Title: Lovebrary (Love in Library) – 7 cm (sequel dari Lovebrary)
Scriptwriter: natadecocoo
Main cast: Kim Jongin & Han Seulbi
Subcast: Oh Sehun & Kim Seolhyun (AOA)
Genre: romance,fluff,school life
Duration: chaptered--sequel
Rating: PG-13
Jongin sedang berbicara tentang angka—dan Sehun tahu angka apa itu. Tentang apa itu. Mengarah kemana pembicaraan itu.
PART 1
Sehun mengusap-usap matanya—saking ia tidak percayanya akan apa yang ia lihat. Jongin sedang bermain sepak bola bersama yang lainnya.
Tak biasanya. Seperti yang telah ia dan Jongin sendiri ketahui, semenjak mengenal yeoja di perpustakaan itu, Jongin selalu berada di perpustakaan dan memilih untuk mengabaikan ajakannya untuk bermain sepak bola bersama.
“Daebak.. Apa dia takut kalau suatu hari nanti ia akan lupa bagaimana caranya bermain bola?” ucap Sehun pada dirinya sendiri seraya memiringkan kepala.
Memasuki lapangan, Sehun setengah berlari lalu menepuk pundak kawannya itu. “Jongin-a. It’s been a long time.”
Sebuah senyuman yang ia harapkan tidak nampak. Malah yang tampak adalah wajah suram Kai dan engahan nafas ketika Jongin berhasil menendang bola ke gawang—mencetak skor.
“Hai.” respon Jongin sedikit terlambat.
Ada sesuatu yang terjadi. Pasti.
Itulah yang dirasakan oleh Sehun.
~~~~~
Sehun melahap habis kebabnya, lebih tepatnya, kebab keduanya. Namun tampak di matanya Jongin tak mengunyah sedikitpun makanan. Matanya menerawang jauh, menembus entah kemana. Yang jelas, pikirannya tampak kemana-mana. Baru ketika Sehun menyebutkan kata perpustakaan, Jongin merespon.
“Ndae?” tengoknya lemah.
“Kau..tak...ke perpustakaan lagi?”
“Ndae?” “Ani.” jawab Jongin lemah disertai sebuah gelengan.
Pertama, Sehun tahu bahwa pasti telah terjadi sesuatu dengan Jongin. Lebih tepatnya yeoja yang Jongin suka atau mungkin pikiran Jongin tentang yeoja tsb. Kedua, Sehun tahu ia tak seharusnya mencampuri urusan Jongin dan membiarkan Jongin mengurus urusannya sendiri kecuali jika sudah benar-benar berat—maksudnya, keadaan dimana ia merasa Jongin tidak bisa mengatasinya sendiri.
“ Yah, kurasa kau tak perlu setiap hari ke sana dan memaksakan dirimu, bukan? Ada kalanya kau butuh untuk bermain bola...”
Jongin masih diam.
“Aku tau kau tak menyukai perpustakaan dan buku-buku—sama sekali bukan dirimu”
Jongin tetap diam. Sehun tampak cerewet sendirian. “Tapi jika kau benar-benar ingin melakukannya, kau bisa membaginya. Jam istirahat pertama bermain bola. Jam istirahat kedua ke perpustakaan.”
Tak berhasil. Ternyata usaha Sehun untuk menguji sejauh mana Jongin memiliki masalah telah berakhir pada satu hasil dan kesimpulan. Masalah yang Jongin miliki kali ini benar-benar mengganggunya. Jelas saja. Tak biasanya bagi Jongin untuk diam—maksudku benar-benar diam untuk ukuran orang secerewet dia.
“Jongin-a. Malhaebwa.” Sehun mendekatkan dirinya ke Jongin, menggeser kursinya.
Jongin menengok. Mungkin ia mulai sadar bahwa Sehun mulai membicarakan sesuatu yang lain dari topik sebelumnya. “Kau pikir aku tidak bisa membaca dirimu yang sedang bermasalah ini, eoh?”
Meski Jongin tetap diam, setidaknya dia menghela nafas. Tindakan yang cukup melegakan bagi Sehun karena hal itu membuktikan bahwa Jongin masih hidup dan tidak sedang kerasukan arwah apapun. Yah mungkin saja bukan? SMA Yongsang memiliki rumor hantu yang cukup banyak.
“Ya. Katakanlah. Kau tahu, banyak kelainan jiwa yang muncul pada seseorang yang memendam masalahnya.”
~~~~~
Baru kali ini Sehun mendengar sesuatu yang cukup serius dari mulut Jongin. Jongin yang baginya selalu menganggap remeh segala hal, santai dalam segala hal, kini berbicara serius layaknya hal itu adalah hidup dan matinya.
“Mungkin menurutmu apa yang kuucapkan adalah hal yang lucu..tapi..aku sedang berpikir bahwa sepertinya, aku dan dirinya berada di level yang jauh berbeda. Kamu tahu maksudku kan? 1 di antara 210 dan 180 di antara 210.”
Jongin sedang berbicara tentang angka—dan Sehun tahu angka apa itu. Tentang apa itu. Mengarah kemana pembicaraan itu.
210. Jumlah seluruh murid kelas 2 SMA Yongsang. 1 adalah posisi tertinggi. 180 adalah posisi yang cukup rendah jika dilihat dari jumlah muridnya.
“Dia pintar, murid teladan dan aku—ah aku sampai tidak tahu harus mendeskripsikan diriku seperti apa.” Tersenyum, Jongin tampak tersenyum, kecut.
“Kita tak mungkin bersama.”
Sehun menghela nafasnya kasar. Ia sudah mengira bahwa Jongin akan menggalaukan masalah ini. Dari jauh hari, ia akan menduga akan hal ini untuk terjadi. Kejadian dimana Jongin berpikir bahwa ia tak pantas untuk bisa merebut hati yeoja yang selalu ia amati di perpustakaan. Bahkan untuk mengamatinya saja Jongin merasa tak pantas..Sehun paham betul akan hal itu karena ia hafal bahwa kawannya itu, meskipun sikapnya yang selalu ceria, ia punya kecenderungan pesimism yang kuat.
“Mungkin kita harus ke toilet sebentar.” ujar Sehun.
Jongin melihat penuh tanda tanya ke arah Sehun. “Kita?”
Sehun mengangguk.
“Wae?”
“Aku ingin melihat apakah kau benar-benar seorang laki atau tidak.”
“Bwo—bwoya.”
Jongin terbata. Namun saat itu juga ia sadar akan maksud dari Sehun—menyingkirkan pikiran joroknya sementara dan mengecek wajah kesal Sehun.
“Kamu harus berjuang Jongin-a.”
Saat itu juga Sehun melangkah pergi meninggalkan Jongin. Sehun tahu Jongin butuh waktu untuk sendiri. Semua ucapannya saat ini mungkin akan terdengar percuma. Ia hanya perlu menunggu Jongin memikirkan masalahnya itu sendiri.
Jongin terkulai lesu. Merundukkan kepalanya selama berjam-jam di atas meja di kelas. Sehun sedang tidak ada di sampingnya, melainkan berada di kursinya menatap Jongin dari kejauhan.
Kini ia tidak tahan lagi, sepertinya Jongin membutuhkan sebuah solusi atas masalahnya. Sehun bangkit dari kursinya dan mendekati Jongin.
“Ya. Kau masih ingat dengan Seolhyun? Dia teman kita semasa SMP” tanya Sehun pada Jongin.
Jongin mengangguk pelan, dengan masih dalam posisi menunduk.
“Kau ingat di antara kita bertiga siapa yang paling pintar?” tanya Sehun lagi, meski ia sudah tahu akan jawabannya.
Jongin seakan tahu maksud dari pertanyaan Sehun. Ia mendongak dan memasnag wajah berpikir.
“Hokshi...” ia menengok ke arah Sehun. Sehun mengangguk.
~~~~~
“Bwo?! Jongin ingin aku mengajarinya belajar?! Bwoya.. Sejak kapan dia niat sekolah?” Seolhyun mengedipkan matanya berulang kali—tak percaya. Jelas saja, ketika ia sedang belajar dahulu ketika di SMP, Jongin lah yang selalu mengganggunya. Seperti, “Ya. Matamu sudah empat. Kamu mau menambah matamu lagi dengan membaca buku sebanyak ini?” “Aku benar-benar ingin membelah kepalamu dan melihat apa isinya. Berhentilah belajar dan bersenang-senanglah selagi masih muda.” atau “Bagilah nilaimu denganku. Jika nilaimu 94 berarti 70 untukku, 24 untukmu. Bukankah nilaimu di mata pelajaran lain sudah bagus?”
“Apa mungkin kepalanya baru saja terbentur sesuatu?” tanya Seolhyun dengan wajah berpikir.
“Yes or no.” Jongin tiba-tiba datang, menyusul Sehun dan Seolhyun. “Kau hanya perlu menjawab mau atau tidak.”
“Aku butuh alasan, Kim Jongin.” Seolhyun bersikeras—seraya menyilangkan lengannya ke dada.
“Kalau begitu, apakah aku juga butuh alasan untuk tidak menyebarkan ini?” goda Jongin, mengibas-ngibaskan sebuah amplop berwarna biru laut dengan hati di tengahnya.
“YAA!!” Seolhyun langsung bereaksi dan berusaha merebut surat itu darinya. “Mengapa kau masih menyimpannya aish jinjjha!!”
“Jadi?”
“Baiklah aku akan mengajarimu.”
Jongin telah memutuskan. Ia kali ini ingin mendekati yeoja kesayangannya dengan cara lain. Meski ia sedikit besar rasa saat itu ketika yeoja yang ia perhatikan juga memperhatikannya, ia masih merasa ada sesuatu yang tidak benar. Ia merasa kurang baik untuk yeoja itu. Sehingga ia memutuskan untuk berada di 30 besar di sekolah sehingga dapat berada di satu level yang sama dengan yeoja itu. Karena sebenarnya dengan menjadi 30 besar itu pula lah, ia dapat berada lebih dekat dengan yeoja itu, berada di kelas tambahan khusus. Kelas yang diperuntukkan bagi mereka yang berada pada 30 besar dengan tujuan untuk dibimbing ke berbagai lomba bergengsi serta olimpiade.
“Kau tahu Jongin-a, ini tidak akan mudah.” kata Seolhyun lagi—mengulanginya mungkin hingga 3x hari ini. “Kau tahu sendiri kan standar kompetensi sekolah ini dan juga muridnya yang...studiaholic?”
“Ya. Tutor macam apa kau ini. Seharusnya kau memberiku motivasi..” Gerutu Jongin. Sementara itu, Sehun tak peduli dan membaca komiknya. Ia sudah merasa cukup lega akhirnya Jongin menemukan sebuah solusi dan mencoba untuk berjuang.
“Tutor? Kau bahkan tidak membayarku.” Seolhyun selalu memasang wajah sebal sedari tadi. Jongin tak pernah berhenti membuatnya naik darah. Namun dalam hati, ia merasa senang ketika memikirkan bahwa Jongin akhirnya mau belajar. Ia senang, entah karena apa. Mungkin ia ingin temannya berada pada jalan yang benar.
“Berikan aku waktu! Yayaya! Mengapa kau langsung memberiku soal sulit.” Kesal Jongin—merasa frustasi. “Seharusnya kau memberiku soal mudah terlebih dahulu. Seperti level games, harus dimulai dari yang mudah terlebih dahulu..”
“Eeeey. Jongin-a, memangnya selama kita ujian guru kita pernah berpikiran untuk membuat soalnya seperti level game? Berhenti berharap! Mereka memberi kita soal sukar semua jadi kau harus terbiasa akan itu.”
“Keundae..Tetap saja..”
“Ah sudahlah kerjakan saja. Jangan lupa besok bawakan aku jawabannya dan aku akan mengoreksinya.” Seolhyun berdiri. Setelah mengajari Jongin beberapa rumus Matematika, ia memberinya setumpuk soal untuk dikerjakan di rumah. “Oh iya, sebaiknya kau belajar tentang Sejarah juga karena sepertinya besok moodku untuk belajar Sejarah sedang tinggi.”
Seolhyun lalu pergi begitu saja, setelah merapikan barangnya ke dalam tas. Melenggang meninggalkan kelas.
Baru saja Jongin ingin meluncurkan sebuah protes namun tidak jadi. Tentu saja tidak jadi, Seolhyun sudah sukarela memberikan waktu untuk mengajarinya tapi ia malah terus merengek. Jongin tahu ini tidak akan mudah sehingga ia pasrah saja dan berharap matanya bisa bertahan lama nanti malam.
Jongin memasuki kelas Seolhyun dan melihat teman berkacamatanya itu sedang berkutat dengan berbagaimacam buku—seperti biasanya. Bukan sebuah pemandangan yang langka. Kecuali jika seseorang itu adalah Jongin, maka itu bisa disebut langka.
“Sudah mengerjakan tugasmu?” tanya Seolhyun, seakan mengerti bahwa seseorang yang sedang mendekat ke arahnya adalah Jongin.
“Umm” jawab Jongin pelan. “Kau tak tahu aku habis berapa cangkir kopi untuk mengerjakan ini dan membaca sedikit tentang Sejarah.”
“Berikan padaku.” ujar Seolhyun tak menghiraukan rengekan kawannya.
Jongin lalu memberikannya kepada Seolhyun—hanya untuk melihat raut wajah tidak enak pada Seolhyun. Tanda silang bertebaran di berbagai nomor. Beberapa memang tanda centang karena beberapa memang sangat mudah, soal yang tinggal menyalin rumus yang mereka pelajari dengan angka. Tidak lah rumit.
“Yaa.. Kemana Saja kau selama ini Kim Jongin?!!”
Begitu seterusnya hingga 6 hari ke depan. Kadang mereka berganti tempat, di McD atau cafe tapi tetap saja, tak pernah Seolhyun tidak kesal ketika mengoreksi jawaban dari temannya itu. Siapapun yang melihatnya pun tak akan menyangka bahwa Jongin bisa berteman dengan yeoja seperti Seolhyun. Tentu saja, ini karena ulah Sehun. Dulu, mereka sama-sama berada di barisan paling belakang.
“Sekarang bentuklah sebuah kelompok terdiri dari 3 orang.”
Ketika mendengar kalimat itu dari guru mereka, Sehun pasti akan mengajak Jongin untuk mengajak Seolhyun bergabung menjadi satu kelompok mereka dengan alasan “Kita butuh seseorang yang lurus dan mempunyai otak di kelompok kita.” Begitulah. Seolhyun sih menurut saja meski kadang hanya dia yang mengerjakan tugas. Yang penting baginya adalah tugas dari gurunya selesai, kewajibannya selesai. Toh tak ada ruginya ia berbuat baik untuk orang lain—meskipun membiarkan teman sekelompoknya untuk tidak ikut mengerjakan tugas bukanlah hal yang baik juga.
“Jaggaman.. Biarkan otakku beristirahat terlebih dahulu Seolhyun-aaa.” Sela Jongin seraya mengambil segelas Frappucino latte nya dan menyeruput isinya dengan tidak santai.
“Haaah sungguh. Tak kusangka selama ini kau berada dalam suatu penderitaan seperti ini Seolhyun-a.”
Seolhyun memandang Jongin lemas “Ini bukan penderitaan Jongin-a. Kau akan tahu jika sudah terbiasa. Ini semua mengasikkan—“
Belum selesai Seolhyun berucap, Jongin memenggalnya. “Ah cukup hentikan. Aku tak mau mendengar omong kosong itu lagi dari mulutmu”
~~~~~
Sudah seminggu lamanya Jongin tidak memasuki perpustakaan. Ia melihat ke tulisan di papan plat lalu menghela nafasnya. “Ternyata memang tak semudah itu...” gumamnya, sebelum melangkahkan kakinya masuk ke dalam perpustakaan.
Jongin mengulang kebiasaannya lagi—memasuki perpustakaan. Jika bukan karena perintah Seolhyun untuk mencari beberapa referensi, Jongin mungkin tidak menginjakkan kakinya ke dalam sana sekarang ini.
Jongin melihat ke sekeliling. Tentu saja masih sepi. Masih terlalu pagi untuk menginjakkan kaki ke perpustakaan. Bel bahkan belum berbunyi.
Jongin membiakkan banyak buku pada sebuah rak yang tinggi menjulang. Pencariannya berlangsung selama beberapa menit, hingga ia akhirnya menemukan buku tsb. “Chajatta!” serunya lalu merutuk akan ketebalan buku tsb.
Rutukan dan langkahnya yang seirama kemudian terhenti ketika ia melihat sesuatu.
Yeoja itu. batinnya
Dari kejauhan dan dari balik rak yang sedikit longgar, ia sudah bisa melihat bayangan yeoja itu.
Pikirannya melayang. Seperti itulah jika ia melihat yeoja itu—parasnya selalu bisa menghipnotis. Tinggi bak model, kaki jenjang, wajah jelita... Jongin hampir tak bisa menemukan kata-kata lagi untuk mendeskripsikannya.
Ia lalu tersadar ketika bayangan yeoja itu menghilang. Bingung, ia lalu kembali melangkah dan mencari kemana saja. Ia tak dapat membohongi dirinya sendiri bahwa ia merindukan sosok yeoja itu.
“Brugh!!” suara dentaman keras itu terdengar di telinga Jongin. Cukup keras.
Well, mungkin karena sumber suara itu tepat berada di depannya. Ia dapat melihat bukunya terjatuh, disertai buku-buku lain yang berasal dari seseorang yang menabraknya.
“Ah..Mian.”
Suara itu..Jongin tercekat ketika mendengar suara itu.
Suara yeoja yang ia idolakan.
Keduanya tampak panik—namun Jongin akhirnya bisa mengontrol emosinya. “Ah gwaenchana. Gwaenchanayo..” Ia menggaruk kepalanya.
Tak lama, ia menyadari sesuatu. Jari telunjuk yeoja itu tergores sesuatu yang sepertinya ujung buku yang cukup lancip. Mungkin begitu runcing hingga bisa digunakan untuk memotong buah-buahan yang melimpah di lemari es Jongin.
“Ya! Jarimu!” Jongin kembali panik—segera saja ia meraih jari yeoja itu dan...
memasukkannya ke dalam mulutnya.
Seketika wajah yeoja itu memerah. Padam. Seperti bara kayu yang baru saja terkena angin.
Tapi yeoja itu tak bisa berbuat apa-apa selain menatap Jongin yang melakukannya dengan penuh keseriusan.
Merasa ia bisa saja meledak di menit berikutnya, yeoja itu menarik tangannya.
“Ah mian.” respon Jongin.
Satu kebiasaan Jongin yang tidak bisa Jongin hindari. Kecerewetannya berkali lipat ketika panik.
“Sebuah penelitian menyebutkan bahwa—bahwa ...air ludah bisa untuk mempercepat penyembuhan luka. Jadi aku melakukannya. Selain itu, enzim yang berada pada air ludah seperti lisozim dan mekanisme pertahanan lainnya bisa membunuh bakteri yang bisa saja akan masuk melalui lukanya..Umm Seolhyun menyebutnya sebagai port d’entry!! Ya, port d’entry.. Mungkin kamu merasa sedikit tidak nyaman tapi sebenarnya aku hanya berusaha untuk menolongmu..”
Hening. Jongin mendongak dan dapat melihat yeoja itu tampak tertawa kecil dengan tangan kanannya menutupi mulutnya. Begitu manis. Jongin ingin hal itu berlangsung selama mungkin.
Yeoja itu menyadarinya lalu seketika menundukkan kepalanya “Kamsahamnida. Maaf telah mentertawakanmu tapi sesungguhnya itu ilmu baru bagiku. Gomawo-yo.”
Dilanjutkan dengan senyum—yang sepertinya tidak akan dapat Jongin lupakan untuk beberapa hari selanjutnya.
Meskipun ia melihat suatu kejanggalan..Wajah yeoja itu seperti mayat hidup. Mata panda, bibir yang sedikit pucat. Apakah ia belajar terlalu keras? tanyanya pada dirinya sendiri.
~~~~~
“Seulbi-a..Sudah berapa lama kau menatap jari itu?”
Seulbi mendongak dan menyadari maksud dari ucapan kawannya, Hyeri.
“Ah..Matta.” diakhiri dengan senyum.
Ia kemudian lanjut membaca buku yang berada di hadapannya. Masih tersenyum sendiri, mengelus-elus luka di jarinya yang telah diperban.
“Seulbi-a.. Bolehkah aku bertanya sesuatu?”
“Ndae?”
“Apakah mungkin ada sesuatu yang sedang mengganggumu? Kau tahu, nilaimu...nilai ulangan harianmu...” Hyeri tidak sampai untuk menamatkan kalimatnya. Ia merasa tidak tega untuk menanyakannya.
“Ah sudah lupakan saja.”
“Maksudmu nilaiku yang menurun, bukan?”
Dua kalimat itu keluar bersamaan. Seulbi tampak menunduk dan tersenyum tipis. “Sepertinya aku sedang malas saat itu. Maka dari itu, aku akan memperbaikinya di ujian tengah semester nanti.” jawabnya mantap seraya melihat ke arah namja yang sedang mengurus peminjaman buku di counter dekat dengan pintu masuk.
“Apakah kau mengenal namja yang tadi mengantarkan buku untukmu itu?” Tanya Hyeri—menyadari ke arah mana pandangan mata Seulbi berakhir.
“Ani.” jawab Seulbi lemah seraya menundukkan kepalanya, menyembunyikan sedikit semburat merah jambu setelah memperhatikan Jongin.
TBC
AAAAACK AKHIRNYA BISA NULIS LAGII
Siapa ya yang dulu minta Lovebrary ada sekuel? nih aku bikinin. Tapi ada tambahan karakter Seolhyun AOA. Gegara liat dia main di OM (sekilas doang sih. btw Jonghyun super duper cakep di sanah minta diculik dia kayaknya)
hehe maap yee masih TBC. Tapi udah keliatan kan inti ceritanya? Kalo aku setop aje gimana? hihi #jangandeng
Maafin yaa baru comeback. Seperti yang kalian tahu, aku Cuma aktif waktu liburan dan aku udah resmi libur nih! Jadi request yah ff mana yang mau dicontinue (walaupun mungkin beberapa udah lupa sama alurnya. Jeongmal mian >< hiks)
Sekian ff kambek dri natadecocoo, semoga suka ^^)/
Komen yah komen ^^