home_icon
SIGN IN
SIGN UP
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
LOUNGE
HOW IT WORKS
HOW TO BE DFF OF THE WEEK
TERMS OF USE
CONTACT US
  • Latest
  • Most Viewed
  • Most Loved
  • A-Z
  • My Fanfiction
  • My Subscriptions
  • My Subscribers
  • Create New Fanfiction
Fan Fiction > ANABELLE

ANABELLE

Share:
Author : Rezkyka
Published : 23 Apr 2014, Updated : 24 Oct 2017
Cast : Anabelle Walker as OC, Kim Jongin, Xi Lu Han, Kim Myungsoo , Lee Taemin and many
Tags :
Status : Ongoing
6 Subscribes |44963 Views |15 Loves
ANABELLE
CHAPTER 3 : AWAL YANG BAIK

Aku membuka mataku dengan cepat dan segera pula aku mengakat setengah badanku yang mulanya terlungkup. Aku mengedarkan pandangan dan berakhir pada jam weker yang sedang menunjukan pukul tujuh malam. Ternyata aku sudah tidur cukup lama, dapat  aku pastikan mataku akan terus terjaga sampai lewat waktu tengah malam. Aku kembali membanting tubuhku dan membaringkannya membuatku dapat melihat langit kamar yang putih dan bersih, disetiap pinggir langit-langit kamar dimana ujungnya menyentuh dinding terdapat ukiran indah disana menandakan kalau rumah ini memang dibangun dengan rancangan yang bagus dan mahal.

Tapi tetap saja tidak membuatku merasa nyaman tinggal dirumah ini. Tiba-tiba aku teringat sesuatu dan kuarahkan mataku pada ujung tempat tidur dimana brosur-brosur sekolah berserakan. Tadinya aku ingin memberitahu Ibu kalau aku tidak ingin sekolah disemua tempat itu tapi aku malah tertidur, dan satu lagi siapa yang menyalakan AC kamar? Membuat tidurku jadi sangat lelap.

Aku mendudukkan tubuhku dan segera beranjak menuju pintu kamar. Pintunya kubuka perlahan, lampu-lampu kecil berwarna kuning terang menyambutku dari luar, aku menoleh ke kanan dan ke kiri tapi tak satu pun orang ku temui jadi aku memutuskan menutup pintu dan berjalan keluar kamar, tak lupa aku membawa brosur-brosur yang penuh dengan gambar gedung-gedung sekolah itu. Padahal tadi siang aku dapat melihat semua pelayan beralalu lalang seolah ada jalan tol yang tak terlihat dirumah ini. Tapi sekarang, tak satu pun makhluk dapat ku temui.

Aku mulai menuruni tangga masih sambil mencari-cari orang yang mungkin bisa ku temui. Sebenarnya rumah ini tidak terlalu besar, hanya saja karena sekarang tidak banyak pelayan yang lewat jadi terlihat sangat luas.

“Mom?!” panggilku memastikan.

“Paman Teo Joong?” suaraku seperti bergema, sungguh aku lebih suka rumahku yang dulu. Sekarang aku menuju ruangan yang lebih terang, ternyata ada TV yang menyala disana. Dilayarnya menampilkan permainan laga dengan dua orang coboy yang sedang bertarung, tapi siapa yang sedang bermain? Aku mencoba tidak mengeluarkan suara dan berjalan mendekat, ternyata ada Juno disana. Kepalanya tertutup tubuh sofa yang besar.

“khem” aku mencoba menyadarkannya bahwa aku baru saja datang, tapi ternyata dia tidak merespon sama sekali. Dia masih asik bermain Play station tanpa berkedip.

“kau tahu dimana Mom?” aku mengangkat alis sambil menunggunya membalas pertanyaanku. Tak lama kemudian aku dapat melihat gambar dilayar TV itu berhenti dengan tulisan Pause di tengahnya. Aku kembali menatap Juno yang ternyata sudah melirikku sinis, tidak sopan! Anak sekecil ini berani menatapku dengan tatapan seperti itu. Aku melipat tangan berusaha sabar menunggu jawabannya, tapi dia malah kembali memandang lurus kedepan dan kembali sibuk bermain.

“aku bicara padamu” jelasku, aku menatapnya tak percaya karena ia sama sekali tak mengeluarkan suaranya. “lalu dimana pelayannya?” lanjutku bertanya berharap dia mau lebih berbaik hati padaku. Tapi anak itu malah membuat kepalaku pening, dia seperti tak menganggapku, astaga dia mirip sekali dengan Teo Joong. Aku segera pergi keluar ruangan itu dengan wajah kesal, tak jauh dari sana aku melihat sofa kuning yang berhadapan dengan piano besar dan aku hempaskan tubuhku di sofa itu, kejadian tadi membuatku tak henti mengelus dada.

Aku segera mengalihkan pikiranku dan menatap brosur-brosur itu lagi, kemudian ku angkat satu kakiku. Badanku menegak karena merasa ada benda di saku celanaku, jadi aku segera mengambilnya dan  ternyata itu ponsel layar hitam putihku. Aku mencoba menekan salah satu tombol, dua tombol, tiga tombol dan ponsel itu tidak kunjung menyala. Batrainya habis, sudah ku duga ponsel keluaran amerika tahun 90an itu harusnya sudah jadi barang rongsokan sejak lama, tapi aku masih mempertahankannya karena kalau aku menginginkan yang baru aku harus kembali kerja part time di café milik Nyonya Ernee selama tiga bulan dan aku baru bisa mendapat ponsel baru. Itu pun aku masih harus menawar untuk untuk dapat layar ponsel yang lebih bagus.

Ayahku mengajarkan banyak hal dan salah satunya adalah berusaha mendapatkan apa yang ku mau dengan usahaku sendiri, itu hal baik, hanya saja kejadian bertemu Juno tadi membuatku mengeluhkan semuanya.

Aku menaruh ponsel itu disampingku dan kembali membuka lembar brosur sekolah yang masih ku pegang (walau sudah sangat lecak).

Hannyong, Yongsan dan Anyang high school sekolah ini adalah sekolah bagus yang bisa dibilang sekolah bertaraf internasional. Semuanya tidak mengundang minat, aku ingin sekolah ditempat biasa saja, yang anak-anaknya juga biasa saja, yang anak-anaknya tidak akan mengangguku. Ya Tuhan, mungkin aku terlalu banyak mendengar berita tentang pembullyan murid sekolah di Seoul padahal sepertinya hanya terjadi di drama televisi dan aku tetap ingin sekolah ditempat yang nyaman. Itu saja.

Ketika aku tengah memandang serius kertas-kerta di tanganku tiba-tiba seorang pelayan lewat tak jauh dariku.

“permisi” ucapku yang langsung bangkit. Pelayan wanita itu membalikkan badannya dan menghampiriku.

“apa kau lihat Ibuku?”

“Nyonya sedang menemani Tuan makan malam bersama relasi kerja Tuan” aku membulatkan mulutku dan mengangguk, ternyata orang-orang dirumah ini benar-benar sibuk.

“lalu pelayan-pelayan yang lain kemana?”

“setelah Nyonya dan Tuan pergi kami semua beristirahat hanya beberapa saja yang jaga karena Tuan muda Juno tidak ingin ada mengganggu saat bermain” aku mengertukan kening dan menoleh kearah ruangan dimana Juno berada.

“kenapa dia tidak bermain games di kamarnya saja?” aku kembali menoleh pada pelayan dihadapanku.

“selama Tuan dan Nyonya pergi, Tuan muda pasti selalu bermain diluar” kerutan keningku tak memudar, aku masih heran dengan tingkah anak itu. Sudah tidak menjawab pertanyaanku, dan kebiasaanya yang membuatku tidak dapat bertanya lagi tentang anak itu.

“yasudah Bi, terima kasih” aku tersenyum sejenak dan ia pamit pergi. Aku hanya dapat memegang pelipisku sambil berjalan kearah kamar.

Biasanya jam-jam seperti sekarang ini aku dan Ayah berada diruang tamu. Ayah menonton TV sambil menemaniku belajar atau aku akan pergi ke rumah L untuk mengerjakan tugas. Tapi sekarang semua jadi membosankan, aku jadi merasa kesepian.

Sedang sibuk mengeluh mataku bergerak kearah meja belajar setelah aku menutup pintu kamar dan aku baru menyadari kalau disana terdapat komputer berlayar tipis. Aku berjalan kearah meja belajar dan duduk pada kursi yang terdapat roda dibawahnya. Aku memandangi komputer itu ragu, tapi kemudian aku mulai menyalakannya. Tidak ada suara bising disana, semuanya normal dan terlihat cangih, aku menelan ludah. Aku jadi ingat komputerku dirumah, komputer itu letaknya di kamar Ayahku karena ia yang lebih sering pakai. Kadang ketika aku mulai menyalakan CPU-nya suara dari arah monitor membuatku terkejut, suaranya seperti suara mesin motor yang lama tidak di pakai. Setidaknya ini lebih baik.

Terlihat sekali ini komputer baru, bahkan aku dapat menemukan plastik kecil di belakang monitor entah bekas apa. Koneksi internetnya sudah tersambung dan aku segera membuka E-mailku, aku baru ingat kalau aku punya janji pada seseorang untuk mengirimkannya E-mail. Benar saja, ada sepuluh E-mail masuk dan semua pengirimnya sama, L.

‘Hai, apa kau sudah sampai?, pasti kau sedang beristirahat balas e-mailku kalau kau sudah membacanya’

‘apa kau sudah membaca e-mailku?’

‘setelah sampai jangan lupa ceritakan mengenai Korea’

‘come on! Ana, pasti kau lupa passwordmu astaga’

‘kau sudah sampai di korea,kan? aku tak berani bertanya pada Ayahmu’

Blablabla…

Aku sampai menggigit bawah bibirku untuk menahan tawa. Aku mulai membalas E-mailnya.

‘maaf aku tertidur, aku sampai dengan selamat, jangan cemaskan aku, disini menyenangkan aku mulai memilih sekolah baru doakan saja hari-hariku semakin menyenangkan disini, aku tidak pernah lupa passwordku, Myungsoo’

E-mail ku sudah terkirim dan aku tidak berharap L langsung membalasnya karena jam-jam seperti ini ia sedang belajar. Ketika aku sedang serius memandang layar monitor suara pintu gerbang membuyarkan lamunanku. Mungkin Ibu sudah pulang jadi aku bangkit dan menuju jendela kamarku. Aku berdiri diujung jendela, membuka tirainya dan mengintip keluar tapi ternyata itu bukan suara gerbang rumah ini jadi aku menoleh mancari sumber suara, ternyata itu suara pintu gerbang dari rumah sebelah kiri. Aku dapat melihat seorang anak muda yang tadi siangku lihat sedang membuka pagar sendirian. Apa dirumahnya tidak ada pelayan seperti dirumah ini? Atau mungkin orangtuanya yang menunggu dirumah? Tapi sepertinya pria itu sendiri, tapi masa pria muda yang hidup sendiri begitu telaten mengurus rumah sampai halaman depannya rapi dan bersih.

Aku tidak dapat melihat jelas wajah pria itu jadi aku kembali ke meja belajarku dan duduk disana. Aku memperhatikan dengan jelas kearah layar monitor, pesan masuk ku bertambah dan ternyata L sudah membalas E-mailku, wow sepertinya ia sedang tak serius belajar sampai mengalihkan perhatiannya dan membalas E-mailku.

Sambil mengurangi rasa bosanku aku mengobrol dengan L lewat E-mail, senang rasanya punya teman baik meski hanya satu.

Hari berlalu, pagi datang dan aku benar-benar merasakan kalau aku sudah berada ditempat yang berbeda. Bukan di kamarku, bukan dikasurku, bukan dirumahku dan bukan di San Francisco. Disinilah aku, Seoul, rumah Ayah tiriku, kamar baruku dan kasur baruku, bagus! Ini membuatku makin sadar kalau hidupku masih terus berlanjut sampai hari ini.

Aku beranjak dan berjalan menuju kamar mandi yang letaknya hanya beberapa langkah dari tempat tidurku. Bahkan ini jadi terlihat semakin nyata karena sekarang aku dapat melihat wajaku di cermin setelah melewati pintu kamar mandi.

Dulu aku jarang sekali bercermin karena hanya ada satu cermin dirumah Ayahku, letaknya di dekat pintu masuk dapur, Ayah sengaja menaruhnya disana agar dapat berbagi denganku tapi aku malah tidak pernah memakainya.

Sekarang aku harus benar-benar membasuh wajahku, semalam aku sudah tidur sangat larut dan itu membuatku terlambat bangun pagi ini, aku harap Ibu masih ada dirumah dan aku dapat mengobrol sebentar dengannya sebelum ia kembali pergi memenuhi sejumlah acara layaknya seperti Ibu Negara. Sudah! Aku tidak mau membahas itu.

Aku membuka pintu masih sambil membawa brosur seperti semalam. Bedanya.. yup! Aku dapat melihat beberapa peyalan yang sibuk berlalu lalang, aneh, ini rumah atau mall? Ramai sekali. Aku turun ke lantai bawah dan suara orang menelpon mulai terdengar. Ternyata itu Ibu, dia seperti sedang memarahi seseorang di telpon karena acara hari ini tertunda, entah acara apa. Jadi aku hanya berjalan perlahan sampai dia menutup telponnya.

“Hah! Jinjja!” serunya sambil menutup telpon. “Oh? Ana?” ia terkejut karena melihatku yang sudah mematung tak jauh darinya.

“habis menelpon?” ya ini memang pertanyaan konyol.

“ya, ada temanku yang membatalkan acara tiba-tiba padahal Mom sudah memesan makanan, ini sering terjadi, tak apa” ia mengangkat bahunya pasrah.

“sepertinya mereka tak kalah sibuknya dengan Mom” baiklah sekarang aku terlihat menyindir tapi sepertinya Ibu tidak akan mempersalahkannya.

“ya begitulah, jadi.. kau sudah memilih sekolahnya?” dia melihatku membawa brosur yang kemarin ia berikan.

“Ah” aku tersadar dan berjalan kearahnya “sepertinya aku tidak cocok dengan semua sekolah ini” aku mengulurkan tanganku yang memegang brosur-brosur itu, berniat mengembalikannya.

“kenapa? Sekolah itu cukup bagus” Ibu terlihat mengerutkan keningnya sambil menunjuk brosur ditangannya dengan ujung telpon yang ia pegang.

“iya, tapi aku ingin sekolah ditempat yang biasa saja, sekolah yang tidak begitu mahal” aku melihat Ibu mengangkat alisnya dengan pandangan tak percaya.

“sebenarnya Ibu tidak masalah dengan biaya, kau bebas memilih sekolah mana saja, hanya..” Ibu terlihat memegang pelipisnya. Sepertinya aku baru saja menambah beban hidupnya. “baiklah begini saja, kau cari sekolah yang menurutmu cocok dan kau bisa beritahu Ibu, koneksi internet di komputermu masih menyala, kan?” tanyanya dan aku mengangguk “bagus, kau bisa mencarinya lewat internet kalau bisa besok kau sudah mendapatkan nama sekolahnya, ok?” dia menatapku lembut itu membuatku dapat melihat kerutan tipis di sekitar matanya, dia terlihat lelah. Aku tidak beniat menambah beban apapun dihidupnya jadi aku iyakan saja.

“Oh ya, kami sedang menunggumu sarapan, ayo kita sarapan” Ibu menarik tanganku lembut dan aku mengikuti langkahnya menuju meja makan. Disana sudah ada Teo Jong dengan dasi yang melingkar rapi di lehernya serta Koran harian yang sudah membuka lebar menutup wajahnya. Aku duduk di samping Ibu seperti biasa dan di sebrang meja makan sudah duduk si kecil Juno yang sedang menikmati rotinya dengan anggun seperti layaknya pangeran kecil yang suatu saat akan memimpin kerajaan. Astaga! Berpikir apa aku ini?

“Oh, Ana, sudah bangun?” Teo Joong menyingkirkan Koran dari wajahnya dia terlihat melempar senyum kearahku.

“sarapanlah, ada banyak roti dan selai disini seperti dirumahmu yang dulukan?” aku menoleh cepat kearah Teo Joong, ini masih pagi dan pria itu sudah mulai berkoar.

“kau mau selai apa sayang?” Ibu mulai mengambil beberapa potong roti dari piring. Semua roti itu sudah terisi selai dan Ibu mengambil salah satu roti dan menaruhnya di piringku.

“aku tidak suka coklat” Ibuku menoleh “Mom tidak ingat aku tidak suka manis?” mata Ibuku membulat, ia seperti baru ingat atau mungkin benar-benar tidak ingat.

“tidak apa, aku juga tidak biasa sarapan” aku bangkit dan membungkuk sesaat. Aku mencoba menyabarkan diri, dan benar-benar harus menyabarkan diri. Aku berjalan kembali menuju kamar tapi ketika aku melewati ruang tengah dan melihat sofa berwarna kuning aku baru ingat kalau ponselku aku tinggal semalam disana. Jadi aku kembali mundur dan berjalan kearah sofa itu.

Aku mencarinya sambil merogoh sela sofa yang kemungkinan terselip disana. Sedang sibuk mencari ponsel, Ibu datang dan menegurku “Ana? Kau sedang mencari apa?” tanyanya ragu, mungkin Ibu masih tidak enak dengan kejadian tadi jadi ia masih tidak mendekat.

“ponselku” aku tidak menoleh dan terus mengedarkan pandanganku.

“ponsel? Seperti apa bentuknya?” suara Ibu mulai melembut dan aku tahu ia coba mencari cela agar dapat menarik kembali simpatiku.

“besar, layarnya hitam putih, masih ada lampu inframerah-nya dan warna ponselnya antara hitam dan abu-abu” memang itu kedengarannya bukan bentuk ponsel tapi bentuk remot tv abad lalu.

“oh ponsel itu..” aku mendengar suara Ibu yang ternyata belum meninggalkanku. Aku berbalik.

“kenapa? Mom melihatnya?” aku memandang serius. Ia terlihat berpikir. Kemudian, memanggil salah satu pelayan.

“Yeon, kau kemanakan ponsel yang aku temukan semalam?” ternyata Ibu yang menemukannya, aku berjalan mendekat.

“ah ponsel itu, aku sudah bertanya pada semua pelayan dan tidak ada yang memiliki ponsel itu, jadi aku buang saja”

“apa?! What?!” ucapku dan Ibu bersamaan. Pelayan itu terkejut dan memandang kami bergantian.

“Nyonya semalam bilang kalau tidak ada yang mengakuinya lebih baik dibuang saja” terangnya dan sepertinya Ibu membenarkan pernyataan pelayan itu karena rautnya menunjukan rasa bersalah.

“kau buang dimana?” tanyaku penuh penekanan, sungguh aku benar-benar menahan amarahku.

“sepertinya masih di tempat sampah didepan rumah Nona” aku mengerjap sebentar sambil menggertakan gigiku. Tempat sampah? Benar, itu adalah tempat yang cocok untuk ponsel dan pemiliknya. Aku segera berlari keluar takut pengangkut sampah sudah membawanya pergi menuju tempat yang lebih buruk.

Aku membuka gerbang dan menemukan kotak hitam besar didekat rumah, aku segera membukanya dan memasukkan tanganku disana, mencari benda yang menurut orang tidak pantas disebut benda layak pakai, tapi disana aku masih menyimpan nomor Ayah dan L, disana juga ada beberapa draft yang kusimpan. Setelah sampai pada dasar tempat kotor itu aku menemukan benda keras yang memiliki tombol jadi aku segera menarik tanganku keluar. Benar! Itu ponselku, dan astaga layarnya terdapat bercak kecap dan tombolnya sudah tertumpah telor mentah. Aku menatapnya nanar, aku yakin ponsel itu sudah sampai pada riwayatnya. Aku mengerjapkan mataku beberapa kali mencoba menahan air mata, Hah.. napasku jadi sangat berat.

“Hey” aku membuka mata dan menoleh kearah seorang pria yang berdiri tak jauh dariku. Aku mengerutkan kening, siapa dia? Aku berbalik kearahnya dan dia mulai berjalan kearahku.

“kau Anabelle, kan?” sekarang aku dapat melihat wajahnya dengan jelas. Meski ia pria tapi wajahnya cantik, bibirnya tebal dan penuh, rambutnya hitam pekat dan aku dapat melihat tindikan di salah satu telinga.

“ya?”

“aku Lee Taemin, rumahku disamping rumahmu” aku melirik kebelakang punggungnya dan aku lihat gerbang rumahnya terbuka. Jadi ini, pria yang aku sering lihat dari jendela kamarku, dia bukan pria muda tapi memang masih anak muda. Wajahnya tampan sekaligus cantik, tepatnya baby face.

“oh, aku Ana maaf tanganku kotor” aku tak menyambut uluran tangannya jadi dia kembali menurunkan tangannya.

“apa kau habis membongkar tempat sampah?” dia menatapku prihatin.

“ah” aku tersenyum sejenak “ya, ada seseorang yang tak sengaja membuang ponselku jadi aku mengambilnya” aku menunjukkan ponselku yang sudah terlihat mengenaskan. Dia sedikit terkejut melihatnya. “oh ya dari mana Taemin-ssi tahu namaku?” aku mengulum bibirku entah bagaimana aku harus bersikap, aku agak canggung bertemu orang baru.

“Oh itu, tentu saja dari Ji Hyun Ahjuma, Ibumu. Dia bilang anaknya akan datang dari San Francisco tapi aku tidak tahu ternyata kau sudah datang” suaranya halus, wajahnya terlihat ramah dan itu membuatku tak berhenti menatap wajahnya.

“Ya, aku baru datang kemarin” terangku dan dia mengangguk. Sekarang pandanganku beralih ke pakaian yang ia kenakan, aku baru menyadari ternyata ia memakain celana pendek berwarna hijau tua dan kaos abu-abu tanpa lengan, terlihat sekali tangan dan rambutnya yang basah.

“Ana-ssi apa kau ingin mampir kerumahku?” tawarnya. Aku mengerjapkan mata beberapa kali “Ayolah, aku yakin Ji Hyun Ahjuma tidak akan marah” lanjutnya dan kemudian aku mengangguk. Aku benar-benar tidak menyangka sekarang aku berjalan ke rumahnya, mungkin Taemin memang orang baik jadi aku mulai nyaman dengannya. “tadinya aku sedang menyiram tanaman” ucapnya ketika kami melewati gerbang. Ya, aku dapat menebaknya. Bahkan aku merasakan hawa sejuk ketika melewati taman.

“kau suka menanam?”

“ya, sangat suka, aku suka warna hijau pada tumbuhan, seperti menenangkan” katanya menerangkan dia menoleh padaku sejenak “silahkan masuk” ia mempersilahkan aku masuk lebih dulu, ketika aku masuk aku langsung di sambut dengan ruang tamu yang langsung menembus halaman belakang, karena warna hijaunya yang menyejukkan rumah ini jadi terasa sejuk dan nyaman. Aku suka rumah ini “duduklah” ia mempersilahkanku lagi.

“terima kasih” aku duduk pada sebuah sofa putih dimana aku langsung melihat TV yang tertempel pada dinding. Tak lama ia datang sambil membawa minuman dan biscuit di piring kecil. “tidak perlu repot-repot” elakku, dia tidak menjawab dan hanya tersenyum.

“wajahmu tidak mirip Ji Hyun Ahjuma” aku menoleh kearah Taemin. Wajahnya polos tapi bicaranya cukup to the point. Dia menarik.

“ya, aku lebih mirip dengan Ayahku” aku mengangkat alis dan bahu bersamaan.

“terlihat dari matamu, warnya agak hijau, aku suka” ucapnya yang kemudian mengesap minumannya. Aku teridam, tak berniat mengucap terima kasih karena itu akan terdengar membosankan.

“kau tinggal sendiri?” tanyaku penasaran. Ia mengangguk.

“ya, aku hidup sendiri” ucapnya kemudian terdiam, terlihat sekali ia tidak ingin bercerita banyak tentang mengapa ia tinggal sendiri, aku menghormati itu.

“oh ya, kau masih sekolah, kan? apa kau sudah menentukan sekolah baru?”

“belum, aku masih memilih”

“apa kau ingin masuk ke sekolah internasional?”

“ah tidak! Sekolah biasa saja, sekolah lokal” ucapku sambil tersenyum.

“kenapa tidak di Shinwa saja?” aku mengerutkan kening, “aku kuliah disana, dan ada SMA-nya juga sekolah itu baru dibangun tahun 2000, kalau dari sini hanya membutuhkan waktu  dua puluh menit” aku mengangguk paham, entahlah aku belum merasa tertarik dengan sekolah itu. Mendengarnya saja baru.

“aku akan melihatnya di internet” aku tersenyum dan ia mengangguk menghargai keputusanku untuk melihat profil sekolah itu di internet. Aku mulai memperhatikan pria disampingku itu, Kalau Taemin sedang serius ia terlihat tampan dengan garis wajah yang sempurna tapi ketika ia tersenyum wajahnya terlihat lebih muda dari umurnya. Sepertinya ini akan berlangsung baik, maksudku aku punya tetangga yang umur tak jauh beda, baik dan ramah. Semoga saja ini awal yang baik.

POPULAR FANFICTION

BERITA PILIHAN

COPYRIGHT 2024 DREAMERS.ID PUBLISHED BY DREAMERS NETWORK