home_icon
SIGN IN
SIGN UP
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
LOUNGE
HOW IT WORKS
HOW TO BE DFF OF THE WEEK
TERMS OF USE
CONTACT US
  • Latest
  • Most Viewed
  • Most Loved
  • A-Z
  • My Fanfiction
  • My Subscriptions
  • My Subscribers
  • Create New Fanfiction
Fan Fiction > Moonlight

Moonlight

Share:
Published : 05 Sep 2014, Updated : 17 Dec 2014
Cast : Oh Sehun, Jiyeon Kim, Cha Sooyoung, Do Kyung So, Kim Jongin
Tags :
Status : Complete
1 Subscribes |34964 Views |5 Loves
Moonlight
CHAPTER 3 : Treasure

              “Aghhh!” pagi ini, kepala Jihan terasa sakit. Malam itu, ia tak bisa tidur, lantas membuatnya terjaga sampai jam 2 pagi. Hanya empat jam saja iya bisa tertidur. Kepalanya yang masih berat, ia usahakan untuk membuat sarapan pagi sendiri. Bibi Hida dan Rayo seongsanim sedang berada diluar kota. Esok hari, mereka akan kembali. Ia berjalan menuju kamar mandi, mencuci muka dan menyikat giginya. Setelah itu, ia menyantap sandwich buatannya. Pancake dan ttaebokki masih tersisa ia keluarkan dan dipanaskan.

            Tak lama, ia kembali tidur dan mencoba menyelesaikan tiga jam lagi untuk membalas tidurnya tersita.

***

            Getaran ponsel yang berada diatas meja dekat kasurnya mebuatnya terkejut. Siapa yang kali ini mengganggunya. Belum tiga jam dirinya membalas tidur malamnya, ia harus mengangkat telepon itu tanpa melihat nomornya.

            “Yeoboseo?”

            “Urinmaneyo, Jiyeon-ssi.” Suara seorang pria dalam sambungan telepon itu.

            “Duguya?” Jihan terlihat kebingungan.

            “Apakah dirimu lupa denganku? Ah, kau sunggu keterlaluan denganku.” Suara pria itu semakin misterius. Ia tak dapat mengelola otaknya untuk mengingat pria itu.

            “Jiyeon-a~” ia mendengar suara itu dengan nada lembut. Ia mencoba mengingat suara lelaki itu. Ia semakin kesal tak dapat mengenalnya.

            Lelaki itu masih mencoba mengingat dirinya, tapi sampai saat ini ia masih  belum bisa mengingatnya. Tuhan, ada apa dengan otakku kali ini? Keluhannya itu…

            “Little stars, bring my love to her. Please~” ia mencoba mengingat kalimat itu lagi. Mencoba mengingatkannya, perasaanya mendekati kebenaran, ia kembali mengingatnya. “Sehun-a? Kau kah itu?”

            Selang beberapa detik, suara pria itu membalas perkataannnya. “Ng~”

            Pikirannya makin tak menentu, apakah itu Sehun, atau hanya orang iseng yang mengganggunya. Siapa dia? “Duguyaa!!”

            “Senang bisa mendengar suaramu.”

            Saat itu iya semakin yakin..

            “Ne, naya. Oh Sehun~”

            Matanya tak berkedip ketika pria itu menyebutkan dirinya adalah Oh Sehun. Ia mendadak kaku dan berupaya menahan rasa rindu itu yang kembali muncu dalam hatinya.

            “Yeobseo? Jiyeon-a?” Sehun kembali mendesah.

            “Ne, wae? Waeyo?” tangannya mulai bergetar. “Na, bogoshipda~” Jihan, wanita itu memang tak bisa membohongi perasaannya. Kalimat itu secara tak langsung keluar dari bibirnya.

            “Nado~” hening… “Aku sudah dengar kalau kau sudah lebih dulu lulus kulliah. Wah, kau memang sangat berani.”

            “Ternyata, kabar itu sampai ditelingamu, aku sungguh mendapatkan kemudahan saat berada disana. Aku masuk sekolah menengah atas hanya dua tahun karena aku mengikuti program itu.” Jihan mencoba santai dan bercerita dengan pemuda itu.

            “Sejak lama aku sudah kagum terhadap dirimu, apa yang kau lakukan, apa yang kau kerjakan. Aku masih mengagumi dirimu. Sungguh!”

            “Gomawo, Sehun-a. Kau juga sudah sukses menjadi seorang model dan juga aktor. Kau juga sudah meraih impianmu.” Kata-kata tulus dari Jihan menbuat Sehun terdiam dan sempat tak bisa berkata apapun. “Kaulah yang terus mendukungku sampai saat ini, Jiyeon-a. Nomu kamsahamnida~” ucapnya dalam hati.

            “Ya, aku lupa. Mainhae atas kejadian kemarin, aku tak bisa bertemu dengan kalian.”

            “Gwenchana, aku bisa mengerti posisimu, dan mereka juga bisa memahami kesibukanmu. Tenang saja.” Percakapan mereka semakin santai dan bisa mengendalikan diri mereka dengan baik.

            “Hmm, jangan bilang saat aku meneleponmu, kau masih tertidur.” Sehun tak hentinya membuat Jihan berdecak kesal.

            “Iya kau benar, kau tau dirku tak bisa berbohong pada siapapun. Aku tau…” saat ia berbicara, terdengar seseorang yang memanggil Sehun untuk bersiap-siap. “Oh Sehun?” ucapnya.

            “Ne, ah. Kau mendengarnya, aku masih ada syuting. Lain waktu kita bicara lagi…” dan panggilan itu terputus~

***

            Kringgggkriiingggggg! Jihan masih merasakan kantuk yang luar biasa. “Hah, ternyata hanya mimpi.” Ia terbangun dari mimpi yang menyelimutinya. Ia masih setengah tak sadar dan memukuli kepalanya yang masih terasa pusing. ia bangkit dan mencari udara segar di teras apartemennya.

            Merasa lebih baikkan, hari ini ia sudah janji untuk menemui Ibu Do. Ia mencari ponselnya dan memberi kabar pada Do bahwa dirinya akan berangkat menuju rumahnya. Mobil yang terparkir dibasemant berbunyi saat Jihan menekan tombol membuka kunci pintunya.

            Setengah jalan, ia berhenti membeli kue dan juga buah. Ia tak ingin membawa tangan kosong datang menemui orang, apalagi sudah lama ia kenal. Saat ini, ia sudah bisa membeli apapun tanpa harus mengirit uang sampai ia kelaparan, ia masih ingat saat ia membeli kue tart untuk Do yang saat itu merayakan pertambahan usianya. Ia mengingat lagi kejadian itu yang sempat membuatnya hampir pingsan menahan lapar.

            “Ya, demi kue ini kau rela lapar? Jiyeon-a!” kepanikan Do membuat Jihan menepis semua itu. “Jiyeon-a, kau pucat saat ini. Makanlah, sebelum kita merayakan hari Do.” ibu Do membawa makanan dengan rasa khawatir melihat keadaanya.

            “Jiyeon-a, hari ini kau banyak kegiatan, dan kau tidak makan seharian ini. Ini membuat badanmu dingin seperti ini, makanlah ini selagi hangat.” Ia mmegang sendok berisi makanan itu ke  mulut Jihan untuk makan dan menghamiskan makanan itu. “Mianhae, membuat kalian khawatir padaku~” keluhnya.

            Ia memberhentikan mobil tepat didepan rumah Do, ia keluar dan membawa buah tangan itu dan memastikan mobilnya terkunci. Tingtongggg~ bungyi bel rumah Do bergema keseluruh sudut rumahnya. Do melihat dari dari dalam rumah dan bergegas keluar membukakan pintu rumahnya.

            “Masuklah~” Jihan masuk kedalam rumah Do. semuanya masih sama, tak ada yang berubah, hanya furniture tambahan dan itu semua tersusun rapi. Ia berjalan menuju ruang tengah dan meletakkan tas diatas sofa. “Mana ibumu, oppa?”

            Ia kembali berjalan keruang makan yang berdekatan dengan dapur rumah pemuda itu. “Ibu~” ia meletakkan makanan itu diatas meja dan menghampiri Ibu Do. “Jiyeon-a, kau sudah besar.” Ia memeluk wanita itu dengan lembut. Dekapan itu berlangsung sangat lama, sudah lama Jihan tak bertemu dengan Ibu Do.

            “Kau semakin cantik, dan sepertinya berat badanmu bertambah.”

            “Ibu semakin cantik, gak salah Do meniru gaya Ibu yang awet muda.”

            “Kau yang membawa ini?” Ibu Do mengluarkan kue itu dari tas kertas dan melihat kue kesukaan Do. “Do-a, ia membawamu kue kesukaanmu.”

            Jihan mengambil buah dan mengeluarkan dari dalam kantong plastik lalu menaruhnya dan disusun dalam keranjang buah. Ia merasakan aroma makanan dari arah kompor. “Eomma~ masak apa hari ini? Sepertinya enak.” Wanita itu tersenyum lembut saat melihat Jihan lebih ceria dan melihat makanan kesukaannya itu telah siap disantap.

            “Makanlah selagi hangat~” wanita itu mengambil sesendok sup rumput laut kedalam mangkuk untuk dirinya dan Do.

            “Ne, arraseumnida~ selamat makan~”

***

            Pemuda itu mengajak Jihan keluar dan berjalan disekitar rumah pemuda itu. Udara siang itu sangat bersahabat, tak seperti hari kemarin saat mereka jalan bersama di Namsan. Riuh kendaraan didepan rumah Do jarang terdengar, Jihan kembali melangkah dan terus berjalan.

            “Apakah dirimu masih mengingat itu?” DO menunjuk kearah dinding beton pembatas yang berada di sebelah kirinya. “Kau terjatuh diserempet mobil dan lenganmu terluka.” Do masih mengingat jelas peristiwa itu.

            “Kau masih mengingatnya oppa. Saat itu aku, kau dan oppa berjalan menuju sekolah. Ah, itu sangat miris bagiku.” Mengingat kecerobohannya lebih dulu berjalan tanpa melihat kendaraan disampingnya, Jihan terjatuh dan lengannya mengenai dinding beton. Beruntungnya, tangan dia tak terluka parah. Kekhawatiran dua lelaki itu masih teringat jelas dibenaknya, panik, dan kebingungan menjadi satu. Setelah berobat ke klinik terdekat, mereka berdua lebih waspada ketika Jihan secara tak sadar akan melakukan kecerobohan yang dapat melukai dirinya.

            “Saat ini, aku sudah mengerti. Aku sudah besar, DO-ya.”

            “Arraseo, aku tau. Peristiwa itu gak pernah aku lupakan.” Mereka terus berjalan meninggalkan jejak peristiwa itu dan melangkah kembali kerumah.

            Seharian, Jihan berada dirumah DO. ia melihat DO sedang mengerjakan sesuatu. “Apa yang kau lakukan?”

            “Mengerjakan tugas kuliah. Ya seperti kau lihat saat ini, semester rawan membuat kepalaku mau pecah.” Keluh DO.

            “Kau harus lebih kuat dari tugas itu, kau tau? Aku lebih sakit kepala saat menyusun skripsiku, umurku yang baru 19 tahun sudah menyusun skripsi di semester akhir, tahun ini bisa lulus juga keikhlasan hati ini. Kau harus lebih ikhlas mengerjakan itu semua, DO-ssi.” Jihan berdiri dan berjalan menuju rak-rak buku didalam kamar DO. buku sejak sekolah dasar sampai saat ini masih tertata rapi. Jihan iri melihat DO masih menyimpan buku-buku itu.

            Tak ada percakapan diantara mereka berdua, terdiam dan Jihan kembali duduk di sofa dekat meja belajar DO. ia membiarkan DO untuk menyelesaikan tugas kuliahnya.

***

            Hari berganti malam, Jihan harus kembali kerumah. Esok hari, aktifitas kerja akan kembali dimulai. Sampai saat ini, dirinya belum merasa puas untuk berbicara dengan Ibu Do, masih banyak cerita yang ingin disampaikan kepada wanita itu. Ia harus kembali, iya, esok hari ia dihadapkan segudang aktifitas yang sudah dijadwalkan. Belum sempat langkah kakinya keluar dari pintu rumah, deringan ponsel menggema didalam tasnya.

            “Yeobseo? Ah, Suho-ssi. Urinmaneyo~” Do mendengar percakapannya persis dibelakangnya. “Iya, besok aku kesana jam 8 pagi. Iya, sekali lagi terima kasih sudah mengingatkanku. Ne, arraseo~ ne~”

            “Suho-ssi?”

            “Ne, ia mengingatkan jadwalku ditempat kerjanya.” Ia kembali memasang kedua sepatunya dan berpamitan kepada Ibu Do.

            “Hati-hati dijalan Jiyeon-a. kalau sudah sampai, telepon ibu ya.” Ia menatap penuh sayang kepada Jihan. “Baiklah bu. Do-ya, aku pulang dulu. Jangan antar aku kedepan, aku tidak apa-apa.” Tegasnya.

            Jalannya semakin cepat menuju gerbang depan, dan sempat ia melambaikan tangan tanda perpisahan antara mereka. Ia mengunci pintu gerbang dan menghilang dari tingginya pagar rumah itu.

            Beberapa menit sebelum sampai diapartemen, Minseok meneleponnya, hari ini ia kembali kerumah bersamanya. Rumah Minseok di Apjeong akan ia sewa kepada orang lain, memang, rumah itu milik oppanya, apa salahnya untuk disewakan kepada orang yang sedang mencari apartemen sewa. Minseok sudah berada diapartemennya dan bergegas lalu menancap pedal gas dan tekan perlahan dan melaju dengan kencang.

            “Aku pulang.” Jihan membuka sepatunya, kedua tangannya penuh dengan bawaan. Ibu Do memberi makanan kesukaan yang tadi pagi dibuat, ia segera ke dapur dan memindahkan makanan itu dalam kulkas.

            “Oppa? Otteo?” Jihan memanggil Minseok berulang kali. Tetapi belum menyahutnya. Sepatunya ada didepan pintu, dan dimana Minseok?

            “Ya, kamu kenapa sekhawatir itu, aku baru selesai mandi.” Minseok keluar dari kamar itu dan hanya menggunakan celana pendek.

            “Astaga, bajumu. Pakailah bajumu, oppa. Kelakuanmu tak pernah berubah.” Jihan mengambil bantal disofa dan melempar ke arah Minseok. “Aish!” jeritnya.

            “Sepertinya oppa membeli makanan?” ia melihat beberaa makanan diatas meja makan disaat ia memindahkan makanan yang ia bawa.

            “Ah~ temanku dari Beijing kembali ke sini, dan membawakan oleh-oleh untukmu.” Ia mengenakan kaos oblong berwarna hitam dan duduk didekat Jihan.

            “Bilang padanya, aku berterima kasih atas oleh-olehnya.”

            “Baiklah.”

            Jihan masuk kedalam kamar dan mengemas tas yang ia gunakan dan memasukkan isi tas itu ke tas kerjanya. Ia kembali mengecheck ponselnya. Rayo-ssi membuat pesan padanya ia akan datang jam 7 diapartemennya. Semenjak Rayo-ssi dan Bibi Hida sudah memiliki hunian pribadi secara tak langsung, rumahnya mendadak kosong, ia menelepon Minseok untuk menemaninya. Sudah lama ia tak bersama oppanya. Kali adalah kesempatan dia bisa mengurus oppanya sekaligus mempererat kebersamaan mereka setelah lima tahun tak tinggal bersama.

***

POPULAR FANFICTION

BERITA PILIHAN

COPYRIGHT 2024 DREAMERS.ID PUBLISHED BY DREAMERS NETWORK