Kami –atau mungkin Lu Han- memilih meja yang jauh dari pintu masuk dan memasuki Café dengan sangat santai, sedangkan aku masih mengatur detak jantungku sambil mengikutinya dari belakang. Setelah kami duduk pelayan datang dan ia memesan minuman, ia sempat menanyakan apa yang ingin aku pesan tapi aku bilang untuk menyamakan dengan pesanannya.
Sambil menunggu pesanan ia menyender pada kursi dan mengedarkan pandangan ke sekeliling. Aku masih meneganggakan puggungku sambil memainkan jariku dibalik meja dengan perasaan gugup. Lu Han melirikku.
“Baiklah,” ia mulai bersuara dan memajukan tubuhnya. Tangannya ia letakan di meja dan matanya menatapku serius. Aku tidak tahu apa pekerjaannya, dan berapa umurnya, tapi kalau diperhatikan aku yakin ia masih sangat muda hanya beberapa tahun diatasku dengan wajah cantik dan bulu mata yang cukup lentik, tapi tetap saja terlihat maskulin saat ia menggerakan tubuhnya yang membuat kemeja yang ia pakai membentuk postur tubuhnya yang ramping tapi cukup berisi.
“Aku akan beri tahu dimana posisimu sekarang, selain kau dalam bahaya kau juga berurusan dengan orang-orang yang tidak baik” katanya jujur. Perasaanku tidak enak. Walau begitu aku tidak melihat sisi buruk dari Lu Han yang ‘tidak baik’ seperti yang dikatakannya.
“Apa kalian pengedar narkoba? Mafia? Atau pengambil barang antik?” tanyaku tanpa rasa takut.
“tidak! Tidak serendah itu” matanya terpejam memilih kata-kata yang tepat tapi tidak bisa menceritakan semuanya, tidak ingin membuatku Shock sepertinya.
Lu Han membasahi bibirnya dan menunduk sejenak, “benda itu sangat berarti, jika benda itu jatuh ditangan yang bukan bagian dari kami, maka bisa saja terjadi perang” jelasnya. Aku tidak tahu yang ia maksud dengan kata perang yang jelas bukan dengan pedang, tombak dan sebagainya. Arti kata perang mungkin mereka akan saling memperebutkan kekuasan.
“jadi?” aku menunggu point-nya.
Lu Han menatapku dalam seperti mencari titik kelemahanku “mungkin terkadang benda yang hilang tidak harus kembali pada yang punya dan kau bisa memberikan pada orang lain yang bisa menjaga benda itu dengan baik” sekarang aku menyambungkan kalimatnya dengan yang terjadi selama ini. Lalu orang-orang yang disebutkan aku ganti dengan namanya dan para mahasiswa itu. “kau bisa memberikannya padaku”
“sudahku duga” aku berdiri dari tempatku, “benda itu bukan milikmu!” aku tersenyum meledek “aku akan kembalikan kepada yang punya, tentu saja” aku mengambil helm ku dan berniat pergi, sejenak melihat Lu Han megusap wajahnya.
“kau tidak mengerti masalahnya dan kau tidak memahami perkataanku” ia berucap dengan penuh penekanan.
“aku tidak peduli masalah kalian, yang jelas aku akan kembalikan” seperti niatku semula, mengembalikan sesuatu yang bukan milikku adalah hal yang harus aku lakukan, karena aku tahu rasanya bila sesuatu yang berharga diambil dariku.
Aku beranjak pergi saat pelayan datang untuk membawa kopi kami. “kalau kau ingin kembalikan benda itu, kembalikan besok atau kau benar-benar dalam masalah” serunya tapi aku tetap tidak menoleh dan melanjutkan langkahku.
-
Aku masuk ke rumah dengan gontai, tubuhku lelah, dan pikiranku juga. Terlalu banyak berpikir dijalan tadi. Sofa yang empuk tidak mungkin aku lewati, jadi aku mebanting tubuku disana saja, diruah tengah. Tidak lama aku melihat Juno yang turun dari tangga dengan masker yang menutupi setengah wajahnyanya dan menyisakan matanya yang tajam untuk menatapku.
“kau kenapa?”
“flu” jawabnya dengan suara tidak jelas karena tertutup masker. Aku bangun untuk memperhatikannya berjalan ke dapur dan mengambil minum sendiri, aku tersenyum, anak itu memang harusnya menjadi mandiri. Dengan cepat aku kembali merebahkan tubuhku ketika ia menoleh kearahku dan aku dengar suara langkah kaki mendekat jadi aku pura-pura memejamkan mata.
“kau” dia sudah berdiri disampingku. “mengusir semua pelayan?” nadanya terdengar tidak suka, aku membuka mataku dan duduk dengan santai.
“aku tidak mengusir mereka, aku meliburkan mereka, aku memberikan apa yang mereka butuhkan, begitulah caranya jadi tuan rumah yang baik” aku memberitahunya seperti menasehati anak kecil yang baru merebut coklat dari tanganku.
“tapi kau bukan tuan di rumah ini, ini rumah Ayahku” balasnya sarkastik. Aku menatapnya kesal, dia mengingatkanku dan itu berhasil karena aku baru ingat akan hal itu.
“aku sudah dapat izin dari Ibu, kau tidak usah khawatir” aku kembali membaringkan tubuhku dan menutup mataku dengan lenganku.
“kau benar-benar menyebalkan” keluhnya dengan suara datar dan menuju kamarnya dengan langkah yang lambat, padahal anak itu sedang marah tapi ia benar-benar tidak memiliki ekspresi yang bagus dalam menyampaikan emosi.
-
Aku membuka ponselku dan duduk bersila diatas kasurku, ada beberapa pesan dari L dan aku membalasnya. Ia menceritakan bahwa hari ini ia mendapat surat cinta dari adik kelasnya, aku tertawa dan membayangkan wajah L yang kaku jika bertemu gadis lain. Ternyata ada juga gadis yang menyukainya selain, aku pastinya. Hah.. ini bukan rahasia lagi, Myung Soo selalu berada didekatku, menolongku, membuatku tertawa, aku menyukainya tapi tidak besar, tidak sebesar rasa cinta. Karena menyukai dan mencintai adalah dua hal yang berbeda. Aku merasa nyaman dengannya begitu juga ia yang merasa nyaman denganku. Aku tahu kami saling merasakannya tapi tidak satupun dari kami bergerak maju, takut kalau salah melangkah, karena perasaan kami adalah perasaan yang labil, tidak bisa dipastikan.
Aku memastikan apa L menjawab surat cintanya, tapi ia bilang tidak. L adalah orang yang cukup penasaran, setelah ini pasti ia akan mencaritahu tentang gadis itu dan mulai memikirkan bahwa sekarang aku disini juga sudah sibuk dan pasti akan sama-sama melupakan perasaan masing-masing. Kadang di tengah percakapan kami ia akan menanyakan tentang pria yang mendekatiku, tapi aku bilang tidak, wajahku terlalu aneh untuk dijadikan kekasih, baiklah aku terlalu merendah dan itu membuat L tertawa dengan keras sampai mengerimkanku Voice Note dengan suara tawanya.
Masih asik memainkan ponsel sesuatu yang berkilau menganggu mataku, jadi aku mendongak dan mendapati benda keemasan dia atas meja belajarku. Aku berjalan mendekatinya dan membiarkan ponselku bergetar diatas tempat tidur. Benda ini, yang sedang diperebutkan, aku yakin ini sangat mahal karena setiap aku melihat design-nya aku merasa terpesona dengan kilau dan warna keemasannya. Sayang, aku mencoba membuka benda itu beberapa kali dan tidak bisa, sangat keras padahal tidak ada apapun yang saling berkaitan disana, tapi tetap saja benda itu tertutup rapat seperti terkunci.
Aku mendengar sesuatu dan aku bergerak menuju jendela lalu mendapati seseorang yang mengilang dibalik pohon sepeti baru tertangkap basah. Aku jadi merasa akhir-akhir ini ada yang mengamati rumah ini. Perkataan Lu Han jadi terbayang dipikiranku, tentang kata bahaya, masalah, atau perang. Aku jadi bergidik ngeri, harus aku kembalikan benda ini besok, harus.
-
“Selamat pagi, Nona” sapa seorang pelayan tua yang memegang lap, aku tahu dia pasti ingin membereskan rumah.
“Ahjuma, mau apa?” aku menuruni anak tangga yang lain.
“membereskan rumah, Nona” katanya dengan suara serak.
“Ahjuma tidak lihat?, semuanya sudah tampak berkilau bahkan membuat mataku sakit? Lebih baik Ahjuma beristirahat” aku mengusap lenganya lembut kemudian pergi menuju meja makan dan tidak mendapati Juno disana. Dimana dia? Apa telat bangun?. Aku menaruh tasku di bangku kedua dan pergi ke kamar Juno. Biasanya dia dibangunkan mungkin, apa lagi tidak ada pelayan dirumah pasti anak itu belum bangun.
“Juno!” panggilku sambil membuka pintu kamarnya. Aku melihatnya sedang memakai tas ranselnya dan menoleh dengan tatapan lebih kejam dari pada kemarin.
“tidak bisa mengetuk pintu?” tegurnya.
“aku kira kau belum bangun” aku menatapnya dengan wajah menyesal. Ia bangun dari duduknya dan menuju meja belajarnya.
“aku tidak semanja yang kau pikir” balasnya sambil mengambil kaus kaki di salah satu laci meja belajarnya. Telingaku agak terganggu sebenarnya saat anak seumurnya memanggilku dengan sebutan ‘kau’ dengan wajah yang sinis. Seingatku dia tidak pernah memanggil ‘Noona’ atau bahkan namaku sendiri.
Mengingat apa yang diucapkannya tadi dadaku menjadi sesak. Aku kira dia benar-benar masih tidur dengan sejuta kemalasannya, tapi malah dia sudah sangat rapi dengan rambut yang sudah disisir dan tas yang sudah diapakai. Aku terlalu jelek menilainya, meski gerakkannya lambat tapi ia cukup mandiri, cukup pintar berkata-kata, atau aku saja yang bodoh menilai anak dengan umur Sembilan tahun seperti anak umur lima tahun.
“maaf, kalau begitu aku akan tunggu dibawah” kataku sambil perlahan menutup pintu tapi sebelum pintu itu menutup rapat aku dengan suara Juno berbicara.
“tidak usah menungguku, aku biasa makan sendiri, terlalu biasa sampai tidak nyaman kalau ada orang lain”
Aku terdiam.
Tanganku memegang gagang pintu dengan keras. Rasa kesal dan sedih seperti menyerangku bersamaan. Juno benar, aku adalah orang lain, orang asing yang datang ke rumah ini dengan sejuta keinginanku. Mencoba mengubah apa yang terjadi dengan memaksa dan menilai adik tiriku yang mandiri adalah anak yang manja dan mengambil semua perhatian Ibu dariku. Ternyata aku baru sadar, pantas saja aku merasa di acuhkan, karena aku hanya orang lain.
“maaf telah mengusik kebahagiaamu dengan Ibu dan Teo Joong, kalau kau ingin aku kembali ke San Francisco, cobalah minta kepada Ibu, karena dia tidak mendengarkanku” ucapku dibalik pintu kemudian menutup pintu itu dan pergi ke lantai satu dengan sedikit berlari. Aku tidak kembali ke meja makan dan memilih langsung ke garasi.
Setelah memakai helm aku mengecek kembali benda keemasan yang harus aku kembalikan hari ini, apa aku benar sudah memasukannya kedalam tasku. Ternyata sudah.
-
Aku benar-benar hampir menangis tadi, dan angin yang menerpa wajahku seperti membuat mataku terasa perih. Kenapa Ibu tidak kunjung pulang? Kenapa Ibu tidak meneleponku lagi? dan mana Ayah, dia tidak merindukanku? Pertanyaan-pertanyaan itu membuatku semakin terpuruk, semakin merasa aku memang diacuhkan. Aku bahkan tidak fokus menyetir, sampai di belokkan pertama aku berpapasan dengan sebuah mobil dan hampir bertabrakan tapi segeraku belokkan kearah lain membuatku berjalan di tegah jalan dan dibalik mobil tadi ada mobil lain yang datang dan berhasil membuatku terjatuh dijalan. Motorku bergeser jauh bersama aku yang masih berada diatasnya. Lututku menyentuh jalan dan bunyi gesekan antara motorku dan permukaan jalan terdengar, aku masih membuka mata dengan lebar sampai ada mobil van besar berarah kearahku. Aku tidak dapat mengehentikan motorku yang terus meluncur dan melukai lutut dan sikuku, akhirnya aku memilih memejamkan mata, aku tidak menyangka ini adalah akhir dari hidupku, aku tidak akan bertemu Ibu, tidak bisa menjumpai Ayah atau mengunjungi rumah lamaku yang ingin sekali aku kunjungi dan waktuku sudah habis bersama Ibu, sampai aku merasa seseorang memegangi lenganku dan menariknya jauh. Tubuhku seperti sangat ringan dan akhirnya terjatuh ditanah.
Aku membuka mataku dan mendapati motorku terlempar jauh karena tertabrak van dan semua mobil tiba-tiba berhenti dan jalanan terlihat berantakan di jalan. Aku menyadari kalau aku sudah berada di pinggir jalan dan aku tidak tahu bagaimana, aku melihat kesekeliling dan mendapati seseorang dengan jaket tebal dan kupluk yang menutupi kepalanya. Aku yakin orang itu menolongku, tapi aku terlalu lemas untuk memanggil bahkan bibirku bergetar untuk menghembuskan napas. Beberapa orang mulai mengerubungiku, menanyakan keadaanku. Aku tidak bisa menjawab, aku hanya mengangguk kemudian merasakan perih di lututku. Aku benar-benar merasa takut sekarang, otakku hanya mengulang kejadian tadi dan meyadarkanku bahwa aku masih hidup. Kemudian aku tersadar aku sedang menggenggam sesuatu. Aku membuka telapak tanganku dan mendapati sebuah kancing disana. Kancing coklat yang sepertinya milik pria tadi.
Sekarang beberapa orang membantuku berdiri dan membopongku, sepertinya mereka ingin membawaku kerumah sakit. Aku menoleh sebentar dan berharap melihat pria itu sekali lagi, tapi ia sudah menghilang, entah kemana. Aku memegang kancing itu dengan erat.
-
Masih dengan lututku yang terasa ngilu aku berbaring menatap atap putih dengan aroma obat di sekitarku, ini sudah lewat dari jam waktu masuk sekolahku, aku juga bingung harus menghubungi siapa untuk menjemputku pulang. Ini lebih menyendihkan dari pada bertengkar dengan Ayah lewat telepon, tadi aku hampir mati dan sekarang aku dirumah sakit sendiri dengan pakaian seragam yang kotor.
Seorang dokter datang ke arahku dan aku bangkit duduk, aku ingin memintanya pulang sekarang.
“kau sudah dijemput” ucap sang dokter dan bergeser untuk mempersilahkan seorang wanita melangkah kearahku.
“Songsaenim?” alisku terangkat, Tiffany Ssaem yang muncul dibalik tubuh dokter itu.
“Kami menghubungi pihak sekolahmu karena kau bilang orangtua mu tidak ada dirumah” deokter itu menjelaskan tanpa membuatku repot-repot bertanya.
“Terima kasih dokter, aku akan bicara padanya” ucap Tiffany Ssaem dengan lembut. Setelah dokter bertubuh jangkung itu pergi dia berbalik ke arahku dan tersenyum, seperti biasa.
“Hallo Ana,” sapanya.
“Maaf merepotkan, harusnya aku langsung pulang tadi” sesalku.
“Oh tidak apa-apa, selama murid berada di Sekolah, pulang dari Sekolah atau berangkat ke Sekolah, pihak kami akan tetap membantu dan mengawasi, apalagi orangtua mu sedang berada di rumah, dan aku sebagai guru kesiswaan di Sekolah sudah menjadi tugasku” jelasnya dengan lugas dan aku hanya tersenyum kecil memandangnya. “kau tidak mencoba menghubungi orangtua mu?”
“Ah itu sepertinya tidak untuk sekarang, aku takut mereka khawatir tapi aku akan segera memberitahu mereka kalau aku sudah merasa baikkan” aku menatap tanganku yang terdapat beberapa bekas luka-luka kecil disana, bahkan saat aku mengangkatnya aku masih gemetar “Ssaem, apakah kau tau keadaan motorku?” aku menatapnya tidak enak, harusnya tidak bertanya begitu dengannya, memangnya dia asistenku?
“Aku dengar motormu rusak parah, kau bisa menghubungi polisi untuk mengambil motor itu lagi setelah selesai di perbaiki”
Aku menghembuskan napas berat, baru dua hari aku memakainya sudah aku hancurkan motor itu, aku merasa tidak enak dengan Taemin. Dia memberiku tanpa aku harus membayar motornya, aku pasti mengecewakannya. Tapi selain motor yang aku pikirkan, aku juga memikirkan pria yang menolongku.
“Ana” panggil Tiffany Ssaem yang duduk di hadapanku, “sebenarnya aku sangat terkejut mendengar bagaimana kau kecelakaan tapi kau cukup beruntung karena terlempar dari motor itu dan tidak menabrak mobil didepanmu” tangannya menyentuh tanganku, tanganya hangat begitu juga tatapan matanya yang teduh seolah tulus mengkhawatirkanku.
“aku juga merasa sangat beruntung, seseorang mearik lenganku dan membawaku ke pinggir jalan, dia menyelamatkan nyawaku” aku kembali mengamati kancing kemeja yang selau aku genggam sejak tadi.
“seseorang? Kau di selamatkan seseorang?” tanyanya dengan tatapan tidak percaya.
“tentu saja, aku tidak mungkin berada di pinggir jalan begitu saja, aku tidak bisa menarik diriku sen.. diri” aku baru menyadari sesuatu. Posisiku tadi sangat tidak mungkin untuk ada orang yang menyelamatkanku, aku bukan pejalan kaki yang sedang melamun dan hampir tertabrak jika tidak ada seseorang yang mendorongku. Tapi posisiku adalah aku terseret dengan motorku dan hampir menabrak mobil yang berjalan kearahku. Bagaimana orang berlari menghampiriku dan menarikku jauh dari jalan.
“tidak ada orang lain lagi disana, mereka hanya melihatmu sendiri terlempar jauh, itu yang aku dengar” Tiffany menatapku cemas.
“kepalaku tiba-tiba pusing” aku mengalihkan pembicaraan, aku juga sedang tidak berpikiran jernih, apalagi kejadian tadi benar-benar membuatku Shock.
“Aku akan segera mengantarmu pulang, kau tunggu disini, aku akan mengurus beberapa hal” Tiffany Ssaem turun dari tempat tidur dan berjalan keluar dengan wajah yang khawatir, aku melihatnya menjauh. Kenapa dia baik sekali? Apa semua guru kesiswaan semuanya begini?
Aku kembali memikirkan kecelakaan tadi. Aku kembali mebayangkan punggung pria itu, dengan berkupluk dan berjalan cepat, ia cukup tinggi dan rambut yang sedikit muncul dari kumpluknya. Ia terlihat tidak asing.
Tunggu! Apa aku gila kalau bilang pria itu mirip dengan salah satu mahasiswa yang aku temui? Tidak mungkin, itu sangat tidak mungkin.
-
“kau tinggal disini?” Tiffany Ssaem menatap rumahku kemudian mengelilingkan pandangannya.
“iya, terima kasih telah mengantarku pulang” aku membungkuk hormat dan keluar dari mobil.
“cepat sembuh” serunya sambil melambai setelah mebuka kaca jendal, dia guru yang baik. Bahkan sangat ramah, aku jadi paham kenapa pipinya terlihat begitu kencang, dia selalu tersenyum lebih dari yang aku bayangkan.
Aku mundur selangkah untuk memberikan ruang agar mobil Tiffany Ssaem bisa pergi, tapi tiba-tiba tanganku di cengkram seseorang “disini kau rupanya” aku menoleh dengan sangat terkejut, tanganku masih gemetar mengingat kejadian tadi, dan Taemin tiba-tiba datang menganggetkanku membuat kepala ku jadi pening.
“ada apa?”
“aku mencarimu ke Sekolah tapi kau tidak ada, Ayo ikut denganku” Ia menarik tanganku tapi aku segera hentikan karena lututku kembali terasa ngilu.
“mau kemana?” tanya lemas, aku harap dia sadar dengan keadaanku.
“ke rumah sakit, Juno masuk rumah sakit” aku terperangah, ada apa dengan anak itu?
“a..apa?”
“Ayo cepat” Taemin segera naik ke atas motor besarnya dan aku hanya menelan ludah tidak sanggup bicara, aku baru saja kecelakaan dan harus pergi lagi dengan motor.
“apa bisa kita tidak naik motor?” ucapku memohon. Tapi sepertinya Taemin tidak mendengar karena ia sudah menyalakan motornya dan menggunakan helm.
“Ana! Kau mau kemana?” aku baru sadar Tiffany Ssaem sudah keluar dari mobilnya dan memperhatikan kami.
“Aku harus ke rumah sakit, adikku masuk rumah sakit!” seruku padanya. Aku berusaha tersenyum memberi arti bahwa aku tidak apa-apa dan baik-baik saja. Dengan kaki yang sedikit gemetar aku naik keatas motor Taemin. Ini bukan saatnya aku mengeluhkan keadaanku, aku bertanggung jawab menjaga Juno dan aku tidak bisa tinggal di rumah dan istirahat, atau Ibu akan sangat marah.
Taemin mulai menjalankan motornya. Sambil menahan rasa sakit aku meremas jaket Taemin dengan kencang dan mulai memjamkan mata. Aku harap Taemin tidak mengendarai motornya dengan kencang, atau jantungku bisa lepas dari tempatnya.
-
Aku butuh banget KOMEN, komentar kalian itu penyemangat banget untuk aku nerusin FF ini, aku mau tau sejauh ini ada yang ngikutin FF ini, atau cuma singgah aja, please don't be quiet, kritik dan saran diperlukan banget dan tanggapan kalian itu sebagai keputusan apa FF ini layak untuk di lanjutkan atau enggak, so TINGGALKAN JEJAK!