-oOo-
“Selamat pagi, Park Chorong.”
Suara nyaring Bora langsung menyapa telinga Chorong ketika dirinya menginjakkan kakinya di dapur. Aroma roti panggang yang khas dan harum manis dari selai membuat Chorong berdiri disamping Bora. Pagi ini, Bora sibuk dengan selai strawberry-nya. Sepertinya. “Eonni membuatnya sendiri?” tanya Chorong memandangi cairan kental berwarna merah terang. Astaga, harum sekali. Bora mengangguk. “Kita tidak pernah tahu bahan apa saja yang ditambahkan pada selai-selai di supermarket itu, bukan?” gumamnya menuangkan isi selai yang baru saja selesai ke dalam toples.
Keduanya pun duduk di meja makan. Bora menyodorkan Chorong sepiring pancake dengan selai strawberry fresh from the oven buatannnya tadi, lengkap dengan segelas jus jeruk dan susu. Chorong terdiam memandangi menu didepannya dengan tatapan bingung. Apa dia bisa menghabiskan sarapan sebanyak ini?
Bukan menjadi kebiasaan bagi Park Chorong untuk sarapan dengan porsi yang banyak, seperti ini. Mocca latte atau green tea panas ukuran sedang sudah cukup untuknya, tanpa karbohidrat ataupun makanan berat lainnya. Bisa-bisa dia mengantuk saat bekerja. Bora sendiri dengan pancake yang lebih banyak dari piring Chorong, juga ukuran gelas yang lebih besar dari Chorong menikmati sarapan dengan santainya.
“Kenapa? Tidak suka dengan selai strawberry?” tanya Bora melihat Chorong yang memandangi sarapannya dengan tatapan bingung. Chorong menggeleng dan berkata, “Ini… terlalu banyak Eonni… Tapi akan ku habiskan.”
“Astaga !! Aku lupa… Karena baru tinggal empat hari disini, aku lupa menanyakan kebiasaan sarapanmu. Maafkan aku, aduh maafkan aku Chorong, sungguh aku tidak tahu.” Bilang Bora menyesal pada Chorong.
Chorong tersenyum tipis. “Tidak apa-apa, Eonni” katanya. Chorong pun memotong pancake dan menyuapkan ke mulutnya. Ekspresinya pun langsung berubah, dia juga langsung menatap Bora.
“Enak. Selainya enak. Pancakenya enak.”
Mata Bora membulat sempurna mendengarnya. Dengan tatapan berbinar, Bora ingin mengatakan kalau Chorong bisa meminta dirinya untuk mengajarkan cara membuat selai terenak sedunia ala Bora, namun Chorong mengalihkan perhatiannya ke suara handphone yang berbunyi.
Chorong pun beranjak mengambil ponselnya. Tanpa melihat layar ponselnya, Chorong langsung mengangkat telepon tersebut.
“Ya?”
“Park Chorong disana sudah jam berapa? Pagi? Apa sarapanmu enak?”
Chorong mendengar suara Rome ditelepon membuat perasaannya semakin membaik.
“Tentu saja. Jangan khawatir, jangan jangan jangan.”
“Bagaimana bisa? Kau tahu sendiri, hari-hariku disini sangatlah hampa.”
“Karena?”
“Kau tidak ada disini, hah.”
“Jangan menyalahkanku, kau yang menyuruhku kesini,”
“Kangjun, Kangjun. Bukan aku.”
“Sama saja,”
Chorong mendengus geli mendengarnya. Dirinya tahu kalau Rome tidak suka dengan ide Chorong-tidak-ada-disekitarnya atau Chorong-pergi-jauh-dan-Rome-tidak-bisa-mengantarnya.
Saat duduk kembali di meja makan, Bora menanyakan siapa yang menelpon. “Teman,” ujar Chorong kembali melanjutkan teleponnya.
“Namanya?” tanya Bora penasaran. Karena, baru empat hari Chorong tinggal disini, teman Chorong itu selalu menelponnya setiap hari.
“Yu…”
“JANGAN BILANG KAU MENYAMAKAN AKU DAN KANGJUN???”
Teriakan Rome yang nyaring membuat Chorong menjauhkan telinganya dari ponsel. Bahkan, Bora saja bisa mendengar suara Rome.
“Yu Barom! jangan berteriak, telingaku sakit,”
“Habisnya kau, sih. Aku dan Kangjun adalah dua makhluk hidup yang berbeda.”
“Iya iya iya iya… Sudah, nanti aku telepon kalau sudah selesai sarapan. Bye honey.”
“Yu Rome?” tanya Bora ketika Chorong meletakkan ponselnya dimeja. Chorong mengangguk.
“Maaf, dia agak sedikit….berisik? Maafkan aku, Eonni” gumam Chorong meminta maaf. Bora justru tertawa. Sambil menyuapkan sepotong pancake ke mulutnya, Bora menggelengkan kepalanya. “Sepertinya temanmu itu perhatian padamu.”
Chorong menghela napas pelan. “Yah Eonni… Punya teman seperti Rome berarti kau punya sosok ayah, teman, sahabat, kakak bahkan mungkin ibu yang cerewet sekaligus.”
“Cerewet?”
Bora tertawa mendengar perkataan adik sepupunya. Sementara Chorong memikirkan bagaimana nasib bawahan Rome menghadapi sikap pria itu jika sedang uring-uringan. Seperti sekarang, mungkin.
“Sepertinya kau sangat mengerti dirinya, Chorong?”
“Begitulah.” Jawab Chorong asal, tanpa berpikir sambil mengunyah potongan pancake-nya.
Mereka pun lanjut menyantap santapan mereka sampai habis. Setelah meletakkan garpu dan pisaunya, Chorong menaikkan alisnya sedikit, seperti berusaha mengingat sesuatu.
“Kau kenapa?” ujar Bora melihat wajah Chorong yang nampak serius memikirkan sesuatu. Chorong tersenyum, sadar dari alam pikirnya. “Nama Rome itu nama yang bagus, ya Eonni?”
Nama Rome tidak asing untuknya. Ada kenangan tersendiri bagi Chorong tentang nama Rome itu sendiri. Dan, kenangan ini bermula ketika saat ia masih di bangku sekolah menengah atas.
Potongan memori yang diingatnya, yang penuh makna.
Tentang sebuah nama.
Rome.