Aku harus bilang apa ketika aku sudah membereskan pakaianku tiba-tiba Ibu tidak ada dirumah karena harus kembali pergi ke Jepang menemani Teo Joong lagi lalu menitipkan surat untukku lewat pelayan.
Aku minta maaf, aku harap kau tidak gegabah untuk kembali ke San Fransisco. Kau baru masuk Sekolah, kita juga belum sempat bicara dengan kepala dingin. Tunggu Mom kembali dan Mom janji akan mendengarkanmu.
I’m sorry
Aku membanting tubuhku dikasur. Ini berarti aku harus kembali tinggal. Tiba-tiba aku jadi sangat merindukan Ayah, aku lama tidak menelponnya semenjak aku tahu ia pergi dengan Stacy. Sebenarnya tidak ada yang salah, Ayah berhak mecari pendamping tapi jika itu alasannya untuk mengembalikkan aku ke Korea aku benar-benar kecewa.
Mau tidak mau aku harus segera kembali berpakaian untuk berangkat ke Sekolah. Aku turun dari tangga dan melewati meja makan, aku tidak mau merusak moodku untuk melihat wajah Juno yang menyebalkan dan duduk bersamanya untuk sarapan. Tidak, terima kasih.
Setelah mobil ini melaju keluar rumah aku sempat menoleh kearah rumah Taemin, rumahnya tertutup rapat. Biasanya kalau sudah pagi ada beberapa jendela yang sudah terbuka tapi kali ini, tirai saja masih tertutup.
Sepanjang jalan aku hanya terdiam, bahkan hampir tertidur. Bosan, semua serba membosankan dan menyebalkan. Apa Ayah tidak pernah berpikir bagaimana pendapatku soal kembali ke kampung halaman? Dia hanya tahu aku pasti akan senang. Terkadang Ayah memang sok tahu.
Aku masuk kedalam kelas dengan tidak bersemangat tapi kemudian terdengar suara yang sangat seorang gadis yang memanggil namaku. “Ana!!” panggilnya, itu Hanyoung. “kau baik-baik saja?” Ia memutarkan tubuhku dan melihatku dari atas kebawah.
“ya tentu saja” jawabku heran. Tak berapa lama kemudian dia memelukku.
“AH! Syukurlah” keningku berkerut, aku melihat Seung Jae dan Hana berdiri dibelakang Hanyong sambil tersenyum.
“memang ada apa?”
“aku kira kau jadi korban tahun ini” Hanyoung duduk ditempat dudukku “tapi kenapa sampai sekarang belum ada kabar murid yang hilang” aku tahu sekarang, mereka sedang membicarakan apa.
“lalu kenapa kemarin kau tidak ada dibus saat kami pulang?” tanya Seung Jae padaku.
“Ah, aku ketiduran, oh ya” aku mengeluarkan iPod milik Hana “ini Hana aku kembalikan terima kasih, aku gampang tertidur kalau sudah dengar lagu” jawabku sambil tersenyum, Seung Jae dan Hanyoung mengangguk samar, sekarang mereka tahu kenapa aku bisa sampai tertidur.
“sudah waktunya masuk kelas, sana kembali ke kelas” titah Hana pada Seung Jae dan Hanyoung. Kita memang tidak sekelas. Setelah Hanyoung menjulurkan lidahnya pada Hana ia bangkit dan pergi disusul oleh Seung Jae, dasar anak itu. Aku tersenyum singkat kemudian duduk disamping Hana.
“kenapa wajahmu ditekuk begitu?” tanya Hana. Sepertinya ia menyadari mood-ku yang sedang tidak bagus.
“tidak apa-apa hanya kurang enak badan saja” jawabku bohong.
“kau benar-benar tertidur di museum itu?” Hana melirikku sambil mengambil buku dari tasnya.
“iya, bahkan hampir terkunci”
“benarkah? Beruntung sekali kau tidak jadi korban” aku mencerna ucapan Hana tadi.
“tunggu, maksudnya kau percaya ada makhluk semacam itu di Museum?” aku memutar tubuhku menghadapnya. Aku lihat matanya berkedip cepat.
“Bu..bukan begitu, Ah mungkin aku sudah mulai terkontaminasi dengan perkataan Hanyoung, aku tetap tidak percaya dengan hal-hal seperti itu” Hana tertawa kaku. Aku memandanginya dengan sedikit aneh kemudian kembali meluruskan tubuhku.
-
Waktunya istirahat semua murid berhamburan keluar kelas. Rasanya ingin pulang saja, aku bosan di Sekolah.
“ada apa ramai sekali?” tiba-tiba Hana berbicara entah pada siapa, aku menoleh dan Hana berjalan kearah kerumunan dan melihat kebawah. Aku ikut melihat tapi tidak ada apa-apa, hanya berdiri seorang pria yang sedang bersender pada mobilnya.
“wah tampan sekali” “mobilnya juga mewah” kata-kata itu yang lebih sering diucapkan. Aku menyingkir karena merasa tidak tertarik.
“Ana!” mataku membulat Karen tiba-tiba Hanyoung muncul sambil berlari kemudian menangkap bahuku.
“ada apa?”
“dari mana kau mengenal pria tampan ituuuu?!” tanyanya sambil mengatur napas.
“pria siapa?”
“itu pria yang dibawah, aku tahu dia bukan mahasiswa disini tapi ia sedang mencarimu”
Pria yang dibawah itu mencariku? Siapa dia? Dengan cepat aku kembali menyentuh tembok balkon dan melihat jelas wajahnya. Aku tidak mengenalnya, bertemu saja belum pernah.
“aku tidak kenal dia” terangku kemudian membalikkan badan.
“Kalau begitu temui saja, atau mau aku temani?” tawar Hanyoung sambil tersenyum lebar.
“kalau kau tidak kenal sebaiknya tidak usah” Hana memberitahuku, aku menoleh dan mendapati muka serius Hana.
“mungkin sebaiknya aku temui” balasku dengan senyum “-sendiri” lanjutku sambil menoleh kearah Hanyoung.
Setelah menuruni tangga aku mendekat kearah pria itu. Agar risih karena hampir semua murid sedang memperhatikannya dan aku juga pastinya.
“Anda mencariku?” ia mendongak. Aku langsung menangkap matanya yang coklat, kulitnya bersih dan rambutnya yang kecoklatan selaras dengan warna matanya. Tapi ia melihatku dengan wajah sedikit terkejut dan agak gugup lalu kemudian ia mulai terlihat menyadarkan dirinya.
“apa kau Anabelle?” tanyanya dengan wajah ramah.
“apa aku mengenalmu?”
“perkenalkan namaku Lu Han” ucapnya sambil mengulurkan tangan. Aku melihat tangannya yang menjulur agak lama kemudian menyambutnya.
“Ana” sahutku.
“oh ya aku ingin mengambil benda yang waktu itu kau temukan di museum” Aku mulai mengingat, benda itu? Benda keemasan itu miliknya.
“itu milikmu?” tanyaku ragu.
“emm, ya itu punyaku, aku tidak sengaja menjatuhkannya” ucapnya tak meyakinkan. Ia mencoba tersenyum ramah tapi tidakku balas.
“dari mana kau tahu aku yang menemukannya?” tanyaku curiga, ia mulai terlihat berpikir dan membuatku semakin tidak yakin.
“Itu aku tahu karena waktu itu aku bertanya kepada beberapa penjaga dan mereka bilang ada salah satu siswi dari sekolah ini yang menemukan sesuatu di museum”
Sungguh aku masih tidak percaya, aku melihatnya sebagai orang baik tapi untuk masalah ini aku tidak berani.
“kau punya surat-surat atau tanda yang bisa membuktikan? aku harap itu berguna”
Ia menghela napas “begini, benda itu tidak dimiliki seperti perhiasan. Itu benda penting sulit memberitahu bagaiamana membuktikan bahwa benda itu milikku, dan tidak baik jika terlalu lama berada ditangan yang bukan seharusnya” ia mulai menerangkan, aku rasa ia berprofesi sebagai seorang guru atau semacamnya.
“jangan tersinggung, tapi aku lebih percaya benda itu milik museum yang harus aku kembalikkan kesana, jadi aku akan mengembalikkan dimana benda itu aku temukan, jika itu milikmu ambil saja disana” aku membalikkan badan untuk pergi tapi pria itu malah menangkap lenganku. Mataku menatapnya cepat kemudian menatap tangannya yang memegang lenganku.
“maaf” sesalnya kemudian melepaskan tangannya dan berjalan mundur.
“kalau kau kembalikkan benda itu ke museum itu percuma mereka tidak akan tahu benda apa itu dan malah akan menuduhmu mencuri benda bersejarah yang sebenarnya bukan milik mereka” Aku menatapnya yang mulai meyakinkanku. Tidak tahu kenapa kata-katanya ada benarnya, aku mulai menimbang dan berpikir keras.
“aku tidak membawanya”
“baik aku akan datang lagi besok” ucapnya dengan sebuah senyum. Aku melirik kesekelilingku dan sedikit mendongak untuk melihat keatas dimana banyak murid yang masih memperhatikan kami.
“tidak, temui aku saja di Kedai Hangnam, tidak jauh dari sini. Sepulang sekolah aku akan memberikannya”
“kalau begitu terima kasih” ia menghembuskan napas yang agak berat dan tersenyum lega kearahku. Aku tidak tahu, tapi aku merasa dia orang baik, lihat saja ia terlihat sangat ramah ketika berbicara, sopan juga.
-
“bagaimana?” Hanyoung memanggku tangan dan tersenyum kearahku.
“bagaimana apanya?” aku meliriknya sekilas.
“tadi itu siapa?”
“Lu Han” jawabku setelah mengingat.
“oh namanya Lu Han, tampan ya? Dia pacarmu?” Hanyoung mendorong bahuku dari belakang.
“aku baru bertemu dengannya, waktu itu aku menemukan barangnya yang hilang jadi aku harus kembalikan besok” jelasku dan Hanyoung mengangguk dengan wajah senang. aku memperhatikannya heran.
“Hey” tiba-tiba Hana datang dan memumukul lengan Hanyoung dengan gulungan kertas. “kau tidak tahu ini jam berapa? Cepat masuk kelas!” Hana meletangan kedua tangannya ke pinggang.
Dengan wajah masam Hanyoung berbisik “dia lebih galak dari guru matematika” aku tersenyum sebelum Hana kembali berteriak dan berhasil membuat kupingku sakit.
“tadi itu siapa?” aku kembali menoleh setelah Hana duduk disampingku.
“aku baru kenal, dia meminta barangnya kembali, waktu itu aku temukan di Museum”
Hana terlihat berpikir kemudian matanya berkedip lama “kau yakin itu miliknya?” tanyanya lagi.
“sepertinya begitu” jawabku ragu.
“kau saja masih tidak yakin, aku rasa kau perlu menunggu beberapa hari lagi, siapa tahu pemilik aslinya datang” Hana tersenyum untuk meyakinkanku. Sebenarnya, ada benarnya juga bagaimana pun itu benda berharga.
“baiklah, terima kasih”
-
Aku masih duduk di depan komputer dan masih mencari kata-kata yang tepat untuk mencari tahu nama benda yang sekarang aku gantung di depan meja belajarku, tapi sayang Google tidak memberikan jawaban. Aku sudah mencarinya dari kata kalung sampai benda aneh yang berbentuk emas tapi tidak ada benda yang seperti itu di internet. Haah..
Rasanya aku sudah terlalu lama duduk jadi aku berdiri dan merenggangkan ototku. Kemudian kakiku berjalan menuju jendela dan mataku menatap keluar, beberapa hari ini aku tidak melihat Taemin keluar rumah atau memang ia tidak ada diruma, aku mulai kembali merasa kesepian.
“Nona” tak lama ada seseorang yang mengetuk pintu kamarku. Aku berjalan dan membuka pintu, terlihat pelayan paruh baya yang lebih seringku lihat diantara pelayan yang lain.
“ada telpon dari Tuan Mark ” lanjutnya dengan senyum yang ramah.
Aku mengambil telponnya sambil mengucapkan terima kasih, pelayan itu pergi dan aku menutup pintu. Setahuku wanita yang kira-kira sudah berkepala enam itu yang lebih sering mengurus Juno, lebih dari pada Ibu tentunya. Baiklah aku harus memulai pembicaraan dengan Ayah jadi aku duduk ditepi tempat tidur dan menempelkan telponnya dengan sedikit gugup.
“Hallo”
“Ana”
“akhirnya menelpon juga” sindirku dan aku dengar Ayah menghembuskan napas beratnya.
“I’m sorry” sesalnya “Dad pikir kau masih marah dan butuh waktu lalu akan menelponku lebih dulu” mendengar itu aku sedikit tersenyum, tapi merasa kesal juga tidakkah Ayah tahu rasanya menunggu?
“sejak kapan kalau aku merasa kesal aku yang akan lebih dulu minta maaf?” candaku dan aku tahu Ayah menahan tawa sekarang.
“Bagaimana disana?”
“Banyak pelayan dirumah, sekolah yang membosankan, adik tiri yang sinis dan teman yang menghilang, jadi apa menurut Ayah?” Aku tidak mendengarnya akan membalas pertanyaanku, aku memaklumi itu. Setidaknya Ayah tahu bagaimana membosankannya disini.
“tapi tenang saja aku tidak akan minta pulang sekarang kecuali Mom benar-benar mengacuhkanku”
“Ayolah Ana, dia Ibumu. Dia tidak akan mengacuhkanmu”
Aku memandang langit kamarku, ini salah satu cara untuk menahan air mataku untuk keluar. Ayah seperti menyadarkan bahwa selama ini Ji Hyun adalah dan memang Ibu ku.
“Dad.. bisakah aku pulang sekarang?” suaraku mulai parau dan aku mulai berkedip cepat.
Lama menunggu akhirnya Ayah bersuara “Aku mengerti, aku juga tidak bisa memaksakanmu, akan aku bicarakan ini pada Ji Hyun” Ayah mencoba memahami yang aku mau, harusnya aku senang mendengar Ayah tidak marah ketika aku meminta pulang, tapi itu malah membuat aku makin sedih. Aku tidak pernah ingin jauh dari ibu, tidak ada anak yang ingin jauh dari ibunya, hanya saja aku ingin Ibu mengerti bahwa aku membutuhkannya, sedang sangat membutuhkannya.
“Dad, kau tidak marah?” Aku menghapus air mataku yang entah kapan sudah jatuh.
“Aku menyayangimu Ana, aku akan menelponmu lagi nanti, take care”
“aku juga” setelah itu sambungan terputus sebelum aku menyelesaikan kalimatku. Salahkah aku bicara seperti itu? Aku hanya ingin mereka kembali bersama bukan untuk menjadi suami istri lagi tapi untuk menjadi orangtuaku dan maksud itu selalu membuat mereka salah paham dan mengira aku membenci Ibu dan Korea.
Bisakah air mata ini tidak jatuh sekarang? Aku benci kalau aku harus menangis, tegar Ana.. kau harus tegar. Aku sadar sekarang aku berjuang sendiri, entah berjuang untuk apa, untuk kebahagiaanku atau kebahagiaan orang-orang yang melupakanku.
Seperti biasa kalau sudah malam seperti ini rumah menjadi sepi dan sunyi, suara pintu kamarku yang tertutup jadi sedikit menggema. Aku sengaja pergi keluar kamar agar suasana hatiku berubah, tapi sepertinya percuma.
Kamar Jeno terbuka, aku melihat punggung yang bersandar dibawah tempat tidur. Aku rasa Jeno sedang memilih bermain dikamar dari pada merasakan kesunyian diluar.
“Apa aku boleh masuk?” aku membuka kamarnya, Jeno sama sekali tidak melihatku jadi aku menarik kesimpulan sendiri. Di depan meja belajarnya ada kursi putar jadi aku duduk disana dan menatap Jeno kaku. Sepertinya aku baru sadar kalau anak itu lebih kurus dari pada yang aku lihat saat pertama kali bertemu, matanya tidak sesipit Teo Joong pasti ia memiliki mata Ibuku. Kulitnya putih, bahkan terlihat pucat ia seperti jarang terkena sinar matahari. Kemudian mataku memandang kamarnya yang –masih saja- rapi.
“apa kau tidak kesepian?” lagi-lagi Jeno tidak merespon, aku sudah terbiasa jadi aku tidak akan marah. Ia hanya menghembuskan napas seolah-olah dia tak suka aku berada disini, tapi aku senang dia belum mau mengusirku.
“aku baru saja mengobrol dengan Ayahku, rasanya sangat menyenangkan bisa mendengar suaranya lagi, kau tahu? Kau sangat beruntung bisa melihat Ibu dan Ayahmu bersama, mengurus dan memberi perhatian padamu bersama, bahkan kau bisa mendapatkan apa yang kau mau. Tidak, aku tidak iri” Jeno menatapku dengan mata tajamnya “baiklah, aku memang iri” aku menunduk setelah berkata jujur “kalau boleh aku juga ingin sepertimu, 10 tahun waktu yang sangat lama untuk menunggu” aku mulai mengatur napasku agar tidak kembali menangis.
“Baiklah waktu berkunjung sudah selesai, Terima kasih tidak mengusirku dan meski kau tidak merespon apa yang aku katakan aku senang kau jadi pendengar yang baik” aku bangkit dan keluar menuju pintu, kemudian membalikkan badan sebelum menutup pintu kamarnya “aku harap kita bisa berteman” ucapku sambil tersenyum singkat kemudian menutup pintu itu dengan rapat.
Waktunya kembali ke kamar dan tidur, aku tidak tahu keputusan apa yang akan aku buat setelah ini, ada beberapa pilihan, kabur dari rumah, mencuri uang Ibuku untuk bersenang-senang atau membakar rumah ini dan pergi ke penjara. Sungguh itu pemikiran sangat gila, tentu aku tidak akan melakukannya. Aku berharap Taemin segera kembali dan memberiku saran apa yang harus aku lakukan setelah ini.
Aku harus bilang apa ketika aku sudah membereskan pakaianku tiba-tiba Ibu tidak ada dirumah karena harus kembali pergi ke Jepang menemani Teo Joong lagi lalu menitipkan surat untukku lewat pelayan.
Aku minta maaf, aku harap kau tidak gegabah untuk kembali ke San Fransisco. Kau baru masuk Sekolah, kita juga belum sempat bicara dengan kepala dingin. Tunggu Mom kembali dan Mom janji akan mendengarkanmu.
I’m sorry
Aku membanting tubuhku dikasur. Ini berarti aku harus kembali tinggal. Tiba-tiba aku jadi sangat merindukan Ayah, aku lama tidak menelponnya semenjak aku tahu ia pergi dengan Stacy. Sebenarnya tidak ada yang salah, Ayah berhak mecari pendamping tapi jika itu alasannya untuk mengembalikkan aku ke Korea aku benar-benar kecewa.
Mau tidak mau aku harus segera kembali berpakaian untuk berangkat ke Sekolah. Aku turun dari tangga dan melewati meja makan, aku tidak mau merusak moodku untuk melihat wajah Juno yang menyebalkan dan duduk bersamanya untuk sarapan. Tidak, terima kasih.
Setelah mobil ini melaju keluar rumah aku sempat menoleh kearah rumah Taemin, rumahnya tertutup rapat. Biasanya kalau sudah pagi ada beberapa jendela yang sudah terbuka tapi kali ini, tirai saja masih tertutup.
Sepanjang jalan aku hanya terdiam, bahkan hampir tertidur. Bosan, semua serba membosankan dan menyebalkan. Apa Ayah tidak pernah berpikir bagaimana pendapatku soal kembali ke kampung halaman? Dia hanya tahu aku pasti akan senang. Terkadang Ayah memang sok tahu.
Aku masuk kedalam kelas dengan tidak bersemangat tapi kemudian terdengar suara yang sangat seorang gadis yang memanggil namaku. “Ana!!” panggilnya, itu Hanyoung. “kau baik-baik saja?” Ia memutarkan tubuhku dan melihatku dari atas kebawah.
“ya tentu saja” jawabku heran. Tak berapa lama kemudian dia memelukku.
“AH! Syukurlah” keningku berkerut, aku melihat Seung Jae dan Hana berdiri dibelakang Hanyong sambil tersenyum.
“memang ada apa?”
“aku kira kau jadi korban tahun ini” Hanyoung duduk ditempat dudukku “tapi kenapa sampai sekarang belum ada kabar murid yang hilang” aku tahu sekarang, mereka sedang membicarakan apa.
“lalu kenapa kemarin kau tidak ada dibus saat kami pulang?” tanya Seung Jae padaku.
“Ah, aku ketiduran, oh ya” aku mengeluarkan iPod milik Hana “ini Hana aku kembalikan terima kasih, aku gampang tertidur kalau sudah dengar lagu” jawabku sambil tersenyum, Seung Jae dan Hanyoung mengangguk samar, sekarang mereka tahu kenapa aku bisa sampai tertidur.
“sudah waktunya masuk kelas, sana kembali ke kelas” titah Hana pada Seung Jae dan Hanyoung. Kita memang tidak sekelas. Setelah Hanyoung menjulurkan lidahnya pada Hana ia bangkit dan pergi disusul oleh Seung Jae, dasar anak itu. Aku tersenyum singkat kemudian duduk disamping Hana.
“kenapa wajahmu ditekuk begitu?” tanya Hana. Sepertinya ia menyadari mood-ku yang sedang tidak bagus.
“tidak apa-apa hanya kurang enak badan saja” jawabku bohong.
“kau benar-benar tertidur di museum itu?” Hana melirikku sambil mengambil buku dari tasnya.
“iya, bahkan hampir terkunci”
“benarkah? Beruntung sekali kau tidak jadi korban” aku mencerna ucapan Hana tadi.
“tunggu, maksudnya kau percaya ada makhluk semacam itu di Museum?” aku memutar tubuhku menghadapnya. Aku lihat matanya berkedip cepat.
“Bu..bukan begitu, Ah mungkin aku sudah mulai terkontaminasi dengan perkataan Hanyoung, aku tetap tidak percaya dengan hal-hal seperti itu” Hana tertawa kaku. Aku memandanginya dengan sedikit aneh kemudian kembali meluruskan tubuhku.
-
Waktunya istirahat semua murid berhamburan keluar kelas. Rasanya ingin pulang saja, aku bosan di Sekolah.
“ada apa ramai sekali?” tiba-tiba Hana berbicara entah pada siapa, aku menoleh dan Hana berjalan kearah kerumunan dan melihat kebawah. Aku ikut melihat tapi tidak ada apa-apa, hanya berdiri seorang pria yang sedang bersender pada mobilnya.
“wah tampan sekali” “mobilnya juga mewah” kata-kata itu yang lebih sering diucapkan. Aku menyingkir karena merasa tidak tertarik.
“Ana!” mataku membulat Karen tiba-tiba Hanyoung muncul sambil berlari kemudian menangkap bahuku.
“ada apa?”
“dari mana kau mengenal pria tampan ituuuu?!” tanyanya sambil mengatur napas.
“pria siapa?”
“itu pria yang dibawah, aku tahu dia bukan mahasiswa disini tapi ia sedang mencarimu”
Pria yang dibawah itu mencariku? Siapa dia? Dengan cepat aku kembali menyentuh tembok balkon dan melihat jelas wajahnya. Aku tidak mengenalnya, bertemu saja belum pernah.
“aku tidak kenal dia” terangku kemudian membalikkan badan.
“Kalau begitu temui saja, atau mau aku temani?” tawar Hanyoung sambil tersenyum lebar.
“kalau kau tidak kenal sebaiknya tidak usah” Hana memberitahuku, aku menoleh dan mendapati muka serius Hana.
“mungkin sebaiknya aku temui” balasku dengan senyum “-sendiri” lanjutku sambil menoleh kearah Hanyoung.
Setelah menuruni tangga aku mendekat kearah pria itu. Agar risih karena hampir semua murid sedang memperhatikannya dan aku juga pastinya.
“Anda mencariku?” ia mendongak. Aku langsung menangkap matanya yang coklat, kulitnya bersih dan rambutnya yang kecoklatan selaras dengan warna matanya. Tapi ia melihatku dengan wajah sedikit terkejut dan agak gugup lalu kemudian ia mulai terlihat menyadarkan dirinya.
“apa kau Anabelle?” tanyanya dengan wajah ramah.
“apa aku mengenalmu?”
“perkenalkan namaku Lu Han” ucapnya sambil mengulurkan tangan. Aku melihat tangannya yang menjulur agak lama kemudian menyambutnya.
“Ana” sahutku.
“oh ya aku ingin mengambil benda yang waktu itu kau temukan di museum” Aku mulai mengingat, benda itu? Benda keemasan itu miliknya.
“itu milikmu?” tanyaku ragu.
“emm, ya itu punyaku, aku tidak sengaja menjatuhkannya” ucapnya tak meyakinkan. Ia mencoba tersenyum ramah tapi tidakku balas.
“dari mana kau tahu aku yang menemukannya?” tanyaku curiga, ia mulai terlihat berpikir dan membuatku semakin tidak yakin.
“Itu aku tahu karena waktu itu aku bertanya kepada beberapa penjaga dan mereka bilang ada salah satu siswi dari sekolah ini yang menemukan sesuatu di museum”
Sungguh aku masih tidak percaya, aku melihatnya sebagai orang baik tapi untuk masalah ini aku tidak berani.
“kau punya surat-surat atau tanda yang bisa membuktikan? aku harap itu berguna”
Ia menghela napas “begini, benda itu tidak dimiliki seperti perhiasan. Itu benda penting sulit memberitahu bagaiamana membuktikan bahwa benda itu milikku, dan tidak baik jika terlalu lama berada ditangan yang bukan seharusnya” ia mulai menerangkan, aku rasa ia berprofesi sebagai seorang guru atau semacamnya.
“jangan tersinggung, tapi aku lebih percaya benda itu milik museum yang harus aku kembalikkan kesana, jadi aku akan mengembalikkan dimana benda itu aku temukan, jika itu milikmu ambil saja disana” aku membalikkan badan untuk pergi tapi pria itu malah menangkap lenganku. Mataku menatapnya cepat kemudian menatap tangannya yang memegang lenganku.
“maaf” sesalnya kemudian melepaskan tangannya dan berjalan mundur.
“kalau kau kembalikkan benda itu ke museum itu percuma mereka tidak akan tahu benda apa itu dan malah akan menuduhmu mencuri benda bersejarah yang sebenarnya bukan milik mereka” Aku menatapnya yang mulai meyakinkanku. Tidak tahu kenapa kata-katanya ada benarnya, aku mulai menimbang dan berpikir keras.
“aku tidak membawanya”
“baik aku akan datang lagi besok” ucapnya dengan sebuah senyum. Aku melirik kesekelilingku dan sedikit mendongak untuk melihat keatas dimana banyak murid yang masih memperhatikan kami.
“tidak, temui aku saja di Kedai Hangnam, tidak jauh dari sini. Sepulang sekolah aku akan memberikannya”
“kalau begitu terima kasih” ia menghembuskan napas yang agak berat dan tersenyum lega kearahku. Aku tidak tahu, tapi aku merasa dia orang baik, lihat saja ia terlihat sangat ramah ketika berbicara, sopan juga.
-
“bagaimana?” Hanyoung memanggku tangan dan tersenyum kearahku.
“bagaimana apanya?” aku meliriknya sekilas.
“tadi itu siapa?”
“Lu Han” jawabku setelah mengingat.
“oh namanya Lu Han, tampan ya? Dia pacarmu?” Hanyoung mendorong bahuku dari belakang.
“aku baru bertemu dengannya, waktu itu aku menemukan barangnya yang hilang jadi aku harus kembalikan besok” jelasku dan Hanyoung mengangguk dengan wajah senang. aku memperhatikannya heran.
“Hey” tiba-tiba Hana datang dan memumukul lengan Hanyoung dengan gulungan kertas. “kau tidak tahu ini jam berapa? Cepat masuk kelas!” Hana meletangan kedua tangannya ke pinggang.
Dengan wajah masam Hanyoung berbisik “dia lebih galak dari guru matematika” aku tersenyum sebelum Hana kembali berteriak dan berhasil membuat kupingku sakit.
“tadi itu siapa?” aku kembali menoleh setelah Hana duduk disampingku.
“aku baru kenal, dia meminta barangnya kembali, waktu itu aku temukan di Museum”
Hana terlihat berpikir kemudian matanya berkedip lama “kau yakin itu miliknya?” tanyanya lagi.
“sepertinya begitu” jawabku ragu.
“kau saja masih tidak yakin, aku rasa kau perlu menunggu beberapa hari lagi, siapa tahu pemilik aslinya datang” Hana tersenyum untuk meyakinkanku. Sebenarnya, ada benarnya juga bagaimana pun itu benda berharga.
“baiklah, terima kasih”
-
Aku masih duduk di depan komputer dan masih mencari kata-kata yang tepat untuk mencari tahu nama benda yang sekarang aku gantung di depan meja belajarku, tapi sayang Google tidak memberikan jawaban. Aku sudah mencarinya dari kata kalung sampai benda aneh yang berbentuk emas tapi tidak ada benda yang seperti itu di internet. Haah..
Rasanya aku sudah terlalu lama duduk jadi aku berdiri dan merenggangkan ototku. Kemudian kakiku berjalan menuju jendela dan mataku menatap keluar, beberapa hari ini aku tidak melihat Taemin keluar rumah atau memang ia tidak ada diruma, aku mulai kembali merasa kesepian.
“Nona” tak lama ada seseorang yang mengetuk pintu kamarku. Aku berjalan dan membuka pintu, terlihat pelayan paruh baya yang lebih seringku lihat diantara pelayan yang lain.
“ada telpon dari Tuan Mark ” lanjutnya dengan senyum yang ramah.
Aku mengambil telponnya sambil mengucapkan terima kasih, pelayan itu pergi dan aku menutup pintu. Setahuku wanita yang kira-kira sudah berkepala enam itu yang lebih sering mengurus Juno, lebih dari pada Ibu tentunya. Baiklah aku harus memulai pembicaraan dengan Ayah jadi aku duduk ditepi tempat tidur dan menempelkan telponnya dengan sedikit gugup.
“Hallo”
“Ana”
“akhirnya menelpon juga” sindirku dan aku dengar Ayah menghembuskan napas beratnya.
“I’m sorry” sesalnya “Dad pikir kau masih marah dan butuh waktu lalu akan menelponku lebih dulu” mendengar itu aku sedikit tersenyum, tapi merasa kesal juga tidakkah Ayah tahu rasanya menunggu?
“sejak kapan kalau aku merasa kesal aku yang akan lebih dulu minta maaf?” candaku dan aku tahu Ayah menahan tawa sekarang.
“Bagaimana disana?”
“Banyak pelayan dirumah, sekolah yang membosankan, adik tiri yang sinis dan teman yang menghilang, jadi apa menurut Ayah?” Aku tidak mendengarnya akan membalas pertanyaanku, aku memaklumi itu. Setidaknya Ayah tahu bagaimana membosankannya disini.
“tapi tenang saja aku tidak akan minta pulang sekarang kecuali Mom benar-benar mengacuhkanku”
“Ayolah Ana, dia Ibumu. Dia tidak akan mengacuhkanmu”
Aku memandang langit kamarku, ini salah satu cara untuk menahan air mataku untuk keluar. Ayah seperti menyadarkan bahwa selama ini Ji Hyun adalah dan memang Ibu ku.
“Dad.. bisakah aku pulang sekarang?” suaraku mulai parau dan aku mulai berkedip cepat.
Lama menunggu akhirnya Ayah bersuara “Aku mengerti, aku juga tidak bisa memaksakanmu, akan aku bicarakan ini pada Ji Hyun” Ayah mencoba memahami yang aku mau, harusnya aku senang mendengar Ayah tidak marah ketika aku meminta pulang, tapi itu malah membuat aku makin sedih. Aku tidak pernah ingin jauh dari ibu, tidak ada anak yang ingin jauh dari ibunya, hanya saja aku ingin Ibu mengerti bahwa aku membutuhkannya, sedang sangat membutuhkannya.
“Dad, kau tidak marah?” Aku menghapus air mataku yang entah kapan sudah jatuh.
“Aku menyayangimu Ana, aku akan menelponmu lagi nanti, take care”
“aku juga” setelah itu sambungan terputus sebelum aku menyelesaikan kalimatku. Salahkah aku bicara seperti itu? Aku hanya ingin mereka kembali bersama bukan untuk menjadi suami istri lagi tapi untuk menjadi orangtuaku dan maksud itu selalu membuat mereka salah paham dan mengira aku membenci Ibu dan Korea.
Bisakah air mata ini tidak jatuh sekarang? Aku benci kalau aku harus menangis, tegar Ana.. kau harus tegar. Aku sadar sekarang aku berjuang sendiri, entah berjuang untuk apa, untuk kebahagiaanku atau kebahagiaan orang-orang yang melupakanku.
Seperti biasa kalau sudah malam seperti ini rumah menjadi sepi dan sunyi, suara pintu kamarku yang tertutup jadi sedikit menggema. Aku sengaja pergi keluar kamar agar suasana hatiku berubah, tapi sepertinya percuma.
Kamar Jeno terbuka, aku melihat punggung yang bersandar dibawah tempat tidur. Aku rasa Jeno sedang memilih bermain dikamar dari pada merasakan kesunyian diluar.
“Apa aku boleh masuk?” aku membuka kamarnya, Jeno sama sekali tidak melihatku jadi aku menarik kesimpulan sendiri. Di depan meja belajarnya ada kursi putar jadi aku duduk disana dan menatap Jeno kaku. Sepertinya aku baru sadar kalau anak itu lebih kurus dari pada yang aku lihat saat pertama kali bertemu, matanya tidak sesipit Teo Joong pasti ia memiliki mata Ibuku. Kulitnya putih, bahkan terlihat pucat ia seperti jarang terkena sinar matahari. Kemudian mataku memandang kamarnya yang –masih saja- rapi.
“apa kau tidak kesepian?” lagi-lagi Jeno tidak merespon, aku sudah terbiasa jadi aku tidak akan marah. Ia hanya menghembuskan napas seolah-olah dia tak suka aku berada disini, tapi aku senang dia belum mau mengusirku.
“aku baru saja mengobrol dengan Ayahku, rasanya sangat menyenangkan bisa mendengar suaranya lagi, kau tahu? Kau sangat beruntung bisa melihat Ibu dan Ayahmu bersama, mengurus dan memberi perhatian padamu bersama, bahkan kau bisa mendapatkan apa yang kau mau. Tidak, aku tidak iri” Jeno menatapku dengan mata tajamnya “baiklah, aku memang iri” aku menunduk setelah berkata jujur “kalau boleh aku juga ingin sepertimu, 10 tahun waktu yang sangat lama untuk menunggu” aku mulai mengatur napasku agar tidak kembali menangis.
“Baiklah waktu berkunjung sudah selesai, Terima kasih tidak mengusirku dan meski kau tidak merespon apa yang aku katakan aku senang kau jadi pendengar yang baik” aku bangkit dan keluar menuju pintu, kemudian membalikkan badan sebelum menutup pintu kamarnya “aku harap kita bisa berteman” ucapku sambil tersenyum singkat kemudian menutup pintu itu dengan rapat.
Waktunya kembali ke kamar dan tidur, aku tidak tahu keputusan apa yang akan aku buat setelah ini, ada beberapa pilihan, kabur dari rumah, mencuri uang Ibuku untuk bersenang-senang atau membakar rumah ini dan pergi ke penjara. Sungguh itu pemikiran sangat gila, tentu aku tidak akan melakukannya. Aku berharap Taemin segera kembali dan memberiku saran apa yang harus aku lakukan setelah ini.