamu juga. Ia tak mau membangunkanmu, ia pergi setelah memasak makanan ini untukmu. Makanlah, selagi hangat. Aku tak mau kau sakit begitu lama.” Kepedulian Sooyoung padanya membuat ia rindu dengan kedua orangtuanya. Hari ini ia telah membuat orang terdekat khawatir dengan kesehatannya.
“Gomawoyo~” kata itu terus keluar dari bibir Jiyeon. Sungguh disayangkan, ia tak bisa menjaga kesehatannya. Besok, ia harus berangkat ke Busan untuk menyelesaikan job yang sudah dijadwalkan. Jadwal ini tak terelakan baginya, ia tak mau menyusahkan ornag lain dengan kondisinya saat ini. Ia berharap, kondisinya semakin baik sebelum besok ia akan melakukan perjalan ke Busan.
Awalnya, ia akan berangkat menggunakan mobil pribadinya, semenjak kondisi kesehatannya turun, terpaksa Jiyeon dan managernya berangkat menggunakan pesawat, tak khayal kekhawatiran crew yang ikut serta pun juga mengkhawatikan Jiyeon. “Gwenchanayo~ besok aku berangkat menaiki pesawat. Jaga diri kalian masing-masing.” Ungkanya melalu telepon.
Salah satu crew mendengar kabar Jiyeon sakit, dan segera itu juga mereka meneleponnya. Ia semakin merasa bersalah ketika orang-orang disekitarnya begitu khawatir padanya. “Apa yang harus aku lakukan?”
***
Sepertinya, hari ini membuat pemuda satu ini semakin malas untuk bangkit dari tempat tidurnya, ia kembali mematikan alaram dan menarik selimutnya lagi sampai akhirnya kekesalan itu mencuat yang tak ada sebabnya. Dalam kondisi setengah tak sadar, ia masih mencoba mencari air putih didekat ruang makan. Ia merasa kepalanya masih sakit entah apa yang ia lakukan malam itu, yang jelas ia sudah meneguk dua botol soju. Satu botol saja ia sudah kehilangan kesadaran, apalagi dua botol?
“Aissssh!” ia terus mendesah dan masuk kembali kedalam kamar. Ia masih menginginkan untuk tetap meneruskan tidurnya untuk menghilangkan sakit kepalanya.
“Kau? Aish jinjja? Apa yang kau lakukan semalah, hah?” Kai menyeringai tak suka melihat Sehun seperti itu. Sahabatnya itu sudah datang sebelum ia keluar dari kamarnya. Ia telah menyiapkan sup rumput laut untuk memulihkan kondisi tubuhnya yang sudah terkontaminasi dengan soju.
“Mian, aku tahu ini salahku. Tapi apa kau tau? Aku sangat kacau malam itu.” Ia mencoba menjelaskan semua kejadian malam itu. Kai sigap mengerti apa yang dimaksud oleh Sehun. Rupanya, wanita itu masih menganggu kehidupan Sehun tiada hentinya.
“Wanita itu? Kenapa lagi? Bukannya kau bersama Jiyeon malam itu?” Kai semakin heran dengan tingkah wanita itu yang selalu mengikuti Sehun kemanapun.
“Dia mengikutiku sepanjang malam, sudahlah, bisa kita cari topik yang lain?” Sehun mencoba mengalihkan semua kejadian malam itu. Ini begitu berat baginya, wanita itu selalu menghampirinya setiap saat. Tanpa ada yang mencarinya, ia sudah ada didepan bahkan sudah berada dibelakangnya.
“Wanita itu, kenapa ia masih terobsesi untuk menjadi pacarmu? Beruntunglah kau pandai memilih wanita. Atau jangan bilang kau tertarik dengan perempuan itu?”
“Apa kau bilang? Dengan kata-kata mengancam seperti itu? Ah, wanita itu tak ada otak, ia menyamakanku dengan pria yang lainnya. Ada-ada saja!” kekesalan Sehun memuncak ketika wanita itu akan membuka aibnya yang selama ini sengaja ia tutupi demi orang-orang disekitarnya. Ia sadar, kesalahan yang dulu membuatnya semakin kacau tak menentu. Apalagi, saat Jiyeon kembali ke Seoul, ia masih berpikir apa ia pantas untuk bertemu dan kembali menjalin hubungan dengannya.
“Aku tau, kesalahan fatal itu membuatku kembali berfikir sepuluh kali lipat, aku tau semua ancaman dia sempat membuatku menjadi orang gila malam itu. Untung saja, orang tak mengenaliku. Jika iya, aku tak tau nasib malam itu menjadi apa, dan pemberitaan pasti akan menyebar luas.”
Sehun kembali terdiam setelah ia mengakui kesalahan itu. Kesalahan yang sangat fatal ketika ia menjalin hubungan dengan orang itu hanya sebagai pelampiasan semata. Wanita itu sampai saat ini terus mengejarnya, tak bisa menghentikannya jika ia harus berterus terang. Ia masih saja mengikutinya tanpa mengenal waktu. “Wanita gila, kau masih juga belum mengerti?” lagi-lagi Kai mencoba mencari jalan keluar, tetapi tetap saja, ini hal sulit ketika wanita itu masih merasa bahwa Sehun itu kekasihnya.
“Kalau saja aku menjelaskan lebih rinci, dan wanita itu bisa mengerti kondisiku, maka tak seperti ini. Aku sudah lelah hanya karena ini saja.” Keluhnya.
Kai hanya bisa terdiam setelah semua yang Sehun rahasiakan terucap dihadapannya. Ia masih harus berusaha kuat untuk menyatukan Sehun dan Jiyeon. Kai mengambil ponsel dalam kantongnya dan membuka nomor kontak yang ada diponselnya.
“Yeobseo? Do-ya? Dimana?”
“Ah, Kai-a. Di kampus. Wae geure?”
Kai menjelaskan semua apa yang terjadi dengan Sehun saat ini. Do sampai tak menyangka dengan ceritakan oleh Kai terkait wanita itu yang terus menganggu kehidupan Sehun.
“Bukannya, saat itu kita sudah mencoba menjelaskannya?” Do masih khawatir jika wanita itu bertindak sembarangan terhadap Sehun.
“Aku juga bingung, melihat sikap wanita itu. Sehun terus mengeluh kepadaku.” Keluhan Kai kali ini lebih meyakinkan hati Do. ia kembali teringat Jiyeon. “Jiyeon? Bagaimana dengan Jiyeon?”
“Saat mereka keluar dari café malam itu, wanita itu mengikutinya. Bahkan, Sehun bilang Jiyeon sempat melihat wanita itu. Tetapi untunglah, masih bisa ia atasi saat itu.”
Do semakin bingung, apakah ia akan menceritakan ini terhadap Jiyeon atau menunggu Sehun lebih dulu menceritakan hal ini. “Aku sependapat denganmu. Aku khawatir Jiyeon menghindar dari Sehun.” Lagi-lagi dua pemuda itu terdiam dan tak menemukan solusinya.
***
“Gwenchana?” salah seorang tak sengaja menyenggol dari arah berlawanan. “Ne, ageseo. Mianhae~” wanita itu menunduk dan kembali berjalan menuju toko cake yang menjadi langganannya.
Keadaan Jiyeon sudah membaik, siang itu ia mencari cake untuk mematahkan selera makannya. Sudah dua hari ia mencoba untuk tidak makan, dengan kondisi kegiatan yang cukup padat membuatnya ia jatuh sakit.
“Ne, kamsahmnida.” Ia mengambil tas kertas berisi cake yang sudah ia pesan melalui telepon. Bahkan, banyak sekali yang ia beli untuk persiapan besok untuk berangkat ke Busan. Karena kondisinya belum begitu baik, Manajer Rayo mengusahakan keberangkatan menggunakan pesawat dan ini dapat membantu Jiyeon untuk beristirahat lebih banyak.
Motor berwarna merah yang selalu ia gunakan ketika berjalan mengelilingi kota, menjadi andalannya setiap saat dan kapan saja ia mau. Sempat, Rayo melarangnya untuk tidak menggunakan motor. Bukan karena ia tak bisa maupun tak pandai mengatur kecepatan motor, melainkan keadaan kota Seoul lebih banyak menggunakan mobil ketimbang motor. Tetap saja, Jiyeon nekat untuk membawanya dan sudah beberapa hari ini motornya baru saja sampai yang dikirim dari Indonesia.
“Kau ini, kau buat orang khawatir, Jiyeon-a!” tak heran, saat ia kembali kerumah, Sooyoung sudah lebih dulu sampai ketimbang dirinya. Ia berusaha tersenyum dan tak mau membalas omelan Sooyoung yang terbilang klasik dan terus ia dengar setiap ia mengendarai motornya.
“Kau tau, motor ini banyak sejarah, dan kau tau juga, motor seperti ini susah untuk mencarinya. Daripada motor ini diam aja di sana, mending aku kirim kesini dan aku gunakan.” Kecintaannya mengendarai motor, tak mampu Sooyoung untuk melarang Jiyeon mengendarai sepeda motor. “Hah, baiklah. Kali ini aku mengikuti perkataanmu. Tapi ingat, saat kau dalam kondisi seperti ini, janganlah kau yang membawanya, ajak orang disekitarmu untuk membawanya. Kau ingat itu?”
“Ne, eonni-ga. Gomapta!”
***
Suasana kelas musik yang penuh dengan dentingan piano dan iringan suara murid-murid yang berlatih vokal menjadi atmosfer yang tak pernah lepas dari diri Minseok. Meskipun terbilang baru menjadi guru musik, ia tak pernah menyerah dan terus mendedikasikan ilmu musik kepada murid-muridnya. Jiwa seni itu terdapat dari sang Ibu yang memang menyukai musik saat muda. Sisi lainnya, Jiyeon memiliki darah seni yang berbeda dari Minseok dan Ibunya, tetapi sang Ayah juga menyukai dunia fotografi yang hanya sebuah hobby yang ia tekuni sampai saat ini.
“Ne, latihan hari ini kita cukupkan sampai disini. Minggu depan, jangan lupa menghafal lagu yang sudah kalian pilih ya. Semoga hari kalian menyenangkan.” Minseok melambaikan tangan sebagai salam perpisahan dan penutup dari kegiatan mengajarnya. Ia sudah berjanji akan ketemu dengan temannya yang ia kenal saat di Beijing.
“Ah, kalian disini rupanya.” Minsoek melihat ada Luhan, Lay dan Tao sudah berdiri didepan kelas yang ia masuki. Mereka berbalik arah dan keluar menuju taman depan gedung lantai tiga yang tak lain tempat kerja Minseok.
“Bagaimana di Seoul? Menyenangkan bukan?” dalam suasana sore hari itupun, mereka sangat senang bisa kembali berkumpul dan saling bertukar pendapat satu sama lain.
“Aku semakin betah tinggal disini, aku dan Lay mendapatkan pekerjaan disini.”
“Ah? Jinjja? Tao? Bagaimana denganmu?” Minseok penasaran apa yang Tao dapatkan setelah menginjakkan kaki di Korea.
“Aku melanjutkan studiku disini, dan semuanya berkat mu, hyung!” Taou memuji pemuda berambut kecoklatan itu yang sedang meminum kopi kesukaannya.
“Ah, bahasa koreamu sudah lancar. Belum juga tiga bulan kalian ada disini. Dan ternyata kalian bisa cepat beradaptasi. Chukkae!” ia bertepuk tangan dan rasa canggung mereka dengan lingkungan Korea suah terbuang begitu saja dan menjalankan kegiatannya masing-masing. Sore itu, akan menjadi rutinitas keempat pemuda ini untuk berkumpul dan saling berbagi cerita tanpa mengenal waktu.
Masih didepan taman, Minseok melihat seseorang yang sangat ia kenal. Ia berupaya untuk mengingat pemuda itu dan mencoba melihat lagi wajah pemuda itu. “Suho? Apa itu Suho?”
“Duguya, Minseok-ssi? Tao melihat gerak gerik Minseok seang melihat pemuda berambut blonde berbicara melalui ponselnya.
“Sepertinya aku mengenal pemuda itu.” Sesaat ia memanggil pemuda itu tanpa ragu. Pemuda itu melihat dari arah suara yang ia dengar dan kembali menatap tajam wajah pemuda yang memanggilnya.
“Hyung! Wae geure! Ya, urinmaneyo!” Suho menyapanya lebih dulu, ia hampir saja melupakan pemuda itu. Joon Myun, nama asli Suho masih ia ingat. Perbedaan mereka yang tak begitu jauh dan saat itu satu sekolah dengannya tak membuat mereka canggung, bahkan mereka akrab satu sama lain.
“Ya, Suho-ya. Kau semakin sukses saat ini. Bagaimana kabar kedua adikmu?”
“Baik, mereka sudah memiliki jalannya masing-masing. Aku senang, mereka bisa menemukan mana yang benar-benar ia inginkan saat ini.” Ujarnya.
Minseok memperkenalkan tiga pemuda itu kepada Suho dan membuat rona bembicaraan semakin seru.
“Oh, jadi kalian mengenal Hyung saat di Beijing? Beruntungnya kau hyung. Haha.” Semua tertawa melihat respon Minseok dengan wajah cemberutnya.
“Kami sudah mengenalnya saat dibangku kuliah. Dan kau Suho, kau seumuran dengan Lay.” Minseok mencoba mengenalkan Suho dengan Lay karena lahir di tahun yang sama.
“Annyeong, Lay-ssi. Senang bertemu denganmu.”
“Ne, nado, Suho-ssi.”
“Aku berharap kalian akrab. Bantulah dia, Suho-ssi. Saat ini mereka sudah begitu terbiasa dengan suasana Seoul. Kajja, aku akan mengajak kalian makan malam.” Sore telah berganti malam, Minseok mengajak mereka untuk makan malam bersama seraya memperkuat persahabatan antar mereka. Malam itu, semua orang masih sibuk dengan rutinitasnya dan sepanjang jalan masih banyak lalu lalang kendaraan yang tiada henti melintas dijalan raya.
Dari tempat yang berbeda, Sehun mencoba bangkit dari tempat tidurnya dan mengecek email dari tab yang ia miliki. Tak ada satupun email penting yang masuk. Tab itu ia hempaskan ke kasur dan berjalan menuju dapur. Saat ia berjalan menuju dapur, makanan didalam tudung saji itu menjadi pemandangannya saat berjalan menuju dapur. Ia melihat makanan kesukaannya tersaji diatas meja itu. “Gomawoyo, manajer Kim.”
Tanpa ragu, ia mengambil nasi, sumpit dan sendok dan memulai makan malamnya sendiri. Hari ini, manajernya kembali kerumah untuk mempersiapkan diri untuk keberangkatan ke Busan esok pagi.
Malam itu, Jiyeon sudah mempesiapkan perlengkapan dan alat pemotretan saat berada di Busan. Kondisinya yang semakin membaik membuat ia bergegas untuk mempersiapkan segala hal yang perlu saat peemotretan itu. Ia sesekali mengecek barang-barnag yang sudah ia bereskan tadi dan kembali memperbaiki posisi dan letak barang-barang yang belum ia masukkan kedalam tas.
“Tadaaa! Rayo-ssi, besok kita berangkat jam berapa?” ia menepuk kedua tangannya yang menandakan ia telah siap dengan segala hal keperluannya.
“Besok kita take off penerbangan pertama, jam 8 pagi. Istirahatlah, aku dan Hida kembali kerumah dulu. Jaga kesehatanmu, nak!” ia menasehati Jiyeon agar ia tetap menjaga kondisi badannya setiap hari.
“Ne, Rayo-ssi, gomapta. Kajja, sudah malam, kasihan Hyeolin ditinggal sendiri bersama ommanya.” Bibi Hida masih merasa khawatir meninggalkan Jiyeon sendirian.
“Bibi, oppa sebentar lagi pulang. Jangan khawatir.” Jiyeon cepat merespon kekhawatiran Bibi Hida malam itu. Merek aberpamitan pulang dan otomatis pintu itu terkunci dengan sendirinya.
Ponselnya berbunyi, ada satu pesan masuk dalam ponselnya. Ia membuka kunci dan menyentuh layar itu. Dan membaca pesan itu yang membuatnya sangat tersentuh.
“Jiyeon-a, bogoshipda~ aku harap, aku takkan pernah lelah untuk mengucapkan ini padamu. Bintang akan terus terang bila kau terus berada dalam hatiku~”
“Ne, nado. Kau yang selalu membuatku ceria. Terima kasih buat semuanya, Oh Sehun…”
***