Dengan tergesa-gesa aku berlari dan menaiki anak tangga untuk menuju pintu masuk museum. Dengan napas tersenggal-senggal aku berjalan menuju meja informasi.
“Ada yang bisa saya bantu Nona?” sapa seorang wanita yang biasa menyambut rombongan wisata yang ingin masuk ke dalam museum.
“begini, satu minggu yang lalu aku menemukan sebuah barang di museum ini, aku pikir pemiliknya sedang mencari-cari barang miliknya” aku mengeluarkan benda keemasan itu dari tasku. Wanita itu memandang takjub tapi juga heran, mungkin ia kira barang yang ku maksud hanya barang yang biasa tertinggal seperti jam tangan, dompet atau barang lain yang pasti bukan benda antik keemasan yang berada ditanganku.
“Aku dengar ada beberapa orang kehilangan barang-barang mereka disini, tapi tidak satu dari data kami yang kehilangan benda seperti ini Nona” ucapnya yakin sambil melihat sebuah buku di dalam meja informasi.
“kalau begitu, aku akan meninggalkannya disini, akan ada orang yang mengambilnya, Anda bisa memberikan benda ini kepada orang yang mengaku benda ini miliknya dengan membawa bukti” aku menjelaskan. Dia terlihat setuju dan segera mengambil kertas dan pena.
“Nona bisa menulis nama dan nomor yang bisa kami hubungi disini, karena jika seminggu dari sekarang barang ini tidak ada yang mengambil, kami akan kembalikan kepada Anda” ucapnya dengan senyuman yang ramah. Aku memandang benda itu sekilas, benda yang tidak pernah bisa aku buka dan selalu membuatku penasaran dengan bentuk didalamnya.
Sebelum aku menulis namaku di kertas itu aku melihat beberapa orang berjalan menuju salah satu lorong museum. Apa itu para mahasiswa?, aku meninggalkan pena dan membawa benda bulat itu segera mengejar mereka.
“Nona?!” panggil wanita itu karena tiba-tiba aku berlari ke dalam.
“sepertinya aku menemukan pemiliknya, terima kasih” aku mebungkuk sejenak dan kembali berlari.
“tapi museum ini akan tutup” serunya lagi masih dengan wajah heran.
“aku tidak lama” balasku sebisanya. Aku harap bisa mengembalikkan benda ini langsung, aku rasa mereka benar pemiliknya.
Aku melihat mereka memasuki lift, dan benar ternyata mereka para mahasiswa itu. Aku ingat pria bernama Kai dan wajah tidak asing pria berambut merah didekatnya.
“HEI!” panggilku dan masuk ke dalam lift, aku juga menemukan wanita yang biasa bersama mereka yang selalu menatapku dengan tajam. Belum sempat aku bernapas lega seseorang datang dan menyusulku ke dalam lift. Karena terkejut aku menoleh dan mendapati Lu Han yang hembusan napasnya sama denganku.
“Lu Han?”
“Kenapa kau disini?!” ucapnya dengan suara tinggi kemudian menarik lenganku.
“Apa? tentu saja untuk mengembalikkan benda ini” aku menatapnya heran. Ada apa dengannya? Tiba-tiba lupa dengan hal itu dan malah menarik lenganku, kami berbalik tapi pintu lift menutup.
“Wah kita kedatangan tamu jauh” suara wanita yang agak serak terdengar, kami sama-sama menoleh dan mendapati salah satu dari kelompok mahasiswa itu. Siapa lagi kalau bukan wanita berambut kaku, matanya begitu tajam menatap kami dan senyum miringnya yang menyeramkan. Apa mereka saling mengenal? Lu Han dan para mahasiswa itu.
Dengan cepat Lu Han berbalik dan memencet angka yang bisa membuatnya keluar dari lift, tapi sepertinya lift ini terus berjalan bahkan ketika kami sudah sampai di lantai yang paling dasar. Aku menatap angka-angka yang sudah tidak menyala tapi lift masih saja bergerak kebawah.
“Mau kemana? Kami sudah menyiapkan sambutan spesial untuk dua tamu kami” aku kembali menoleh ketika mendengar suara berat itu, ternyata milik seorang pria tinggi yang waktu lalu aku bertemu dengannya wajahnya tidak sedatar ini. Aku bergidik ngeri tapi seketika itu juga Lu Han langsung menggengam tanganku.
“Jangan jauh-jauh dariku kalau tidak mau mati” bisiknya dan tangannya benar-benar menggengamku erat. Aku mencoba menoleh kearahnya yang menatap lurus kearah pintu lift yang belum kunjung terbuka. Di belakang kami berdiri para mahasiswa yang wajahnya tidak ramah aku dapat melihatnya dari pantulan pintu lift. Aku jadi ingat kata-kata Lu Han tentang aku yang berurusan dengan orang yang tidak baik, sepertinya aku dalam bahaya sekarang. Tapi rasa pernasaranku lebih besar dari rasa takutku. Siapa mereka?
Dengan berani aku menoleh kearah kiriku dan mendapati pria yang benama Kai, hanya dia yang namanya aku tahu karena tidak sengaja disebut oleh salah satu temannya. Dia juga menatap lurus ke depan dengan sangat tenang bahkan seperti tidak benapas. Rambutnya yang ikal dengan warna coklat keemasan membuatnya cocok dengan warna putih kulitnya, bibirnya tebal dan lehernya yang cukup jenjang.
Ting. Pintu lift terbuka.
Dia lebih dulu maju dan sepertinya akan memimpin jalan. Seseorang mendorong aku dan Lu Han dari belakang dengan agak kasar. Aku melirik sebentar dan pria dengan mata bulat yang tempo hari berbicara cukup lembut kepadaku sekarang berwajah datar dan mendorong kami jika jalan kami melamban. Para mahasiswa ini berwajah dingin, semuanya. Aku dan Lu Han dibawa menelusuri koridor asing yang tidak pernah aku temui di museum sebelumnya.
“Kau tahu kita mau dibawa kemana?” tanyaku berbisik pada Lu Han.
“ke neraka” Jawabnya tidak kalah datarnya dengan wajah para mahasiswa itu, tapi genggamannya tidak mengendur dan seperti ingin melindungiku. Aku dapat merasakan hal itu jadi aku mengakat tanganku dan menggenggam lengannya sementara jariku bertautan dengan jarinya. Ini pertama kali, pertama kalinya aku menggenggam tangan pria selain Ayah. Bahkan Myung Soo pun tidak pernah.
Setelah menelusuri jalan yang panjang dari lift kami masuk ke sebuah bangunan. Atapnya berbentuk lingkaran dan terbuat dari kaca, tidak ada lampu atau chandelier disana tapi seperti ada cahaya dari luar yang masuk padahal aku yakin kami berada di lantai paling dasar museum. Kami seperti berada disebuah ruangan yang persis seperti lobi hotel klasik di Paris atau sebuah katerdal di Roma. Tangga yang menjulang eksotis ditiap sisi, pintu-pintu misterius yang memutari dinding bangunan ini. Dan yang aku tidak menyangka adalah disini lumayan banyak orang berpakaian hitam, wajah-wajah seperti tidak asing, bahkan beberapa diantara mereka menatapku seperti pernah bertemu. Beberapa yang naik dan turun tangga adalah orang-orang yang memakai jubah besar berwarna hitam dengan renda merah di kemeja mereka. Kami berjalan melewati bagian tengah dan semua orang mulai menyadari kedatangan kami, objek mereka adalah antara aku dan Lu Han, ekspresi mereka beragam. Ada yang terkejut, menatap sinis, dan heran, tapi tidak satu pun yang menatap aku dan Lu Han dengan ramah. Aku mendongak untuk melihat ekspresi Lu Han, wajahnya masih datar tapi akau dapat melihat rahangnya yang menegang dibalik pipi tirusnya.
Aku tidak tahu kami mau dibawa kemana, tapi tidak mungkin ‘neraka’ yang dimaksud Lu Han adalah tempat indah yang cocok jadi bagian depan sebuah hotel bintang lima ini. Aku juga baru sadar ada lukisan indah yang mengelili atap kaca itu, aku tidak dapat mengamati lebih lama karena tiba-tiba kami memasuki salah satu pintu dan seketika kami berada di sebuah jalan dengan karpet merah dengan lukisan-lukisan klasik yang menggambarkan kehidupan abad lalu berjejer di dindingnya.
Tibalah kami di sebuah jalan yang lebih luas dengan sebuah ruangan yang kedua bagian pintunya terbuka. Kami masuk ke dalam dan ternyata ada sebuah pintu lagi yang kali ini tertutup rapat. Terdapat dua penjaga yang memakai Jubah tapi mereka menutup kepala mereka dengan tudung membuat setengah wajah mereka tidak terlihat.
“Kami membawa dua tamu” ucap mahasiswa bernama Kai pada dua orang penjaga itu. Mereka memiringkan kepala untuk melihat kearah kami kepalanya mendongak seperti mencium bau aneh. Mereka saling memandang kemudian membungkuk dan mundur untuk membuka pintu besar yang entah ada apa di dalamnya.
Pintu itu terbuka dengan suara besar yang sedikit mengerikan, sepertinya pintu itu berat dan jarang dibuka tapi kedua pelayan itu tidak kesulitan membukanya. Tubuhku kembali di dorong dan kami semua masuk kedalam ruangan itu. Ruang yang cukup besar dengan langit-langitnya cukup tinggi. Di sudut-sudut ruangan ini terdapat kursi-kursi besar dengan bentuk segitiga dibagian penyangganya. Kursi-kursi yang biasanya aku temui di cerita-cerita kerajaan, kursi itu tertata rapi dengan jarak yang sama dari kursi ke kursi lain, tapi kursi itu tidak ada yang menempati, apa hanya sebagai pajangan? Aku tidak tahu.
Setelah melihat kedepan ternyata aku menemukan kursi yang lebih besar. Langkah kaki kami berhenti, para mahasiswa membungkuk pada seseorang yang duduk dikursi itu, aku dan Lu Han tidak ikut membungkuk jadi kami dapat melihat siapa seseorang yang duduk disana. Tiga orang pria yang memakai jubah lebih tebal dari yang lain bakan sampai menyentuh lantai. Aku memfokuskan ke salah satu pria yang berada di kursi paling besar, matanya merah dan wajahnya sangat pucat, matanya membesar saat melihat kearahku dan dia berdiri perlahan. Para mahasiswa itu menyingkir saat ia menatap kearahku, wajahnya sangat menyeramkan tapi bola matanya membuatku takjub dengan warnah merah yang entah kenapa menurutku indah.
“selamat datang” suaranya serak dan bibirnya terlihat kaku, seperti kekurangan minum atau dia jarang bicara. Dan aku bersumpah aku tidak bisa henti menatap matanya.
“Dia yang menemukannya” suara husky itu terdengar lagi, suara milik Kai. Pria yang diajaknya bicara seperti baru menyadari sesuatu kemudian tersenyum kearahku. Bibirnya kering dan pecah-pecah, aku dapat melihat jelas karena ia mendekat kearahku.
“kau bisa mengembalikannya.. sekarang” pria itu memunculkan tanganya dan mengulurkannya kearahku, tangannya tidak kalah putih dengan wajahnya. Aku juga melihat kuku yang tidak terawat dibalik jarinya. Tangannya rapuh seakan jikaku sentuh akan berubah jadi debu.
Baru aku mau melangkah tiba-tiba pandanganku tertutup dengan bahu seseorang, bukan yang memakai baju hitam tapi yang memakai kemeja berwarna biru laut. “aku tidak akan membiarkannya” ucap Lu Han, aku tidak tahu kenapa Lu Han mencegahku tapi tangannya memastikan bahwa aku berlindung dibalik tubuhnya.
“Oh, kau.. siapa namamu?” pria itu berjalan mendekat lagi dan tiba-tiba aku merasa ruangan ini menjadi agak dingin, atau hanya perasaanku saja? entahlah.
“Lu Han” jawabnya tegas.
“oh ya kau si keturunan raja Xi itukan? Suatu kehormatan aku bisa bertemu dengan salah satu keturunan penyihir hebat” sanjungnya sambil membungkuk sejenak.
“Kehormatan bagiku juga bisa bertemu dengan musuh besar kaumku” sebenarnya apa yang sedang mereka bicarakan? Kenapa menyebutkan kata-kata yang aneh yang biasa aku dengar saat sekolahku dulu mengadakan pentas musikal?. Aku benar-benar mulai berpikir konyol.
Kemudian pria berwajah pucat itu tertawa keras sampai aku terlonjak kaget. Aku melirik kearah Kai yang berdiri tidak jauh dariku, aku melihat sudut bibirnya terangkat, seperti ikut meremehkan atau ingin mentertawai wajah terkejutku tadi.
“Aku baru tahu ada rusa berani masuk ke dalam kandang singa dan mengaku sebagai musuhnya” sindir pria itu. “Ambil gadis itu!!” titahnya dan seketika udara berubah menjadi pekat dan berwarna hitam lalu berubah menjadi manusia dengan tudung hitam, persis seperti penjaga yang kami temui didepan.
Orang-orang itu menarik tanganku dan memisahkan aku dengan Lu Han, hitungan detik aku dan Lu Han sudah berjauhan dengan dua orang pria memegangi lenganku dengan kuat.
“Kai, tolong ambilkan benda itu” lanjutnya kembali sambil menyentuh pundak Kai.
Sekarang ia yang bernama Kai itu berjalan kearahku, aku menatapnya takut. Tapi ia terus menatapku hingga jaraknya sangat dekat, tangannya masuk ke dalam tasku dan mengambil benda bulat itu dengan sekali gerak. Pandangan kami memang bertemu tapi sama sekali ia tidak menunjukan ekspresi.
“Akhirnya, golden kompas ini kembali” pria dengan wajah kaku itu tersenyum dan kembali berjalan menuju kursinya sambil mengusap benda keemasan itu dengan lembut.
“Kau tidak bisa mengambilnya, ini sudah hari ketujuh!” seru Lu Han dan berusaha melepaskan diri. Aku menoleh kearahnya, memangnya kenapa kalau sudah hari ketujuh? Benda itu sudah berada di pemiliknya, kan? aku memandang para mahasiswa yang teryata merubah raut wajah mereka.
“Hari dimana, benda itu menjadi miliknya” lanjut Lu Han dan berhasil menghentikan langkah pria berambut ikal itu.
“tapi dia manusia biasa Tuanku, dia tidak ada mempunyai hak untuk memiliki benda itu” seseorang yang berada di kursi sebelah kiri maju menunjukan wajahnya. Wajah yang tidak kalah putih dan kakunya.
“benar, dia manusia biasa yang tidak seharusnya mengetahui keberadaan kita” ucap seorang lagi dari bagian kanan, sama-sama berjubah tebal, sama-sama berwajah putih pucat dan sama-sama berbibir kering. Entah siapa ketiga orang ini tapi pemilik kursi bagian kanan yang berambut lebih panjang dan wajah yang lebih menyeramkan, membuat aku terganggu dengan tatapannya.
“Benar Hang, dia manusia dia harus disingkirkan karena sudah tahu keberadaan kita” Pria yang tadinya membalikkan badannya kini menghadapku lagi. Aku yakin pria bernama Hang itu yang memiliki mata lebih seram dari yang lain, yang muncul dari bagian kanan.
“Kalian tidak bisa menyentuhnya selama aku masih disini!” seru Lu Han dengan wajah merahnya. Memang mereka siapa? Aku belum tahu pasti apa yang membuat mereka ‘berbahaya’ untukku.
“Kalau begitu kami akan menyingkirkan kalian berdua” balasnya ringan, seolah-olah menyingkirkan kami seperti membersihkan bahunya dari debu.
“Kenapa kalian mau menyingkirkanku? Apa yang aku ketahui saja aku tidak tahu” ucapku sambil mencoba melepaskan diri dari tangan dingin dua penjaga yang memegangi lenganku.
“Kaumku akan tahu kalau kalian membahayakan manusia” Lu Han menambahi kalimatku matanya tajam tapi tidak memerah seperti mata ketiga pria itu.
Tunggu, aku pasti lupa sesuatu.
Tentang museum ini, aku jadi ingat kata Hanyoung sebelum pergi ke museum. Tentang suatu makhluk yang selalu menelan korban. Apa makhluk itu vampir? Apa waktu itu aku tidak salah dengar?, tapi tangan dingin, wajah yang pucat, dan mata merah itu. Semua itu bukan ciri-ciri manusia biasa.
Tiba-tiba tubuhku meremang, tanganku mulai gemetar dan aku mulai merasa ruangan ini benar-benar dingin dengan bau sedikit aneh yang melewati hidungku.
“Apa kalian vampir?” anggap saja ini pertanyaan gila. Kalau Lu Han berperan sebagai rusa dan mereka adalah buayanya maka aku adalah kutu didalam tubuh rusa dan akan mati bersama rusa didalam mulut buaya.
“Senang kalau kau sudah tahu” jawab pria berjubah lebih besar itu. Jawabannya membuat jantungku berdegup sangat kencang dan tanganku mulai mengepal karena gemetar. “dan satu hal, jantung yang berdegup kencang membuat darah mengalir cepat keseluruh tubuh dan kami menyukainya” lanjutnya sambil menarik napas panjang dengan mata tertutup seolah menghirup wangi makanan lezat.
“Kalau kalian melukainya kalian sudah melanggar penjanjian” Lu Han bersuara lagi dan mata pria didepanku langsung melirik kearah Lu Han dengan kesal, merasa seperti terganggu. “Dia sudah datang langsung dengan membawa golden kompas itu, harusnya kalian berterima kasih dan melepasnya” kedua penjaga yang memegangi lenganku saling menatap. Para mahasiswa itu juga terlihat berpikir.
“Luna bisa membantumu, dia bisa membuat gadis ini lupa dengan semuanya dan kalian tidak akan berurusan lagi dengannya” ucapan Lu Han terlihat lebih tenang dan ekspresinya kembali normal seolah ia berusaha menyelamatkanku. Tapi dia menyebutkan nama Luna, ada dua wanita disini yang jelas bukan aku yang Lu Han maksud. Tapi wanita dengan rambut bob kaku yang terdapat tindik ditelinganya, yang tiba-tiba bahunya menegang saat Lu Han menyebut namanya.
“Kita bisa tanya penasehat jika Tuan berkenan” suara itu milik Kai, yang sejauh ini baru mengeluarkan suaranya lagi. Pria yang selalu dipanggil dengan panggilan terhormat itu terlihat mulai berpikir keras.
“Aku setuju dengan Anak itu, Tuan Young” tiba-tiba muncul pria dengan rambut kemerah sebahu.
“Apa maksudmu penasehat Kim?!” seru pria yang sekarang bisa aku sebut sebagai pemimpinnya.
“Anakku, Luna dia memiliki kekuatan untuk membuat orang lain melupakan kejadian yang dialaminya. Kekuatannya ini ia gunakan untuk semua siswa di Sekolah Shinwa, Tuan. Kekuatannya ia pakai ketika kami mencari manusia sebagai persedian makanan”
Aku berusaha mewaraskan pikiranku, kata-kata pria itu seperti memberiku jawaban akan sesuatu tapi kali ini aku tidak bisa berpikiran jernih karena aku mulai sangat takut ketika aku sadar bahwa kemungkinan sebentar lagi aku akan mati. Harusnya ini tidak terjadi padaku, aku pasti bermimpi. Jadi aku memejamkan dengan erat mataku dan berharap aku terbangun dan semua hanya mimpi, mimpi buruk yang tidak seharusnya terjadi. Dengan menarik napasku aku membuka mata dan terkejut melihat seseorang diahadapanku. Itu Luna, dia mengangkat tangannya dan menghadapkan telapak tangannya kearahku seketika sesuatu dari tubuhku seperti keluar, tubuhku terasa lemas dan tidak ada kekuatan yang bisa menopang tubuhku karena kakiku yang mati rasa, aku tidak dapat melihat apa-apa, semua gelap. Apa ini berarti aku sudah mati?
-
“Nona” samar-samar aku mendengar suara.
“Nona” dan semakin jelas.
“Nona, sudah sampai” dan aku terbangun. Mataku terbuka dan ternyata aku sudah didalam sebuah mobil.
“kita sudah sampai” ucap seorang pria tua yang duduk di bangku kemudi. Ternyata aku disebuah taksi.
“Ini dimana?” aku menegakkan badanku, kepalaku sedikit pusing dan rasanya ingin kembali tidur.
“Dirumah Anda, ini rumah Anda bukan?” aku menoleh kejendela dan mendongakkan kepala. Yang didepan itu benar rumahku, lalu kenapa aku bisa berada di taksi? Sudahlah, aku hanya ingin masuk kerumah dan kembali tertidur. Sambil menahan kantuk aku merogoh tasku untuk mengambil uang.
“Tidak perlu Nona, taksi-nya sudah dibayar”
Tanganku terhenti dan aku berusaha membuka mataku. “hm? Sudah dibayar?” aku benar-benar tidak ingat apapun, atau karena aku mengantuk tapi aku tidak ingat kapan naik ke taksi ini atau sudah membayar taksi ini.
“Aku sudah membayarnya?” telunjukku terangkat kearah wajahku.
“Tidak, tapi teman Nona” balasnya ramah. Aku mulai mengingat dengan siapa aku pergi tapi aku benar-benar tidak ingat apapun. Setelah memberitahuku bahwa teman laki-lakiku yang mebayar taksinya paman itu tidak bicara apa-apa lagi jadi aku segera keluar aku benar-benar mengantuk sekarang. Tidak butuh waktu lama aku sudah berada didalam rumah. Rumah yang begitu.. berantakan.
“kau melewatkan pestanya, Noona” aku melonjak terkejut karena tiba-tiba muncul anak kecil dari dapur yang gelap.
“oh, Juno?” Aku ingat sekarang, Juno baru keluar dari rumah sakit dan tadi pagi aku menjemputnya. Ah mungkin tadi aku bersama Taemin naik taksi. Entahlah aku tidak ingin banyak berpikir karena aku merasa sangat lelah.
Sedikit air mungkin dapat membantu menyegarkan mataku. Jadi aku berjalan ke dapur, menyalakan lampu dan mengambil air dingin dari kulkas. Aku tidak menyangka Juno membuntutiku dengan pandanganya seperti biasa.
“Noona dari mana saja?” tanyanya ketika aku duduk disalah satu kursi meja makan.
“Ah” rasanya segar sekali, seperti tidak minum berhari-hari aku jadi sedikit mengacuhkan Juno “Aku? Bukannya aku habis menjemputmu dirumah sakit?” jawabku dan kembali minum.
“Tapi kau malah pergi saat ingin pulang”
Aku mengelap mulutku dan meletakan gelas kosong diatas meja. Juno melihatku heran, alisnya mulai berkerut sekarang. Tapi mendengar kata-kata Juno aku berpikir kalau tadi aku tidak pergi dengan Taemin.
“Benarkah? Tapi aku lupa tadi aku pergi kemana” ucapku ringan tidak mempersalahkan. Sekarang aku pergi ke ruang tengah yang terlihat cukup berantakan, banyak sekali makanan dan beberapa bungkus kado yang berserakan. “jadi kalian benar-benar berpesta ya?” aku melipat tanganku dan melirik Juno. Kepalanya mengangguk dan terlihat menahan senyum. “Ck, dasar”
“Ana, kau sudah pulang?” Ibu turun dari tangga dengan wajah lesu tapi masih tidak mau diam. “Ah, ini berantakan sekali! Ibu sudah menyuruh semua pelayan untuk kembali, ah tidak beberapa saja, mungkin mereka akan sampai lusa, Ibu sudah membereskan sisa makanan dan tinggal beberapa sampah saja, mungkin besok Mom akan menyewa pembersih rumah untuk merapikan semua ini” kata-kata ibuku sudah sangat jelas, dia sudah lelah, tapi rumah berantakan, pelayan tidak ada, dan semua salahku.
“Sorry” ucapku sesal.
“Oh, it’s ok honey, we can fix it tomorrow” dia datang padaku dan merengkuh wajahku. “kau terlihat lelah, kemana kau pergi tadi”
“Aku tidak ingat” jawabku pelan sambil menunjukan wajah manja, yang berarti ‘aku ingin tidur’.
“Baiklah semua istirahat, jangan perdulikan rumah ini dan segera tidur” seru Ibu dengan wajah senang meski wajahnya sudah lusuh. Kami semua akhirnya meninggalkan ruang tengah dan pergi ke kamar masing-masing. Tidak sempat membersihkan tubuhku, aku langsung tertidur di tempat tidur dan entah kenapa mataku cepat sekali terpejam.
-
“Ana.. Ana” aku berusaha menajamkan telingaku. Seorang wanita memanggilku, tapi bukan suara Ibuku, jadi aku membuka mataku dan duduk diatas tempat tidur. Tidak ada siapa-siapa, kamarku juga masih gelap pasti ini belum pagi. Aku yakin aku terbangun karena suara seorang wanita yang memanggilku. Aku turun dari tempat tidurku dan berjalan menuju meja riasku, entah kenapa cahaya dari luar kamarku menerangi sudut itu. Aku mulai berjalan dan aku mulai melihat seseorang. Sepertinya ia yang memanggilku tadi, wajahnya sangat putih, begitu juga rambut dan bibirnya. Ia menggunakan gaun putih yang besar dengan beberapa cahaya yang muncul dibalik gaunnya, matanya begitu cantik dengan warna hijau. Aku tidak tahu siapa dia tapi aku mencoba menyentuhnya, tanganku terulur. Tapi terhenti dan malah terlihat tanganku yang memantul.
Astaga, aku baru sadar kalau yang dihadapanku ini cermin, cermin. Wajahku dan rambutku berubah, siapa wanita itu? Ada apa dengan diriku siapa aku?
“Ana.. Anaa..” suara wanita itu datang lagi, tapi kali ini suaranya memanggilku dengan amat sedih. Aku benar-benar takut, siapa dia?! Siapa dia?
“Mom!!” aku terbangun dan langsung melihat kearah cermin yang langsung memantulkan diriku, dengan segera aku mengambil selimutku dan menutup wajahku, aku tidak ingin melihat gadis itu.
Pintu kamarku terbuka “Ana?! Kenapa berteriak?” aku menoleh dan mendapati Ibuku yang sudah rapi dengan tatanan rambutnya yang bercahaya.
Apa tadi aku mimpi? Dengan memberanikan diri aku menoleh kearah cermin dan disana hanya ada aku yang menutup sebagian wajahku dengan selimut.
“Cepat, kau harus berangkat sekolah, hari ini Teo yang akan mengantarmu, hurry up” dan setelah ucapan selamat pagi Ibuku tadi kamarku kembali sunyi dan aku mulai memastikan kalau yang aku alami tadi adalah mimpi. Aku bangkit dan menuju meja riasku, disana hanya ada aku yang masih berpakaian sama seperti semalam dan rambutku yang tetap berwarna coklat tua.
Mimpi yang aneh.
-
Haloo, haduh update-nya lama lagi ya? malah aku rencananya pengin hiatus dulu krn banyak tugas. Tapi aku berusaha buat nyelesain cerita ini dan aku gak mau kasih banyak harapan sama kalian sebagai pembaca buat nunggu cerita ini. Aku tetap menghargai buat para readers yang setia nungguin (kalo ada) dan minta maaf karena cerita ini jelek, gak bermutu, gak seru dan kelamaan update. Daaaan setiap komentar kalian bener-bener nentuin mood aku buat nerusin cerita, so jangan sungkan buat negur author kurang ajar kaya aku yaaa^^ wkwk