home_icon
SIGN IN
SIGN UP
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
LOUNGE
HOW IT WORKS
HOW TO BE DFF OF THE WEEK
TERMS OF USE
CONTACT US
  • Latest
  • Most Viewed
  • Most Loved
  • A-Z
  • My Fanfiction
  • My Subscriptions
  • My Subscribers
  • Create New Fanfiction
Fan Fiction > Guy Like Me

Guy Like Me

Share:
Author : aerof777
Published : 14 Jul 2014, Updated : 14 Jul 2014
Cast : Kim Joon [ story owner ] / Yoon Bora [ Sistar ]
Tags :
Status : Complete
0 Subscribes |12143 Views |6 Loves
Guy Like Me
CHAPTER 2 : Guy Like Me

2

Satu bulan sudah aku menjalani hubunganku dengan Eunji dan Bora. Walaupun ternyata perasaan tidak dapat membohongi logikaku. Semakin hari aku justru semakin sayang dengan Bora. Aku lebih sering mengobrol dan bertemu dengan Bora dibanding Eunji. Walaupun aku dan Bora beda sekolah, namun kami masih menyempatkan waktu untuk bertemu di akhir pekan. Sedangkan hari-hari biasa aku bertemu dengan Eunji karena ia merupakan adik kelasku di sekolah.

Satu minggu yang lalu aku fokus untuk ujian kelulusan. Aku tidak bertemu dengan Bora maupun Eunji. Namun aku dan Bora saling menyemangati agar sukses dalam ujian kami masing-masing. Eunji? Mungkin dia juga sibuk dengan pelajarannya. Walaupun terkadang Eunji juga mengirimkan pesan untuk menyemangatiku, namun perasaanku tidak sebahagia ketika aku menerima pesan dari Bora.

“Oppaya, siapa itu Yoon Bora? Eunji tiba-tiba bertanya. Saat itu aku dan Eunji sedang berada dibalkon rumah Kevin. Rumah-rumah penduduk tampak kecil dan padat di kejauhan dengan langit biru cerah menyelimutinya.

“Bora? Memangnya kenapa?” aku berusaha menjawab sesantai mungkin.

“Kemarin pagi ada yang mengirimkan pesan ke radio, untuk Kim Joon. Dari Yoon Bora. Kebetulan pagi itu aku mendengarkan siaran yang sama.” Eunji menjelaskan.

“Mungkin itu bukan untukku.” Aku mengelak.

“Tidak mungkin, wanita itu menyebutkan nama sekolah kita. Dan aku tahu hanya satu orang bernama Kim Joon di sekolah kita.” Eunji lebih menekankan kalimat terakhirnya. Aku terdiam. Lama sekali. Seolah memandang langit biru, namun pandanganku kosong. “Oppaya?”

“Mianhae, Eunji-ah. Sebenarnya aku sudah berpikir cukup lama soal ini. Namun aku belum berani untuk mengatakannya. Yoon Bora yang kau dengar..” suara yang sudah terkumpul terasa berat dan hanya bisa bertenger diujung lidah, “dia adalah pacarku.” Aku tidak berani menatap mata Eunji.

“Sepertinya hubungan kita harus diakhiri. Sudah cukup aku jadi orang yang egois. Aku pikir kalian berdua akan merasa sakit jika aku terus bersikap seperti ini. Maksudku adalah, aku akan melepas kalian berdua. Tak seharusnya kalian berdua ada disampingku. Cukup sudah aku egois. Maafkan aku, Eunji-ah.” Keberanianku muncul untuk menjelaskan semua itu.

Eunji tidak memberikan komentar apa-apa, ia pergi ke dalam kamar. Aku tahu ia menangis. Di dalam, Kevin dan Dongwoon yang sejak tadi terdiam melihat kami akhirnya mencoba menenangkan Eunji.

“Sudahlah, memang lebih baik kalau hubungan kalian tidak diteruskan. Kau akan lebih sakit hati bukan jika hubungan ini diteruskan.” Kevin menasihati Eunji seperti yang ia lakukan dulu di mobil.

“Iya betul! Sudah jangan menangis. Kim Joon memang lelaki brengsek! Lebih baik denganku saja.” Kemudian sebuah jitakan mendarat di kepala Dongwoon. Kevin gemas, namun hal itu membuat senyum sedikit terukir di wajah manis Eunji.

Dongwoon benar, aku memang lelaki brengsek. Aku bahkan terjebak ke dalam perasaanku sendiri. Setelah tenang, Eunji pamit pulang. Aku berniat mengantarnya, namun ia menolaknya. Aku menyalakan sebatang rokok, menghisapnya dalam-dalam memenuhi rongga paru-paruku, kemudian menghembuskannya.

“Kau serius malam ini akan memutuskan Bora juga? Katanya kau sayang padanya? Lebih sayang dari Eunji bahkan.” Kevin mencoba meyakinkanku. Aku hanya mengangguk. Kemudian kehembuskan nafas berat, tidak pernah aku merasa serumit ini. Salahku juga sebenarnya.

Malam itu aku berkumpul di kafe seperti biasanya, Bora duduk disebelahku. Kami berdua memandang orang yang lalu lalang diluar. Tidak ada sepatah katapun yang kukeluarkan. Berbeda dengan Kevin dan Dongwoon yang sedari tadi tertawa seperti orang yang hampir mati.

Jam tanganku menunjukan pukul 9 malam, sudah tiga jam kami hanya diam. “Sebenarnya ada yang mau aku sampaikan malam ini.” Aku tidak mau berlama-lama lagi.

“Katakanlah.” Jawabnya singkat seolah sudah tahu apa yang akan aku katakan.

“Aku pikir sebaiknya kita mengakhiri hubungan kita.” Aku tidak bisa berbicara panjang lebar, suara dari lubuk hatiku berontak, jauh di dalam sana aku tidak ingin mengakhiri hubungan ini.

“Kau akan kembali kepada Eunji?” tanyanya.

“Tidak, aku melepas kalian berdua. Aku tidak mau lagi egois.” Aku menundukan kepalaku bagai seorang pengecut.

“Baiklah jika itu maumu.” Suara Bora justru terdengar lebih santai dibandingkan denganku.

“Sudah malam, kuantarkan kau pulang.” Tawarku.

Tak ada sepatah kata yang terlontar selama perjalanan kami menuju parkiran. Begitupun ketika Bora duduk dibelakangku, ia hanya memeluk erat pinggangku dan menyandarkan kepalanya dipunggungku. Kulajukan motorku dengan santai, aku tidak mau berpisah dengannya.

“Joon-ah!” dia memanggil dengan menggunakan namaku, bukan panggilan sayang yang biasa kami ucapkan.

“Wae?” jawabku singkat.

“Sekarang kau berarti bukan milik siapa-siapa, maukah kau menjadi pacarku?”

Aku takut salah dengar, berbicara saat motor melaju membuat angin terkadang menerbangkan maksud yang ingin disampaikan, “Apa? Aku tidak bisa mendengarmu dengan jelas.”

“Kau mau jadi pacarku?” Bora setengah berteriak.

“Maksudnya?” aku tidak mau terjadi salah paham.

“Kau kan sudah melakukan apa yang ingin kau lakukan dengan memutuskan aku dan Eunji. Sekarang aku ingin kau jadi pacarku lagi, anggap saja kau dan aku baru bertemu.”

Entah apa yang sebenarnya Tuhan rencanakan, “Aku setuju.”

“Aku sayang kamu, Baboya!!!” Bora kembali memanggilku dengan panggilan sayangnya.

“Gomawo, Baboya!”[1] dan nafasku terasa sesak karena pelukan Bora yang semakin erat. Aku tidak peduli.

Setelah mengantar Bora, aku kembali ke kafe dimana Dongwoon dan Kevin menunggu. Malam masih panjang jika aku harus langsung pulang ke rumah.

“Ya! Kemari!” Dongwoon berteriak dari kejauhan saat aku membuka pintu masuk kafe, “Biar kutraktir kau minum malam ini.” Katanya lagi setelah aku duduk bergabung.

“Kau hebat!” kata Kevin.

Sebenarnya aku tidak bisa berhenti tersenyum, namun Kevin dan Dongwoon berpikir itu karena mereka berhasil melakukan perannya sebagai sahabat.

***

Hari ini aku tidak beranjak dari tempat tidurku, berguling-guling kesana kemari. Rasanya menyenangkan bisa berada di tempat tidurku hanya untuk bermalas-malasan setelah seminggu ini menempuh perjalanan panjang dari rumah ke kampus begitupun sebaliknya.

“Mwohae?”[2] aku mengetik sebuah kata di layar ponselku kemudian mengirimkannya.

“Sekarang aku sedang sibuk, mau makan malam bersama?” sebuah balasan masuk tidak lama setelah pesanku terkirim.

“CALL[3]!!!” kemudian kulemparkan ponsel ke tempat tidur kemudian bergegas ke kamar mandi. Satu jam kemudian aku sudah berada di sebuah pusat perbelanjaan di kawasan Gwanghwamun. “Aku sudah sampai. Kabari aku jika kau sudah selesai.”

Aku tahu jam kerjanya memang selesai sekitar pukul 6 sore, sehinga aku berjalan-jalan dahulu dalam pusat perbelanjaan tersebut hingga akhirnya aku mengistirahatkan badanku di sebuah kafe lalu memesan segelas cappucinno dingin. Sebuah buku aku keluarkan untuk menemaniku menunggu.

Yoon Bora, gadis yang kukenal satu tahun lalu kini sudah menjadi seorang wanita pekerja keras. Setelah lulus sekolah, aku melanjutkan studiku sedangkan Bora memilih untuk bekerja. Biasanya aku mendatanginya saat jam makan siang hanya untuk sekedar makan bersama, atau seperti saat ini, aku menunggunya pulang untuk sekedar bertemu sambil makan malam bersama.

“Baboya! Sudah lama?” sebuah suara tiba-tiba mengalihkan perhatianku dari buku yang sedang kubaca. Seorang wanita dengan pipi chubby dan mata bulat kini duduk di sebelahku sambil meminum cappucinno dingin milikku. Badannya tersandar padaku.

“Kau pasti lelah?” kataku sambil mengacak-acak rambutnya. Kepalanya diangkat dari bahuku, mencoba menghindar dari gerakan tanganku.

“Aku lapar, mari kita langsung pesan makan.” Katanya tidak sabar, lengannya kini merapikan rambut yang tadi kuacak-acak, matanya mengamati menu. Seorang pelayan memakai apron hitam mendatangi kami dan mencatat pesanan kami. Tak lama menu yang kami pesan datang, sepiring spaghetti carbonara untukku dan satu set western course miliknya.

“Baboya, kau ingat minggu lalu aku pergi berenang dengan saudara-saudaraku?”

“Ehm.” Katanya dengan anggukan, mulutnya penuh.

“Karena kemarin aku dan saudaraku seperti sebuah rombongan, kami mendapatkan voucher gratis untuk mengunjungi lagi kolam renang itu, kau mau pergi kesana? Kebetulan voucher-nya pun hanya ada dua.” Aku menjelaskan.

“Hmm, minggu depan aku libur di hari selasa. Bagaimana?” Bora kembali mengambil satu sendok penuh makanan untuk mengisi mulutnya.

“Pelan-pelan makannya. Kau tampak seperti anak kecil.” Aku membersihkan saus yang ada di bibirnya dengan jariku. Dia hanya tersenyum. Makananku sudah habis, kini aku hanya memandang pacarku yang sedang sibuk melahap makanannya, tanganku kulipat di meja layaknya murid yang sedang memperhatikan guru yang sedang menjelaskan pelajaran.

“Turunkan tanganmu. Kau ingin menyindirku?” Bora menghentikan makannya.

“Apa? Aku kenapa?” kataku pura-pura tidak tahu.

“Aishhh! Kau ini suka sekali iseng.” Tanganku kini dipukul-pukulnya agar tidak lagi berada di atas meja. “Kulitmu itu lebih putih dari aku, apa kata orang-orang jika melihatnya?”

“Aku tidak peduli, lagipula kulitmu juga putih, Baboya.” Aku mencoba menenangkannya. Aku memang selalu menggunakan jaket atau pakaian lengan panjang, bukan untuk menghindari sinar matahari tetapi lebih karena aku kurang percaya diri jika harus menggunakan pakaian berlengan pendek.

“Tetap saja tidak seputih dirimu. Padahal aku sudah memakai body lotion setiap hari, dua kali sehari malah.” Aku menghabiskan cappucinno-ku, “Tahu tidak? Bahkan sekarang aku mandi menggunakan body cleanser dan juga body scrub” jelasnya lagi

“Kau body scruban setiap hari? Kau mau kulitmu terkikis apa? Sudahlah Baboya, kau sudah cantik tahu!” aku mencoba meyakinkannya. Aku memakai kembali jaketku, “Kalau begini aman ‘kan?” Aku tidak mau memperpanjang urusan warna kulit. Dia tersenyum senang.

Aku memanggil pelayan meminta bill, dan seorang pelayan yang juga menggunakan apron hitam dan kemeja putih datang membawa tagihan makan kami. Aku mengeluarkan dompet.

“Aku yang bayar. Aku yang bayar!” Bora buru-buru mengeluarkan dompet dari tasnya, “Tadi aku mendapatkan bonus.” Jelasnya lagi agar aku tidak bisa menolaknya. Aku bersyukur memiliki wanita seperti Bora, dia wanita hebat yang selalu menyemangatiku dan mendukungku. Bora selalu ada ketika aku merasa sulit dengan perkuliahan, bahkan dia yang mendukungku dan mengingatkanku agar tidak lupa makan ketika akhirnya aku mengambil keputusan untuk bekerja paruh waktu sambil kuliah.

“Kau benar-benar mendapatkan bonus?” tanyaku.

“Iya, Baboya! Kau tidak percaya?” kedua pipiku ditariknya ke samping sehingga membuatku seolah tersenyum. Aku memang tidak seperti lelaki lain yang suka memberikan kejutan-kejutan kecil atau membayar makanan ketika kami bersama. Namun aku selalu menyisihkan uang jajanku untuk dapat melakukan itu semua. Yoon Bora, wanita mandiri itu selalu menahanku untuk melakukan itu semua. Aku yang bayar atau kita bayar masing-masing? hanya itu pilihan yang ia berikan, jadi terkadang aku harus sembunyi-sembunyi atau memaksanya agar mau menerima jika aku yang membayar semuanya.

“Baboya, besok di kafe seperti biasa ‘kan?” Bora sudah mengetahui kegiatan akhir pekanku yang selalu bersama Dongwoon dan Kevin.

“Iya, kenapa?”

“Besok kau pakai kemeja yah! Aku ingin melihatmu menggunakan kemeja, bosan rasanya melihat kau menggunakan kaos melulu.” Mintanya.

“Ayolah, Baboya! Kau tahu aku tidak suka menggunakan kemeja, aku juga kan tidak pernah meminta kau untuk menggunakan rok. Tidak usah yah?” aku menolak.

“Ya, ya, ya, Ba…bo…yaaa… Je~ Bal~” Bora mengeluarkan aegyo-nya.

Aku mengangguk pasrah. Aku kemudian membereskan bukuku, begitu juga dengan Bora yang membereskan isi tasnya, setelah itu kami keluar dari kafe tersebut. Lengan Bora terkait dilenganku, aku kembali mengacak-acak poninya yang hampir menutup matanya. Tiba-tiba Bora menarikku berlari menuju sebuah stand dengan dua orang SPG yang berdiri di depannya membagikan selebaran.

“Eoseo oseyo.”[4] Kata salah seorang SPG. Shin-zu-i aku terbata-bata membaca tulisan Jepang yang tertera diatas stand tersebut. Stand tersebut bernuansa putih dimana-mana. Semua produknya juga terlihat ditata dengan baik di sebuah meja. Mulai dari sabun, body cleanser, hingga body lotion. Lenganku masih dituntun Bora, kami mengelilingi isi stand tersebut.

“Bagaimana menurutmu? Wangi tidak?” Bora meminta saranku, punggung tangannya yang sudah dioleskan sedikit body lotion didekatkannya ke hidungku.

“Wanginya enak.” Jawabku singkat.

“Kalau begitu aku memilih ini saja, aroma sakura memang pas denganku.” Bora meyakinkan dirinya sendiri.

“Iya, pilih itu saja. Jadi kalau kita berjalan berdampingan, orang-orang akan merasa aku berjalan dengan membawa pohon sakura.”

PLAK. Kepalaku dipukulnya.

“Sakit!!!” kataku sambil mengusap-usap kepalaku.

“Habisnya kau malah mengejekku.” Bora membela diri.

“Aku tidak habis pikir, mengapa kau membeli semua produk itu. Kau bahkan masih memiliki sebotol body lotion ditasmu.”

“Baboya~~ lihatlah!” tangannya kini menggerakan paksa kepalaku untuk melihat ke arah sebuah banner yang terpasang di depan stand, “Putih itu Shinzu’i! Kau tidak membacanya? Produk ini pasti akan membuat kulitku lebih putih bukan? Hehehehe” Bora tampak seperti SPG yang menjelaskan produk Shinzu’i kepadaku.

“Iya, putih itu Shinzu’i. Shin-zu-i, Baboya. Disana ‘kan tidak tertulis putih itu Yoon Bora!” aku buru-buru menarik kepalaku yang masih dijepit oleh tangannya, aku berlari keluar stand sambil menjulurkan lidahku. “Mehhhhrrroooooooooooongggg!!!”[5] ejekku.

Bora mengepalkan tinjunya ke udara merasa kesal. Aku tertawa melihatnya. Tak lama ia keluar dengan sebuah kantung yang berisi semua produk Shinzu’i. dia benar-benar membeli semua produk yang tadi aku lihat, sabun cair, body lotion, body cleanser, juga body scrub dengan aroma yang sama.

“Mari pulang!” katanya senang.

 


[1] “Terima kasih, Bodoh!”

[2] “Sedang apa?”

[3] Ungkapan yang berarti setuju

[4] “Selamat Datang”

[5] Menjulurkan lidah untuk mengejek

 

POPULAR FANFICTION

BERITA PILIHAN

COPYRIGHT 2024 DREAMERS.ID PUBLISHED BY DREAMERS NETWORK