Aku menyentuh kaca kecil yang tertempel di pintu. Setengah wajahku terpantul di kaca itu. Aku mendekat dan melihat Juno berbaring di ruangan itu dengan alat bantu pernapasan di hidungnya. Taemin mendekat kearahku dan ikut menatap Juno nanar.
“dia kenapa?” tiba-tiba jantungku berdegup kenjang.
“Penyakitnya kambuh lagi” balas Taemin yang langsung menunduk sedih. Aku menoleh cepat sangat khawatir dengan apa yang di katakan Taemin. Penyakit? Itu terdengar sangat mengerikan, kenapa aku tidak tahu? Kenapa Taemin lebih tau? Dan bagaimana kalau sampai Ibu tahu?
“Pe..penyakit? dia sakit apa?” aku menatap Taemin dengan alis berkerut. Kepala Taemin bergerak dan ia terlihat terkejut melihat lututku yang babak belur.
“kau terluka?!” serunya sambil memegang bahuku dan menatap lututku “kau jatuh di Sekolah?”
“aku baru kecelakaan” kataku jujur. Taemin mendongakkan wajah dengan cemas menyesal kenapa ia baru sadar kalau aku benar-benar sudah kacau.
“kenapa kau tidak bilang?” dia menatapku dengan amat sedih seolah bebannya bertambah sepertiku.
“kau terlalu panik tadi, sekarang ceritakan Juno sakit apa?” aku menatapnya serius tanpa berkedip, sekarang bagian ini bukan milikku, tapi milik Juno. Taemin menghembuskan napas dan menurunkan tangannya dari bahuku, ia menoleh sejenak kearah Juno kemudian meraih lenganku.
“ikut aku” ucapnya dan membawaku pergi. Dan seolah waktu berjalan melambat, bahkan aku dapat mendengar napasku sendiri.
-
Sekarang mata kami beradu, saling menatap dengan banyak pertanyaan dan pastinya lebih banyak pertanyaanku. Kemudian Taemin-lah yang mengalihkan pandangannya dan menyenderkan tubuhnya pada kursi tanpa tangan yang sedang kami duduki di kantin rumah sakit ini.
“jadi kau tidak tahu?” herannya padaku. “Juno, sudah lama menderita sakit paru-paru, dia tidak bisa terkena debu, tidak boleh banyak melakukan aktifitas berat, bahkan tidak boleh menangis atau tertawa berlebihan karena itu dapat membuatnya sesak napas, paru-parunya parah” penjelasannya membuatku shock. Aku hanya menarik-narik ujung jas seragamku dengan kasar, untuk mengalihkan perhatianku dan agar aku tidak mengeluarkan air mata. Tapi sekarang aku mulai membayangkan, selama ini Juno, anak sekecil itu yang harusnya menikmati masa indahnya harus membatasi diri, menjaga diri, dan mengkhawatirkan dirinya sendiri. Sekarang aku tahu alasannya ia jalan begitu lamban, tidak pernah berisik ketika bermain games, atau berteriak dari kamarnya untuk minta tolong mengambilkan air minum pada pelayan. Bahkan kamarnya begitu bersih.
Oh tidak.
Aku baru menyadari hal itu. Ini semua salahku, Juno masuk rumah sakit karena aku. Andai aku tidak menyuruh pelayan-pelayan itu pergi, andai aku tetap membiarkan mereka membereskan semua sudut rumah. Ini tidak akan terjadi. Dan aku mulai membenamkan wajah sambil meremas rambutku sendiri, aku memang tidak berguna, dan aku menyesali itu.
“Ana, kau kenapa?” aku merasakan tangan Taemin menyentuh bahuku.
“ini salahku” aku mendongak menampilkan mataku yang memerah dan hidungku yang mulai mengikuti warna mataku. “ini salahku, aku meliburkan semua pelayan dan tidak membiarkan pelayan yang lain membereskan rumah terus menerus, aku hanya berpikir mereka benar-benar mengganggu membersihkan setiap ruangan berulang kali, berlalu lalang seperti berada di penyebrangan jalan, aku tidak tahu Juno tidak bisa dengan adanya debu, tidak ada yang memberitahuku, aku sungguh tidak tahu!” air mataku jatuh pada akhirnya, bahkan ketika kecelakaan tadi aku hanya meringis tanpa keluar air mata, sekarang aku benar-benar sedih. Sangat. Ini semua salahku, harusnya aku menjaganya seperti pesan ibu.
“Ana tenanglah” kata Taemin.
“Ibu pasti akan marah padakku, Paman Teo Jong pasti membenciku!!” Aku menggengam tangan Taemin dengan gemetar, apalagi kejadian tadi pagi seperti menghantam kepalaku, membuatku teringat kembali ketika aku harusnya memikirkan Juno, dan sekarang kepalaku pening dan telingaku seperti membunyikan suara bising.
“tidak, mereka tidak seperti itu, Ibumu pasti mengerti, aku akan bantu jelaskan” Taemin menatapku khawatir ia membalas genggaman tanganku jauh lebih kuat. Dan aku merasa banyak air mata yang mengumpul di daguku.
Taemin cukup menenangkanku dengan kata-kata motivasinya. Aku hanya terdiam memikirkan apa yang terjadi hari ini, bahkan Taemin mentraktirku Mocca hangat buatan kantin rumah sakit, yang rasanya tidak kalah dengan Mocca di sebuah Café. Minuman itu membuatku lebih sadar dan berhasil membuatku mengedipkan mata lebih cepat. Setelah pikiranku membaik kami kembali ke kamar Juno dan menemaninya disana.
Aku duduk disebuah kursi kecil berwana putih disamping ranjang Juno. Wajah pucatnya membuatku kembali sedikit tegang, dia benar-benar sakit dan rasa tidak suka ku padanya hilang. Menyisakan rasa sedih dan penyesalan yang dalam.
“maaf sudah membuatmu begini” gumamku seperti berbisik. Juno tidak meresponku karena matanya tertutup dan dadanya bergerak pelan, tapi suara napasnya cukup membuatku takut dan khawatir. Aku sadar kenapa aku tidak menyukainya, dia cuma anak polos yang tidak begitu menyukai orang asing datang ke rumahnya, dia cuma adik tiri yang sinis karena terlalu biasa sendiri. Aku baru sadar ketika aku bertanya pada diriku sendiri, kenapa kami bersikap saling tidak ramah.
“Aku sudah menghubungi Ji Hyun Ahjuma dan mungkin besok pagi mereka sudah sampai” Taemin duduk di kursi yang bersebrangan denganku.
“apa yang Ibu katakan?”
“Ia hanya bilang kalau ia akan segera pulang” Taemin mencoba tersenyum kepadaku.
“harusnya aku yang menelpon, kesalahanku sudah dua kali lipat sekarang” aku menatap Juno dengan rasa marah, bukan padanya, tapi pada diriku sendiri.
“Tidak, aku sudah jelaskan kalau kau bersamaku dan masih terkejut dengan keadaan Juno, aku yakin Teo Joong Ahjussi pasti bisa menenangkan Ibumu” kata Taemin dengan tenang. Aku menatapnya lama meyakinkan diriku sendiri bahwa Taemin benar-benar mengenali keluarga kecil Ibuku.
“dari mana kau tahu Juno masuk rumah sakit?”
“tadi pagi, saat ia mau berangkat ke Sekolah, salah satu supir membawanya ke rumah sakit dengan keadaannya yang sesak napas” Taemin beralih menatap Juno dan aku tidak berhenti menatapnya.
“kau sudah lama mengetahui penyakit Juno?” tanyaku penasaran, sepertinya bukan hanya perasaanku tapi Taemin memang dekat dengan keluarga Ibuku. Tentu saja mereka bertetangga, tapi tetap saja membuatku penasaran.
Taemin tidak langsung menjawab dia masih menatap Juno tapi kemudian menarik ujung bibirnya. “kalau kau mau tahu, aku berteman baik dengan Juno, kami sering bermai games bersama, itu sebelum kau datang” mendengarnya aku jadi mengerutkan alis.
“aku? Ada apa denganku?”
“Jangan tersinggung” sekarang Taemin menatapku.
“tidak, aku hanya ingin tahu” ucapku cepat agar Taemin segera melanjutkan ceritanya.
“kalau begitu kau akan tahu” Taemin tersenyum padaku, seperti meyakinkan membuatku tidak dapat melemparkan pertanyaan lagi. “sebaiknya kau pulang dan berganti baju”
Hari sudah sore, memang seharusnya aku kembali ke rumah, tidak hanya untuk berganti baju, tapi juga untuk berbaring dan meluruskan kakiku. “itu akan menambah daftar kesalahanku, aku akan menjaganya sampai Ibu datang” kataku dan beralih menatap wajah Juno yang masih terlihat pucat. Taemin tidak bersuara lagi bahkan sepertinya tidak bergerak. Jadi aku meliriknya. Ternyata dia masih menatapku dengan tatapan yang tidak bisa aku gambarkan, tapi entah kenapa suasana jadi sedikit dingin.
“kau mau aku telpon pelayan untuk membawa baju gantimu?” tawarnya dengan nada datar dan masih lekat menatapku.
“emm.. biar aku saja yang menelepon” kataku dan segera mengambil ponsel dari ranselku. Sebenarnya aku terganggu dengan pandangan Taemin kepadaku, tapi aku tidak berani mengatakannya karena aku baru ingat motor Taemin sedang rusak parah di bengkel dan dia yang menolong Juno dan membayar uang perawatannya terlebih dahulu. Aku berhutang banyak sekarang.
Hari mulai menjelang malam, aku sudah berganti pakaian dan akan menemani Juno semalaman. Aku melihat Taemin tidak beranjak meninggalkan kami, dia akan duduk disamping Juno dan menerawang, sesekali memainkan ponselnya lalu ketika ia bosan ia akan menemui dokter untuk menanyakan kenapa Juno tidak kunjung sadar atau menanyakan paru-paru Juno yang mengkhawatirkan.
Dia lebih peduli dari pada aku, dia menunjukan rasa khawatirnya melebihiku. Berpikir bahwa tidak ada yang bisa aku perbuat jadi aku pergi ke luar dan membeli kopi untukku dan Taemin. Ketika aku kembali ke kamar Juno, Taemin masih duduk di samping Juno sambil memainkan cicin perak di tangannya.
“kopi?” tawarku dengan senyuman tulus.
“Gomawo” ucapnya membalas senyumku tapi tak seramah biasanya. Apakah ia lelah? Aku tidak akan menyarankannya untuk pulang, takut berpikir aku mengusirnya. Jadi aku duduk disebrangnya dengan tubuh Juno yang membatasi kami.
“Kau sangat dekat ya dengan Juno?”
“dia seperti adikku sendiri” aku baru sadar kalau mata Taemin begitu layu, mungkin ia sudah mengantuk tapi aku juga ragu. “Aku ingin bertanya sesuatu padamu, kalau kau tidak keberatan menjawabnya” wajahnya serius meski kedipan matanya begitu lamban.
“Apa hubunganmu tidak baik dengan Juno?”
“Apa begitu terlihat?” tanyaku sambil tersenyum masam.
“kami adalah saudara tiri, wajar kami tidak saling menyukai saat pertama kali bertemu, tapi mungkin ada alasannya kami benar-benar tidak bisa akrab sampai saat ini. Aku tahu dia sangat tidak menyukaiku saat aku datang karena tingkahku juga tidak menyenangkan. Diabaikan oleh ibuku sejak beruisa tujuh tahun bukan hal yang mudah menerimanya kembali, degan semua kenyataan yang ada, tumbuh tanpa seorang ibu membuat hatiku tidak begitu lembut. Aku datang ditengah kebahagian keluarga kecil ibuku, hal itu membuatku iri pada Juno, dia mendapatkan apa yang tidak aku dapatkan” aku tidak sadar ternyata air mataku sudah jatuh tanpa aku perintahkan. Emosiku benar-benar tidak terkontrol.
“Aku melihatnya mendapatkan kasih sayang ibu, Ayahku memang tidak bisa memberikan kekayaan seperti yang paman Teo Joong berikan, tapi Ayahku memberikanku kebahagian saat aku merasa sendiri dan membutuhkan seorang ibu. Jadiku pikir, aku tidak perlu iri kepada Juno dan memilih untuk tidak menyukainya sebagai anak manja yang hanya bisa mengandalkan pelayan-pelayan dirumah dan lagi-lagi itu terbantahkan” aku menatap Juno akhirnya.
“Melihat ia terbaring sakit dengan penyakit paru-parunya membuatku berpikir, aku sama sekali tidak punya alasan untuk iri bahkan untuk membencinya, harusnya memang aku yang dia benci, aku berjanji akan menjaganya ketika ada atau tidak ada ibu, dan janji ini seperti membuat kesalahanku terasa berkurang sedikit” baru kali ini aku berkata begitu banyak sampai aku tidak sadar apa saja yang sudah aku ceritakan.
“aku akan keluar sebentar” Taemin bangkit dan keluar dengan gerakan cepat, bukan gerakan orang yang sedang mengantuk. Aku menatapnya sampai ia hilang dibalik pintu. Sebelum dia pergi harusnya dia memberi tahuku pendapatnya soal apa yang aku ceritakan tadi, atau mungkin Taemin tidak ingin terlalu dalam mengetahui tentang kesedihanku.
-
Aku membuka mataku yang terasa lengket dan merasakan tubuhku yang diselimuti kain hangat. Merasa hari sudah pagi jadi aku memaksa untuk membuka mataku dan bangkit dari tidurku. Aku terduduk di sofa yang menjadi tempat tidurku semalam dan melihat sebuah selimut merah yang masih menutupi setengah tubuhku, entah milik siapa.
Aku merapihkan rambutku dan mendongak melihat beberapa suster serang memeriksa Juno. Setelah bangkit aku melewati suster itu dan membungkuk sejenak seperti yang mereka lakukan sebelumku. Aku pikir meminum teh hangat di pagi ini tidak ada salahnya. Rencananya aku ingin mengajak Taemin minum teh tapi ia tidak kunjung terlihat, apakah ia sudah pulang?.
Tunggu, Apa aku salah lihat?, aku seperti melihat seseorang yang menatapku dibalik salah satu tiang. Orang yang sering aku lihat akhir-akhir ini, yang bersetelan serba hitam. Aku mencoba mendekati tempat yang aku rasa ada orang disana, tapi ternyata tidak ada. Halusinasi mungkin.
Sekitar lima belas menit aku berada di kantin rumah sakit. Menyeruput teh sampai habis, sisanya melamun. Pagi yang cukup dingin karena angin musim gugur mulai terasa. Aku menenggelamkan taganku dibalik sweater merah muda yang entah sejak kapan aku miliki. Aku rasa ibuku yang memasukkannya ke dalam lemari.
Berjalan sendiri menusuri koridor rumah sakit membuatku jadi melamun sampai akhirnya aku kembali ke kamar Juno. Ternyata Taemin sudah disana, sedang berbicara pada seseorang yang wajahnya membelakangiku. Wajah Taemin sudah lebih segar bahkan kembali menyejukkan seperti biasa ketika aku bertemu dengannya di pagi hari.
“Aku tidak bisa menerima ini!!” suara seorang wanita menganggetkanku. Aku menoleh ke kiri, dua kamar dari pertigaan koridor rumah sakit seorang wanita sedang menangis terisak. Aku memberhentikan kakiku dan menatapnya sejenak. “Anda bilang ia sudah mebaik, kan? ia akan segera pulang, tapi kenapa sekarang ia pergi meninggalkanku?!!” serunya pada seorang dokter yang wajahnya tampak pucat.
Beberapa orang memegangi wanita itu mencoba menenangkannya. “suamiku, harusnya ia masih hidup! Tapi kalian membunuhnya!!” tubuh wanita itu merosot ke lantai dan terus menangis. Orang-orang serta pasien yang sedang kebetulan lewat menatapnya sedih, bahkan ketika tubuh suaminya dikeluarkan dari kamar rawat inap itu. Ia berusaha bangkit untuk mengejar perawat yang mebawa tubuh kaku suaminya pergi dengan ranjang beroda tapi orang-orang mencegahnya dan ia hanya pasrah teruduk di lantai.
Perawat-perawat itu melewatiku. Aku memandangi jenazah yang sudah ditutupi kain putih itu lekat dan ketika melewatiku angin membuka kain itu dan memperlihatkan wajah pria yang sudah pucat. Aku mentup mulutku terkejut, wajahya sangat pucat dan kurus sampai memperlihatkan tulang pipi dan matanya, wajahnya terlihat sangat tua padahal rambutnya masih hitam lebat dan mulutnya terbuka lebar seperti habis menahan sakit. Salah satu perawat buru-buru menutup kembali wajah pria itu dan melewatiku dengan cepat. Aku jadi begidik ngeri, penyakit apa yang diderita pria itu sampai wajahnya mengenaskan?
“Ana?”
“Omo!” aku menoleh cepat dengan jantung berdegup kencang, Taemin melihatku dengan wajah heran “kau menganggetkanku!” seruku padanya dan memegangi dadaku.
“Maaf, tapi orang tuamu sudah datang” aku menatap Taemin yang wajahnya serius tapi masih mencoba untuk terseyum. Aku memiringkan kepalaku dan mendapati paman Teo Joong berdiri menatap kami. Jadi, yang mengobrol bersama Taemin tadi adalah Paman Teo Joong dan sekarang ibu pasti sedang didalam kamar. Jantungku jadi makin berdegup kencang.
“Gwenchana, Kajja” Taemin mensejajarkan tubuhnya dan menyentuh punggungku agar aku mau berjalan menuju kamar Juno.
Sesampainya di hadapan Paman Teo Joong, aku membungkuk hormat lebih lama dari biasanya. Ini tandanya aku benar-benar menghormatinya dan merasa bersalah. “maaf tidak menjaga Juno dengan baik” ucapku setelah kembali berdiri.
“aku sudah dengar dari Taemin, ibumu di dalam dan pikirannya belum stabil, kau bisa menemuinya nanti dan menjelaskan padanya” ucap Paman Teo Jong denga tenang.
“Tidak apa-apa, aku akan menemui ibu sekarang saja, permisi” aku kembali membungkuk dalam padanya dan memasuki kamar. Aku melihat ibu yang duduk ditempat biasa aku duduk. aku hanya melihat punggungnya yang bergerak dengan tenang, pandanganku beralih pada Juno yang sudah sadar entah sejak kapan. Ibu menyadari kehadiranku dan mentapku sambil berdiri.
“Mom,” panggilku.
“Kau..” aku dapat melihat matanya yang merah dan wajahnya yang kusut tanpa make up. “harusnya menjaga adikmu, kenapa malah membuatnya dirawat di rumah sakit?!”
“aku-”
“baiklah aku minta maaf kalau kau tidak menyukai rumahku, tidak menyukai rumah baruku, dan tidak menyukai keluarga baruku, tapi kau tidak bisa seenaknya mencelakakan anakku!” suara ibuku meninggi, dan kata-katanya tadi mengatakan seolah hanya Junolah anaknya. Aku mengepalkan tanganku.
“Kenapa? Kau keberatan? Juno memang anakku, kau juga anakku, anak yang membenci ibunya, menyalahkan semua yang terjadi pada ibunya dan mencelakai adik tirinya, ini yang Ayahmu ajarkan padamu?!”
“Jangan bawa-bawa Ayah”
“memangnya kenapa? Dia sudah mendapatkan apa yang ia mau, tinggal bersamamu, hidup bahagia dengan anak yang normal, tapi lihat! Lihat anakku, dia sakit!” serunya lebih kencang.
“Eomma” aku mendengar suara Juno yang berusaha menghentikan ibuku.
“Kau mau pergi? Aku tidak akan melarangmu! Pergilah bersama Ayahmu, jadilah anaknya!”
“Ji Hyun!!” Teo Joong datang dengan wajah marahnya sambil menyerukan nama ibuku. Aku tahu, semua yang ibu katakana adalah perasaannya yang sebenarnya, harusnya memang kami saling tidak menyukai, harusnya memang kami berpisah, tidak peduli dengan hubungan ibu dan anak kami memang tidak seharusnya bersama.
Aku berlari meninggalkan kamar Juno. Berlari kencang sampai menabrak semua orang yang menghalangi jalanku. Samar-samar aku mendengar suara Taemin yang memanggil namaku tapi tidak aku gubris. Aku sampai diluar rumah sakit dan terus berlari entah kemana sambil menghapus air mata yang menghalangi penglihatanku. Harusnya aku sudah tahu bahwa ibu tidak akan memiliki waktu denganku, harusnya juga aku sudah pergi dan tidak menggubris kata-kata ibu untuk tetap tinggal. Hati ini begitu sakit sampai napasku begitu sesak.
Aku berlari tanpa melihat siapa orang didepanku sampai sebuah tangan menangkap kedua lenganku. Aku mendongak dan mendapati Lu Han yang medekapku.
“A..Ana?” alisnya berkerut melihatku. Kenapa aku selalu bertemu dengannya dijalan?. “kebetulan kita bertemu, aku ingin kau..”
“jangan sekarang Lu Han, aku janji akan kembalikan barang itu tapi jangan sekarang” aku memohon dengan napas tak beraturan.
“tidak, aku tidak menyuruhmu mengembalikannya aku hanya ingin kau tidak-”
“Ana!” aku kembali mendengar suara Taemin yang memanggilku.
“maaf, aku harus pergi” setelah berusaha melepaskan tangannya aku kembali berlari, aku tidak tahu kenapa harus bertemu dengannya ketika keadaan sedang seperti ini.
-
Aku duduk di sebuah halte dan tidak bisa pergi kemana-mana. Hujan deras sedang menjebakku disini, Taemin tidak berhasil menemukanku dan orang-orang juga menghilang dan menyisakan aku sendiri disini. Bajuku basah dan hidungku sepertinya memerah. Aku mengangkat kakiku dan memeluk lututku, air mataku jatuh bersama air hujan yang turun dari rambutku. Tak lama kemudian aku mendengar suara langkah kaki yang mendekatiku, lalu dengan pakaian basahnya duduk di sampingku, aku tak menyadari sampai aku melirik kearahnya. Ternyata itu ibuku, dengan rambut dan baju basahanya duduk memandang hujan. Entah kenapa air mataku jatuh lebih deras karena melihatnya, ibu lebih kurus dari yang aku bayangkan, wajahnya pucat dan matanya merah.
Ibu menghembuskan napas “aku memang ibu yang payah” ucapnya masih dengan memandang jalan yang ramai dengan jatuhnya air hujan. “membiarkan anak-anakku hidup dengan penderitaan meraka masing-masing” mataku masih menatapnya bersama isakan.
“aku pertama kali bertemu dengan Mark di Amsterdam” memorinya terlulang dan aku dapat melihat senyum kecut di wajahnya “dulu profesiku adalah seorang model, demi meningkatkan karirku, aku pergi ke Amsterdam untuk bertemu dengan temanku yang akan mensponsoriku agar aku menjadi model Asia di salah satu majalah terkenal disana, dengan menghabiskan hampir seluruh tabunganku aku pergi kesana dengan bermodal keyakinan dan percaya. Tapi sesampainya disana, ternyata temanku meninggal di bunuh kekasihnya sehari sebelum aku datang, aku merasa sangat sial hari itu, tidak punya tempat tinggal, bermodal bahasa asing yang pas-pasan dan uang yang tidak cukup untuk membeli tiket pesawat lagi. Sampai Mark datang bagai pelangi sehabis badai. Dia seorang traveler yang bisa berbahasa Korea, dia menolongku sekaligus mencuri hatiku, dia sangat pria yang sangat romantis dan membawaku bersamanya untuk keliling Amsterdam, kami melewati perjalanan yang sangat menyenangkan dan kami sadar kalau kami benar-benar saling jatuh cinta. Dia mengajakku ke San Francisco untuk bertemu dengan orang tua-nya tapi aku tidak mau, aku bilang aku ingin kembali ke Korea. Dengan pikiran gilanya dia membawaku ke Korea dan berniat tinggal bersamaku, dia benar-benar mencintaiku sampai ia meninggalkan semuanya di San Francisco, dia bilang ingin tinggal di pinggiran kota dan tinggal di sebuah rumah hanok yang di kelilingi bunga-bunga indah. Dia berhasil membuatku jatuh ke dunianya. Akhirnya aku mengenalkannya kepada ibuku, diluar perkiraanku, ibuku menolak hubungan kami dengan alasan Mark yang tidak kaya, tidak sekaya orang yang ia ingin jodohkan denganku. Tapi rasa cintaku yang begitu besar padanya sampai Aku memilihnya dan menikah dengannya, ibuku sakit parah dan meninggal ketika kau sedang berada dikandungan. Setelah semuanya berlalu Mark menepati janjinya untuk hidup dengan rumah impian kami di Jeonju, rumah kami berada di sebuah desa yang indah. Hidup kami sederhana, sampai kau besar kami hidup dengan kehidupan yang sama” ia menghentikkan ceritanya ketika air mata jatuh dari sudut matanya dan mengalir melewai pipinya.
“sampai suatu hari aku merasa bosan dan ingin kembali ke Seoul, aku ingin kembali bekerja dan hidup dengan lebih layak, aku dan Mark banyak bertengkar sejak itu, aku baru menyadari kalau kami menikah di usia yang cukup muda, ego kami masih besar dan belum bisa terkontrol yang akhirnya membuat aku pergi dan meninggalkan kalian. Aku lama di Seoul dan tidak tahu harus mulai dari mana, semua pekerjaan menolakku karena aku sudah pernah berumah tangga, suatu malam aku merasa sangat bersalah meninggalkan kalian berdua, lebih memilih egoku padahal Mark rela meninggalkan orang tuanya demi aku, tapi aku malah meninggalkannya bersamamu. Akhirnya aku kembali ke Jeonju, di perjalanan aku kadang ingin cepat sampai kadang juga aku ingin kembali ke Seoul. Karena kau persis seperti Mark kadang aku merasa kau lebih menyayanginya, wajahmu cantik seperti orang eropa dan banyak yang tidak menyangka bahwa kau adalah anakku, jadi aku berpikir jika hubunganku dengan Mark tidak membaik, aku akan membawamu pergi saja dan tinggal bersamaku dan menjadi anakku. Sayangnya ketika aku kembali, rumah sudah kosong, tidak ada siapapun dan aku tahu Mark sudah membawamu ke rumahnya, di San Francisco. Aku merasa bumi ini mau kiamat, aku benar-benar kehilaganmu dan aku sebatang kara hidup di Seoul dengan kerja serabutan, aku sangat menyesal meninggalkan kalian berdua, harusnya aku pergi membawamu. tapi datanglah seorang pria yang berniat menolongku menawarkanku kebahagiaan dan melupakan kesedihanku, pria yang dulunya ingin ibuku jodohkan, orang itu adalah Teo Joong. Aku pikir aku dapat memperbaiki hidupku dan memendam penyesalanku dengan hidup bersama Teo Joong, hidupku memang berkecukupan tapi rasa rindu dan penyesalanku semakin besar, aku ingin sekali bertemu denganmu. Sampai aku mengandung Juno, aku sering sakit dan hampir keguguran, aku hanya ingin bertemu denganmu sampai suatu hari aku berhasil mendapat kabar dari Mark bahwa kau membenciku dan tidak ingin pulang ke Korea. Hatiku hancur dan penyesalan datang bertubi-tubi, Teo Joong terus berada disampingku dan menyadarkanku bahwa Juno juga penting dan aku baru menyadarinya setelah Juno lahir, ketika dokter bilang bahwa paru-paru Juno bermasalah dan sulit menjalani hidup. Hatiku remuk” ibu menatapku dengan air mata yang deras, isakannya terdengar dan kepalanya mulai menunduk.
“aku tidak berniat menyakiti kalian, aku tidak berniat! Maafkan aku” ibu menunduk dalam dengan isakan yang begitu kencang. Aku mendekat kearahnya dan memeluknya “Ana, maafkan aku, aku ibu yang tidak berguna” dia memelukku erat dengan tangisan. Aku tidak bisa menjawabnya karena rasa sedih yang juga begitu dalam. Aku kira ibu mengacuhkanku, aku tidak tahu ibu mencariku selama ini.
“Aku menyayangi ibu” ucapku disela tangisan.
“aku juga menyanyangimu, sangat menyayangimu jangan pernah pergi dan membuatku sendiri, Ana ibu mohon” ibu menggenggam tanganku erat, rasa sakit dan penyesalan seperti ia keluarkan hari ini tidak mau ia simpan lebih lama.
“Aku akan jadi anakmu kali ini aku berjanji” ucapku. Dan hujan seperti meredam tangis kami.
-
Hari hampir sore dan aku membantu Juno merapihkan barang-barangnya. Keadaannya sudah membaik dan bisa segera pulang hari ini. Anak itu paling tidak suka berlama-lama di rumah sakit dan semua dokter yang merawatnya tahu akan hal itu. Taemin sedang menunggu kami di luar sambil mengobrol dengan salah satu dokter kenalannya. Ibu dan paman Teo Joong menunggu di rumah karena ada acara penyambutan, katanya itu tradisi kalau Juno pulang dari rumah sakit harus ada pesta penyambutan.
“ini” Juno memberiku selimut yang sudah dilipat. Aku mengambilnya dan memasukkan ke dalam tas. “waktu itu, aku mendengarmu” ucapnya dan aku menoleh, “ketika kau berbicara dengan Taemin Hyung, saat itu aku sudah sadar” aku mencoba mengingat pembicaraan mana yang Juno maksud.
Aku memandangnya heran, tapi ia malah sibuk melipat salah satu baju. “harusnya aku yang iri padamu, bukan sebaliknya”
“kau iri padaku?”
“ehem, kau tahu? Sebelum kau datang ibu berhari-hari menatap kamar untukmu, memperkenalkan semua pelayan bahwa anaknya akan datang, saat itu perhatian ibu teralihkan dan aku seperti tak terlihat” Juno masih melihat baju yang tidak kunjung rapi dan aku menatapnya sedih. “Taemin Hyung sering bermain dan menemaniku ketika Eomma dan Appa tidak ada di rumah, tapi semenjak kau datang Taemin Hyung lebih suka mengobrol denganmu bahkan mengundangmu ke rumahnya, semua perhatian tertuju padamu dan itu membuatku tidak senang”
“maaf” kataku cepat, aku tidak mau hatinya terluka. Tapi dia malah terseyum, masih sambil melipat baju.
“jadi aku meminta tolong Taemin Hyung untuk bertanya padamu dan agar aku tahu kenapa kau tiba-tiba datang” ungkapnya jujur.
“jadi saat itu kau sudah sadar?”
“iya” dia menatapku sekarang. Pandangannya tidak sesinis dulu. Kemudian dia memberiku baju yang sudah ia lipat aku mengambilnya dan menaruhnya dalam tas, karena itu baju terakhir jadi aku menutup tasnya dengan rapat.
“aku akan beritahu Taemin kalau kita sudah siap” aku berjalan menuju pintu. Tapi kemudian aku mendengar kembali suara Juno.
“Noona” kakiku terhenti dan aku segera menoleh kearah Juno. “Aku boleh memanggilmu seperti itukan?” tanyanya polos, pertanyaan anak laki-laki berusia Sembilan tahun yang tidak perlu aku jawab.
Jadi aku hanya tersenyum.
-
Kami semua sudah berada di dalam mobil. Taemin sibuk menyetir sedangkan aku dan Juno sibuk memandang ke luar jendela. Aku tidak bisa memperhatikan wajah Juno karena ia duduk didepan, di samping Taemin. Mungkin aku tidak perlu mengkhawatirkannya lagi, paru-parunya mulai membaik meski napasnya masih terdengar jelas. Hah.. setelah ini aku berharap hubungan kami akan membaik karena aku sudah tahu semuanya tentang ibu, dan tenang adik tiriku, Juno.
“Apa tidak ada yang tertinggal di rumah sakit?” tanya Taemin ditengah perjalanan.
“kami sudah membereskan semua, coba aku cek ponselku dulu” aku membuka tasku dan mecoba memastikan. Ponselku ada dan, tunggu! Benda ini, benda yang harusnya aku kembalikan. Kemarin aku sempat bertemu Lu Han dan dia pasti menyuruhku untuk segera mengembalikkan benda ini.
“Taemin, aku turun disini saja” seruku menganggetkannya.
“kenapa? Ada yang tertinggal?”
“aku harus mengembalikkan sesuatu, tolong pinggirkan mobilnya sebelum malam”
“mau aku antar?” tawar Taemin yang agak khawatir melihatku.
“tidak, Ibu dan paman Teo Joong pasti sudah menunggu dirumah, kalian pulang dulu aku janji akan cepat pulang” ucapku meyakinkan. Meski Juno dan Taemin sedikit heran aku tetap meminta untuk diturunkan, Museum tidak jauh dari sini, aku bisa berlari untuk mengejar waktu. Karena kalau aku naik kendaraan umum, jalannya akan memutar.
Kira-kira ini sudah hari ke berapa ya? Ah celaka, apa aku akan kena denda? Seperti telat mengembalikkan buku di perpustakaan. Semoga tidak. Dan para mahasiswa itu, pasti sudah menunggu sejak kemarin. Apa yang bisa mereka lakukan kalau mereka sudah kesal?
-
Maaf ya updatenya lama, habis uas dan laptop lagi bermasalah, mianhee :(