Tahun 2009
Aku berjalan dibelakang ibuku yang sedang sibuk mampir dari satu toko ke toko yang lain yang berada di gedung perbelanjaan di pusat kota, lenganku sibuk memainkan game yang ada di ponselku. Sesekali aku arahkan pandanganku ke depan khawatir kehilangan jejak ibuku. Sebenarnya aku malas menemani ibuku berbelanja hari ini, badanku rasanya sudah tidak bertulang karena perjalanan luar kota kemarin. Namun beberapa hari lagi merupakan perayaan Seollal, jadi mau tidak mau aku harus menemani ibuku berbelanja semua keperluan.
TING! Sebuah bunyi bel terdengar berbarengan dengan sebuah pesan singkat yang masuk di layar ponselku. Aku membuka dan membacanya.
“Ini benar nomor ponsel Kim Joon?”
Aku berpikir sejenak untuk mencerna nomor baru yang tertera, “Benar, maaf ini siapa dan ada perlu apa?” balasku sopan.
“Ini Bora, yang beberapa hari lalu mengobrol denganmu di weibo.” Balasnya lagi. Beberapa hari yang lalu memang ada seorang wanita yang mengomentari statusku di weibo, status yang cukup gila untuk di-posting di media sosial. Aku membuka akun weiboku untuk mengecek profil Bora, selama ini aku hanya menganggap obrolan kami sebatas obrolan tidak penting di sosial media sehingga aku tidak pernah benar-benar memperhatikan akun lawan bicaraku.
***
Malam itu aku dan teman-teman berkumpul di rumah Kevin, sebagai tuan rumah yang baik ternyata Kevin sudah menyiapkan banyak cemilan untuk menemani kami menghabiskan waktu, mulai dari ayam goreng, soju, bir, cumi kering, hingga makanan ringan yang dibelinya tadi sore di minimarket.
“Wah, benar-benar pesta kita malam ini?” seruku melihat semua makanan yang tersedia.
“Tentu saja. Kita harus merayakannya karena kita semua bisa naik kelas, walaupun aku agak curiga mengapa Dongwoon bisa naik kelas juga. Hahahahaha!” balas Kevin. Dongwoon tidak tinggal diam, ia melempar sekantung makanan ringan ke muka Kevin.
“Aku juga ‘kan pintar, ya walaupun tidak sepintar kalian. Tapi biarlah, mungkin memang sekolah sedang mengalami system error, hahahaha.” Dongwoon membalas candaan yang diberikan oleh Kevin, masing-masing tangan Dongwoon kini memegang sepotong paha ayam. “Anmeokgo?”[1] tawarnya.
“Are you kidding me? I am sick of chicken!” Kevin merupakan anak tungal dari seorang peternak ayam yang terkenal. Ayahnya merupakan supplier ayam untuk banyak rumah makan yang ada di Seoul. Ibunya hanya seorang ibu rumah tangga yang selalu berada disamping ayahnya membantu semua keperluan ayahnya. Oleh karena itu Kevin sedikit bosan dengan sajian ayam. Sebenarnya Kevin memiliki seorang kakak perempuan dan seorang adik lelaki. Namun kakak perempuannya meninggal ketika Kevin masih duduk di bangku sekolah dasar, begitu juga dengan adiknya yang pergi meninggalkannya setahun yang lalu. Saat itulah aku dan Dongwoon menjadi lebih akrab dengan Kevin. Kami berdua seolah menjadi pengganti kedua saudaranya. Terlebih saat itu, Kevin merupakan anak yang pendiam di sekolah. Dirinya terlahir sebagai albino yang memiliki kulit lebih putih dari orang Korea kebanyakan, Kevin juga memiliki rambut asli yang berwarna kuning keemasan. Selebihnya tidak ada yang aneh dari penampilannya. Namun, setiap orang tentu punya kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Penampilan Kevin yang justru menurutku menambah ketampanannya tidak dirasakan oleh Kevin, ia cenderung tertutup saat itu.
Sedangkan Dongwoon merupakan salah satu anak dari guru yang mengajar di sekolah kami. Aku dan Dongwoon sudah saling mengenal sejak di bangku sekolah dasar. Saat itu sekolahku dan sekolah Dongwoon mengadakan acara perkemahan musim panas bersama, aku berkenalan dengannya ketika kami berebut untuk menggunakan kamar mandi. Sejak saat itu kami selalu bermain bersama. Aku dan Dongwoon berasal dari SMP yang sama, dan kini kami satu sekolah di SMA yang sama pula. Penampilan Dongwoon hampir tidak berubah sama sekali. Badannya memang tidak gemuk, namun cukup padat. Ha ha ha. Dengan rambut yang dibelah pinggir serta ponselnya yang selalu berada di genggaman yang ia selalu gunakan sebagai mikrofon ketika mengombali murid-murid wanita satu sekolahan dengan nyanyian yang bernada sembarang.
Terakhir, Kim Joon, itulah nama yang diberikan oleh kedua orang tuaku. Aku berasal dari keluarga yang biasa saja, ayahku seorang pengawas perkebunan di luar kota Seoul yang tentunya hanya bisa mengunjungi keluargaku sebulan sekali. Ibuku hanya seorang ibu rumah tangga biasa yang setiap harinya membantu bibiku yang membuka sebuah rumah makan dekat rumahku dan sebagai anak pertama dari dua bersaudara, aku bertekad untuk membawa derajat keluargaku ke tingkat yang lebih tinggi. Oleh karena itu sejak sekolah dasar hingga kini, aku selalu belajar dengan giat agar tidak direndahkan oleh orang lain seperti yang pernah aku alami ketika aku masih di sekolah menengah pertama.
Tok, tok, tok!
Suara ketukan pintu terdengar, kemudian seorang wanita memunculkan kepalanya, “Acaranya belum mulai kan ya?”
“Soomin noona[2]?” seruku, “Menagapa kau bisa ada disini?”
“Ini bukan pesta lajang kan? Lagipula masa kalian mau berpesta tanpa aku? Hahaha”
Soomin noona merupakan kakak kelas kami bertiga di sekolah, kami berteman karena pada waktu itu kami semua ketahuan merokok di belakang sekolah. Walaupun pada saat itu jam pelajaran telah habis, kesalahan terbesar kami adalah merokok di tempat milik Soomin noona biasa bersembunyi. She’s such a bad girl too. Sejak saat itu kami menjadi akrab, tak jarang kami bolos pelajaran bersama.
“Chagiya[3]~” terdengar suara aegyo[4] yang menurutku dan Dongwoon sebenarnya cukup menyebalkan. Sesosok wanita pemilik suara itu masuk setelah Soomin noona duduk di sebelahku. Kang Jihyun, pacar Kevin, sebenarnya Jihyun tidak satu sekolah dengan kami berempat namun jika kami berkumpul dia selalu mengekor pacarnya kemana-mana. Seperti saat ini, dia sudah berada di samping Kevin memeluk lengannya seperti koala yang memeluk pohon tempatnya tidur.
“Ya! Kau tidak bilang kalau kucing satu ini akan datang malam ini?” aku sedikit kesal kepada Kevin sambil menunjuk Jihyun.
“Kucing? Mengapa aku kucing? Apakah kalian sedang mengganti nama-nama kalian menjadi nama binatang? Aku lebih suka jika dipanggil panda dibandingkan dengan kucing. Bukankah panda lebih lucu dari kucing? Benarkan , chagiya?” Jihyun berbicara hampir tanpa jeda sama sekali. Kevin hanya terdiam, matanya memberi kode untuk tidak membahas soal kucing kepadaku dan Dongwoon. Jihyun tinggal sendiri di Seoul dan hubungannya dengan Kevin terkadang membuat Kevin harus absen kumpul bersamaku dan teman-teman yang lain, alasannya “mau memberi makan kucing dulu.” Oleh karena itu, kami semua memberi sebutan kucing ketika membicarakan Jihyun.
“Chagiya, aku panda saja yaa. Aku kan tidak begitu suka kucing.” Rajuk Jihyun kepada Kevin.
“Iya, terserah kau saja.” Kevin akhirnya buka suara kepada pacarnya yang saat itu hanya mengenakan rok pendek selutut dengan atasan kaos putih yang dibalut jaket tipis. “Lagipula tumben kau protes, kau kan tahu kalau dia selalu ada kalau kita berkumpul.” Kevin berseru kepadaku.
“Bukan begitu. Jika aku tahu kau akan membawa Jihyun, tentu aku akan membawa Eunji. Kau pikir hanya kau yang mau berpacaran di malam minggu ini?” aku beralasan. Eunji adalah pacarku, baru dua bulan aku berpacaran dengannya. Aku mengenal Eunji saat Kevin akan mengantarkannya pulang setelah Eunji diputuskan pacar sebelumnya. Saat itu Aku dan Dongwoon hanya bisa duduk terdiam di bangku belakang sambil mendengarkan Eunji bercerita kepada Kevin. Air matanya mengalir deras. Aku menatap iba dari belakang. Lelaki itu sungguh tidak bertanggung jawab, terutama karena ia berselingkuh dengan wanita yang merupakan kakak kelasnya sendiri yang juga satu sekolah dengan mereka berdua. Aku menjadi penasaran dengan pacarnya tersebut, karena Eunji bilang kami mengenal siapa wanita yang menjadi selingkuh mantan pacarnya tersebut.
Sejak saat itu, Eunji yang merupakan adik kelasku menjadi akrab denganku. Usia kami hanya terpaut satu tahun, sehingga dia memanggilku dengan sebutan oppa[5]. Tak jarang aku juga memberinya semangat. Namun ternyata kedekatan kami menumbuhkan perasan lain pada diriku sehingga pada suatu malam ketika kami berkumpul seperti malam ini, aku meminta Eunji menjadi pacarku. Aku mengacak-acak poninya sebagai ucapan terima kasih setelah Eunji mengiyakan permintaanku. Rambut sebahunya ia kuncir ke belakang, senyumnya tidak pernah menghilang malam itu.
Malam merangkak semakin larut. Suara di luar pun semakin menghilang meninggalkan suara choir dari serangga-serangga malam. Kondisi kamar Kevin semakin tidak karuan, sampah bekas minuman dan makan bertebaran di mana-mana. Dongwoon masih menenggak bir kalengnya. Aku menghabiskan bir yang berada di tanganku. Kemudian melempar kalengnya ke tempat sampah di sudut kamar layaknya pemain basket, TANG! Kaleng tersebut terpantul mengenai sisi tempat sampah dan mendarat di dekat pintu kamar mandi.
“Bagaimana jika kita bermain Wang[6] Game?” usul Soomin noona. Permainan tersebut merupakan permain sederhana yang menggunakan sumpit dan gelas. Sebuah sumpit diberi tanda sebagai raja, sedangkan sumpit sisanya diberi nomor sesuai jumlah sisa pemain. Kami semua memposisikan duduk senyaman mungkin, kemudian mengambil sumpit yang telah dikocok bergantian.
“Woohohoho. Ternyata aku rajanya.” Soomin noona bersemangat. Yang lain sibuk mengintip nomor yang tertera di sumpitnya masing-masing. Sebagai raja, Soomin noona berhak memerintahkan apa saja kepada orang yang memegang nomor tertentu.
“Aku ingin nomor 2 menampar nomor 1.” Sang raja mengeluarkan perintahnya.
“Siapa nomor 1?” aku penasaran, pandanganku mengelilingi semuanya.
“Naega! Wae?”[7] sepertinya Dongwoon tidak sadar sepenuhnya.
Aku menahan tawaku, “Mianhae, Dongwoon-ah~.” dan PLAK!!! Sebuah tamparan mendarat di pipinya yang agak chubby.
“YAAAA!!!” Dongwon berteriak kesal. Aku tertawa melihatnya mengusap-usap pipinya yang panas. “Noona, kau keterlaluan. Kita kan baru memulai permainannya. Masa perintahnya sudah semengerikan itu.” Dongwoon berkomentar. Permainan dilanjutkan kembali, keseruan demi keseruan terjadi. Semua telah merasakan jadi raja juga telah merasakan bagaimana rasanya diperintah dengan perintah yang tidak masuk akal. Dongwoon memang teman kami yang paling malang, dia selalu menerima perintah yang menyebalkan. Mulai dari membelikan makanan dan minuman yang mulai habis hingga perintah yang mengharuskan dia meminjam korek api dari kedai tteok[8] di ujung jalan.
“Aku lelah. Mulai sekarang jangan ada perintah yang mengharuskan keluar dari kamar ini.” Dongwoon mulai protes sambil mengambil sumpit, kami hanya bisa menertawakannya. Kami senang membuatnya seperti itu.
“AKU RAJANYA!!!” tiba-tiba Dongwoon berteriak semangat, “Aku ingin nomor 4 pergi..”
Belum sempat ia selesai berbicara, aku berkomentar, “Bukannya tidak boleh mengeluarkan perintah yang mengharuskan keluar dari kamar ini?”
“Ah, sial! Kalau begitu aku ingin nomor 4 mencium nomor 2.”
“YAA! Kau bercanda?” Aku sedikit meninggikan intonasiku. Bukan tanpa alasan aku berbuat seperti itu, ditanganku tersimpan sumpit bertuliskan nomor 4.
“Kau kenapa? Kau Nomor 2 atau 4?” Dongwoon menembakku.
“Em…Empat.” Ucapku terbata-bata.
“Kau tidak mau menciumku atau tidak berani?” Soomin noona memang terkenal to the point dalam segala hal, “Aku nomor 2.”
“Aku minum saja noona.” Aku mengambil gelas besar yang terisi penuh oleh bir. Gelas bir tersebut disediakan sebagai hukuman jika orang yang diperintahkan tidak mau melakukan perintah yang diberikan. Kepalaku sebenarnya sudah cukup berat dan pusing. Namun aku masih bertahan dalam permainan ini. Kevin dan Jihyun bermain sambil berbaring telungkup. Mereka lebih banyak minum sebelumnya, terkadang tangan mereka masing-masing dijadikan bantal membuatnya terlihat seperti korban bencana alam di sebuah pengungsian.
“Ah, dasar pengecut kau!” Dongwoon berkomentar. Aku tidak peduli.
“Berisik. Ayo kita lanjutkan permainannya!” Aku menggoyang-goyangkan gelas yang berisi sumpit, kemudian mengambil sumpit yang tersisa. Keberuntungan kali ini berpihak padaku, sebagai raja aku memerintahkan nomor 1 dan nomor 2 dengan perintah yang sama dengan yang Dongwoon keluarkan tadi.
Hampir bersamaan Kevin dan Jihyun menyebutkan nomornya. Belum sempat aku merespon, Kevin membalikan badannya dan bibir Kevin sudah menempel di bibir Jihyun. Hanya dengan mengecup bibir saja sebenarnya sudah cukup, namun sepertinya Kevin mengambil kesempatan itu dengan bertindak lebih dari sekedar mencium pacarnya. Mukaku bahkan menjadi landasan sempurna pendaratan jaket yang sebelumnya dikenakan Jihyun.
Aku, Soomin noona, dan Dongwoon hanya bisa terbengong-bengong. Diam membisu melihat kelakuan sepasang kekasih yang ada di depan kami. “Get a room, please!” Dongwoon bersuara, intonasinya terdengar agak bergetar. Aku tahu betul sifat Dongwoon, ia bahkan tidak pernah bisa menyelesaikan menonton sebuah film porno. Dongwoon menyalakan sebuah rokok kemudian berjalan menuju balkon, mencari udara segar katanya.
“Kita mau lanjut bermain noona?” suaraku ikut bergetar, rasanya berat untuk berbicara. Bahkan menelan liur sendiri saja berat rasanya.
“Tidak mungkin kan kita bermain berdua.” Soomin noona terdengar sangat santai dengan semua kondisi ini. Ia bahkan menyandarkan kepalanya di bahuku. Untuk sementara aku merasa udara semakin panas membuat degup jantungku berdebar lebih kencang. Beberapa kali aku menengok dan beradu pandang dengan Soomin noona. Aku merasa seperti orang bodoh, tidak bergerak dan duduk terpaku.
“Joon-ah~ gwaenchana[9]?” Soomin noona akhirnya kembali duduk. Aku bisa sedikit bernafas lega.
“Eung.” Jawabku singkat ditambah anggukan kepalaku.
“Jinjja[10]?” Soomin noona memastikan keadaanku. Wajahnya didekatkan hingga beberapa senti di depan wajahku. Aku sedikit mundur menanggapinya. “Jinjja?” ulangnya lagi. Kali ini Soomin noona memajukan wajahnya lebih dekat. Pikiranku tidak bisa berpikir dengan jernih, pengaruh alkohol membuatku ikut memajukan wajahku.
Hembusan nafas berat keluar dari hidung kami setelah memundurkan wajah kami menjauh satu sama lain sebelum bibir kami berdua bertemu. “Mianhae, noona.”
“Tidak apa-apa. Maafkan aku juga.” Setelah itu suasana kamar tampak terbagi dua, satu bagian terisi oleh hawa panas dari sepasang kekasih yang sedang memadu kasih di depan kami. Sedangkan bagian lainnya terisi oleh hawa dingin dari kecanggungan antara aku dan Soomin noona. Aku terdiam memandang tembok yang berisi foto-foto.
“Maafkan aku. Aku tiba-tiba teringat tunanganku.” Soomin noona berusaha mencairkan suasana.
“Aku juga, entah mengapa aku teringat Eunji. Hahaha” tawaku terdengar sangat dipaksakan. Namun suasana canggung kembali terasa, aku memandang ke arah berlawanan dari pandangan Soomin noona.
“Noona..” aku membalikan badanku.
“Tapi sekali saja tidak akan menjadi masalah bukan?” katanya memotong.
“Ya sekali saja.” Sepertinya pikiranku memahami maksud obrolan kami yang tidak jelas. Aku mendekatkan wajahku, bibirku dan bibir Soomin noona yang berwarna pink menempel. Soomin noona mendekatkan duduknya ke depanku. Bibirku dihisapnya, begitu pula dengan miliknya. Sesekali lidah kami masing-masing menjelajah ronga mulut satu sama lain. Tangan Soomin noona mulai bergerak melepaskan kancing kemeja yang kupakai satu persatu. Lenganku mulai bergerak turun dari bahunya, lengannya ku genggam erat.
Soomin noona memang sudah paling ahli dalam hal seperti ini, jadi terkadang aku sedikit kewalahan dengan tindakan-tindakan yang diberikannya. Kancing kemejaku sudah terlepas semua, lenganku entah sejak kapan sudah berada diatas pahanya yang putih.bibirku kini bergerak turun ke lehernya yang putih, aroma parfum dan body lotion yang dipakainya bercampur menusuk hidungku.
Kedua telapak tangan Soomin noona disimpan dipipiku, mengapit wajahku, mau tidak mau aku menatap matanya. Dalam. “Wae, noona?” aku menatapnya tajam.
“Mianhae, Joon-ah~!’ serunya sambil menarik wajahku, Soomin noona kembali melumat bibirku. Aku sempat khawatir bibirku menjadi lebam karena rasa sakit yang kadang terasa dari hisapan dan gigitannya. Aku memeluknya erat dan mencoba mengimbanginya. Lenganku mulai menjelajahi perutnya yang rata.
Soomin noona tampaknya tak mau kalah, lengannya kini mencoba melepas sabuk celanaku. KLIK. Suara kunci sabuk yang terlepas terdengar.
“Not that far for now, noona.” Aku menahan tangannya untuk bertindak lebih jauh.
“Maaf.” Senyumnya kini terlihat nakal, bukan manis seperti yang aku kenal.
“YAAA!! NEO MICHYEOSSEO?!?!?!” Suara keras Dongwoon membuat aku dan Soomin noona berhenti dari kegiatan kami dan menjauhkan diri satu sama lain. Aku membenarkan kemejaku yang terbuka. Sambil tersenyum tanpa dosa aku keluar menuju balkon melewati Dongwoon yang masih tampak terkejut.
Aku menyalakan sebatang rokok, menghisapnya dalam-dalam, dan menghembuskan asapnya perlahan mencoba menjernihkan pikiranku. Dongwoon kemudian menyusulku dan duduk di depanku. Dilemparnya sekaleng bir dingin ke arahku. Kubuka dan menenggaknya seperti orang yang baru menemukan air di gurun pasir. Tak lama Soomin noona keluar bergabung dengan kami. Ia duduk di antara kami, kemudian meminum bir dari kaleng milikku.
“Kalian sudah gila ya?” Dongwoon bertanya, aku tahu dia tidak marah, dia penasaran.
“Siapa juga yang tidak tergoda melihat adegan film porno di depan mata?” kata-kata Soomin noona memang terkadang terdengar tanpa filter. Aku hanya mengangguk-angguk. Baru aku sadari ternyata Kevin dan Jihyun sudah tertidur pulas, terlihat Jihyun tidur dengan tangan Kevin sebagai alasnya dan pelukan Kevin sebagai selimutnya.
“Tapi noona, apakah bibirku baik-baik saja? Kau terkadang menggigitnya.” aku mengusap-usap bibirku.
“Coba kulihat.” Soomin noona mendekatkan wajahnya lagi, alih-alih memeriksa, ia kembali menciumku. Aku membalas perlakuannya. “You’re such a good kisser. Bibirmu baik-baik saja, Joon-ah~.” Dongwoon menggerutu melihat kelakuan kami berdua.
“Jangan begitu. Kau mau juga?” kali ini Soomin noona mendekatkan wajahnya kepada Dongwoon. Namun dengan secepat kilat Dongwoon menutup mulutnya dengan kedua tangan. Aku tertawa melihat kelakuannya yang seperti anak kecil ketika akan disuapi minum obat.
“Ternyata kau lebih pengecut dibanding aku, Dongwoon-ah~.” Aku tertawa.
“Aku tidak pengecut. Aku hanya berusaha setia dengan pacarku.” Bangganya.
“Siapa? Bomi? Chorong?” aku mengabsen.
“Pacarku hanya satu, My Baby Namjoo.” Katanya sambil mengacungkan layar ponselnya ke wajahku. Terlihat disana gambar seorang wanita yang sedang dicubit pipinya oleh Dongwoon.
“Ia tampak tersiksa pacaran dengamu.” Ucapku datar. Aku menyalakan kembali sebatang rokok.
“Sembarangan kau bicara, justru ia tidak mau kehilanganku.” Kebanggaannya meningkat. Jika dibanding dengan Dongwoon, aku memang sedikit lebih tampan. Namun terkadang aku iri terhadap Dongwoon yang bisa melakukan apa saja terhadap pacarnya. Menjemput, membelikan hadiah, dan lain sebagainya. Sedangkan aku masih berpikir bagaimana bisa melakukan semua itu, bukan hanya uang yang tidak aku punya, terkadang waktu yang aku milikipun tidak bisa kuberikan untuk bertemu dengan pacarku. Aku bersyukur selama ini wanita yang menjadi pacarku tidak pernah menuntut apa-apa, mereka mengerti keadaanku. Bahkan terkadang mereka yang membelikan hadiah untukku atau membayar makanan yang kami pesan walaupun aku sudah seringkali menolak kelakuan seperti itu. Hal seperti itu justru membuatku semakin minder. Namun sisi baiknya, entah mengapa wanita lebih senang dekat denganku dibanding Dongwoon, kata mereka aku dewasa. Aku dan Dongwoon juga terkadang bertengkar jika wanita yang ia sukai ternyata lebih menyukaiku, atau ketika kami menyukai wanita yang sama dan ternyata wanita tersebut lebih memilihku.
“Banyak alasan kau.” Aku tidak mau kalah.
“Aku tidak beralasan, aku memang tidak pengecut. Aku juga yakin kalu Eunji tahu soal ini kau pasti akan ditinggalkannya.”
“Itu jelas, bodoh! Tapi itu kan beda kasus.”
“Kalau begitu, kau berani menceritakan ini di weibo?” Tiba-tiba Dongwoon mengeluarkan ide yang terdengar cukup gila.
Merasa tertantang, aku mengeluarkan ponselku dan mengetik beberapa baris kalimat. “Just get a kissed from my senior, she’s said I’m a good kisser hehehe :p” Dongwoon merasa puas.
Kemudian kami menghabiskan sisa malam di balkon dengan mengobrol berbagai macam topik, mulai masa kecil hingga berakhir membicarakan kegiatan kami di sekolah termasuk kelakuan guru-guru.
TING! Suara seperti bel keluar dari ponselku, sebuah komentar masuk membalas status weibo yang baru saja aku update.
“Sebaik apa?” komentarnya singkat.
***
“APA DIA MEMINTA KAU MENJADI PACARNYA???” Dongwoon tampak tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya. Seminggu semenjak aku mengobrol dengannya, kami semakin dekat. Kami belum pernah bertemu sekalipun, obrolan dan candaan kami lakukan melalui pesan singkat.
“Kau yakin? Kalau ternyata dia nenek-nenek bagaimana? Kau ‘kan belum pernah bertemu dengannya.” Kevin ikut berkomentar.
“Entahlah, aku hanya yakin dia tidak akan membohongiku. Lagipula dia juga sudah tahu keadaanku yang..”
“Keadaan yang bagaimana?” sela Dongwoon semakin penasaran.
“Yang sudah punya pacar.” Lanjutku.
“Kalau begitu aku yakin pasti dia bukan wanita baik-baik.” Kevin kembali bersuara. Sebuah asap berbentuk lingkaran keluar dari mulutnya.
“Apa bedanya dengan dia, dia juga pria tidak baik. Sudah punya pacar masih flirting dengan wanita lain.” Jari telunjuknya mengacung ke arahku. Aku terdiam. “Terima saja, lagipula dia sepertinya penasaran seberapa ahli kau dalam mencium seseorang.”
Apa yang dikatakan Dongwoon memang ada benarnya. Aku bukan pria baik, dia juga memintaku jadi pacarnya walaupun mengetahui aku sudah memiliki pacar. Dan yang paling utama, siapa yang tidak ingin mencicipi bibir tipis seperti miliknya. Aku dan Eunji pun sejauh ini hanya berpegangan tangan. Cukup aneh seorang Kim Joon hanya bisa berpegangan tangan dengan pacarnya. Begitulah menurut teman-temanku.
Sesampainya di rumah aku baru membalas pesan singkat yang dikirim oleh Bora. Aku setuju untuk menjadi pacarnya, selain itu aku juga mengajaknya untuk bertemu besok malam.
TING! Sebuah bunyi yang tak asing terdengar.
“Oppaya, sedang apa?” hanya Eunji yang memanggilku seperti itu.
“Sedang istirahat, aku baru saja sampai rumah. Ada apa?” balasku.
“Besok bisa menemaniku ke acara ulang tahun temanku?”
“Besok aku sudah ada janji dengan Dongwoon dan Kevin. Maaf sepertinya aku tidak bisa menemanimu. Tapi jika kau ingin menyusulku, kau bisa datang ke tempat biasa.” Aku menolak permintaan Eunji dengan halus. Aku tidak sepenuhnya berbohong, setiap malam Minggu aku memang berkumpul di kafe bersama Dongwoon dan Kevin tetapi untuk besok malam ada orang lain yang akan bergabung denganku. Eunji merupakan anak baik-baik, ia bahkan tidak begitu suka keluar malam, apalagi ke tempat dimana aku berkumpul yang penuh dengan asap rokok. Tak lama aku tertidur, bunyi balasan pesanku pun sudah tak kuhiraukan.
[1] “Tidak makan?”
[2] Sebutan kakak dari pria kepada wanita yang lebih tua
[3] Panggilan sayang
[4] Tindakan untuk menampilkan kelucuan
[5] Sebutan kakak dari wanita kepada pria yang lebih tua
[6] Raja
[7] “Saya, kenapa?”
[8] Kue tradisional Korea
[9] Baik-baik saja
[10] benarkah