Aku mengalihkan pandanganku ke pinggir jalan menikmati pancaran sinar matahari yang terpatul di kaca-kaca mobil yang berbaris di jalan. Sebentar lagi musim dingin dan aku akan jarang bertemu dengan sinar matahari yang hangat, lalu akan bertemu dengan angin dingin, hujan yang basah atau salju yang akan membekukan tulang.
Lama aku melamun sampai tidak sadar kalau pandanganku sudah berganti dengan deretan rumah besar dengan pagarnya yang menjulang tinggi. Aku melamun bukan memikirkan tentang pergantian musim, hanya saja aku merasa perjalanan ke rumah begitu sepi. Supir yang kali ini mengantarku ke sekolah tidak aku kenal. Entah berapa banyak supir dirumah, dan entah bagaimana juga jadwal mengantarku ke sekolah selalu tepat waktu walau dengan supir yang berbeda, atau jangan-jangan mereka selalu membawa jadwal agenda seperti Hana dan meletakkannya di buku kecil atau di ponsel mereka.
Baiklah untuk kali ini aku ingin kembali membandingkan kehidupanku yang dulu. Setiap pulang sekolah tidak pernah sesepi ini. Meski aku dan Ayah sama-sama orang yang kaku dan tidak bisa bercanda kami tetap memiliki sedikit humor dengan chemistry humor yang kuat. Apa yang Ayah tertawakan juga pasti aku tertawakan tanpa memberi tahu satu sama lain. Selalu ada obrolan setiap pulang sekolah, atau ketika Ayah sibuk di Bengkel-nya aku akan pulang Bersama Myung Soo dengan berjalan kaki, kadang kami melewati jalan dengan rute yang berbeda, membuat kami memiliki waktu mengobrol yang lama. Ya, begitulah dulu.
Sekarang kami –aku dan supirku— hampir tiba dan kami melewati rumah Taemin. Tunggu, aku melihat seseorang keluar dari rumahnya.
“pelankan mobilnya” titahku mendadak. Supir itu yang tak ku tahu namanya memperlambat dan terlihat heran dengan keinganan mendadakku.
Aku melihat Taemin keluar dari rumahnya, ini pertama kalinya aku melihatnya lagi selama kurang lebih empat hari. “aku turun disini saja,” ucapku cepat dan mobil berhenti persis didepan rumah Ibu. Aku turun dengan tergesa takut pria itu sudah kembali masuk ke rumah atau pergi keluar rumah. Dengan sedikit berlari aku menghampiri rumahnya dengan pagar yang sedang terbuka lebar.
Aku melihat punggung Taemin sedang sibuk merapikan sesuatu didalam mobilnya. “Taemin?” panggilku akhirnya. Dia menoleh dan senyuman mulai terpancar di wajahnya, begitu juga aku. Ada rasa senang memang, karena aku mulai akrab dengan tetangga baruku itu dan berharap berteman baik agar aku betah tinggal disini, jadi senang rasanya tidak menerima kabar kalau dia pindah atau sebagainya.
“Hey, sudah memesan tiket?” sapanya dengan gurauan. Aku menghilangkan senyumku dan menatapnya kesal tapi kemudian malah menahan tawaku sendiri. Terakhir kali aku bertemu dengannya ketika aku bilang kalau aku ingin kembali ke San Fransisco.
“Aku tidak pergi” balasku sambil mendekat. Hawanya masih sama, suasana dengan wangi tanaman basah di halaman rumah Taemin yang selalu aku suka. Sekarang ia memasukkan tangannya ke saku celananya sambil melihatku mendekat. Wajahnya sedikit pucat seperti wajah kelelahan, tapi tak membuatku layu untuk menatapnya.
“kenapa? menemukan sesuatu di Korea?” ia sedang menebak? Atau sedang mengejek? Wajahnya terlihat ingin melucu tapi takut salah memilihku sebagai teman melucunya. Aku memang kaku dalam bercanda tapi aku tidak se-mem-bosan-kan itu.
“kalau motor merah tahun 98 bukan ‘sesuatu’ yang dimaksud” ledekku, aku merapatkan mulutku menahan tawa dan dia melebarkan senyumnya sambil mengangguk. Sekarang aku mulai tidak melihat Taemin yang dulu, dia sedikit berubah sebenarnya. Pakaiannya lebih santai dan tak begitu rapi, rambutnya juga tak begitu tertata. Meski aku lebih menyukai tampilannya yang sekarang tapi tetap saja terasa aneh melihat Taemin yang sedikit kusut. Setidaknya, senang punya teman mengobrol lagi.
“Ah ya, motor itu” ingatnya masih sambil tersenyum. “Aku tidak lupa dengan janjiku, tapi tunggu aku harus mengambil beberapa barang dimobilku” ia kembali memasukan setengah badannya ke dalam mobil dan mengambil barang-barang yang ditutupi kain hitam.
“habis pergi jauh?” tanyaku memulai topik baru. Sebenarnya aku ingin menolong tapi sepertinya aku malah akan merusak barang-abarngnya nanti. Sebenarnya aku juga sedikit penasaran dengan kepergiannya beberapa hari ini.
Dia menoleh menatapku lama.
“ya.. ya tentu saja” katanya kembali sibuk merapihkan kain hitam yang menutupi barang-barangnya.
“aku kira kau pindah” itu pikiran awalku karena melihat rumah Taemin yang tiba-tiba tertutup rapat. Aku kira ada pembantu rumah tangga atau tukang kebun yang menjaga rumahnya, tapi sepertinya tidak ada. Aku belum pernah melihat orang lain masuk atau keluar dari rumah Taemin.
“apa? Kau mengiraku pindah? Bahkan aku kira kau yang sudah kembali ke rumah Ayahmu” perkataannya membuat hembusan napasku terdengar berat. Dia benar, pergi empat hari kenapa membuatku berpikir aku tidak akan bertemu dengannya lagi? sementara aku yang sudah bilang akan pergi malah tetap tinggal.
“Aku kira aku akan lebih menikmati hidupku disini ketika Ibu kembali dari Jepang dan tetangga yang baru aku kenal kembali entah dari mana” aku balik menyindir dan dia tertawa girang. Wajahnya terlihat senang, entah dengan cara bercandaku atau mungkin ia mulai sadar bahwa aku cukup menarik untuk diajak berteman.
“Baiklah aku tidak ingin mengganggumu, kapan kita akan mengobrol lagi?” aku menepuk-nepuk tanah dengan ujung kakiku, menunggu Taemin yang sedang memandang langit sambil berpikir.
“Mungkin setelah aku membersihkan motorku dari debu” pikirnya.
Aku tertawa “Ayolah kau pergi hanya beberapa hari” lalu dia balas tertawa sambil mengangkat barangnya dan menumpunya dengan lengan. Aku tidak ingin menganggu kegiatan beres-beresnya “kalau begitu aku pulang dulu, sampai ketemu lagi” aku melangkah mundur kemudian membalikkan badan. Sekali aku menoleh dan mendapati Taemin membawa barang-barangnya masuk.
“Hey!” panggilku lagi “Hwaiting!”
-
Aku masuk ke dalam kamarku dan aku merasakan aroma aneh saat membuka pintu. Harusnya kamarku tidak serapih ini, tadi pagi saat aku pergi dari kamar selimut belum dibereskan, meja belajarku masih berserakan buku dan sekarang semuanya rapi seperti pertama kali aku datang. Aku kembali menutup pintu kamar dengan kasar dan turun ke lantai bawah.
“Apa Ibuku sudah pulang?” tanyaku pada seorang pelayan wanita yang tengah membersihkan guci di ujung tangga.
“Belum, Nona” ia menghentikan kegiatannya dan menjawab tanpa melihat kearahku.
“lalu kenapa kamarku rapi sekali?” aku tahu dahiku sudah berkerut, merasa tak suka jika kamarku di kunjungi seseorang yang tidak aku tahu, meski itu pelayan rumah ini.
“sepertinya salah seorang pelayan yang membersihkan kamar Nona, ini sudah jadi peraturan, kami akan membersihkan semua kamar seminggu sekali” tebakanku benar, dan aku tidak suka apalagi ketika mendengar kata ‘peraturan’. Kemudian mataku memandang seluruh ruangan dimana seluruh pelayan sedang sibuk membersihkan benda yang mereka lewati.
“dan membersihkan seluruh ruangan setiap hari?” tanyaku kesal. Wajah pelayan itu semakin tenggelam karena suara ku meninggi. “Jangan pernah memasuki kamarku tanpa seijinku lagi!” seruku dan itu membuat beberapa pelayan menoleh kearahku. Dengan cepat aku menaiki tangga dan masuk ke dalam kamarku dengan membanting pintu. Apa mereka tidak tahu yang namanya privasi? Menyebalkan.
Mungkin aku harus membasahkan tubuhku agar sedikit lebih relax. Aku meletakan tas dengan sembarang dan menyambar handuk putih yang tergantung tak jauh dari kamar mandi. Aku memandang wajahku lama di cermin. Cermin yang cukup besar di samping pintu kamar mandi, di bawahnya terdapat pelatan lengkap untuk mandi, lebih lengkap dari yang seharusnya. Bahkan disini ada tiga jenis sampoo, lima botol sabun cair dengan wangi yang berbeda dan dua macam sabun wajah. Aku tidak bisa menyebutkan semuanya karena akan melelahkan mataku. Mungkin aku harus membawa semua itu dan menjualnya di luar, mungkin itu lebih berguna dari pada hanya menjadi pajangan disini. Karena aku hanya memakai satu diantara sekian banyak pilihan sabun, sampoo dan pasta gigi.
Tidak butuh waktu lama bagiku untuk berada di kamar mandi, apalagi jika aku sudah membasahi kepalaku, rasanya nyaman jika tidur dengan rambut basah. Aku pergi ke balkon kamarku untuk melihat langit sebentar. Hanya ada dua bintang disana, lalu pemandangan rumah-rumah yang berjejer rapi dengan beberapa pohon yang terselip diantaranya.
Aku jarang pergi ke balkon kamar. Ukurannya hanya sekitar dua kali tiga meter yang terletak didepan pintu kaca. Aku biasanya hanya membuka jendelaku yang cukup untuk melihat tamu yang datang atau melihat langit yang kadang terlihat mendung.
Masih sambil mengeringkan rambut, mataku tak berhenti memandang sampai seorang pria tak jauh dari rumahku sedang berdiri menghadap rumah ini. Ketika aku menangkap basah dirinya ia pergi ke balik pohon dan menghilang. Aku seperti pernah melihatnya, rambutnya yang sebahu dan kemerahan. Meski tidak terlalu jelas tapi lampu jalan berhasil menangkap bayang-banyangnya dan pria itu seperti pria yang pernah aku lihat di San Fransisco. Tapi tidak mungkin orang yang sama, hanya mengingatkanku saja.
Aku mendengar sesuatu. Itu ponselku berbunyi.
Aku masuk kedalam kamar dan baru menyadari bahwa nada dering ponselku sangat… girly. Suaranya seperti di-setting, pasti ibu melakukannya. Suara anak kecil atau gadis kecil menyanyi dengan suara yang meliuk menyanyikan lagu Korea yang menurut sebagian orang menggemaskan. Tapi menurutku tidak.
“Yeobseo”
“Ana..” pastinya suara Ibu. Siapa lagi yang tahu nomor ponsel ini memang? Bahkan Hana teman sebangku ku saja tidak tahu.
“Hi, mom, sedang di Bandara?”
“Ah, tidak aku akan pulang dua hari lagi” ada suara tidak enak disana, aku sengaja. Ia harus cepat pulang kalau memang menginginkan banyak waktu denganku. “aku menelpon karena aku dengar sesuatu yang tidak enak terjadi dirumah”
“soal kamarku? Apa Mom punya mata-mata disini?” aku duduk diatas ranjangku dan membiarkan bahuku merungkuk melepaskan lelah.
“Ana, Mom minta maaf, kau harusnya punya privasi sendiri dan membiarkanmu merapihkan kamar sendiri seperti di San Francisco” aku tahu ia mencoba memandingkan agar aku senang, tapi tidak membuat mood-ku bagus.
“I Know” selaku. Ibu berhenti bicara dan bisa aku bayangkan sekarang ia tengah mengigit bibir bawahnya, wajahnya tampak khawatir dan sedang memilih kata-kata yang bisa membuatku tertarik atau setidaknya membalas rasa bersalahnya.
“bagaimana kalau..” Ibu memang bisa ditebak “aku berikan kau satu kewenangan dirumah, kau bisa melakukan apapun sambil menunggu aku dirumah, kau bisa masak sendiri, kau mencuci bajumu sendiri atau kau bisa menyuruh pelayan melalukan apa yang kau mau, terserah padamu”
“jinjjayo?” sekarang malah aku yang merasa khawatir, aku tidak biasanya mendengar kata terserah dari mulut Ibu. Baru kali ini.
“Ehem, tapi satu syarat” aku tidak suka kebebasan dengan syarat “jangan ganggu adikmu, jangan buat dia merasa tidak nyaman, Mom mau kau menjaganya” lanjut Ibu. Aku tersenyum. Siapa yang mau mengganggu robot kecil itu memang?.
“Okay” aku menahan rasa senangku.
“Mom harap kau bersenang-senang, dan ingat batasannya” Ibu seperti ingin menarik kata-katanya, tapi tidak jadi ia lakukan.
“you are the best, Mom” senang bisa seramah ini dengan Ibu. Aku rasa hubungan kita benar-benar membaik dan aku akan segera ceritakan ini pada Ayah.
-
Ternyata pagi datang lebih cepat, atau mungkin tidurku yang terlalu nyenyak. Semalam aku sempat mengobrol dengan L, lewat email. Aku member nomor telponku dan aku berbagi ID aplikasi dengannya, senang bisa mempergunakan ponsel baruku dengan baik. Aku tidak pernah berpikir akan secanggih ini, aku terlalu lama mempunyai ponsel ronsokan yang hanya bisa mengirim SMS dan bertelepon. Sekarang jarak tak ada artinya dengan ponsel ini.
“sepertinya kau memang kampungan” aku ingat kata L ketika iya mengirim Voice Note kepadaku, dasar! seenaknya saja.
Tunggu, aku seperti melupakan sesuatu. Apa semalam Ibu bilang terserah padaku? Apa sekarang aku bisa melakukan apapun?.
Setelah berpakaian rapih aku turun dari tangga dan mengumpulkan semua pelayan. Wajah mereka heran dan ada sedikit rasa takut “jangan khawatir, aku tidak akan memecat kalian, walau aku ingin” beberapa diantara mereka memasang wajah masam. “justru aku ingin kalian mendapat liburan” semua saling memandang dan berbisik.
“sekarang aku tanya, kapan terakhir kalian pulang ke kampung halaman kalian?” semuanya diam dan masih saling memandang. Aku menunggu dan seorang pelayan pria menjawab.
“kami jarang menerima waktu untuk mengunjungi kampung halaman, kecuali ada keluarga yang sakit, Nona” ucapnya. Aku turun satu tangga.
“untuk apa menunggu ada yang sakit untuk pulang ke rumah?, sekarang kalian bisa pergi dan mengunjungi rumah lalu kalian bisa kembali tiga hari lagi, mungkin”
“kami semua, Nona?” seorang pelayan pria yang lain bertanya.
“ya, aku sudah mendapat izin dari Ibuku, tapi aku butuh satu orang pelayan perempuan dan supir untuk mengantar aku dan Juno” aku tersenyum ramah “oh ya aku juga punya uang saku untuk kalian” aku mengeluarkan beberapa amplop dan wajah mereka terlihat sumringah. Ini uang saku ku sebenarnya di tambah uang di ATM dari Ibu.
“jadi siapa yang tinggal?”
“saya Nona,” seorang wanita tua yang rambutnya sudah setengah memutih maju dan mengajukan diri “tidak seorang pun bisa saya temui di kampung halaman, anak dan menantu saya berada di kota, mereka bisa menjemput saya kalau mereka ingin bertemu, tapi sepertinya tidak” lanjutnya dengan wajah ramah. Ia yang sering ke kamarku dan memberitahuku kalau makan malam sudah siap atau ada telepon dari Ayahku, dan ia masih bisa naik tangga dengan baik.
“saya juga Nona” seorang pria yang lebih sering mengantar Juno ke sekolah. Dia tidak memberi alasan kenapa tidak ingin mengambil cutinya.
“baik, kalau begitu, ini aku berikan saku kalian, dan selamat berlibur” terdengar suara riang dan teriakan kecil dari salah satu pelayan. Berarti aku dan mereka sama-sama senang.
Saatnya sarapan dan Juno sudah memandangku heran sejak aku meninggalkan ruang tengah dan menuju meja makan.
“mau kemana mereka?” tanya Juno ketika aku sampai di meja makan.
“kenapa tidak ucapkan selamat pagi, atau apa kabar lebih dulu?” aku bertanya balik dan dia menatapku dingin “jangan menatapku seperti itu, aku lebih tua darimu”ucapku masam tapi kemudian tersenyum. Aku tidak bisa menyembunyikan perasaanku, tidak melihat banyak orang dirumah sangat menyenangkan.
“mulai sekarang, kau harus mandiri, bereskan kamarmu sendiri, siapkan sarapan sendiri dan jangan menyuruh pelayan lagi, kau ini laki-laki jadi harus mandiri” baru kali ini aku menunjukan wajah ramahku padanya, harusnya dia bersyukur. Tidak lama kemudian beberapa pelayan sudah membawa tas mereka dan pergi dengan wajah riang, melihat itu Juno menaruh dengan kasar sumpitnya dan pergi dengan wajah masam.
Aku bangkit untuk menyusulnya, “hey, kita harus berangkat bersama karena hanya ada satu supir” dengan susah payah aku menghabiskan susu ku dan mengambil tasku.
Aku tidak suka ini, Juno meninggalkanku dengan tak seorang pun supir dirumah. Apa Taemin dirumah? Apa dia tidak keberatan aku mengambil motornya sekarang?, aku berjalan menuju rumahnya dan membunyikan bel dekat gerbangnya.
“hey, Ana” dia keluar dengan setelan santai, aku kira dia harusnya pergi dengan sejuta kesibukannya tapi sepertinya tidak.
Dia membuka gerbangnya “Hai, Taemin, apa kau kebertan aku meminjam motormu sekarang?” aku menampilkan senyum terbaikku.
“oh benarkah? Kau ingin menggunakannya sekarang?” wajahnya terlihat tidak keberatan tapi ia pasti sedikit terkejut.
“tampaknya aku tidak sabar” aku tidak bisa katakan kalau Juno meninggalkanku dan aku tidak tahu aku harus naik apa. Aku tidak mungkin menceritakan ketidak harmonisanku dengan adik tiriku itu.
“ayo ambil kuncinya” dia mengajakku masuk dan aku mengikutinya dari belakang.
Aku kembali bertemu dengan ruang tengah Taemin yang luas dan langsung menembus halaman belakang. “ini dia” Taemin memberiku kunci motor dengan satu hiasan menggantung disana, sebuah tulisan kanji vertical ke bawah. Aku meletakannya diatas telapak tanganku.
“apa ini?”
“Ini jimat, waktu itu aku menemukannya saat aku pergi ke Cina, ini seperti pelindung”
“Wow” aku memperhatikan dengan serius, kertas kecil itu ternyata dibuat dari ketas berwarna keemasan dengan tulisan sederhana berwarna hitam, disisinya menggantung tali-tali merah dengan simpul rumit khas Korea. “apa ini untukku juga?” sekarang aku mendongak menatap matanya. Yang teduh.
“tentu saja”
“kau terlalu baik sebagai orang yang baru ku kenal” ucapku jujur. Aku bukannya ingin membuatnya tak nyaman dengan pernyataanku, tapi aku memang suka bicara semauku.
Taemin menarik ujung bibirnya “memang, tapi baik menurutmu dan menurutku berbeda” dia kembali menampakan gigi rapinya dan tangannya menepuk pucuk kepalaku lembut.
“Ayo kita ambil motornya nanti kau terlambat” kami berjalan menuju garasi dan mengeluarkan motor merah itu dan aku tidak menepukan satu debu pun diatas motor itu.
“helm sudah, kunci juga sudah tinggal menyalakan motornya, dan motor ini akan jadi milikku benarkan?” candaku. Tapi Taemin seperti baru saja melamun dan baru tersadar setelah aku menoleh padanya, ia tersenyum simpul. “gomawo” kataku tulus tak mempersalahkan lamunannya.
“Ana”
“yup!” aku menyalakan motornya kemudian menoleh.
“Apa kau betah di Sekolah itu?” wajahnya tampak serius.
“Belum menemukan satu kecocokan, tapi aku tetap mencoba mencarinya”
“kalau kau mau kau bisa memilih sekolah lain” alisku berkerut.
“kau yang menyarankanku untuk sekolah disana, ingat?” pasti Taemin merasa tidak enak hati mengetahui aku belum merasa cocok sekolah disana.
“aku hanya ingin kau merasa nyaman saja” Taemin menatapku dengan wajah sungkannya.
“Jangan begitu, aku menghargai setiap saran dan pemberian orang lain” aku menepuk lengannya. Lengan yang cukup kuat dengan otot yang sedikit keras. Aku baru sadar Taemin memiliki postur tubuh yang cukup atletis.
“Aku pergi dulu takut terlambat, sampai jumpa lagi” aku melambai sejenak kemudian menarik gas motor. Motor ini jalannya agak lambat memang, maklum motor tua. Tapi cocok untukku yang memang baru bisa mengendarai motor. Pertama kali aku mengendarai motor ketika membantu Ayah mengantar motor seseorang yang baru di sevice, aku sempat belajar sebentar, beberapa kali, dan selebihnya aku lebih sering memakai mobil Ayahku untuk berpergian.
-
Ini pertama kalinya aku keluar rumah tanpa supir dan pendamping, meski sedikit lupa, aku mencoba menghafal rute menuju sekolah, bahkan sepertinya lebih mudah dengan transportasi umum. Tapi aku merasakan sesuatu yang berbeda, aku lebih merasa bebas.
Setelah berhasil menemukan sekolah, aku segera mencari parkir motor. Di sekolahku sedikit orang yang membawa motor, apalagi motor butut sepertiku. Beberapa murid lebih memilih memakai sepeda mereka yang bagus, lebih bagus dan mahal dibanding motor ini mungkin.
Setelah menaruh helmku, aku berjalan melalui koridor yang tidak pernah aku lewati sebelumnya. Biasanya aku langsung melalui lobby sekolah karena supirku menurunkanku disana. Tapi sekarang aku jadi bisa berkeliling dan lebih menyadarkanku bahwa sekolah ini benar-benar luas.
Sekarang aku mulai mendekati papan pengumuman. Biasanya aku hanya melewatinya tapi sekarang aku memilih berhenti. Aku mengamati papan itu dan melihat riasan madding yang sangat bagus dengan beberapa kata mutiara, madding sedang mengambil tema musim gugur kali ini, dengan daun kering dan kekuingan menjadi hiasannya. Aku memperhatikan madding itu dari ujung ke ujung dan aku baru sadar pengumuman tentang anak yang hilang kemarin sudah tidak ada. Secepat itu kah pengumuman berita itu dipajang, atau anak itu sudah ditemukan? Tidak ada berita yang jelas disini.
“Khem” aku mendengar suara wanita tak jauh dariku dan aku menoleh.
“Oh, Kyojangmin, selamat pagi” aku membungkuk dan sedikit menarik bibirku. Dia mendekat dengan tangan berada dibelakang. Rambutnya yang di cat blonde itu ia ikat rapi ke belakang, membuat wajahnya terlihat pucat dengan warna lipstick ungu tua.
“Pagi, bagaimana? Hampir seminggu kau bersekolah disini” ia tersenyum memandangku dengan mata ramah dan berwibawa.
“menyenangkan, aku sudah punya beberapa teman sekarang” ucapku bersemangat. Aku juga ingin memberitahunya bahwa aku dapat beradaptasi disini dan cepat mendapat teman, tidak seperti perkiraannya.
“Oh bagus kalau begitu, aku berharap kau bisa sampai lulus disini” harapnya, aku tersenyum, dia baik juga. “oh iya, aku kemarin melihat kau berkunjung ke universitas, apa kau tertarik untuk melanjutkan kuliah disana?”
Apa aku senyentrik itu? Sampai aku berjalan di luar wilayah SMA dia tahu, atau memang hanya aku saat itu murid yang pergi ke gedung universtitas?.
“Ah, universitasnya sangat indah, aku suka dengan tatanannya, semoga aku bisa memilih universitas itu sebagai tempatku kuliah nanti” senyumku melebar. Sedangkan BoA Kyojangmin tidak menampilkan ekspresi berarti, seolah tadi kami hanya berbasa-basi saja.
“Baik, kalau begitu aku harus kembali ke mejaku, semoga harimu menyenangkan, Ana” aku membungkuk ketika ia mulai meinggalkanku dengan sepatunya yang berirama. Aku memandangnya berjalan menjauh. Tubuhnya yang ramping, pakaian yang stylist dan aura yang sangat kuat, aku rasa ia lebih cocok jadi sesuatu yang lebih hebat di karirnya dari pada hanya menjadi kepala kepala sekolah. Maksudku menjadi wanita karir yang memimpin sebuah perusahan, menjadi artis atau politikus mungkin
-
Aku duduk dibangku ku seperti biasa. Bangku paling depan disebelah murid teladan, Hana. Sebelumnya aku tidak berpikir sejauh ini, selama sekolah di San Francisco aku tidak pernah duduk paling depan dan menjadi pusat perhatian, aku tidak terlalu menyukai itu. Karena ketika guru masuk aku biasanya jadi murid pertama yang dilihantnya.
Aku menoleh dan mendapati Hana dengan buku tebal ditangannya dan agenda hijau muda diatas mejanya.
“Apa aku bisa memindahkan bangku ku kebelakang?” tanyaku. Hana memutar bola matanya dan menatapku.
“boleh saja kalau ada yang mau bertukar tempat” jawabnya sambil membetulkan letak kaca matanya. Aku menoleh kebelakang dengan ragu, dan semua murid terlihat sangat sibuk untuk aku tanyai, atau mereka memang sengaja menyibukkan diri mereka.
“menyebalkan” gumamku. Aku benci menjadi sorotan guru-guru yang masuk ke kelas ini. Aku tidak bisa tertidur di kelas, tidak bisa memandang keluar jendela, tidak bisa memandang teman-teman kelasku dari belakang.
“kau tahu Hana, saat aku sekolah dulu ketika aku bertemu dengan seorang guru di luar jam pelajaran dan guru itu menyapaku, lalu ketika aku bertemu dengannya lagi saat pelajaran pasti itu saat dia akan mengadakan ulangan harian, tugas yang tidak bisa aku kerjakan, atau mungkin aku yang tidak mengerjakan tugasnya, hah~” aku menghembuskan napas dan Hana masih sesekali melirikku, heran kenapa aku tiba-tiba memulai topik pembicaraan yang tidak ia tanyakan.
“dan pagi ini aku bertemu dengan kepala sekolah” keluhku, percaya diri kalau Hana mendengarnya dengan baik. Aku mencoba memprediksi apa yang terjadi, apa sebentar lagi aku akan keluar dari sekolah ini? Atau nilaiku akan sangat dibawah rata-rata dan dia akan memanggilku ke ruangan dinginnya? Atau masih ada lebih buruk lagi.
“benarkah? Tidak biasanya dia berjalan-jalan keluar ruangannya pagi-pagi, apa lagi menyapa seorang murid”
“aku juga bilang apa” ucapku membenarkan perkatakanku sendiri. Hana memandangku khawatir dan aku mencoba menenangkan diri. “baiklah kita alihkan ke lain topik” aku lihat Hana menganggukan kepalanya pelan tanda setuju “apa anak yang hilang di Museum sudah di temukan? Pengumumanya sudah tidak ada di madding”
“kau masih mengingatnya?” Hana menutup bukunya dengan cepat.
“tentu saja, itu baru kemarin” aku memandangnya heran. Ia terlihat berpikir kemudian kembali membungkukan badannya dan mebuka bukunya lagi dengan lebih santai tapi dahinya masih berkerut.
“aku.. tidak tahu” wajahnya terlihat aneh. Hana membaca buku dengan sangat serius setelahnya. Aku jadi memandangnya lama. Hana adalah salah satu orang yang tertutup, rambut hitam panjang yang selalu mentup hampir separuh wajahnya dan kaca mata besarnya membuat aku terkadang sulit melihat ekspresi wajahnya. Aku tahu ada yang ia sembunyikan dan aku tidak tahu itu apa, tapi menurutku tidak mengetahui apa yang seharusnya tidak harus aku tahu itu sangat bagus. Aku lebih suka orang yang menutup diri dari pada orang yang blak-blakan. Karena kadang jujur itu malah membuat sakit hati.
Hari ini seperti semuanya kembali normal, suasana sekolah kembali riuh dan kantin makin terasa sesak dengan murid-murid yang tidak berhenti bergerak menunjukan keaktifan mereka. Aku masih penasaran sebenarnya, mungkin karena kemarin ada berita duka tetang anak yang hilang jadi semua murid lebih berhati-hati untuk bersuara keras.
Aku mulai melupakan ketidak normalan kemarin karena sekarang aku berada di lantai dua di balkon koridor belakang. Aku tidak henti menikmati suasana universitas dari sini. Sebenarnya bukan hanya karena suasana universitas yang cukup membuatku nyaman, tapi aku juga mencari sekelompok mahasiswa yang aku temui kemarin.
Mereka memang cukup tampan dan satu orang gadis yang cantik. Aku tahu kenapa murid SMA sangat mengindolai mereka, postur tubuh yang apik dan dandanan yang gaya membuat mereka seperti mudah untuk di rindukan. Meski mata mereka tajam tapi aku jujur kalau mereka memang mempesona. Aku tidak sedang membicarakan satu orang, tapi tujuh orang yang seperti memiliki karakter yang sama, mata yang sama, cara bicara yang sama dan jalan bicara yang sama.
Mereka tidak kembar, aku tahu itu tapi mereka memiliki pesona yang sama. Aku jadi memikirkan benda yang mereka bicarakan kemarin, aku sedikit melupakan benda itu dan selalu lupa membawanya, aku memang agak terledor dengan benda baru yang biasa tidak aku bawa dan harus aku bawa.
Sekarang aku sedang berada di parkiran bersama Hanyoung, Seung Jae dan Hana yang penasaran dengan motor baruku, jadi setelah pulang sekolah mereka mengikutiku dari belang. “Omo, keren sekali motornya!” seru Hanyoung yang masih memegang pom-pom ditangannya. Sedangkan Seung Jae masih memperhatikan motorku seperti melihat mahasiswi berpakaian seksi yang sering ia lihat jika kebetulan sedang berjalan di koridor belakang.
“Hadiah dari temanku, ini motor lamanya dan aku mebantu memperbaikinya” ucapku senang. Aku kira membawa motor kuno ke sekolah adalah hal yang buruk, tapi ternyata tidak.
“kapan-kapan ajariku mengendarainya ya?!” seru Hanyoung dengan suara melengkingnya.
“Hya! Ini bukan di lapangan, jangan bicara keras-keras!!” keluh Seung Jae yang langsung menegakkan badannya dan menyentuh telinganya. Hanyoung malah menjulurkan lidah.
“Iya, nanti akan aku ajak berkeliling pakai motor ini” aku menengahi, “kalau begitu aku pulang dulu, sampai jumpa” aku menyalakan motorku dan menancapkan gasnya, senang bisa melihat Seung Jae dan Hanyoung kembali dengan suara berisik mereka. Berbeda sekali dengan kemarin.
-
Aku ingin segera pulang, menikmati hari-hari tanpa pelayan yang berlalu lalang, atau mungkin aku harus berjalan-jalan sebentar untuk mengelilingi beberapa jalan di gangnam. Aku akan mengurangi kebosananku selama ini dengan jalan-jalan sebentar.
Aku melewati beberapa gang yang mendaki atau menurun, beberapa rumah dan jajanan kecil khas Korea yang berjualan dekat jalan besar, lalu aku kembali masuk ke dalam gang dan melihat beberapa anak kecil berlari sambil mengangkat tangan ke udara. Saat itu juga balon-balon kecil melayang diatas kepalaku. Lalu aku melewati rumah Hanok yang didalamnya mengeluarkan asap seperti sedang membakar sesuatu. Ini baru benar-benar Korea, tidak hanya memandangi jalan di dalam mobil, tapi benar-benar melihat dari dekat. Aku akan semakin menikmati tinggal disini seandainya aku sebebas ini.
“Wow!” aku segera menarik rem dan menurunkan kaki ku untuk menjaga keseimbangan. Aku sedang asik melihat ke sekeliling dan tiba-tiba sebuah mobil berhenti didepanku dengan mendadak. Sambil mengatur napasku aku menatapnya tajam. Apa orang itu tidak tahu dia sudah membahayakan nyawaku?. Aku bergegas turun dari motor saat pintu mobil itu terbuka. Baru mengepalkan tanganku seorang pria keluar dari mobil itu dan aku terkejut. “Lu..han?” syukur aku masih ingat namanya.
“disini kau rupanya” dia menghampiriku dan wajahku berganti ekspresi. Aku tahu apa yang dia cari dan apa yang dia tanyakan. “aku menunggumu kemarin, seharian” aku mundur selangkah karena ia berdiri terlalu dekat.
“Em.. Maaf aku tidak punya kontakmu jadi..” matanya menatap tajam.
“lalu dimana benda itu?” dia memotong kalimatku dan memajukan badannya, suaranya juga jadi mengecil tapi aku tahu ia sedang menahan marah.
“Aku.. aku tidak membawanya” jawabku gugup “tapi begini..”
“kau tidak boleh memberikannya kepada orang lain, kau tahu itu?” ini kedua kalinya, dan aku tidak suka ada yang memotong kalimatku, tapi bagaimana dia tahu kalau aku berniat memberikan benda itu kepada orang lain?.
“bagaimana kau tahu?”
“karena banyak yang menginginkan benda itu, dan kau.. dalam bahaya” ia menatapku serius. Sangat serius dan aku tahu dia tidak main-main aku dapat melihat urat lehernya tertarik. Ini sudah kedua kalinya ada yang bilang aku dalam bahaya, dan aku masih tidak mengerti mungkin sekarang aku sedang berurusan dengan kelompok mafia. Jadi aku hanya diam, tidak tahu harus berkata apa, sampai dia tersadar dan menjauhkan badannya.
“aku minta maaf, harusnya kita bisa bicara lebih santai” dia mengacak rambutnya yang tadinya sudah sangat rapih dan itu membuatku berkedip beberapa kali. Masalahnya aku merasa kacau saat melihatnya.
“It’s oke” aku meneganggakan badanku dan membetulkan letak tas ranselku. Aku semakin gugup karena melihatnya memakai kemeja dengan dua kancing terbuka.
“Ayo kita bicara didalam” dia berjalan ke sebuah café yang tak jauh dari kami berada. Kebetulan kami berhenti di tepi jalan dan berhenti di depan café ini. Tunggu, café Hangnam? Kenapa pas sekali?.
“Ayo masuk” suara Lu Han menganggetkanku dan aku berlari menghampirinya. Sekarang wajahnya tak seseram tadi.