Day – 3
“Wah, tumben sekali kau menggunakan kemeja. Biasanya kau malas sekali menggunakannya. Bahkan kau hanya menggunakan kaos ketika pergi ke acara pernikahan.” Kevin berkomentar melihat penampilan baruku.
“Sudah jangan berisik. Permintaan Tuan Putri.” Kataku masih merasa tidak percaya diri. Sebuah kemeja lengan panjang berwarna putih dengan corak garis vertikal aku pakai malam itu, namun panasnya malam membuatku menggulung lengan kemejaku.
“Kutunggu kau di pintu masuk.” Aku membalas pesan dari Bora sambil berjalan menuju pintu masuk.
“Baboya!” panggilan yang tak asing terdengar tak lama setelah aku sampai di pintu masuk kafe. Aku tertegun sejenak. Wanita yang aku sayangi kini tidak lagi menggunakan celana jeans yang sama denganku. Kini ditubuhnya melekat dress pendek berwarna kebiruan.
Aku mengecup keningnya seperti yang biasa kulakukan, “Tumben kau menggunakan dress dan bukan celana jeans. Kau tidak sedang sakit kan?” aku sedikit menyindirnya.
“Karena aku memintamu memakai kemeja malam ini.” Balasnya sambil mencubit perutku.
“Wah, wah, wah! Ada apa dengan kalian berdua?” Dongwoon kali ini tertegun melihat kami.
“Tidak ada apa-apa. Mana Namjoo?” Bora balik bertanya.
“Dia ada acara dengan keluarganya, malam ini aku akan menjadi pacar Kevin yang setia.” Dongwoon merangkul Kevin.
“Andwae[1]!! Bisa-bisa nanti tidak ada wanita yang mau dekat denganku.” Kevin mengelak dari rangkulan Dongwoon, kami semua tertawa.
Kafe malam itu lebih ramai dari malam-malam sebelumnya. sebuah band akustik meramaikan malam kami, tawa canda tak pernah menghilang dari meja yang kami tempati.
“Baboya, kau tidak akan membelikanku bunga?” Bora berkata setelah melihat sepasang kekasih diluar kafe, si pria membelikan pacarnya sekuntum bunga mawar.
“Kau ingin dunia menjadi terbalik jika aku membelikan kau bunga? hahahaha” jawabku santai, kemudian mengecup pipinya.
“Ah, kau memang benar-benar tidak romantis.” Terdengar rasa kecewa dari nada suaranya. Aku memang sangat cuek, terkadang aku dan Bora bertengkar karena aku jarang memulai pembicaraan. Jika Bora tidak memulai mengirimkan pesan, mungkin aku tidak akan memberikannya kabar. Hilang bagai ditelan bumi dengan segudang kesibukanku.
Menjelang larut, aku pamit untuk mengantarkan Bora pulang. Namun ia menolak, ia memilih naik taksi karena sedang menggunakan dress. Jadi aku mengantarkannya ke depan jalan raya terdekat untuk menunggu taksi. Sepanjang jalan, hujan gerimis turun. Aku meletakan tanganku di kepalanya, memayunginya walaupun tidak sepenuhnya tertutup. Kami berdiri di sisi jalan menunggu taksi yang kosong, hujan sepertinya membuat taksi penuh oleh orang-orang yang ingin sampai ke rumah dengan cepat.
“Tutupi kepalamu sendiri.” Bora menyingkirkan tanganku dari kepalanya.
“Sudahlah, tidak apa-apa.” Aku kembali meletakan tanganku, kini keduanya kusimpan agar kepalanya tidak semakin basah oleh hujan. Tidak lama sebuah taksi berhenti di depan kami.
“Jangan terlalu banyak minum dan merokok, Baboya!” pesannya sebelum menutup pintu.
“Kabari aku jika kau sudah sampai.”
Day – 2
Hari minggu memang hari yang sangat cocok untuk bermalas-malasan. Aku bahkan belum beranjak dari tempat tidurku. Ibuku sudah berteriak dari tadi memanggilku untuk sarapan. Terlalu malas rasanya meninggalkan tempat tidurku.
TING! Aku membuka pesan singkat yang masuk.
“BABOYA!!! Aku dibelikan motor oleh ayahku. Aku jadi tidak sabar untuk mengendarainya.”
“WAH!!!! Ada angin apa kau dibelikan motor? Bukankah kau tidak bisa mengendarai motor?” balasku.
“Ayahku merasa kasihan jika aku harus bolak-balik kerja menggunakan bis, jadi dia membelikanku sebuah motor. Warnanya ungu!!!” aku yakin dia sangat bersemangat.
“Kenapa tidak warna biru?”
“Baboyaaaaaa!!!” aku tertawa membaca balasan darinya, Bora memang tahu aku sangat menyukai warna biru. Namun sebuah motor berwarna ungu akan lebih cocok dengannya karena Bora berarti warna ungu dalam bahasa Korea.
Day – 1
Entah apa salahnya, namun akupun termasuk salah satu orang yang membenci hari senin. Pada hari senin, aku harus berada di kampus semenjak pagi hingga sore. Semua mata kuliah harus aku jalani tanpa henti, kecuali saat jam makan siang. Sangat berbeda dengan jadwalku besok, aku hanya memiliki satu kelas di pagi hari. Sisanya aku bisa menghabiskan hari dengan Bora seperti yang sudah direncanakan. Tetapi saat ini, aku tertunduk lesu dikursiku, detik demi detik, menit demi menit terasa berjalan sangat lambat. Aku ingin kelasku segera berakhir agar aku bisa segera pulang.
“Aaaaahhhhhhh~” aku menghempaskan diri di tempat tidur Kevin. Aku biasa datang ke apartemen Kevin yang disewanya di dekat daerah kampus, sehingga ia bisa berjalan kaki untuk pulang pergi ke kampus. Tidak sepertiku yang harus menghabiskan waktu 1,5 jam untuk duduk di bis, walaupun biasanya aku tertidur pulas saat perjalanan.
“Fullday, brother?” Kevin membawakanku segelas air es.
“Hmm.” Aku tidak memiliki tenaga untuk berbicara. Aku menenggak habis segelas air es yang baru saja diberikan.
“Bagaimana rencanamu besok? Jadi kau pergi nge-date bersama Bora?” Kevin penasaran.
“Yes. Aku sudah menyiapkan semuanya.” Balasku singkat.
“Termasuk ciuman itu?” Kevin kembali bertanya.
“Ciuman apa?” aku bingung.
“Kau kan awalnya pacaran dengan Bora agar bisa berciuman dengannya bukan?”
Aku menerawang mengingat-ingat, “Iya sih. Namun itu dulu, sekarang aku benar-benar sayang padanya dan untuk ciuman itu, aku pikir hal itu bukan sesuatu yang harus dipaksakan. Aku akan menunggu momennya untuk datang sendiri.”
“Kau akan melakukan apa saja besok?” tanyanya lagi.
“Hmmm, tidak banyak. Kami akan berenang dan makan malam bersama. Itu saja.”
“Tidak ada yang istimewa?” Kevin semakin penasaran.
“Hmm, mungkin besok aku akan mencoba melakukan apa yang biasanya seorang pria lakukan pada pacarnya. Membelikan dia bunga dan candle light dinner mungkin. Tapi jangan bilang Bora, dia hanya tahu kami akan pergi berenang saja.”
“Wah, wah, wah. Yoon Bora benar-benar merubah seorang Kim Joon. Kau mulai menggunakan kemeja, mau memberikan bunga, bahkan candle light dinner yang selama ini kau anggap aneh karena orang-orang mau makan di tempat gelap.”
“Entahlah, aku juga tidak mengerti mengapa aku mau melakukan itu semua. Namun yang jelas, besok akan menjadi hari spesial buat Bora. Selama ini aku yang selalu dibuatnya merasa spesial, kini giliranku.” Aku bangkit dari tempat tidur, kemudian mengambil tas ranselku, “Aku pulang dulu.”
Aku menekan tombol B di dalam lift kemudian menyelipkan earphone di kedua telingaku. Aku tiba-tiba merasa bersemangat, dan tidak sabar menanti hari esok. Malam itu jalanan masih ramai, beberapa mahasiswa masih terlihat baru keluar dari gedung kampus. Aku menunggu bus bersama mahasiswa lainnya. Bibirku masih mengulaskan sebuah senyuman.
Aku memilih bangku paling belakang, selain karena aku bisa nyaman jika tertidur, kakiku tidak akan terantuk bangku didepanku. Yah, ini adalah salah satu ketidaknyamananku menjadi orang yang tinggi. Seharian ini badan dan pikiranku sudah lelah, namun entah mengapa aku tidak bisa tidur. Tidak seperti biasanya, sesaat setelah bis berjalan aku pasti langsung tertidur.
Aku mengeluarkan ponselku, “Besok jadi ‘kan?” kemudian aku menekan gambar bintang di ponsel dan mengirimkan pesan tersebut.
“Mianhae, Baboya. Sepertinya besok aku tidak bisa menemanimu berenang.”
“Kenapa?” aku mengetik dengan cepat.
“Aku terjatuh saat belajar motor kemarin, jadi aku belum bisa berjalan-jalan dulu.”
Aku menggenggam erat ponselku, emosiku naik, kukencangkan volume suara di earphone-ku. Aku kecewa.
***
5 tahun kemudian…
April, 2014
Hubunganku dengan Bora baik-baik saja. Kini Bora sudah bekerja di sebuah bank yang ada di pusat kota Seoul, sedangkan aku bekerja di sebuah lembaga bimbingan belajar. Kesibukan kami membuat kami jarang bertemu. Namun kami masih saling berhubungan melalui pesan singkat.
“Mengapa dipercepat sih?” Dongwoon bertanya kepadaku, “Aku bahkan belum menyiapkan pakaian untuk acaranya.”
Aku mengangkat bahuku, “Sudahlah, bukankah lebih cepat lebih baik.”
“Kau memangnya sudah siap?” Kevin kini angkat suara.
“Siap tidak siap, aku harus siap bukan?” Aku menjawabnya yakin. Entahlah, apakah keputusanku ini benar atau tidak, yang jelas aku harus menyiapkan segala sesuatunya. Terutama mentalku.
Mei, 2014
Aku merapikan jas yang kukenakan, jas hitam polos yang terlihat dari depan. Tetapi bagian belakangnya penuh oleh motif garis acak yang membentuk suatu pola tertentu seolah aku menggunakan dua pakaian berbeda dalam satu waktu.
“Tenang saja. Kau sudah tampan.” Dongwoon memujiku.
“Ayo, kita berfoto terlebih dahulu.” Kevin mengeluarkan ponselnya dan mengangkatnya di depan kami bertiga. 1…2…3…klik.
“Kau tampak gugup, santai sedikit Kim Joon-ah~!” Kevin menyemangati. Aku menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan berharap ketenangan akan datang.
Tak lama seorang wanita yang sudah lama kukenal berjalan memasuki gedung. Wajah cantiknya semakin terpancar dengan make up yang terpoles sempurna di wajahnya. Tubuhnya kini terbalut sebuah gaun pengantin bernuansa biru, serasi dengan dekorasi yang menutupi gedung. Warna kesukaanku, dan dia cocok sekali dengan warna tersebut. Aku tersenyum.
Yoon Bora, gadis manis itu kini menjelma menjadi seorang wanita yang sangat anggun. Dia berjalan perlahan diiringi kedua orang tuanya disampingnya. Lengannya membawa sebuah buket bunga mawar putih. Ia berjalan mengikuti karpet merah yang telah ditata sedemikian rupa. Senyum di wajahnya tidak pernah menghilang.
Beberapa orang wanita yang tadi mengikutinya berjalan kini merapikan gaun yang dipakai Bora ketika sampai di kursi pelaminan. Beberapa tamu bertepuk tangan melihat betapa anggun dan cantiknya Tuan Putriku hari itu.
Kini giliranku berjalan, aku mengikuti jalur yang sama dengan Bora. Disampingku berdiri Kevin dan Dongwoon. Semakin dekat dengan kursi pelaminan, langkah yang kuambil terasa lebih berat dari sebelumnya. Beberapa kali aku menarik nafas panjang dan berat.
Aku menaiki sebuah anak tangga kecil untuk sampai di barisan kursi yang sudah disiapkan panitia sebagai kursi pengantin. Aku membungkukkan badanku sambil menjulurkan tanganku untuk bersalaman dengan seorang wanita paruh baya. Kemudian aku berjalan sedikit lagi, dan bersalaman dengan seorang pria yang umurnya aku perkirakan mungkin satu atau dua tahun lebih tua dariku. Aku tersenyum. Terakhir aku berdiri di depan Tuan Putriku. Dia tersenyum, begitupun denganku.
“Selamat…” kalimatku sempat terhenti.
“Selamat atas pernikahannya, Yoon Bora!” aku menyalaminya memberi selamat.
“Terima kasih sudah datang… Kim Joon.”