Rok miring, dasi belum terpasang dan rambut belum aku sisir, aku tidak peduli, aku merasa ngilu hampir diseluruh tubuhku, apa yang aku lakukan kemarin? Badanku jadi sakit seperti ini. Sambil menuruni tangga dengan gontai pandanganku mengelilingi lantai bawah, beberapa orang yg asing berlalu lalang sambil membawa sapu dan perlatan keberisahan lain. Aku ingat, kemarin Ibu bilang akan memanggil pembersih rumah untuk menggantikan pelayan yang aku pulangkan kerumah masing-masing.
"Mom" panggilku, tapi ibuku tidak menjawab. Rumah ini kembali ramai dengan orang-orang yang membereskan rumah, aku benar-benar tidak suka keramaian. Dengan mempercepat langkah, aku menuruni tangga dan berjalan menuju ruang makan tapi meja makan sudah kosong. "Mom!!" Aku harap kali ini dia mendengarnya.
"Ana" dan akhirnya ibuku muncul entah dari sudut mana rumah ini. "Kau.. Kenapa masih disini? astaga pasti Teo lupa harus mengantarmu juga!" Dia berteriak kemudian berjalan cepat menuju halaman, aku mengikutinya dengan wajah heran. Aku ditinggal?
"Mom, aku hampir terlambat" keluhku masih sambil mengejarnya. Ibuku menghentikan langkah setibanya di depan gerbang kemudian menaruh telapak tangannya di kening, pasti dan tentu saja Paman Teo Joong sudah jauh, mungkin sudah hampir sampai di Sekolah Juno.
"I'm sorry" dia mendatangiku dengan rasa khawatir. "Mereka pasti terburu-buru, Juno juga hampir terlambat tadi" sekarang wajahnya penuh penyesalan. Apa keberadaanku dirumah ini masih kurang jelas? Apa perlu aku mengingatkan setiap hari? Ada apa dengan orang-orang di rumah ini, harusnya setelah kejadian di rumah sakit semuanya akan berjalan seperti yang aku harapkan, ternyata hanya wacana.
"Lalu aku bagaimana?" Bahuku mengendur dan aku merasa mulai mengantuk lagi. Ayolah, semalam aku sudah bermimpi buruk, tolong hari ini jangan memperburuk suasana hatiku.
Biasanya aku akan mengandalkan motor pemberian Taemin untuk berangkat ke Sekolah, tapi setelah kecelakaan aku harus menunggu motor itu selesai di perbaiki.
"Mom ingin sekali mengantarmu tapi Mom baru saja menyewa pembersih rumah, Mom tidak begitu percaya untuk meninggalkan rumah, Ana" sudahku duga.
Baru aku mau mengeluh lagi tapi suara klakson mendahuluiku, kami sama-sama menoleh. Mobil sport putih berhenti didepan rumah. Ibuku mendekat begitu juga aku yang kembali mengikutinya dari belakang. Mobilnya terlihat familiar.
"Selamat pagi, ada yang butuh tumpangan?" Taemin muncul dibalik kaca mobilnya, benar saja. Aku tidak tahu bagaimana menggambarkan sosok Taemin, dia selalu muncul saat aku atau keluargaku butuh bantuan, apa itu gunanya tetangga? Aku tahu Taemin lebih baik dari sebutan tetangga yang suka menolong. Karena setelah melihat kedekatan Taemin dengan Juno dan Ibuku juga tentang kebaikannga selama ini aku merasa Taemin pantas disebut keluarga.
Dengan wajah gembira Ibuku langsung berlari dan berdiri kebelakangku, setelah menangkap bahuku dan mendorong tubuhku untuk mendekat ke Mobil Taemin "Ana harus berangkat ke Sekolah tapi aku tidak bisa mengantarnya, kau kan kuliah di Shinwa, bolehkah Ana menumpang?"
Ah, Mom. Aku benar-benar harus menutup wajahku sekarang. Sebenarnya aku juga tidak keberatan, tapi ingat, aku baru saja menghancurkan motornya, ngilu di lututku ini yang mengingatkan.
"Tidak tidak, aku bisa naik bus saja" tolakku dengan melambaikan tangan sementara mataku membesar kearah Ibu.
"Hya! Kau ini hampir terlambat dan jalan dari rumah ini ke jalan raya sangat jauh" seru Ibuku.
"Tidak apa Ana, kau bisa naik mobilku" dan perkataan Taemin mengalahkanku. Aku melirik Ibuku ragu, tidakkah ia ingat sesuatu? Tentang motor Taemin atau tentang seberapa banyak aku merepotkan Taemin misalnya. Ibuku hanya mengangguk semangat. Hah, Payah.
Disepanjang perjalanan aku mengatur nafasku agar tidak terlalu kentara kalau aku sedang gugup. Bagaimana kalau ia minta ganti rugi? Bagaimana kalau ia akan bercerita tentang peninggalan kakeknya yang sangat berharga dan sudah diberikan kepadaku yang tidak lain adalah motor itu? Matilah aku.
"Kenapa kau gugup sekali?" Tengoknya.
"Apa?" Pasti dia baca pikiranku.
"Suara tarikan dan hembusan napasmu sangat terdengar, kau merasa tidak enak badan atau.."
Bodoh, aku terlalu mencolok. Harusnya aku bersikap biasa saja dan napasku ini sangat membuatku merasa seperti.. Idiot.
"Aku tidak apa-apa" kataku meyakinkan "hanya aku ingin beritahu kalau motornya belum selesai di perbaiki, maaf" aku memainkan jari dengan mencubit telapak tanganku.
"Jadi apa itu artinya aku harus mengantarmu ke Sekolah setiap hari?"
"Apa? Bukan, aku.. maksudku tidak, bukan begitu" kenapa ia jadi berpikir begitu? Ya Tuhan dia salah paham.
"Haha, aku bercanda" astaga aku hampir mati. "Motornya sudah menjadi milikmu aku tidak masalah" wajahnya terlihat tenang memandang jalan.
"Tapi kau memberiku secara cuma-cuma dan aku merusaknya begitu saja aku merasa sangat bodoh" Bahkan seperti orang yang tidak tahu terima kasih. Pikirku dalam hati.
"Berarti kau harus lebih berhati-hati lagi"
"Hanya itu?" Aku mengangkat alisku.
"Iya, hanya itu. Sudah santai saja" balasnya dengan senyum. Dia mungkin bisa santai, tapi aku tahu mendapatkan motor antik seperti itu sangat sulit, apalagi utuk merawatnya, kalau motornya benar-benar rusak sampai tidak bisa di pakai lagi, aku benar-benar keterlaluan.
Akhirnya kami memasukki gerbang Shinwa. Aku ingat kalau hubungan siswi dan mahasiswa di Shinwa sudah seperti fans dan idolanya, jadi aku meminta Taemin untuk berhenti sebelum sampai di Lobby SMA Shinwa atau semua siswi akan menyadari sesuatu yang bertanda keselamatanku terancam.
Sambil berjalan aku memandangi pohon-pohon hijau yang menjulang tinggi di sepanjang aku berjalan. Pohon-pohon ini benar-benar menutup jalan dari sinar matahari, membuat suasana jadi terlihat sejuk. Masih sambil berjalan aku menatap lututku yang terlilit perban. Taemin sempat menanyakan bagaimana keadaanku, aku bilang sudah merasa baikan, meski lututku masih sering terasa ngilu dan kepalaku yang sedikit pusing, dia juga sempat menanyakan kemana aku pergi kemarin, aku tidak ingat yang aku ingat hanya pulang malam hari dengan sangat mengantuk, aku rasa tidak penting untuk mengingatnya.
Aku masuk ke dalam kelas dan beberapa anak memandang wajahku, kemudian lututku. "Omo" dan suara itu pasti milik Hana. Aku tersenyum kearahnya sebelum duduk dikursi, ia masih menatapku dengan mulut terbuka.
"Jadi kau benar-benar kecalakaan?" Dia memastikan, seperti tidak percaya. Aku juga tidak heran kenapa ia bisa tahu kalau aku kecelakaan. Pertama, dia ketua organisasi siswa disini. Kedua, seperti di Sekolah ku yang dulu semua berita terbaru di Sekolah cepat menyebar.
"Seperti yang kau lihat" aku menanggapi.
"Apa kecelakaannya parah? Harusnya kau masih istirahat di rumah" dia memberi perhatian. Aku menggeleng.
"Itu akan membuat lukaku makin parah" dan tentu saja membuatku mengingat rasa sakit ditubuhku beserta kejadian saat kecelakaan itu, Hana mulai tersenyum.
"Jadi bagaimana kronologinya?" Hana mengubah arah duduknya dan mendekat kearahku. Tapi sebelum aku menjawab suara orang berlari bersama suara lengkingan memasuki kelas.
"Ana!" Suara itu memanggilku. Lalu aku melihat Hanyoung dan Seung Jae setengah berlari kearahku.
"Bagaimana keadaanmu? Baik-baik saja, kan?!" Hanyoung merengkuh bahuku memutarnya dan memperhatikan wajahku dengan baik. Sebelum aku mencoba melepaskan diri, tangan Seung Jae menyingkirkan tangan Hanyoung lebih dulu membuatku bernapas lega.
"Hey kalau begitu kau malah bisa melukainya!" Seung Jae menyingkirkan tangan Hanyoung dengan cepat.
"Kalian berisik sekali! Aku baru saja mau dengar cerita persisnya" keluh Hana dengan ekspersi kesal sepertinya, rambut panjang yang menutup sedikit wajahnya menghalangi pemandanganku untuk melihat ekspresinya.
Hanyoung dan Seung Jae langsung mengambil kursi kosong dan duduk mendekat kearahku, tingkah mereka benar-benar menggemaskan.
Aku memulai cerita dengan senyum, bahkan hampir tertawa, tunggu, akukan ingin menceritakan kronologi kecelakaan, bukan cerita lucu "aku menikung tajam di belokkan tapi muncul Mobil dari arah berlawanan, aku juga sedikit melamun sebenarnya"
"Jadi Mobil itu menabrakmu?" Hanyong yang memangku tangan menatapku dengan serius, wajahnya jadi terlihat mirip Hana.
"Tidak, aku berhasil menghindar tapi aku terjatuh dan... Ada truk yang datang dari arah berlawanan juga, aku mengira truk itu akan menabrakku tapi ternyata aku sudah berada di pinggir jalan" bahuku terangkat.
"Kau terlempar begitu saja ke pinggir jalan?" Seung Jae memastikan ceritaku, mungkin tidak paham atau merasa melewatkan sesuatu.
"Aku tidak yakin pasti, tapi ada seseorang yang menarikku, aku rasa"
Aku menerangkan dengan mengangkat alisku, karena juga merasa aneh dengan kejadian itu. Mereka saling memandang.
"Bagaimana bisa seseorang menyelamatkanmu dalam kondisi seperti itu? Aku tidak bisa bayangkan" Seung Jae benar. Aku pun tidak bisa membayangkannya, dan sekarang aku malah mulai ragu dengan ceritaku sendiri.
"Sudahlah, kalian kembali ke kelas jangan mengintrogasinya seperti itu" seru Hana dan kembali ke posisinya semula "dia selamat saja sudah bagus" lanjutnya lagi.
Benar, aku selamat saja juga sudah bagus.
Aku tidak bilang kalau perkataan Hana kasar dengan terlalu jujur, dia hanya menunjukan pemikirannya dengan caranya sendiri, aku tidak masalah karena Hanyoung dan Seung Jae pun begitu. Meski tak sesarkastik itu.
"Benar, ayo kita pergi saja, kita jangan mengganggunya, kajja!" Seung Jae berdiri dan menarik tangan Hanyoung. "Ayo cepat!" Karena gerak Hanyoung yang lama Seung Jae menarik seragamnya dengan kasar.
"Kau kasar sekali dengan wanita!" Seruan Hanyoung tidak digubris dan Seung Jae tetap menarik kerah belakang Hanyoung sampai mereka menghilang di balik pintu kelas.
Aku tertawa kecil "mereka itu menggemaskan sekali" ujarku. Harusnya aku mendengar respon Hana, seperti suara tawa atau komentar kecil tentang tingkah Seung Jae dan Hanyoung seperti yang aku lakukan. Tapi aku tidak kunjung mendengarnya. Aku membalikan badan, ternyata Hana fokus pada bukunya. Rambutnya yang lurus melewati bahu menutupi sebagian wajahnya, Hana memang tidak pernah mengikat rambutnya tapi aku rasa dia akan terlihat lebih manis dengan mengikat rambutnya. Jadi aku mengambil ikat rambut milikku dan mengulurkan tanganku kearahnya.
"Ini, rambutmu terlihat menganggu, pakai ini saja kau bisa melihat buku dengan lebih jelas"
Dia diam, terlihat berpikir dan hanya melirik tanganku "tidak terima kasih, aku lebih nyaman seperti ini" tolaknya. Aku menarik kembali tanganku. Padahal aku merasa dia terganggu dengan rambutnya, tapi sudahlah.
Pelajaran di mulai dan kelas kembali hening, begitu juga Hana, dia tidak banyak mengobrol ketika pelajaran di mulai, dia selalu fokus dan bersikap seolah-olah hanya dia yang berada dikelas. Aku tidak berpikir kalau dia itu sedang menyombongka diri, dia hanya gadis dengan obsesi, memiliki julukan anak teladan pasti memberinya sedikit beban. Harus menjadi contoh, rajin, pintar dan di kenal di Sekolah. Menurutku itu tidak buruk selama dia nyaman seperti itu.
Aku tidak begitu lapar sebenarnya, tapi aku tidak mau Hanyoung dan Seung Jae lama menungguku di kantin, mereka akan menunggu sampai aku dan Hana sampai. Tapi aku sendiri, karena tiba-tiba Hana dipanggil ke ruang guru, dan yang seperti biasa ia lakukan; berlari dengan cepat setelah merapihkan buku-bukunya dari meja. Hana bagaikan alaram yang akan menyala ketika seorang guru memanggilnya. Aku saja yang melihatnya lelah.
"Ana!" Aku membalikkan badan begitu tahu ada yang memanggil. Tiffany Ssaem.
"Ne, songsaengnim?" Jawabku dan dia segera mendekat. Wajahnya penuh senyum meski rautnya terlihat lelah.
"Tolong bantu aku ya, aku harus memberikan beberapa file kepada Dosen di kampus Shinwa, tapi aku harus bertemu dengan kepala sekolah, bisa tolong kau berikan file ini kepada Dosen Lee, bilang saja ini dariku" aku mengambil file itu dengan ragu dan sedikit bingung "terima kasih" dan suara ketukan sepatu menjauh, punggung Tiffany Ssaem menghilang dibalik dinding.
Semoga Hanyoung dan Saeung Jae lebih memilih tidak menungguku atau Hana. Atau mereka tidak sempat makan dan kelaparan sampai waktunya pulang.
Aku melewati jembatan yang menghubungkan Sekolah dengan kampus, taman-tamannya juga indah. Sangat hijau, aku merasa letak sekolah dan kampus ini tidak ditengah kota, melainkan disuatu desa atau pegunungan. Suasana disini sangat berbeda dengan diluar. Aku belum pernah ke gedung universitas sebelumnya, tapi kenapa terasa tidak asing?
Aku harus berhenti di sebuah papan besar sebelum memasuki gedung, disana menunjukanku arah ke ruang dosen. Aku mengingat jalannya; ke kanan, lewat koridor dan tidak jauh dari perpustakaan. I got it.
Tidak ada salahnya berkunjung ke gedung universitas, membunuh rasa bosanku di Sekolah. Harusnya aku membawa Hanyoung ikut, dia pasti sangat senang bertemu mahasiswa disini, karena rata-rata wajah mereka tampan-tampan dan cantik-cantik, seperti aktor dan aktris yang tidak pernah aku temui sebelumnya. Sebenarnya kampus ini bisa dibilang sangat besar dengan jumlah mahasiwa yang tidak terlalu banyak. Hanyoung yang bercerita. Dia selalu cerita banyak hal terutama tentang Sekolah dan Universitas ini, entah dari mana ia tahu banyak tentang informasi itu.
Baiklah aku sudah didalam gedung. Hanya perasaanku saja atau memang benar orang-orang yang berpapasan denganku memandangku aneh. Apa karena aku satu-satunya yang menggunakan seragam? Atau mereka merasa terganggu dengan kedatanganku? Aku merasa dejavu.
Setelah melewati koridor, aku bertemu dengan sebuah taman hijau dengan pohon besar dan rindang ditengahnya. Aku ingin sekali pergi kesana tapi akan menghabiskan waktu, sebentar lagi bel masuk untuk pelajaran berikutnya. Aku masih memandang taman sampai kebodohanku terjadi; menabrak seseorang.
"Mianhamnida" seruku setelah kepalaku membentur bahunya. Aku membungkuk meminta maaf dan mengambil kertas yang terjatuh di lantai.
"Kenapa kau disini?" Tanganku terhenti, tapi kemudian mempercepat gerakan tanganku dan kembali berdiri. Seorang pria dengan mata yang cukup tajam menatapku, matanya terlihat dingin dan tidak ramah. Aku seperti pernah melihat tatapan itu dan juga.. tatapan mereka, empat pria lain yang berdiri dibelakangnya, temannya mungkin.
"Aku ingin memberikan beberapa file kepada salah satu dosen disini, salah satu guru di Sekolahku meminta tolong padaku untuk memberikannya file ini" ucapku kaku. Aku merasa sedikit sesak entah kenapa.
Salah satu pria disampingnya yang memiliki rambut coklat gelap maju dan berbisik sesuatu ke telinga pria didepanku. Aku melirik yang lain, pria paling tinggi dengan rambut kemerahan sangat familiar, apa kami pernah bertemu?
Pria dihadapanku melihatku lagi. Aku tersenyum cangung. Setelah itu mereka pergi tanpa mengatakan apapun lagi. Perasaanku saja atau memang mereka bersikap aneh? Yang jelas aku merasa dejavu lagi. Ada apa denganku hari ini?
Tertulis ruang Dosen didepannya, jadi aku membuka pintu kaca dihadapanku "Kenapa siswi Shinwa disini?" Seorang pria menghampiriku ketika aku sampai didalam ruangan, alisnya berkerut dan memanandangku lekat. Aku sedikit terkejut sebenarnya, ruangan ini terlihat lebih seperti ruang tengah sebuah rumah mewah dengan perlatan canggih tapi dekorasi rerto. Aku berkedip.
"Na..namaku Ana, aku membawa beberapa berkas untuk Dosen Lee, Tiffany Ssaem meminta tolong padaku"
Jariku merasa lebih ringan ketika ia mengambil file itu dari tanganku. Ia membuka dan membaca isinya, keningnya berkerut-lagi. Aku yakin dia pasti salah satu dosen disini, wajahnya cukup muda dengan garis hidung yang lurus, rambutnya lurus dan kaku tapi tetap membuat wajahnya terlihat ramah.
"Kau bisa kembali ke Sekolah, terima kasih" katanya tanpa melihatku dan berjalan kedalam.
"Apa Anda akan memberikannya kepada Dosen Lee?" Seruku padanya sebelum ia benar-benar berjalan jauh. Dia menghentikan langkahnya dan berbalik. Aku baru sadar ia memiliki lesung pipi yang manis ketika tersenyum. Karena ia sedang tersenyum kearahku.
"Aku Dosen Lee"
Angin berhembus kencang, terlihat dari pohon yang daunnya bergoyang. Sebagian daun dengan warna hijaunya mulai terlihat layu, pohon juga mulai terlihat kokoh dan siap menanggalkan daunnya. Sebentar lagi musim gugur, meski sebenarnya masih jauh tapi wangi angin musim gugur mulai tercium, atau baru aku yang merasakan?
Setelah dari ruang dosen itu aku kembali ke Sekolah melewati jalan yang sama. Aku kembali bertemu dengan taman indah yang menjadi pusat gedung ini. Aku melihat pohon besar itu tidak lagi sendiri tapi di kelilingi oleh sekumpulan pria yang sebelumnya aku temui, ditambah seorang wanita berkulit tidak terlalu putih tetapi meiliki rambut yang sangat lurus berwarna hitam sebahu. Aku bersembunyi dibalik tembok tidak jauh dari taman itu.
Aku tidak tahu alasannya tapi aku sangat penasaran dengan mereka, ada sesuatu tentang mereka yang menarik perhatianku. Aku yakin, pernah terjadi sesuatu, perasaanku ingin memberitahu tapi otakku tak kunjung mengingat. Aku memperhatikan mereka yang sedang tertawa, mengobrol layaknya teman biasa seperti aku dan teman-temanku, lalu apa yang ingin aku cari tahu?
Sekarang pandangaku berarah pada satu-satunya wanita yang sedang berbicara pada pria yang tadi ku tabrak bahunya. Pria itu duduk dengan santai sambil terlihat berpikir sedangkan teman wanitanya berdiri dengan kaku sambil melipat tangannya.
Tunggu, aku harus mengingat sesuatu, tapi apa? Aku benar-benar merasa melupakan sesuatu, seperti ada yang hilang didiriku. Aku tahu ada yang salah, aku memejamkan mataku mencoba mengingat semua yang terjadi. Yah aku pernah kesini sebelumnya, tapi untuk apa? Untuk bertemu mereka, tapi aku tidak ingat apa yang kami dibicarakan. Aku menarik napas dalam dan menghembuskan napas perlahan. Sesuatu yang bersinar ada dipikiranku seperti benda bebentuk kompas.
"Ah!" Aku terjatuh di lantai. Kepalaku tiba-tiba merasa sakit begitu juga dengan lututku yang terbentur lantai membuat sakit ditubuhku bertambah. Aku tahu, aku tahu ada yang salah. Suara Taemin memasuki otakku "kemana kau pergi kemarin?" Dan aku tidak ingat keman aku pergi, aku tahu ada sesuatu yang aku lupakan. Aku membuka mata dan kembali menatap kedepan. Mataku langsung bertemu dengan mata wanita itu yang ternyata menyadari kehadiranku. Sekarang aku ingat. Aku ingat semuanya, aku ingat siapa mereka.
-
I need more support guys! You can mention me @rerezkyka on twitter or ask me ask.fm/rerezkyka