Mokpo, 6 September 2020
“Kalau begitu saya tunggu hingga mereka dijemput. Tentu saja saya tak keberatan. Baik, selamat sore.” Soyou memutus pembicaraannya di telepon. Beberapa detik kemudian, ia sudah berlutut di dekat dua orang gadis kecil yang tengah bermain boneka. Kedua gadis itu meletakkan bonekanya begitu Soyou tiba. Tangan mereka terulur; minta digendong oleh Soyou.
Soyou tersenyum geli melihat dua gadis kembar itu. Mereka benar-benar manja!
“Hari ini orangtua kalian pulang dari Jepang. Pengasuh Chorong baru saja menelepon, ayah kalian sendiri yang akan menjemput.”
“Ayah!” sorak kedua gadis itu kegirangan. Dengan gaya mereka yang masih sangat polos, mereka melonjak-lonjak kegirangan. Bomi yang terlahir satu jam lebih dulu dari Hayoung bahkan sampai terpeleset saking bersemangatnya.
Tak betah dengan pekerjaannya sebagai pegawai kantoran, kini Soyou bekerja di sebuah taman kanak-kanak. Sifat yang ramah dan senyum yang selalu merekah di wajahnya membuat kepala sekolah percaya untuk menerima Soyou sebagai seorang guru. Kepala sekolah bilang, wajah Soyou itu cerah dan bersinar: pasti akan membawa semangat tersendiri bagi anak-anak. Sedikit tips dari Soyou, seandainya kau sudah cocok dengan suatu produk kecantikan dan perawatan, jangan berganti-ganti lagi. Soyou, buktinya, yang sampai saat ini masih setia dengan brand kesayangannya.
"Kau beli produk hanya karena tertarik pada slogan dan konsernya?” Ejekannya kali itu begitu saja terpikirkan oleh Soyou. Saat pergi ke Bali beberapa tahun yang lalu, mereka memang sempat berdebat kecil mengenai produk perawatan.
Kala itu, yang dikatakan Soyou sebagai jawaban adalah, “Merek body lotion milikku juga itu, bodoh! Memangnya aku mau sembarangan memilih produk untuk kulit? Aku tidak sebodoh itu!” Plus bonus satu injakan untuk kaki kirinya.
Apakah pria itu baik-baik saja? Soyou menepati janjinya dengan pergi dari kehidupannya. Ia bahkan berganti nomor ponsel dan rumah kontrakan. Janji, seberat apapun, tetaplah janji yang harus ditepati. Soyou tak mau setengah-setengah apalagi mengingkarinya. Entah apakah pria itu memang tak mencarinya atau Soyou yang terlalu pandai 'bersembunyi', sampai saat ini tak sekalipun Soyou bertemu dengannya. Seandainya mereka bertemu, apakah ia masih mengingat Soyou?
“Ayah!” Bomi dan Hayoung berseru gembira. Ayah mereka sudah datang, sepertinya.
Soyou membalik badannya. Hatinya tertohok melihat lelaki yang disebut kedua gadis kembar ini sebagai ayah mereka. Ayah mereka adalah... pria itu. Lamunan Soyou menjadi nyata bahkan sebelum lamunan itu sendiri selesai.
“Nam Woohyun…” bisik Soyou lirih.
Begitu pula dengan pria itu, Woohyun, yang seketika menghentikan langkahnya begitu guru dari anak-anaknya memandangnya. Hatinya berdesir manakala menggumamkan nama, “Kang Soyou.”
“Ayah! Ayah, Hayoung kangen!” Melihat ayahnya tak juga menghampiri, Hayoung mengambil inisiatif untuk berlari dan menghambur ke pelukan ayahnya. Kakaknya, Bomi, juga mengikuti adiknya untuk memeluk sang ayah. Orangtua mereka memang sangat sibuk sehingga bahkan pendaftaran sekolah Bomi dan Hayoung diurus oleh pengasuhnya. Tentu saja kedua bocah itu senang. Apalagi, selama dua bulan belakangan kedua orangtuanya berada di Jepang.
Woohyun mengusap kepala Bomi, namun wajahnya tertuju pada Soyou. Luar biasa bagaimana gadis itu masih cantik seperti dulu; bagaimana hatinya tetap merasa hangat melihat bola mata gadis itu. “Apa kabar, Soyou?”
Kalau saja Woohyun tahu betapa susahnya bagi Soyou sekadar untuk membalasnya tanpa memperdengarkan getaran dalam suaranya. “Anak-anak manis Anda sepertinya sudah lelah. Mungkin Pak Nam sebaiknya segera membawa mereka pulang untuk beristirahat.”
“Pak Nam?” Woohyun berusaha mengendalikan dirinya. Ia tersenyum kikuk. “Ah, ya, sepertinya begitu. Terima kasih atas bimbingan Anda, Guru Kang.”
“Ayah, ayo pulang!” Hayoung menarik tangan ayahnya untuk meninggalkan gedung bercat warna-warni itu. Bomi juga mengikuti adiknya untuk menarik tangan Woohyun yang sebelah lagi.
Diiringi celotehan dua malaikat kecilnya, Woohyun meninggalkan taman kanak-kanak dengan rasa terkejut masih bertahan padanya. Betapa luar biasa ia menyadari perasaannya yang belum juga berubah bahkan setelah enam tahun berlalu. Semakin ia melangkah, denyut pada jantungnya semakin kuat. Ingin rasanya Woohyun berbalik; meraih Soyou ke dalam dekapannya. Kedua tangannya yang menggandeng dua orang gadis kecil bergetar.
Seorang wanita cantik sudah menunggunya di dalam mobil membuka kacamata hitam yang dikenakannya. "Kok Ayah diam saja?" Wanita itu Soomin: istri sah Woohyun. Tangan Soomin terulur; mengajak suaminya untuk masuk ke mobil.
Bimbang haruskah meraih uluran tangan istrinya atau kembali ke dalam, Woohyun menutup kedua matanya. Di dalam mobil ada seorang Nyonya Nam akibat perbuatan Woohyun sendiri beberapa tahun yang lalu; ada dua gadis kembar Nam yang sejak dulu sekali ia harapkan. Di balik pagar taman kanak-kanak ada seorang gadis yang tak dapat dipungkiri sejak dulu hingga kini menari di dalam hatinya. Tanggung jawabnya berada di sini tetapi hatinya berada di sana.
"Tuhan, maafkan aku," gumamnya. Woohyun mmebuka matanya. Bibirnya membentuk kurva melengkung ke atas; ia tersenyum. "Malam ini Ayah traktir makan sepuasnya!" Woohyun meraih tangan istrinya dan memasuki mobil.
Sementara wanita cantik yang masih saja terjebak dalam bayangan masa lalu itu sekali lagi harus mengingatkan dirinya untuk tidak menangis. Waktu yang pernah mereka lalui bersama memang bukan waktu yang singkat. Apakah enam tahun masih belum cukup untuk mengingatkan padanya akan tanggung jawab yang sudah selayaknya Woohyun jalankan? Hal itu kesalahan Woohyun. Sewajarnya Soyou membenci Woohyun karena itu. Jangankan timbul rasa benci, rasa sayang justru tak sedikit pun berkurang.
Meski saat ini air mata sudah menggenang di pelupuk mata kala memandangi punggung Woohyun yang sedang memasuki mobil, Soyou harus sadar: cintanya itu kini sudah menjadi ayah bagi anak yang bukan buah rahimnya. Cintanya itu kini sudah berada dalam genggaman seorang gadis yang bukan dirinya. Cintanya itu kini sudah menahkodai keluarga yang dirinya bukan bagian di dalamnya.
Semuanya… sudah selesai.