“Jiyeon-a, minggu depan ada pemotretan di Busan. Jangan sampai lupa.” Rayo seongsanim mengingatkannya. Ia kembali bergelut dengan kamera yang tak hentinya ia pegang dan terus memotret seisi ruang studio itu. Ia hampir saja melupakan jadwal pemotretan ke Busan atas permintaan Donghae. Ada banyak sekali jadwal dalam seminggu ini membuat Jihan terus bekerja dan dapat mengejar waktu liburnya kembali.
Selama seminggu ini, ia belum bisa berhenti dari seluruh jadwal yang ia miliki, berbagai pemotretan harus ia jalani. Ini sudah menjadi resiko terbesar sebagai seorang photografer yang sudah memiliki peminatnya. Bahkan, karya Jihan atas karya-karyanya pun sudah diakui oleh semua orang. Tak khayal, Jihan nyaris saja mengiris hari liburnya untuk menyelesaikan berbagai kegiatan yang sudah dikelola oleh manajernya.
“Rayo-ssi, tiga hari sebelum pemotretan ke Busan, aku memohon untuk mengosongkan jadwalku.” Jihan melihat jadwal yang telah disusun Rayo sebelum ia menyelesaikan pemotretan terakhir.
“Oke, baiklah. Kau mau kemana? Liburan lagi?” Rayo mengerti keinginan Jihan itu, ia merasa jadwalnya terlalu pada saat seminggu terakhir ini.
“Aku akan mengajak kalian berlibur terlebih dahulu ke Busan, saat kerja aku akan menikmati pekerjaanku. Rayo-ssi, apa kau mau?” ia mengajak Rayo beserta Bibi Hida dan anaknya untuk berlibur ke Busan. Ia melihat Rayo terlihat senang dan sangat semangat untuk mengajak keluarga kecilnya.
“Wah, lebih baik begitu, aku lebih senang jika kita bersama-sama berlibur, bukan? Baiklah, gomawoyo, Jiyeon-a.” Rayo merasa senang, ketika Jihan sudah bisa mengatur jadwalnya sendiri. Ia merasakan, Jihan sudah seperti anaknya sendiri.
Jadwal sudah terselesaikan. Hari ini ia tak tahu akan pergi kemana. Manajernya, Rayo berpamitan untuk pulang lebih awal karena ada acara lain. Ia mencari ponsel didalam tasnya dan mencari kontak Sooyoung. “Sibukkah dia?”
“Sooyoung-a, kau dimana?... Baiklah, hari ini tidak ada kegiatan?... Jinjja? Ayo kita kumpul di café biasa… Serius, wah semakin seru.. Baiklah, sampai ketemu disana..”
***
Ponsel itu terus berbunyi tanpa jeda, banyak sekali yang menghubungi Sehun sampai hari ini. Sempat ia akan melempar ponsel itu atau mungkin ia akan membuka baterai ponsel itu. Kekesalan itu semakin membuatnya tidak nyaman dan berusahan untuk mencoba menghidupkan ponsel milinya.
“Ya, Sehun-a! Kau dimana?” terengar suara pemuda yang memanggilnya melalui telepon.
“Aisss jinjja, ya. Ada apa?” Kai-lah yang meneleponnya hari ini.
“Ponsel mu tidak aktif, dan aku mencoba menghubungimu melalui telepon rumah.”
“Ah, mian…” ia mencoba mengalihkan pembicaraan itu. “Kau dimana sekarang?”
“Aku di café tempat biasa kita kumpul. Keluarlah, dan cari udara segar diluar rumah. Apa kau tidak bosan didalam rumah menghabiskan masa liburmu?”
“Awalnya begitu, paling tidak aku bisa lebih banyak beristirahat…” belum selesai ia melanjutkan kalimat itu, terdengar suara yang terdengar mirip dengan suara yang pernah ia dengar. “Duguya?” Sehun menanyakan suara wanita itu.
“Jiyeon. Dia baru saja datang. Apakah kau gak juga datang kesini. Palli wa, tunggu apalagi kau bisa bertemu dengannya.” Sehun masih terdiam dan tak ada satu katapun terucap saat Kai menyebutkan nama wanita itu. "Jiyeon-a. Kau masih sama seperti dulu.” Ucapnya dalam hati.
“Yeobseo? Sehun-a. Kau disana?” Kai sama sekali tak mendengar suara Sehun berbicara. “Oke, aku akan segera kesana.” Sehun membalas dengan kalimat singkat dan panggilan terputus itu membuat Kai hanya bisa menoreh heran melihat respon Sehun yang aneh itu.
“Jiyeon-a!” Sooyoung memanggilnya dan melambaikan tangan kearahnya. Jiyeon melihat ada Do dan Kai sedang berbicara dan mengalihkan pandangan padanya. Mereka tersenyum dan menyambut kedatangannya.
“Aah, bogosiphoyo~” Sooyoung memeluknya saat ia sampai didekat Sooyoung. Hati Jiyeon kembali bersinar, ketika melihat teman-temannya ini bisa mengerti keadaannya. Mengapa tidak, berapa kali mereka mengajaknya bertemu, dan jadwalnya terus membuatnya harus menyelesaikan semuanya dengan cepat. Hari ini, hari yang bisa ia lakukan dengan mereka.
“Harusnya kalian cepet menghubungiku, aku minta maaf karena baru kali ini aku bisa bertemu dengan kalian.” Ujarnya.
“Gwenchanayo, kita mengerti. Aku sudah menanyakan hal ini dengan manajermu.” Do merespon permintaan maafnya. Kai mengangguk dan Sooyoung terus melihat Jiyeon berbicara. “Sepertinya, aku harus lebih update lagi dengan kegiatanmu saat ini. Haha.” Sooyoung kembali menggoda Jiyeon dan melihat tingkah imut Sooyoung yang membuatnya tak bisa berkata apa-apa.
“Kau membuat kami khawatir dengan kegiatanmu yang tak pernah habisnya.” Kai kembali menyindir Jiyeon yang saat itu sudah menatap tajam ke arahnya. Ia kembali ketawa melihat reaksi Jiyeon yang berlebihan itu.
“Oke, saat ini aku mengalah demi kalian. Sudah puas?” Jiyeon menantang mereka untuk terus mengejeknya. Tawa mereka yang mengaung diruangan itu. Kebersamaan mereka tak pernah habisnya dalam keadaan apapun itu.
Saat mereka masih seru berbicara satu sama lain dan bercerita tentang aktifitas masing-masing, Sehun sudah berada didepan café, persis depan café itu. Ia melangkah dengan santai dan membuka pintu kaca itu berjalan dan melihat Kai dari arah belakang.
“Ya, Sehun-a! urinmaneyo~” Do menyahutnya lebih dulu. Dan pandangan mereka tertuju padanya.
“Ondeyo? Wae? Apa yang kalian lihat dariku.” Sehun mendadak heran melihat mata mereka tak habis memandangnya. Kai sendiri mengajak Sehun duduk didekatnya dan dihadapan Sehun ada Jiyeon sedang melahap makanannya. Jiyeon sadar, Sehun memandanginya, ia belum bisa untuk bertemu dengan Sehun secepat itu.
“Urinmaneyo, Jiyeon-a.” Sehun menatap kearah Jiyeon dan mata mereka beradu saat kalimat itu terlontar dari mulu Sehun. Jiyeon kembali mengalihkan pandangannya. “Ne, nado.” Hanya itu yang terucap dari bibirnya.
Masih dalam suasanya itu, Sehun dan Jiyeon sama-sama masih kaku, entah mengapa mereka berdua tidak ada respon sama sekali. Kai sempat memberi kode “Apa yang terjadi?” tetapi Sehun masih belum mau berbica pasti dan mencoba mengaihkan pembicaraan.
“Kau sangan sibuk setelah menjadi seorang aktor.” Celetuk Do.
“Mian, aku belum bisa bertemu dengan kaliaan saat itu. Aku benar-benar tak bisa lari dari jadwal itu. Hah, kali ini aku mati bosan.” Lagi, ia mengeluh dan kembali mengeluh. Matanya kembali memandangin Jiyeon, sekali-kali curi pandang kearah Jiyeon, dan Jiyeon cepat menanggapi respon matanya itu.
“Apa kabar?” Pandangannya belum habis melihat Jiyeon yang masih melahap makan malamnya. Jiyeon berusaha untuk bisa berbicara lebih santai dengan Sehun, tapi apa boleh perbuat, saat ini rasa canggung itu muncul saat pertemuan terakhirnya 6 tahun yang lalu.
“Aku baik. Aku senang bisa lihat kamu sukses seperti sekarang.” Jiyeon memujinya dan saat itu ia kembali ingat bahwa Jiyeon tak pernah bohong dengan apa yang ia ucapkan. “Terima kasih.”
Kai mencoba memecahkan rasa canggung antara mereka berdua. Ia kembali membuat obrolan itu tidak terhenti ditengah jalan. Kai, Do dan Sooyoung terus berbincang, Sehun masih dalam keadaan mencoba mencari suasana pembicaraan mereka malam ini. Dan Jiyeon masih melahap makanannya dan menghabiskan makan malamnya.
Rasa canggung itu masih terasa jelas diantara Jiyeon dan Sehun, ketika mereka keluar dari café itu dan berpamitan satu sama lain untuk kembali kerumah masing-masing. Tinggalah mereka berdua yang pada saat itu masih berada didepan café.
“Apakah kau mau ke taman?” Sehun mengajak Jiyeon untuk berjalan ketaman dekat café itu, kira-kira 50 meter dari sebelah kiri café itu terdapat taman yang saat itu masih ramai dikunjungi orang. Mereka berjalan dan mencari tempat yang nyaman untuk saling berbicara satu sama lainnya.
“Aku dengar kau seorang photografer?” Sehun mencoba memulai pembicaraan itu. Jiyeon yang asyik melihat langit malam yang terdapat beberapa bintang melihatkan sinar cahaya di langit malam itu.
“Iya kau tahu juga ternyata. Aku kira kau tak tau hal ini.” Pungkasnya.
Obrolan demi obrolan yang mereka utarakan itu memudarkan rasa canggung mereka malam itu. Mereka mencoba memperbaiki hubungan yang selama ini bisa dibilang semakin tidak jelas saat Jiyeon memutuskan kembali ke Indonesia. Ia masih ingat, saat Jiyeon memutuskan kembali ke Indonesia, saat itu juga hubungan mereka sangat kacau. Ia mencoba untuk kembali bertanya dan akhirnya mereka tidak menemui jalan keluar yang baik. Hubungan yang sempat renggang itu terus membuat mereka berpikir dan terus berpikir hingga akhirnya, malam itu mereka bisa kembali bertemu dihadapan bintang dilangit yang menyinari langit malam. Sungguh, bertapa indahnya melihat bintang itu ada dihadapan mereka, saat mereka bertemu.
“Langit hari ini.. apa ini tanda bagi kita.”
“Maksudnya?”
“Kau masih ingat, saat kita bertemu, bintang itu terus ada saat kita melihatnya. Terangnya melebih apa yang kita lihat biasanya. Aku masih bertanya, mengapa bintang itu terus berada didekat kita.” Jiyeon mengatakan itu tanpa ada rasa beban yang kuat dalam dirinya. Hari ini, ia bisa bertemu dengan Sehun kembali, hari ini, ia bisa bersama pemuda yang masih ia cintai itu dengan sinar bintang yang terus menyinari matanya. Hari ini juga, ia kembali merindukan kenangan itu.
“Jiyeon-a? Kau tidak apa-apa?” Sehun melihat mata Jiyeon berlinang air mata yang tak sempat jatuh dan masih tertahan didalam matanya. Ia memandangi Jiyeon lagi tanpa ragu. Sehun tetaplah menjadi Sehun yang dulu Jiyeon kenal. Ia sangat peduli dengan siapapun. Siapapun orangnya, air matanya kembali berlinang dan jatuh dipipinya.
“Menangispun kau tetap cantik. Apalagi kalau kau tersenyum, bintang akan terus menyinarimu.”
Tak ada satupun kata terlontar dari bibir Jiyeon. Ia sungguh beruntung bisa bertemu lagi dengan Sehun. Sehun yang ia kenal saat itu, masih sama sampai sekarang. Bahkan, ketenaran Sehun membuat banyak orang melihatnya bersama wanita itu duduk ditaman ditengah keramaian malam itu. Satu per satu orang yang kewat memotret dirinya dengan Jiyeon yang tak lain orang yang ia cari selama ini. Ia tak bisa menghentikan setiap bidikan yang mengarah kepadanya.
“Ternyata ketenaranmu membuat orang yang lewat memotretmu terus.”
“Awalnya aku risih dengan hal ini, lama-kelamaan aku mulai terbiasa. Dan aku tak bisa menghindari fakta yang ada. Benar bukan?” Jiyeon kembai terpaku dengan jawaban itu. Ketenaran Sehun melebih apa yang ia pikirkan, ia sangat berhati-hati untuk saat ini, karena banyak orang sudah mengabaikan kebersamaan mereka malam itu.
“Kau tidak takut dengan pemberitaan ini nantinya? Banyak sekali orang yang mengambil gambarmu.”
“Aku lebih senang, ketika mereka tahu dengan apa yang mereka lihat.” Malam itu, Sehun terlihat lebih serius. Jiyeon memandang wajahnya.
“Tuhan, terima kasih, engkau telah mempertemukan aku dengan pemuda yang selama ini telah lama menungguku. Aku sungguh tak bisa menahan air mata ini menets dipipiku. Membekas di mataku. Aku sungguh merasakan kebahagiaan itu terpancar dari dirinya.”
Pandangannya itu berubah saat ia ketahuan memandangnya sangat lama, apa mungkin feeling itu masih ada?
Kali ini mereka terdiam dan sama-sama memandang bintang dilangit yang masih menyinari malam itu. Detik demi detik, pertemuan itu harus mereka akhiri. Malam semakin larut dan malam itu juga mereka kembali bertemu disaat bintang-bintang itu menyinari gelapnya malam.
“Aku harus kembali, oppaku sudah menungguku dirumah.” Mereka sudah berada diparkiran depan café. Mereka terlihat sudah menyelesaikan kesalahpahaman itu dan mencoba mencairkan suasana kaku.
“Baiklah, hati-hati dijalan. Saat kau sudah sampai, kabari aku. Aku tak mau kau terlampau banyak berhenti mencari sesuatu.” Candaan itu kembali terasa ketika Sehun cerewet padanya untuk memberi kabar bahwa dirinya sudah dirumah dengan selamat. “baiklah.” Ia menuruti apa yang dikatakan pemuda itu.
***
“Aku sudah sampai dirumah dengan selamat.” Pesan itu terkirim kenomor pemuda itu. Jiyeon membuka pintu apartemennya. Malam itu, keadaan rumah terasa sepi, ia berjalan menuju kamar Minseok dan membukanya. Ia melihat Minseok sudah tertidur lelap dan tak mendengar ia kembali pulang.
Ia menghempaskan badannya ke kasur dan melihat atap kamarnya, membayangkan hal itu terjadi diluar dugaannya. Ponselnya berdering dan kali ini pemuda itu membalas pesannya.
“Jaljayo Jiyeon-a. Aku juga sudah kembali kerumah dengan selamat. Jaga kesehatanmu.”
Ia mengabaikan pesan itu dan mencoba menenangkan hati dan beristirahat. Kamarnya yang begitu rapi dan barang yang ada disekitarnya tertata rapi. Semua keadaan kamarnya mampu memberinya energi postif dan ketenangan batinnya. Malam ini, malam yang tak mungkin bisa ia duga selama ia masih bisa untuk memimpikan hal itu.
“This star will be together with us everywhere~”
***