Kalau dihitung aku sudah tepat satu minggu di Korea, dan setelah aku pikir-pikir belum ada hal menarik yang terjadi selama aku di Korea. Mungkin aku harus menerima ajakan Hanyoung, kemarin dia mengajakku menonton Music Bank, salah satu program musik di korea dan melihat salah satu grup Favoritnya, namanya memang familiar tapi sampai sekarang aku sulit menyebutnya.
Setelah mengeringkan rambut dan memakai seragam aku menuju meja belajar untuk mengambil tas yang menggantung tak jauh dari meja belajar, dan bertapa terkejutnya aku melihat kartu ATM dan sebuah ponsel berada disana. Aku tahu ini pasti dari Ibu tapi aku tidak melihat satu surat pun disana, apa Ibu sudah pulang? Sepertinya aku harus segera turun kebawah.
Tapi tunggu, ada telpon.
“Ha.. hallo” ucapku ragu, ternyata ponsel baru ini sudah berfungsi dengan baik.
“Ana, ini Mom” terdengar suaranya yang ramah. Aku bohong jika aku bilang tidak merindukan suara itu.
“Aku tahu” jawabku, sekarang aku baru ingat ucapan Ayah yang akan bicara dengan Ibu tentang apa yang aku katakan kemarin. Mungkin sekarang Ibu ingin menyuruhku merapihkan semua barang-barangku lalu membeli tiket pesawat dan ponsel ini untuk kenang-kenangan.
Ibu lama tak bersuara, aku merasa pembicaraan ini akan menjadi sangat kaku, jadi aku berjalan kearah jendela untuk menenangkan detak jantungku sebentar.
“sudah terima ATM dariku?” akhirnya ia memulai pembicaraan.
“eemm” gumamku mengiyakan.
“Sepertinya aku agak lama disini, ada hal penting yang harus kami urus jadi aku sudah mengisi uang jajanmu didalamnya” jelasnya, sebenarnya aku tidak tertarik dengan ponsel dan ATM ini, aku hanya ingin mendengar hal penting saja bukan basa-basi.
“oke, thanks. Apakah ada yang ingin diberitahukan lagi? aku harus segera berangkat ke sekolah dan tidak bisa mendegar hal yang tidak penting sekarang” kasar memang, tapi jantungku berdegup kencang berharap Ibu mengatakan apa yang ingin aku dengar atau setidaknya memberitahku apa yang Ayah katakan.
“Ana” panggilnya lembut. Andai ia memanggilku seperti itu saat aku kecil, atau saat dia meninggalkan aku dan Ayah setidaknya ada hal yang dapat aku kenang kembali.
“Mark sudah memberitahuku semuanya, tapi bolehkah aku meminta padamu?” Entah mengapa aku jadi sangat takut jika Ibu memintaku kembali ke San Francisco tapi aku lebih takut lagi jika Ibu menginginkanku tinggal.
“Tinggalah lebih lama, aku ingin menebus semua kesalahanku, menebus semua waktu antar kau dan aku yang telah hilang, I Beg you Ana, as a mother… jadilah anakku untuk saat ini, aku janji setelah pulang dari Jepang aku tidak akan pergi kemanapun dan kita akan menghabiskan waktu bersama, oke?”
Aku tidak bisa bersuara sekarang, tenggorokanku seperti mengering, tiba-tiba aku merasa sedikit haru dan mencoba mengulang kalimat yang Ibu ucapkan tadi dikepalaku. Meski tidak seperti yang ku bayangkan tapi itu cukup membuatku memiliki alasan untuk tinggal, dan yang paling penting adalah ketika aku menikmati waktu bersama Ibu.
“Oke” balasku singkat dengan suara yang agak parau.
“Terima kasih sayang, aku akan telpon lagi nanti, jangan me-nonaktifkan ponselmu, Ne?, I Love You” sambungannya terputus.
“I Miss You…, Mom”
-
Lima belas menit sebelum bunyi bel Sekolah dan koridor sudah terlihat sepi, agak aneh memang. Apa hari ini akan ada ujian mendadak jadi semua siswa memilih duduk di kelas dan belajar? Ah molla biarkan saja.
Aku memilih berjalan sambil memandangi sepatuku. Dulu, ketika sekolah sepatuku tidak sebagus ini, aku dapat membeli yang baru jika yang aku pakai benar-benar sudah rusak, tapi sekarang aku tidak mau mengingat yang dahulu, biarlah aku jadi Ana yang sekarang akan aku pakai semua yang Ibu berikan. Ibu benar, ini saatnya aku membuat waktu yang menyenangkan bersamanya dan aku tidak sabar menunggunya pulang.
“Omo!” dengan cepat aku menengadahkan kepalaku, seorang murid laki-laki yang aku tabrak tasnya menatapku aneh.
“Maaf” aku menunduk cepat memperlihatkan rasa bersalahku, aku takut ia senior jadi aku berusaha bersikap baik. Setelah aku meneggakkan kepalaku kembali ia malah sudah mengalihkan perhatiannya kedepan, aku menatapnya heran karena ia berusaha melihat objek didepannya dengan berjinjit dan aku juga baru sadar kalau bukan hanya dia tapi juga murid-murid di sekelilingku juga melakukan hal yang sama. Sebenarnya apa yang sedang mereka lihat?
Aku tak beniat melakukan hal yang sama hanya menunggu seseorang keluar dari kerumunan itu kemudian bertanya. Tepat sekali Hana yang keluar dari kerumunan murid itu.
“Hi” sapaku. Ia terkejut, dan ekspresinya sangat berlebihan, ia seperti sedang melamun ketika keluar dari kerumunan itu.
“kau baik-baik saja?” tanyaku memastikan. Hana mencoba menyadarkan dirinya.
“Ah iya, kau baru datang?” tanyanya. Aku mengangguk ragu kemudian mulai tersadar kembali dengan keramainan didekatnya.
“Kenapa ada ramai-ramai?”
“Ada seorang murid yang hilang” raut wajah Hana berubah sedih.
“oh ya? Sejak kapan?”
“sejak pergi ke Museum” aku terdiam, mulai mengingat sesuatu yang dikatakan Hanyoung. Apa mungkin anak itu hilang di Museum? Dan tentang yang dikatakan Hanyoung tentang setiap tahun ada murid yang mengilang di Museum.
Bel tanda masuk mengaggetkanku dan Hana. Kami seperti larut dalam pikiran masing-masing sampai Bel Sekolah terdengar asing dan menganggetkan kami. Kumpulan murid yang berdiri didepan papan pengumuman mulai berhamburan, sekarang aku dapat melihat siswa laki-laki yang menghilang itu.
“Ayo, waktunya masuk kelas” Hana mengingatkan. Kami akhirnya berjalan menuju kelas dalam diam. Aku jadi penasaran, sangat penasaran. Kalau benar ini terjadi setiap tahun kenapa pihak Sekolah seperti biasa saja? Seperti hal ini sudah wajar dan tidak ada yang perlu diselidiki. Lalu kalau ini sudah sering terjadi kenapa semua murid tetap biasa saja saat pergi ke Museum tidak ada rasa takut atau curiga seperti Hanyoung, ini sangat membingungkan.
“sudah tidak perlu dipikirkan” aku menoleh keara Hana yang tersenyum padaku. Wajahnya sudah berubah sedikit ceria.
“Aku hanya heran, seperti banyak pertanyaan yang ada dipikiranku”
“Benarkah? Coba lupakan saja karena besok pertanyaan itu sudah tidak berarti” ucap Hana dan mendahului ku memasuki kelas. Dia yang terlalu pintar atau aku yang lama berpikir? Kenapa aku tidak mengerti ucapannya?
-
Suara sendok yang aku putar didalam cangkir menimbulkan suara klenting. Perutku sedikit terasa mual jadi aku hanya meminum teh hangat untuk menghabiskan waktu istirahat. Ada yang aneh, hari ini kantin terasa lebih sunyi dari biasanya. Beberapa murid memilih diam dan memilih menikmati makan siang merka sementara yang lainnya berbicara dengan suara lebih kecil dari biasa.
Pandangaku kini beralih pada Hanyoung dan Seung Jae yang biasa meributkan hal tidak penting sekarang malah bicara seperlunya. Hana seperti biasa dia hanya membaca buku sambil memasukkan kentang goreng kedalam mulutnya.
“Apa hari ini ada latihan basket?” tanyaku pada Seung Jae, pria itu mendongak untuk melihatku. Ia mengangguk mantap. “Hanyoung, berarti tim cheerlideres-mu juga berlatih ya?” aku mengalihkan pandangaku kearah Hanyoung. Ia hanya tersenyum sambil mengunyah makanannya, aku balas tersenyum bingung harus meneruskan obrolan dari mana lagi. Aku bukan gadis seperti Hanyoung yang pandai membangkitkan suasana jadi aku memilih diam saja.
“Apa kau yang bernama Anabelle?” Aku melihat sepasang kaki yang memakai sepatu sport coklat berhenti didekatku. Merasa namaku yang dipanggil aku menoleh dan mendapati seorang pria sipit dengan rambut cepak dan kaca mata bulat menatapku sambil menganggkat alis.
“Iya, aku Ana” aku memandangnya ragu. Seragam kebesarannya mengalihkan pikiranku pada pertanyaan ‘kenapa dia mencariku’ tatapannya memandangku kosong, seperti robot yang dikepalanya hanya terdapat perintah-perintah rumit yang membuat mulutnya terbuka dan hampir menjatuhkan air liur.
“Ada yang ingin bertemu denganmu” lanjutnya dengan wajah datar. Aku mulai fokus dengan apa yang dikatakannya. Aku memandang Hana, Hanyoung dan Seung Jae yang tidak tertarik dengan pria berkaca mata bulat ini, jadi aku memilih untuk menyelesaikan sendiri.
“siapa?”
Pria itu bergeming dan berjalan tanpa menjawab pertanyaanku, aku memandang punggungnya yang terlihat kotak karena terlalu kurus mungkin. Tapi tak berapa lama ia menoleh dengan wajah lelah sekaligus heran.
“ikut denganku” oh harusnya aku sudah tahu kalau ia meminta untuk aku mengikutinya tapi bodohnya pikiranku begitu lambat, hari ini otakku seperti tak bekerja dengan baik. Melihat ketiga temanku yang sangat tidak bersemangat dan sangat cuek jadi aku meninggalkan mereka dengan diam dan mengikuti murid laki-laki yang tingginya setara denganku itu meninggalkan kantin. Jalannya kaku dan tangannya tidak berayun seperti orang berjalan pada umumnya.
“sebenarnya kita mau kemana?” aku mulai merasa menjauh dari gedung utama dan sampai pada halaman belakang dimana terdapat sebuah taman dan kolam yang menjadi objek utamaku sekarang.
“ikuti jalan itu, para senior menunggumu” ucapnya dan bergegas pergi. Apa? Senior siapa? Disana itu sudah masuk wilayah universitas. Aku tidak kenal siapun disana, aku juga tidak ingat pernah bermasalah dengan salah satu mahasiswa, yang aku tahu aku hanya orang asing disini.
“Hey tunggu-” murid laki-laki itu sudah pergi dan reflekku sangat lambat untuk mencegahnya pergi. Murid itu, aku sempat lihat name tagnya Hoon—ah tidak ingat. Yasudah, mungkin aku benar harus kesana mungkin ada seseorang yang salah memanggil nama dan yang dimaksudkan bukan aku, jadi aku harus memastikan.
Aku merasa seperti memasuki gedung didalam hutan. Pohon-pohon yang tinggi menutupi celah matahari masuk, wanginya sejuk dan suara air masih terdengar merdu ditelingaku. Sepertinya pilihan tepat jika lulus nanti aku memilih universitas ini. Tata letak dan suasananya sangat berbeda dengan gedung SMA. Disini lebih mendominasi warna putih dan merah bata. Terlihat klasik tapi nikmat untuk dipandang, apalagi wangi bunga yang entah dari mana serta pemandanga hijau yang banyak tapi tidak berlebihan. Aku jadi ingat rumah Taemin, seperti ini suasananya.
Aku melewati anak tangga yang dihimpit pilar besar bewarna putih, pintu kaca yang terbuka otomatis menyadarkanku kalau gedung ini sepenuhnya tak klasik masih ada sisi modern dan teknologinya. Ini cukup membuatku kembali tertarik.
Saat sepatuku ini menapak didalam gedung beberapa mata mahasiswa menatapku. Tentunya bukan perbendaan fisik yang membuat mereka tertarik melihatku, tapi lebih pada serangam yang aku pakai, karena tidak seorang pun yang memakai seragam sepertiku disini. Mungkin dipikiran mereka untuk apa seorang Murid SMA kesini. Jangankan mereka aku pun tidak tahu.
Berjalan beberapa langkah lagi aku masuk sebuah koridor yang berpusat pada sebuah taman didalam. Heran, banyak sekali taman disini. Aku mulai tak menghiraukan mata yang menatapku, aku hanya terpukai dengan design gedung yang menakjubkan bahkan aku hendak menyamakannya dengan Museum –tapi ini lebih baik– atau gedung pemerintahan di Inggris. Mereka mengambil tema seperti itu.
Mataku menyipit memperhatikan sekelompok mahasiswa yang berkumpul ditaman itu, tepatnya dibawah pohon rindang yang besar. Aku mendekat dan salah seorang dari mereka menyadari kedatanganku, membuat semuanya menoleh dan menghentikan kegiatan. Jarak ini masih cukup jauh untuk memastikan wajah mereka, apa aku harus bertanya mengenai ‘senior’ yang mencariku pada mereka?
“Hey kemari” salah seorang yang bertubuh tinggi dan ramping seperti memanggilku. Atau memang benar memanggilku. Aku berjalan ragu dan mulai menginjak rumput yang sedikit basah karena mungkin habis di guyur air. Aku jadi tak tega menginjak rumput sehijau ini. Bagaimana penjaga tanaman disini begitu telaten mengurus seluruh tanaman disini terutama rumput yang sebentar lagi akan tertutup salju.
Aku mulai mengangkat kepalaku dan aku hitung mereka. Jumahnya tujuh orang dan tidak satupun dari mereka yang ku kenal, hanya saja mereka itu pernah ikut rombongan SMA pergi ke museum, hanya itu.
“kau yang bernama Ana?” kali ini pria berambut merah dengan poni disibak keatas kepala memandangku dengan tangan yang disembunyikan dikantong celananya. Aku mengangguk ragu, tak berani bersuara apalagi salah satu diantara meraka memandangiku tajam, seorang perempuan dengan wajah eksotis dan rambut hitam lurus seatas bahu. Aku melihat tindikan di batang telinganya karena sebelah rambut kakunya sedang ia letakan dibalik telinga.
“begini Ana, kami sedang kehilangan sesuatu” lanjut pria berambut merah itu, aku tersadar dan kembali menoleh kepada yang berbicara. Lalu apa hubungannya denganku?. Pikirku dalam hati.
“Benda itu sangat berharga dan kami kehilangan di Museum, setelah kami tanya petugas ada seorang murid perempuan yang menemukan benda di museum yang ternyata milik kami, dari ciri-ciri yang disebutkan itu menunjuk padamu, anak baru” ya memang selain aku tercatat sebagai anak baru fisikku pasti sangat mudah untuk dikenali, sepertinya aku mulai menyombongkan diri karena hampir semua murid mengenalku.
“Bisakah kau kembalikan benda itu?"
Aku berpikir sejenak, kalung berbandul kompas itu yang sedang mereka bicarakan. Kemarin ada seorng pria bernama Lu Han yang juga mengakui benda itu miliknya dan harusnya aku membawanya hari ini untuk dikembalikan padanya, sayang, benda itu tertinggal dirumah—lagi –tapi aku mulai ragu, malah sekarang cerita pria ini yang lebih masuk akal ketimbang cerita Lu Han, meski aku tidak berhak menuduh Lu Han sebagai penipu yang mengambil barang bukan miliknya.
“bisa kau kembalikan pada kami?” tanyanya. Aku melihat mereka satu persatu, beberapa diantaranya menatapku seolah berusaha menembus pikiranku, aku bingung sekarang. Tatapanku berhenti pada seorang pria yang masih duduk dibawah pohon tak bergeming. Ia menggunakan kupluk jaketnya untuk menutupi wajahnya, dan tidak memandangku.
“sebenarnya aku bingung, kemarin ada seorang pria yang bilang bahwa benda itu miliknya dan aku sudah berjanji untuk mengembalikannya” aku mendengar desisan dari salah satu dari mereka seolah tidak percaya padaku.
“aku tidak akan mengambil apa yang bukan milikku, tapi aku masih belum bisa memastikan kalau benda itu milik kalian, ataupun pria itu” aku tahu wajah mereka sudah berubah tak ramah, hanya aku tidak boleh mengembalikan pada orang yang salah, apalagi kalau benda itu sangat berharga.
“kau akan menyesal tidak mengembalikkannya pada kami” suara berat yang sedikit serak membuatku tiba-tiba haus seperti merasakan jika suaraku seperti itu aku akan segera membasahinya dengan air yang sejuk. Aku memadang kebawah dimana pria yang tadi ku tatap masih duduk dibelakang kaki-kaki jenjang milik teman-temannya. Pria itu yang memperingatkanku.
“Kai tenanglah” kali ini suara milik pria dengan wajah baby face. Suaranya terdengar merdu meski hanya bicara. Dia maju selangkah demi melihat jelas wajahku yang mulai gugup.
“kau menemukannya di Museum dan kami kehilangan benda itu juga disana, itu tetap tidak meyakinkanmu?” lanjutnya yang menatap kearahku.
“Jika kau bersikeras menyimpan benda itu terlalu lama maka, sesuatu yang buruk akan menimpa kami dan..” belum selesai ia berbicara pria yang mulanya duduk kini berdiri dan mendorong tubuh temannya ke belakang dan digantikan dengan tubuhnya.
“bawa saja ke Museum dan serahkan ke penjaga, kami akan mengambil benda itu dengan bukti-buti bahwa benda itu milik kami, segera kembalikan atau kami bisa mengambil benda itu dengan paksa, sekarang kau bisa pergi” ucapannya seperti menghantam dadaku, wajahnya sangat tidak ramah dan katanya yang lugas. Sekarang aku bisa melihat wajahnya dengan jelas dan rambut coklat yang ikal muncul dibalik kupluknya. Matanya coklat terang seperti memancarkan cahaya yang menatul dari matahari. Dia membuatku terdiam lama dengan pesonanya. Tapi aku juga tahu ia pun terdiam memandangku.
“Ayo kita pergi” entah siapa yang bicara tapi mereka mulai pergi meninggalkan taman, termasuk pria dihadapanku yang aku ingat namanya yg dimulai dari huruf K itu. Tapi masih ada satu orang yang terlihat frustasi, pria tinggi yang pertama memanggilku.
“Kalau kau tidak percaya kami kau juga tidak bisa percaya pada pria yang kau temui itu” ucapnya kemudian pergi menyusul teman-temannya. Perkataanya benar, perkataan mereka benar, mereka tidak menyuruhku untuk mempercayai mereka, atau pun Lu Han, hanya menyuruhku kembali ke Museum dan mereka akan menyelesaikan semuanya dengan menunjukan bukti kepada penjaga, tanpa aku harus memikirkan mana yang benar pemiliknya, jika Lu Han benar pemiliknya ia bisa membawa bukti dan menunjukkannya ke penjaga. Mungkin begitu.