-oOo-
7 Tahun yang lalu.
Seoul, Kyeong-gi High School
Pagi yang hangat di musim semi. Matahari menyinari bumi dengan indahnya, sinarnya menembus rimbunan pohon-pohon besar yang seakan melindungi sekolah yang masih sepi itu. Pepohonan dan bunga-bunga yang bermekaran disepanjang jalan setapak menuju gerbang sekolah Kyeong-gi mempertegas kesan musim semi. Angin semilir yang seringkali berhembus, membawa harum dari bunga-bunga tesebut. Suasana yang indah dipagi hari.
Hanya ada segelintir siswa berjalan menuju sekolah. Maklum, jam yang berdiri kokoh beberapa meter dari pintu gerbang menunjukkan pukul enam lewat tiga puluh menit. Masih terlalu pagi untuk sebagian orang, karena kegiatan belajar mengajar dimulai pukul tujuh lewat lima belas.
Namun, bagi sebagian orang, suasana yang masih sepi dan tenang inilah saat yang tepat untuk tiba di sekolah. Begitulah yang dirasakan Park Chorong, yang menikmati suasana saat itu.
“Chorong!!!”
Seseorang menepuk pundak Chorong keras, hampir saja Chorong terjatuh dibuatnya.
Orang macam apa yang berisik dipagi hari ini? Desis Chorong. Saat menoleh, sosok dibelakangnya, yang tersenyum lebar tanpa dosa kepadanya, dengan merasa tidak bersalah langsung menarik Chorong menuju kelas mereka.
“Aku bisa kena serangan jantung dipagi hari dan itu karenamu, Son Dongwoon,” bentak Chorong saat mereka berdua sampai dikelas mereka.
Son Dongwoon, yang langsung melempar tas ditempat duduknya melempar senyum lebarnya. “Aigo aigo aigo, kita kan baru bertemu setelah libur satu minggu. Masa kau tidak merindukanku?”
Chorong tersenyum geli mendengarkannya. Chorong lalu duduk ditempat duduknya, didekat jendela. Sementara Dongwoon duduk disampingnya.
Ada alasan kenapa Chorong duduk didekat jendela. Hal yang selalu menjadi alasannya untuk duduk didekat jendela.
Dan sudah dua tahun dia melakukannya.
Setiap pagi, Chorong memang sengaja berangkat pagi buta supaya tiba sangat awal di sekolah. Selain memang udara pagi di sekolahnya menyenangkan, ada seseorang yang selalu duduk dilapangan basket di depan gedung sekolah mereka. Seseorang itu selalu duduk di tempat yang sama, sendirian, sambil menikmati segelas minuman pagi yang mungkin menjadi sarapannya.
Orang itulah yang membuat Chorong selalu datang dipagi hari. Ya, Chorong datang secepat mungkin untuk bisa melihat orang itu. Orang itu selalu juga duduk disana saat jam istirahat. Atau saat kosongnya pelajaran. Dan saat itu pula, Chorong selalu memerhatikan orang itu dari kelasnya yang ada dilantai dua.
“Apa dia ada?” gumam Dongwoon.
Chorong menggeleng pelan, matanya masih tertuju di tempat yang sama.
“Mungkin aku terlalu cepat datang.”
“Biasanya jam segini dia sudah ada disana,” ujar Dongwoon lagi.
Chorong pun mengalihkan perhatiannya ke buku pelajaran. “Mungkin saja dia datang terlambat”, gumam Chorong menghibur dirinya sendiri. Saat matanya menangkap sebuah nama di mejanya, Chorong tersenyum. Otaknya pun otomatis memutar memori tentang nama itu.
Yu Barom
Malam yang sepi. Park Chorong yang baru pulang dari supermarket 24 jam. Ia berjalan santai di kegelapan malam tanpa rasa khawatir. Di tangannya, ia menenteng bahan makanan yang sudah habis di rumahnya.
Langkah kakinya ringan menyusuri lorong-lorong kecil menuju rumahnya. Tiba-tiba, suara derap langkah kaki terdengar dibelakangnya. Chorong pun mulai memelankan langkahnya. Ia terlalu takut untuk menoleh.
Langkah itu semakin dekat. Chorong semakin was-was dibuatnya. Bukan hanya seorang, ada banyak suara derap langkah kaki yang didengarnya. Chorong tetap berjalan santai, berusaha meyakinkan dirinya kalau itu bukan apa-apa.
“Hai, Nona.”
Benar. Sekelompok pria yang tidak dikenalnya langsung menghadangnya dari depan. Chorong sontak menghentikan langkahnya. Matanya menatap tajam ke sekumpulan orang itu.
“Kenapa malam-malam begini keluar? Kasihan anak gadis…”
Salah seorang dari gerombolan itu, yang bertubuh tinggi dan ceking berjalan mendekati Chorong. Chorong melangkah mundur menghindari tangan orang itu, yang mulai mengarah ke tubuhnya.
Tidak kehabisan akal, teman orang itu, yang ternyata ada dibelakang Chorong, ikut maju seakan menyergap Chorong. Chorong tidak bisa melangkah kemana-mana. Dirinya kini dikelilingi oleh orang-orang yang tidak dikenalnya.
Jantungnya berdegup kencang. Tangannya sudah basah karena keringat. Tubuhnya mulai gemetar saking takutnya.
“Ya Tuhan… Selamatkan aku…”
Salah seorang dari gerombolan itu mulai menyentuh tubuh Chorong, menyebabkan Chorong memekik refleks dan mendorong orang tersebut. Orang tersebut tersungkur di tanah, Chorong cepat-cepat melangkah mundur menjauhi mereka.
“Kami tadinya akan memperlakukanmu dengan baik. Dasar gadis yang tidak sopan.”
Chorong tetap melangkah mundur menghindari mereka, berharap ada seseorang yang berniat menolongnya. Namun sialnya, Chorong justru berjalan kearah tembok yang menyebabkan dirinya terperangkap.
Para gerombolan itu pun langsung mengelilingi Chorong lagi. Dengan tatapan yang tidak bisa dijelaskan, mereka menatap Chorong seakan Chorong adalah mangsa mereka.
Lelaki yang tadi menyentuh Chorong pun maju mendekatinya lagi. Jarak diantara mereka semakin dekat, sampai Chorong bisa mencium bau alkohol dan rokok yang sangat tajam dari napasnya. Chorong tidak bisa berpikir apa-apa lagi.
“BUG !!!”
Suara pukulan yang keras muncul dibalik gerombolan itu. Perhatian mereka pun tertuju pada sosok yang masih memukul teman mereka.
“Siapa kau?”
Sosok itu menoleh. Dengan ringannya dia menghempaskan tubuh anggota gerombolan itu ke tanah, lalu berdiri berjalan mendekati mereka.
Chorong jatuh terduduk di tanah. Napasnya sesak, tubuhnya gemetar dan bercucuran keringat. Chorong memerhatikan orang-orang dihadapannya.
Tanpa basa-basi, orang yang tadi memukul anggota gerombolan itu, memukul lelaki yang menyentuh Chorong keras sampai orang itu tersungkur di tanah. Tak terima, anggota yang lain pun mulai melancarkan serangannya.
Dengan mudahnya, sosok itu menghabisi seluruh gerombolan itu sampai babak belur. Chorong melihat semuanya, tidak bisa mengedipkan matanya. Napasnya pun seakan berhenti melihat adegan yang terjadi dihadapannya.
Gerombolan yang kini babak belur itu pun melarikan diri. Tinggallah sosok itu dan Chorong.
“Kenapa kau keluar malam begini?” tanya sosok itu sambil mengulurkan tangannya. Chorong meraih tangan itu dan sosok itu membantunya berdiri. Chorong tidak menjawab pertanyaannya. Dia langsung memungut barang belanjaannya yang jatuh, lalu langsung pergi dari tempat itu.
Beberapa langkah setelah dia meninggalkan tempat itu, Chorong yang merasa tidak tahu berterimakasih pun menoleh. Sosok itu masih ada disana. Mengamati Chorong dan tetap berdiri pada tempatnya.
“Terima kasih,”ujar Chorong seraya membungkuk. Sosok itu hanya membalas dengan anggukan. Chorong pun mencari sesuatu di dalam kantong plastik belanjaannya, dan menariknya keluar.
Chorong berjalan mendekat. Ketika jarak mereka sudah cukup dekat, Chorong mengulurkan dua batang cokelat kepada sosok itu sambil tersenyum kaku. “Ini tanda terima kasih dariku.”
Sosok itu menatap apa yang ada ditangan Chorong sebentar, lalu mengambilnya. Chorong membungkuk sekali lagi, lalu langsung berlari pulang kerumahnya.
Saat dirinya membungkukkan badan, sebenarnya Chorong berusaha mengetahui nama orang itu dan berhasil.
Yu Barom. Itulah yang tertulis di papan nama di bajunya
“Dia datang! Rome Sunbae, Chorong Chorong!” pekik Dongwoon sambil menepuk pundak Chorong. Chorong memutar kepalanya cepat, menjatuhkan pandangannya ke titik yang tadi dan benar, orang yang mereka maksud ada disana.
Dengan raut wajah yang dingin, orang itu duduk dan menegak minumannya. Setelah isi dari kaleng minuman itu habis, orang itu melempar kalengnya ketempat sampah dan kembali ke kelasnya.
Chorong dan Dongwoon mengamati setiap pergerakan orang itu dengan seksama. Saat orang itu telah menghilang dari jarak pandang mereka, Chorong menghela napas. Ia pun mengalihkan pandangannya kembali ke buku pelajaran di meja.
Dongwoon masih menatap jendela lalu menatap Chorong. “Kapan kau berani menyapa Rome Sunbae?”
Chorong menggeleng pelan. Matanya tertuju ke buku, tapi pandangannya kosong. Dongwoon yang menyadari hal itu, dengan sengaja menarik buku Chorong dan menyimpannya di laci meja. Chorong sontak memicingkan mata ke Dongwoon.
“Rome Sunbae sebentar lagi akan lulus. Apa kau tidak menyesal kalau sampai dia lulus, dia tidak tahu namamu?” tanya Dongwoon. Chorong menatap Dongwoon kaget. Benar juga, Rome Sunbae saat ini duduk dikelas tiga, sementara dirinya duduk dikelas dua. Sebentar lagi tahun ajar akan berakhir dan diganti dengan tahun ajar baru. Dan saat itu, Rome Sunbae yang telah lulus, akan pergi. Chorong tidak akan pernah melihatnya lagi.
Chorong menghela napas. Hatinya membenarkan apa yang dikatakan Dongwoon. Dongwoon memang benar. Tapi, Chorong bukan orang yang percaya diri untuk menyapa Rome. Chorong sadar dia siapa, dirinya juga tahu Rome itu siapa.
Untuk mendaftar sebagai siswa disekolah mereka, ada dua jalur. Pertama, jalur regular. Namanya memang jalur regular, tapi yang mendaftar di jalur ini hanya orang-orang yang sanggup mengucurkan uangnya. Dengan kata lain, jalur ini diperuntukkan untuk orang kaya. Karena reputasi sekolah ini yang gemilang, banyak para pengusaha menginvestasikan anaknya disini dengan bayaran selangit. Siswa yang masuk dijalur ini disebut siswa ‘Dewa’.
Kedua adalah jalur beasiswa. Para siswa yang berprestasi diseleksi ketat sampai terdaftar jadi siswa, dan biaya selama menjadi siswa ditanggung oleh pihak sekolah dengan syarat nilai tidak boleh turun. Jalur ini tidak mudah dilalui, karena penyeleksiannya yang sampai 6 tahap. Sementara siswa yang ada dijalur ini disebut siswa ‘Otak’.
Chorong dan Dongwoon termasuk siswa ‘otak’. Mereka lulus seleksi yang sangat ketat dan berhasil masuk sekolah ini. Sementara Rome masuk kategori siswa ‘Dewa’. Disini letak perbedaan Chorong dan Rome.
Siswa ‘otak’ dianggap cupu dan dikucilkan di lingkungan sekolah. Hanya yang berani menjilat atau mendekati siswa ‘dewa’ saja yang bisa berkuasa. Sementara siswa ‘dewa’ yang delapan puluh persen dari jumlah keseluruhan siswa ini yang menguasai hampir semua bagian sekolah ini. Kantin, toilet, loker, bahkan baju olahraga mereka pun berbeda. Sangat terlihat jelas bentuk strata yang sangat membedakan antara si miskin dan si kaya.
Chorong, si miskin dan Rome, si kaya.
Bukannya Chorong tidak mencoba untuk dekat dengan Rome atau sekedar bisa mengenalnya, semua cara yang memungkinkan sudah dirinya lakukan. Tapi, Rome bukan orang sembarangan di sana.
Rome adalah pewaris tunggal Yedang company milik ayahnya. Orang tuanya adalah salah satu pemegang saham terbesar di sekolah ini. Banyak siswi yang mendekatinya. Setiap hari, selalu dikelilingi oleh penggemar dan pemuja Rome. Dari kalangan dewa dan otak, namun kalangan Otak pasti tersingkir oleh kalangan Dewa.
Bagaimana caranya mendekati Rome tanpa harus berurusan dengan penggemar Rome dari kalangan Dewa?
Rasanya tidak mungkin. Chorong dulu pernah mengirimi Rome kue cokelat buatannya. Dirinya tahu, Rome suka cokelat. Namun, kue itu tidak berhasil sampai ke tangan Rome. Kim Jiwon, siswi yang paling sering ada di dekat Rome menginjak kue itu dan melemparkannya ke tong sampah. Sejak saat itu, Chorong tidak berniat memberi Rome apapun.
Hatinya terlalu sakit kalau mengingat perbuatan kalangan Dewa kepadanya.
“Kau pasti ingat kejadian itu,” gumam Dongwoon seakan bisa membaca pikiran Chorong. Dongwoon memang sangat dekat dengan Chorong. Mereka berasal dari provinsi yang sama. Hanya Dongwoon teman terakrabnya disekolah ini. Para gadis dari kaum Otak berusaha dekat dengan gadis di kaum Dewa, yang menurut Chorong tidak masuk akal.
“Tapi mau bagaimana lagi, kita berbeda dari mereka,” balas Chorong menanggapi perkataan Dongwoon.
Dongwoon hanya bisa menghela napas mengiyakan.
-oOo-
“Pesta?”
“Khusus kita.”
“Maksudnya?” alis Rome terangkat sebelah. Matanya berusaha mencerna sepucuk undangan yang isinya sangat tidak masuk akal. Pesta… Kaum Dewa?
“Ayolah. Hanya kau yang selalu tidak aktif di acara sekolah.”Kim Jiwon, yang mengantarkan undangan pesta ke Rome terus menatap Rome dengan tatapan memelas agar Rome mau pergi, lebih tepatnya pergi bersamanya.
“Maksud kaum dewa ini apa? Maaf, aku bukan dewa.”
“Tapi kau tahu kan, kau itu Kaum Dewa di sekolah ini.”
Rome beranjak berdiri dari bangkunya. Kaum dewa? Kaum apa itu? Kaum yang menghabiskan uang maksudnya? gumam Rome geram. Semua orang dikelasnya memerhatikannya yang tampak kesal.
“Pesta Kaum Dewa ini,” seru Rome menggenggam undangan dari Jiwon tadi, “Aku tidak tertarik.” Rome merobek undangan sebesar buku tulis itu dengan kesal lalu menginjaknya. Semua penghuni kelas kaget melihat perbuatan Rome itu.
Setelah semua perbuatannya, Rome langsung pergi dari kelasnya. Tidak peduli dengan guru yang ada didepan pintunya.
-oOo-
Chorong membaca kata per kata yang ada di halaman bukunya dengan lekat. Setelah menyelesaikan satu halaman, tangannya bergerak membalik lembaran kertas dan kembali berkutat dengan halaman selanjutnya. Suasana sunyi di taman sekolah membuat perhatiannya penuh tertuju pada buku itu.
Perhatian Chorong berhenti sejenak saat dirinya merasa ada yang duduk disampingnya. Karena penasaran, ia menoleh.
Saat itu pula, orang yang duduk disampingnya sedang menatap Chorong. Tatapan mereka bertemu. Mereka saling menatap lama.
Chorong kehilangan kata-katanya. Pikirannya mendadak kosong saat melihat sosok itu. Sosok itu yang terasa sangat jauh baginya. Sosok yang kini ada disampingnya.
Yu Barom.
“Kau kenapa?” tanya Rome yang merasa Chorong menatapanya aneh. Chorong tetap terdiam menatap Rome. Rome mengibas-ngibaskan tangannya. “Kau patung atau manusia?”
Chorong menggeleng cepat. Dia mengerjapkan matanya berkali-kali, berusaha memastikan yang duduk disampingnya memang Rome. Setelah yakin, Chorong justru memasang senyum kaku.
Rome tertawa melihatnya.
Chorong menundukkan kepalanya karena malu. Kenapa dia harus memasang senyum kaku dihadapan Rome? “Sial sekali”, umpat Chorong dalam hati.
Lama rasanya Chorong menunduk untuk menyembunyikan wajahnya. Saat mengangkat kepalanya, tahu-tahu tangan Rome mengulurkan sesuatu padanya. Chorong menatap tangan Rome.
Sekaleng jus anggur. “Minumlah. Sepertinya kau sudah duduk disini daritadi.” Rome bergumam seraya membuka kaleng minumannya sendiri dan menengaknya.
Chorong mengambil minuman itu tapi tidak meminumnya. Dia memandangi Rome yang sedang menikmati minumannya itu lekat.
Deg!
Hatinya berdegup kencang. Chorong langsung mengalihkan perhatiannya kearah lain, takut sampai Rome tahu kalau dia sedang diamati.
Chorong terus melemparkan pandangannya ke Rome. Rome tetap pada posisi duduknya, menatap lurus dengan kosong. Sebenarnya, Chorong ingin sekali bertanya. Ya, dia ingin bercakap dengan Rome walaupun sebentar. Sebelum Rome pergi dan dia tidak akan pernah bertemu dengan Chorong lagi.
“Sunbae… apa kau tidak risih?” tanya Chorong terbata-bata.
Rome menggeleng tanpa mengalihkan pandangannya.
“Maksudmu risih karena ada orang lain yang duduk ditempat favoritku? Tidak.” Rome sepertinya bisa membaca pikiran Chorong.
“Apa…”
“Otak dan Dewa?”
Chorong tersentak. Bagaimana bisa Rome membaca pikirannya dua kali berturut-turut?
“Iya,” jawab Chorong pelan.
Rome menghela napas mendengarnya.
“For God sake, i hate that thing. Bagaimana caranya sekolah ini punya sistem kasta seperti itu? Bahkan membedakan kelas berdasarkan kekayaan. Andai saja aku punya kekuasaan yang cukup, akan kuubah sistem sekolah busuk ini menjadi lebih baik. Mereka tidak berpikir tentang perasaan atau bagaimana? Sial.”
“Kau dari kelas mana?” Rome memotong penjelasannya sambil menatap Chorong serius.
“2F.”
“Pantas saja aku tidak pernah melihatmu. Jadi tenang saja, aku justru menentang adanya pengkastaan seperti itu. Jadi, kau tidak perlu takut untuk duduk bersampingan denganku dimanapun itu. Oke?”
Rome menatap Chorong penuh keyakinan, seperti berusaha meyakinkan Chorong agar tidak takut dan canggung padanya.
Chorong mengangguk dan tersenyum. Rome pun membalas senyuman itu dengan senyum tipis dibibirnya yang membuat Chorong membeku seketika.
“Yu Barom membalas senyumanku”, gumamnya dalam hati.
TING!! TING!! TING!!
Bel tanda istirahat berakhir pun berdentang nyaring. Chorong langsung bergegas berdiri, mengambil minuman pemberian Rome, lalu berlari ke kelasnya.
Namun, Chorong menghentikan derap langkahnya dan ingin berterima kasih ke Rome. Chorong lalu menoleh kebelakang, namun Rome sedang menerima telepon dan terlihat sedang.. mengomel? Mungkin.
Chorong mengamati Rome lagi. Perlahan, senyum terkembang di wajahnya. Sosok Rome yang dikiranya dingin ternyata punya pemikiran yang rasional juga baik.
“Chorong !! Chorong !!”
Seseorang memanggil namanya. Chorong pun langsung membalikkan badannya dan berlari ke kelasnya.
Dirinya tidak bisa berhenti tersenyum memikirkan hal yang barusan terjadi.
Sesampainya di kelas, Chorong menatap kaleng minumam pemberian Rome. Lagi-lagi, senyum lebar dan sumringah terlukis di wajahnya. Dengan bahagia, Chorong menyimpan kaleng itu didalam tasnya.
-oOo-
Rome memicingkan matanya menatap sosok dihadapannya. Hampir saja dirinya tertawa keras melihat apa yang dilakukan orang itu. Dengan pelan, Rome mengendap-endap berjalan dibelakang orang itu, lalu menepuk keras pundak orang itu sambil meneriakkan namanya.
“SON DONGWOON!!!!”
Dongwoon yang sedang menyeruput Blueberry smoothies-nya langsung tersentak kaget dan terbatuk-batuk karena perbuatan Rome tadi.
“Uhuk… Uhuk… APA… Uhuk…Hyung…”
Tanpa merasa bersalah, Rome duduk disamping Dongwoon yang masih nampak terbatuk-batuk lalu langsung mengambil dan menyeruput minuman temannya itu. Raut wajahnya berubah karena rasa minuman yang ternyata enak itu.
Rome mengangkat gelas minuman itu. “Buatku saja, ya?”
Dongwoon hanya menatap Rome dengan tatapan memelas. “Hyung… Itu…. stok terakhir kantin hari ini tahu,” gumamnya pelan menghela napas.
“Oh ya?” Rome mengerutkan dahinya. Melihat wajah Dongwoon yang memelas, akhirnya Rome beranjak memesankan bocah itu segelas milkshake blueberry, yang ternyata masih ada !!
Sambil membawa gelas minuman Dongwoon, Rome menatap penuh amarah ke Dongwoon yang tersenyum lebar. “Siapa yang bilang ini stock terakhir, hah?” omelnya sembari duduk kembali ke kursi.
Dongwoon tertawa mendengarnya. “Maaf ya, Hyung.”
Rome hanya memutar bola matanya menanggapi Dongwoon yang iseng.
Jang Dongwoon. Hoobae di sekolahnya. Orang terdekat Yu Barom di sekolahnya. Sekaligus, satu-satunya siswa dari kaum Otak yang berteman akrab dan tidak canggung menunjukkan pertemanannya di depan umum.
Rome dan Dongwoon berteman karena mereka memiliki satu kegemaran yang sama, yaitu menulis lirik lagu. Jenis musik apapun itu, apalagi hiphop. Sekolah mereka selalu memenangkan piala tingkat nasional maupun regional dalam lomba lirik lagu dan rap, baik itu lomba underground atau tidak. Karena hal itu, Dongwoon bisa masuk ke sekolah tersebut.
Dongwoon menatap Rome yang nampak bosan itu lalu ia melontarkan pertanyaan yang sudah seribu kali, dan yakin mungkin lebih dari itu, dia tanyakan ke Rome.
“Hyung, apa kau sudah punya target ke siapa akan memberikan kancing kedua seragammu?”
Dan jawaban Rome akan selalu sama.
“Dongwoon… Sudah berapa banyak kau nonton film porno?”
Sontak saja Dongwoon memicingkan mata mendengarnya,. “Apa yang salah dengan pertanyaanku?” lalu menggelengkan kepalanya menatap Rome.
“Jelas saja, kenapa kau bertanya hal itu? Itu termasuk ‘byuntae’, kau tau?”
Dongwoon menggeleng kepalanya. “Siapa bilang? Hyung kurang membaca saja. Pasti hyung tidak tahu maksudku yang sebenarnya.”
Rome terdiam sejenak, memikirkan perkataan Dongwoon. Memang apa maksudnya dengan memberikan ke siapa kancing kedua seragamnya itu?
Dengan raut wajah yakin, Dongwoon mengangguk dan menatap Rome. “Hyung memang tidak tahu. Hyung tidak up to date,” katanya membuat Rome mengerutkan dahinya.
Benar-benar !! Dia tidak tahu apa maksud pertanyaan Jang Dongwoon, dirinya justru di cap tidak up to date. Dasar anak muda jaman sekarang.
Dengan mimik wajah yang cuek, Rome tidak memerdulikan tatapan mengejek Dongwoon. Ia justru semakin ingin tahu maksudnya. “Hey, Jang Dongwoon, Jang Dongwoon, beritahu aku lah… Kau tahu kan, aku susah memahami perkataanmu itu, ya kan? Teknik retorika milikmu terlalu tinggi.” Rome berusaha membujuk Dongwoon.
“Apanya yang teknik retorika,” gumam Dongwoon mendecakkan lidah. “Maksud pertanyaannya memang seperti itu. Ke siapa hyung mau memberikan kancing kedua seragammu. Kancing kedua seragam artinya kancing yang terdekat dari hati, berarti kancing tersebut spesial. Dan yang menerimanya juga spesial. Hyung kan sudah mau lulus, jadi ke siapa hyung mau memberikan kancing kedua seragam hyung?” Dongwoon kembali membaca buku dihadapannya, membiarkan Rome berpikir sejenak.
Rome terdiam mendengar penjelasan Dongwoon. Dia berpikir, apa memang ada tradisi seperti itu?
Kalau iya…. Tradisi itu terdengar sangat….
“Tidak masuk akal,” gumam Rome tiba-tiba membuat Dongwoon mengangkat kepalanya menatap Rome. Rome langsung memberikan alasannya dengan wajah sangat serius.
“Bagaimana, bagaimana mungkin kancing kedua seragam itu paling berharga, hah? Bagaimana dengan kancing yang lainnya, hah? Mereka harganya sama, aku… dengar, Son Dongwoon, aku tidak membeli seragam ini hanya dengan satu kancing, semuanya!!! Itu berarti harganya sama, bukan? Kalau begitu…..”
“Tidak bisa dipercaya”, gumam Dongwoon dalam hati saat mendengarkan penjelasan Rome. Dongwoon meminum minumannya, tetap mendengarkan Rome yang mengoceh, lebih tepat mungkin mengomel, dengan pemikiran yang tidak sejalan dengan Rome. Mau diapakan juga, memang Rome orang yang keras kepala.
“Jadi, kau mau melihatku telanjang di hari kelulusan, hah? Tanpa memakai seragam, hah? Kau tahu kan, harga satu kancing itu sama, tidak ada yang spesial ataupun buatan negara manapun. Hey, kau mendengarkanku, tidak?”
Dongwoon mengangguk saja.
“Jadi, hyung mau menyerahkannya ke orang lain atau tidak?” ujar Dongwoon memotong karena mulai lelah mendengar omelan Rome yang mengalahkan panjang omelan ibunya itu.
Dengan menyilangkan tangannya, Rome menggelengkan kepalanya yakin dan mengangguk, menyakini jawabannya adalah benar dan opininya adalah tepat.
Dongwoon menghela napas. “Hyung, kau akan menyesali itu, kau tahu?”
Rome tidak memerdulikannya.
-oOo-
Hari Kelulusan
Sorak-sorak siswa siswi yang telah dinyatakan lulus dari sekolah Kyeong-gi High School itu memenuhi lapangan sekolah itu. Senyum lebar tergambar di setiap wajah mereka. Ada juga yang sambil menangis karena akan melepas masa-masa mereka bersama temannya, saling memeluk dan mengingatkan untuk tidak melupakan satu sama lain.
Karangan bunga memenuhi koridor-koridor, dan buket bunga yang sudah dipersiapkan beberapa siswa sudah digenggam masing-masing. Semua emosi bercampur baur saat itu. Tapi, tidak semua orang merasa sedih-karena-meninggalkan-sekolah-ini. Orang tersebut adalah Yu Barom, yang berdiri menyandarkan badannya di tembok, menatap setiap orang yang lewat dihadapannya dengan memakan ice cream.
Membosankan, pikirnya. Setelah acara ini, sudah ada undangan dari kaum Dewa untuk berlibur ke Jeju. Pesta perpisahan, katanya. Untuk apa merayakan hal itu?
“Rome, kau mau lanjut kuliah dimana? Seoul National University? Konkuk University?” tanya seseorang yang berjalan didepannya. Rome hanya memandangi orang itu sebentar lalu mengalihkan pandangannya ke arah lain.
Orang tuanya sudah mengatur dimana dia akan kuliah. Dia memang akan melanjutkan kuliah, tapi karena ulahnya baru saja, terlibat perkelahian dengan gangster sampai Rome harus masuk ke polisi, yang membuat ayahnya marah, Yu Barom tidak akan berkuliah di Seoul ataupun luar negeri lain. Tidak, bisa dibilang di luar negeri, tapi hanya sampai di Jepang. Itupun, bukan di Tokyo. Di Hokkaido, dan bukan di Sapporo. Jauh dari pusat kota, jauh dari Tokyo dan Sapporo, juga Kobe.
Bisa gila Yu Barom. Apa jadinya dia jika ditempatkan di kampus yang terpencil? Bukannya dirinya akan semakin mengamuk dan menggila?
Rome hanya bisa pasrah. Bagaimana pun juga, dia tidak ingin mengecewakan ayahnya. Cukup sudah dengan perkelahian gangster, yang notabene ganster sialan itu yang salah. Sampai disitu saja perjalanan Yu Barom si Bocah Nakal.
Julukannya terkesan konyol.
Biar saja, biar Appa merasa salah memilihkan universitas terpencil disana. Memang disana bagus, apa? Desis Rome kesal.
Dari kejauhan, Rome bisa merasakan ada seorang gadis yang sedang menatapnya. Berdiri agak jauh dari dirinya. Tapi, karena kerumunan orang yang padat di hadapannya, Rome tidak bisa mengamati gadis itu.
Rome menatap tempat dimana gadis itu muncul.
Gadis itu memang ada !! Sedang menatap Rome, memegang segenggam bunga dan memerhatikan sekeliling Rome. Mata gadis itu terlihat takut untuk melangkah ke Rome.
Rome menatap gadis itu, saat itu pula gadis itu menatapnya. Pandangan mereka bertemu. Rome langsung ingat wajah gadis itu. Gadis yang…..
“Yu Barom darling.”
Suara Gu Ji Yoon, teman sekelasnya membuat perhatiannya teralihkan. Dengan dandanan yang tebal, Ji Yoon bergelayut mesra di lengan Rome, entah sejak kapan. Rome langsung menepis tangan Ji Yoon dan menatapnya risih.
“Darling, kau tidak ikut pesta di pulau Jeju nanti?”
Rome menatap gadis dihadapannya tidak percaya. Darling apanya, sudah berapa kali gadis ini ditolak oleh Rome dan masih saja mendekati Rome?
“Tidak ikut.” Rome menjawabnya singkat, lalu sedikit berjinjit untuk mencari gadis yang tadi. Gadis yang memegang buket bunga, yang menatapnya dan takut untuk berjalan kearahnya.
“WHAT?? Why, darling??”
Gu Ji Yoon semakin mendekati Rome. Rome langsung melepaskan tangan Ji Yoon dari lengannya, dan berjalan menghindari Ji Yoon. Rome berusaha mencari gadis itu.
Tiba-tiba, sekelompok gadis mendekatinya dan mengelilinginya. Rome mengerutkan dahinya. Ada apa ini?
“Rome sunbaenim.”
“Rome.”
“Rome Oppa.”
Semua teriakan orang itu yang berjalan semakin memperkecil ruang gerak Rome.
“Apa mau kalian?”
“Berikan kancing kedua seragammu itu !”
“Ya, padaku saja.”
“Aku, Oppa. Aku!!”
“Aku, aku pantas menerimanya. Oppa!!”
“Hentikan!!!!”
Teriakan Ji Yoon langsung membuat sekeliling Rome hening. “Kancing kedua Rome hanya untukku seorang.”
Dengan tatapan yang imut, menurut Rome sok diimutkan, Ji Yoon meminta kancing Rome.
Sudah bisa ditebak reaksi Rome.
Dengan tatapan dingin, dia menatap Ji Yoon dan berbisik. “Maaf, kancing ini bukan untukmu.”
Rome langsung berjalan melewati Ji Yoon, membuka lingkaran yang tadi mengelilinginya itu.
Ia pun fokus mencari gadis yang tadi menjadi perhatiannya. Tapi, gadis itu tidak terlihat dimanapun. Rome mencari di dekat lapangan basket, sampai keluar lingkungan sekolah, namun hasilnya nihil. Gadis itu seperti menghilang ditiup angin.
-oOo-
“Bagaimana, Chorong?” tanya Dongwoon begitu melihat Chorong kembali. Chorong, tersenyum tipis lalu menundukkan kepalanya.
Dongwoon memerhatikan Chorong dan menatap buket bunga buatan Chorong sendiri di tangan sahabatnya itu. Dia tahu, Chorong tidak berhasil memberikan bunga itu ke Rome. Padahal, Dongwoon sudah berharap Chorong bisa memberikan bunga itu dan meminta Rome memberikan kancing keduanya. Tapi, Chorong gagal.
Dongwoon menepuk pundak Chorong. “Kenapa kau tidak bisa?”
Chorong mengangkat kepalanya dan menatap Dongwoon. “Banyak siswi perempuan mengelilingi Rome. Aku kesulitan untuk berjalan kearah Rome, belum lagi tatapan teman-teman Rome yang menusuk dan Ji Yoon sunbae sudah memperingatkanku…. Aku jadi takut jadi…”
“Mau kubantu?” tanya Dongwoon menawarkan diri. Chorong langsung menolaknya.
“Tidak, Tidak boleh ! Aku harus melakukan ini sendiri, kalau aku gagal berarti itu kesalahanku, Dongwoon.”
“Tapi, kau bisa meminta bantuanku. Kau tahu sendiri, kan, aku dan Rome sunbaenim itu akrab.”
“Tidak, Dongwoon.” Chorong menatap Dongwoon kemudian mengangguk. “Aku menyukainya, jadi aku harus berusaha agar dia tahu perasaanku. Aku harus berusaha dengan usahaku sendiri, tanpa meminta bantuan orang lain. Kalau aku meminta bantuanmu, entah kenapa itu terdengar sangat instan bagiku.”
Dongwoon mengerti jalan pikiran Chorong. Dia lalu mengambil buket buga di tangan Chorong dan menggoyang-goyangkannya. “Bagaimana dengan ini? Apa artinya kau sudah…”
“Tadi malam, aku sudah putuskan. Jika aku gagal hari ini, itu berarti aku harus melepaskan Rome sunbaenim. Aku harus melupakannya. Aku harus menyerah, karena mungkin dia bukan yang terbaik untukku.” Chorong mengatakannya sambail menatap kedepannya menerawang.
“Aku harus belajar untuk melepaskan cinta pertamaku.”
Dongwoon mengangguk. “Kalau soal ini, aku bisa membantumu..”
Dengan senyuman yang cerah, Chorong mengangguk mengiyakan.