Seharian ini, Woohyun dan tunangannya, Soomin, dirias habis-habisan oleh professional make-up artist yang dibawa langsung dari Korea Selatan. Menyesuaikan dengan lokasi pernikahan yang di luar ruangan, di rambut Soomin juga disisipkan hiasan bunga putih yang dengan mudah ditemukan di Bali.
Pantai ini akan menjadi saksi janji suci pernikahan Woohyun dan Soomin tak lama lagi. Para undangan yang sudah mulai berdatangan akan melihat Woohyun dan Soomin saling mengenakan cincin di hadapan pendeta. Bali akan menjadi tempat yang akan Woohyun dan Soomin ceritakan…. pada anak mereka kelak; anak Woohyun dan Soomin. Dulu sekali, Soyou pernah mengutarakan pada Woohyun kalau ia ingin memiliki dua orang anak: satu laki-laki dan satu perempuan. Woohyun lain lagi. Ia bilang, ia mendambakan dua orang anak perempuan kembar.
“Berat, ya?” tanya Ibu Woohyun nyaris samar-samar.
Soyou menunggu hingga tak ada orang lain yang diyakininya dapat mendengar pembicaraan mereka, baru kemudian tersenyum simpul dan menyahut, “Anda cantik, Bibi.”
“Kau juga.” Ibu Woohyun membalas senyuman Soyou. Matanya menerawang ke arah fitting room mempelai laki-laki. Napas berat terhembus dari hidung mancungnya. “Kau masih menyayanginya, Kang Soyou?”
Pertanyaan tak terduga itu jujur saja sempat membuat jantung Soyou tak berdegup selama sepersekian detik. Syukurlah ia berhasil menguasai diri dan menjawabnya dengan gelengan kepala.
Dasar, naluri seorang ibu. Ia tahu saja Soyou berbohong. Tak perlu seorang psikolog andal, cukup Ibu Woohyun saja bisa melihat cinta tak pernah redup di antara anaknya dan Soyou. Ibu Woohyun sendiri dulunya sangat dekat dengan Soyou. Woohyun bahkan pernah memprotes, ‘Sebenarnya yang anak Ibu itu aku atau Soyou, sih?’ saking dekatnya mereka.
“Tetapi Woohyun dan Soomin harus menikah.” Ibu Woohyun menepuk pelan pundak Soyou.
~*~*~*~
Pendeta yang akan memimpin upacara pernikahan di pinggir pantai ini sudah datang. Soomin dan Woohyun—yang jelas terlihat sangat rupawan—juga sudah berdiri di hadapan sang pendeta. Sebentar lagi, Soyou harus menghilang dari kehidupan Woohyun.
“Saya, Nam Woohyun, menerima Chae Soomin untuk menjadi istri saya, untuk memiliki dan menerima, mulai hari ini dan seterusnya, dalam suka dan duka, kaya maupun miskin, sakit dan sehat, untuk saling menyayangi dan menghargai, hingga maut memisahkan, dengan bimbingan Tuhan dan karena itu saya menyerahkan jiwa raga ini untukmu.” Akhirnya janji itu terlontar dari bibir Woohyun.
Soyou menggenggam erat lututnya.
“Tetapi Woohyun dan Soomin harus menikah,” kalimat Ibu Woohyun terngiang di benak Soyou.
Kemudian janji Woohyun itu dibalas demikian, “Saya, Chae Soomin, menerima Nam Woohyun untuk menjadi suami saya, untuk memiliki dan menerima, mulai hari ini dan seterusnya, dalam suka dan duka, kaya maupun miskin, sakit dan sehat, untuk saling menyayangi dan menghargai, hingga maut memisahkan, dengan bimbingan Tuhan dan karena itu saya menyerahkan jiwa raga ini untukmu.”
Lutut kanan dan kiri Soyou bersentuhan. Keduanya digenggam erat oleh tangan Soyou. Sebentar lagi, Soyou. Sebentar lagi upacara ini selesai. Besok pagi kau sudah akan pulang. Bersabarlah sedikit lagi.
“Soomin sedang mengandung anak Woohyun.” Ucapan lain Ibu Woohyun tadi menohok hati Soyou sedemikian dalam.
“Keluarga dan sahabat terkasih, yang telah berkumpul dalam tempat yang indah ini untuk tujuan dari sebuah upacara yang suci dari ikatan pernikahan, apakah anda dengan tulus bersedia memberikan wanita ini kepada pria ini dalam ikatan pernikahan?” Kini sang pendeta bertanya pada para keluarga dan undangan yang hadir.
Sekarang, Soyou, sekarang saatnya! Kalau kau berkata ‘tidak’, pernikahan ini tidak akan sah! Cukup katakan kau tidak bersedia, Soyou..
“Seandainya kau di posisi Soomin, tegakah kau merenggut masa depan seorang janin yang tak berdosa? Seandainya kau di posisi Bibi, tegakah kau tak mengijinkan anakmu mempertanggungjawabkan perbuatannya? Tetapi saat ini kau ada di posisi Soyou. Tegakah kau merelakan pria yang kau cintai dengan sepenuh hatimu untuk menjadi bapak bagi buah hati wanita lain?”
“Ya, bersedia,” bibir Soyou mengucap kata itu dengan gemetaran.
"Sampai hari pernikahan, dia milikmu. Tetapi setelah itu, jangan pernah menemuinya lagi. Sama sekali tidak boleh!" Masih teringat jelas oleh Soyou perjanjiannya dengan Soomin sehari setelah mereka berkenalan.
Riuh tepuk tangan terdengar saat Woohyun mendaratkan ciuman manisnya di bibir Soomin. Hari ini baru akan berakhir beberapa jam lagi. Atas dasar perjanjian itu, seharusnya Soyou masih berhak bertemu Woohyun. Akan tetapi, dibanding melihat rangkulan Woohyun menghangatkan pinggang Soomin seperti yang dulu selalu Soyou rasakan kala ia mendekapnya, Soyou memilih untuk beranjak dari lokasi pernikahan saat itu juga.
Pengecut, memang. Tapi sekali ini Soyou tidak bisa tidak menangis. Biarlah sepoi angin dan liukan pohon kelapa menjadi saksi bisu air mata Soyou yang mengalir tanpa suara di tengah syahdunya malam.
~*~*~*~