home_icon
SIGN IN
SIGN UP
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
LOUNGE
HOW IT WORKS
HOW TO BE DFF OF THE WEEK
TERMS OF USE
CONTACT US
  • Latest
  • Most Viewed
  • Most Loved
  • A-Z
  • My Fanfiction
  • My Subscriptions
  • My Subscribers
  • Create New Fanfiction
Fan Fiction > ANABELLE

ANABELLE

Share:
Author : Rezkyka
Published : 23 Apr 2014, Updated : 24 Oct 2017
Cast : Anabelle Walker as OC, Kim Jongin, Xi Lu Han, Kim Myungsoo , Lee Taemin and many
Tags :
Status : Ongoing
6 Subscribes |44883 Views |15 Loves
ANABELLE
CHAPTER 2 : MESIN WAKTU

Seoul, South Korea.

Ini adalah musim panas tapi entah mengapa seperti musim dingin bagiku. Rasanya seperti ribuan butiran salju menyentuh tubuh dan kepalaku, membuatnya merinding dan bergetar seketika. Akhirnya aku sampai disini, di Negara ini, tempat dimana aku dilahirkan. Seoul, Ibu kota Korea Selatan dengan jumlah penduduk sekitar dua puluh tiga juta ini akan bertambah satu orang dan itu aku.

Sekarang aku sudah berada di sebuah mobil SUV plus dengan supir pribadi yang berpakaian rapi. Harusnya aku sangat terkesima dengan kota indah ini, kota yang memiliki orang-orang berkulit putih tanpa bercak hitam di wajahnya dan tanpa warna pirang di rambutnya berada di sepanjang jalan. Tapi perasaanku hanya takjub sesaat ketika berada di bandara seperti dejavu yang lama tidak terulang, setelahnya aku kembali seperti biasa tanpa muncul rasa tertarik lagi pada kota ini.

Perjalanan ke rumah memerlukan waktu sekitar satu jam kurang, aku hanya bersama seorang supir yang berwajah datar tanpa ditemani satu orang pun yang aku kenal. Waktu berlalu dan aku tiba di rumah besar berlatar warna putih “Hello Mom” Aku menyapa seorang wanita yang masih merawat keindahan tubuhnya dengan baik meski umurnya sudah menginjak empat puluh, Ibuku. Dia memandangku haru -kurasa.

Dia berjalan kearahku sambil membuka tangannya “selamat datang kembali, sayang” sambutnya dengan sebuah pelukkan. Kata orang kembali ke kampung halaman adalah hal yang menyenangkan. Tapi entah kenapa hari ini Aku tetap tidak bisa tersenyum, atau mungkin karena pria yang berdiri di belakangnya.

Thanks Mom” Aku menyambut pelukannya dan aku merasa tangannya tak sehangat dulu.

“kau sudah tumbuh besar, menjadi gadis yang sangat cantik” setelah melepas pelukkannya dia menatapku penuh haru lagi, tapi itu tetap tidak membuatku tersenyum dengan lebar, malah membuatku makin canggung.

“ya, tapi tidak secantik Ibu” balasku sambil melihatnya dari ujung kaki sampai ke ujung kepala. Bahkan awalnya aku mengira dia seorang model yang sedang bertamu di rumah ini.

“Anabelle?” seorang pria yang tadinya hanya berdiri diam di belakang bayangan Ibuku datang menghampiri kami. Namanya Teo Joong, suami baru Ibu. Teo Joong pernah beberapa kali mengobrol denganku lewat E-mail, dan sekarang aku tahu betul bagaimana wajah dan tubuhnya.

“apa kabar Paman?” balasku setelah memasukkan kedua tangan kedalam saku celana.

“emm baik, tapi sepertinya kau lupa satu hal, ini Korea Ana kau harus membungkuk untuk memberikan salam” inilah yang sedikit aku tidak suka darinya. Sensitif,  “aku bercanda, kau bisa melakukannya saat beberapa hari tinggal disini, ini tempat kelahiranmu jadi pasti kau cepat beradaptasi” atau mungkin sok asik. Aku mengangguk tanpa ekspresi.

Setelah itu pandanganku menuju pada sebuah rumah besar yang berdiri kokoh di belakang Ibu dan Ayah tiriku “rumah yang bagus” pujiku pada rumah yang benuansa putih itu, Ibu dan Ayah tiriku saling memandang sambil tersenyum senang “tapi masih lebih bagus rumah kita yang dulu” lanjutku tanpa merasa bersalah membuat mereka terdiam dan ketika ku melirik keduanya sudah tidak ada senyuman di wajah mereka. Oops.

Bukannya aku tidak suka tinggal disini tapi ini bukan rumah masa kecilku, lingkungannya terlihat asing, membuatku seperti tidak kembali ke rumah namun pergi ke tempat lain, “kenapa Ibu pindah?” sekarang mataku bergerak menuju Ibu.

Ibu terlihat gugup sambil sesekali melihat kearah suaminya. “kau tahu sendiri rumah kita yang dulu tidak begitu besar, letaknya pun masih di pedesaan jadi Ibu berpikir untuk pindah ke kota yang lebih besar, lagi pula ini Seoul banyak tempat menarik yang bisa kau kunjungi disini” sebenarnya itu bukan alasan yang kuat, aku tahu kalau sebenarnya Teo Joong tidak bisa tinggal dirumah itu, rumah yang penuh kenangan Ibu bersama Ayahku. Sekarang aku hanya dapat mengangguk samar mendengar alasan Ibu itu.

“masuklah, kami sudah menyiapkan makanan untukmu” ucap Teo Joong sambil berusaha mencairkan suasana. Aku menuruti dan mengambil koper yang sudah sejak tadi diturunkan dari bagasi mobil oleh seorang supir yang menjemputku. Aku sendiri bingung seberapa sibuknya orang-orang dirumah ini sampai supir yang menjemputku ke bandara dan mereka menyambutku di rumah seperti orang asing yang bertamu.

“bagus sekali, suami baru, rumah baru” gumamku sambil berjalan masuk. Aku tahu gumaman kecil itu terdengar oleh Ibu dan Ayah tiriku, lalu kenapa? Mereka mau memulangkanku ke San Fransisco? Dengan senang hati akan ku lakukan.

Ketika aku berjalan dan menuju pintu aku mendengar dengan samar suara Ibu yang menyuru Teo Joong untuk bersabar. Ibu benar Teo Joong harus benar-benar bersabar untukku karena aku akan sulit menyukainya.

Aku memutar tubuhku menghadap mereka “dimana kamarku?" mereka berjalan menghampiriku, terlihat sekali wajah mereka yang tidak secerah tadi.

“diatas, nanti Ibu suruh pelayan mengantarkanmu”

Aku hampir tertawa “kenapa Ibu selalu melibatkan pelayan? memang tidak bisa Ibu saja yang mengantarku? aku merasa sepertinya aku hanya menjadi tamu disini” Aku hanya mencoba jujur. Sekarang aku dapat melihat Teo Joong yang berdiri sambil melipat tangannya seperti algojo, ya dia memang algojo Ibuku.

“baiklah, Ayo Ibu antar ke kamarmu” wajah Ibuku mulai terlihat pucat.

“tidak usah, aku bisa sendiri” tolakku sambil kembali mengambil gagang koperku. Sekilas aku milirik tajam kearah Teo Joong, sebenarnya hubungan kami baik tapi aku tahu itu hanya kamuflase. Ini benar-benar pertemuan pertama yang tidak menyenangkan. Tapi aku tidak peduli.

Aku berjalan dibelakang seorang pelayan, untung saja dia tidak menggunakan seragam pelayan seperti rumah konglomerat di drama televisi Negara ini, atau aku akan merasa mual. Teo Joong bekerja sebegai kontraktor dan berbisnis property jadi sebenarnya aku tidak terkejut dengan rumah besar beserta para pelayan ini, hanya saja aku baru tahu Ibu bisa hidup dengan suasana rumah yang penuh dengan pelayan, pasti ini karena si Teo Joong itu.

Aku masih mengamati dengan sesekali menceramahi bentuk rumah modern ini yang berbeda sekali dengan rumahku di San Fransisco. Aku dan Ayah hidup sederhana, karena itu memang kemauan kami, dari kecil aku selalu diajarkan hidup sederhana dan bersahaja tapi mungkin Ibu sudah banyak berubah jadi ia tidak seperti kami, ia sudah tidak bisa hidup sederhana lagi.

Sekarang alisku bertautan, aku seperti baru saja mewati suatu ruangan. Aku kembali memundurkan kakiku dan moleh kearah kamar yang pintunya terbuka itu. Aku menajamkan mataku dan ternyata disana ada seorang anak laki-laki yang sedang bermain Play Station. Ah! Aku ingat, itu Juno Anak Ibu dan Ayah tiriku. Umurnya masih Sembilan tahun -kalau tidak salah-  dan sepertinya ia muali menyadari kehadiranku, aku melihatnya bangkit untuk menutup pintu. Ya memang wajahku tidak terlihat ramah, aku juga maklum kalau kita tidak bisa akrab atau mungkin sekedar melempar senyuman. Lagi pula aku tidak pernah menginginkan seorang adik apalagi dari Ayah yang berbeda.

“Nona” panggilan itu menyadarkanku untuk kembali berjalan. Sekarang aku sudah tiba disuatu ruangan yang cukup besar, lebih besar dari kamarku yang berada di San Fransisco dan aku tidak suka ini. Pelayan muda itu mempersilahkanku masuk, aku mulai melangkahkan kakiku masuk dan pewangi ruangan mulai menusuk hidungku, aku tidak suka pewangi berbau seperti itu.

Sebenarnya aku sedang berada dirumah siapa sih, kenapa Ibu seperti tidak mengenalku? Kamar seperti ini benar-benar tidak sesuai dengan pribadiku apalagi boneka-boneka yang berjejer rapih diatas tempat tidur itu terlihat seolah-olah sedang menyambutku (atau mungkin meledekku). Ayolah umurku sudah tujuh belas tahun.

“terima kasih” aku menoleh sejenak kepada pelayan wanita yang berdiri dibelakangku. Ia tersenyum tapi aku tidak membalasnya “ah! Jangan ditutup biarkan saja pintunya terbuka” cegahku, aku berharap wangi kamar ini cepat berkurang kalau pintunya terbuka.

 Aku melempar tasku keatas tempat tidur dan pandanganku mulai menelusuri kamar itu. Beberapa tempat diatas meja terdapat foto-foto yang tertata rapih, beberapa diantaranya fotoku ketika masih kecil dan beberapa fotoku di sekolah yang dulu, entah dari mana foto itu bisa didapat Ibu. Ah! iya aku lupa, meski sudah bercerai Ayah masih  berhubungan baik dengan Ibu.

Wangi kamar itu masih membuatku tidak nyaman. Aku kembali keluar kamar dan turun ke lantai bawah untuk makan, rasanya perjalanan sangat panjang dan itu membuatku sangat lapar, lagi pula Teo Joong sudah menawariku makanan, kan? jadi untuk apa menunda-nunda.

-

Aku tidak tahu ternyata meja makan sudah terisi dan semua orang sedang menungguku untuk makan bersama. Aku melirik sesaat ternyata si kecil Juno masih tidak mau menatapku, dia kadang hanya melirikku seperti meledek atau mungkin dia ingin menunjukkan bahwa aku memang seperti tamu dirumah ini, hanya tamu.

Aku melihat Ibu menyendokkan nasi ke mangkuk Teo Joong, Juno kemudian aku. Kami semua makan dalam diam, hanya terkadang aku merasa diperhatikan. Mungkin karena cara makanku yang tenang dan lihai memainkan sumpit.

“Ana, apa kau makan menggunakan sumpit juga disana?” tebakkanku benar, Teo Joong mulai penasaran.

“hanya beberapa kali, Ayah tetap tidak mau aku melupakan budaya dari Negara ini” Teo Joong mengguk paham dan Ibu masih sibuk dengan makanannya sendiri.

“lalu bagaimana kamarmu, kau suka?” aku hentikan kegiatan mengunyahku dan kutatap Teo Joong “kenapa? Tidak sebagus kamarmu yang dulu?” tebak Teo Joong. Aku tahu maksudnya, dia mulai mengibarkan bendera perang padaku.

“tidak, hanya saja aku tidak suka wangi kamarnya, aku pikir ada yang benar-benar mengerti seleraku disini, ternyata tidak” aku mengambil gelas yang sudah berisi air putih didalamnya kemudian ku tengguk dengan tenang. Aku menangkap bola mata Teo Joong yang melirik Ibuku. Benarkan, dia mulai mengadu kami. Baiklah aku tidak masalah ,suka-suka dia saja aku tidak ambil pusing dengannya, karena semua ini sudah terlepas dari yang aku harapkan selanjutnya hidupku pasti akan jauh lebih membosankan jadi aku akan tetap bilang.. tidak masalah.

“aku sudah selesai makan, aku permisi” aku menunduk hormat pada mereka, bahkan pada pelayan-pelayan yang berdiri dibelakang mereka sambil menenggak air liur. Ternyata pemilik rumah ini tega membiarkan pelayannya hampir menumpahkan air liurnya melihat makanan yang disantap diatas meja dan mereka tetap berusaha berdiri sok gagah disana. Huh aku benar-benar tidak habis pikir.

Sekarang kakiku sudah berada diluar kamar diatas balkon. Aku menyanggakan kedua tanganku dan terpaku pada pemandangan yang ku lihat dari balkon kamarku ini. Satu lagi yang aku sesalkan, kenapa Teo Joong tidak memilih rumah besar tapi tetap bergaya Hanok seperti rumah-rumah Korea pada umumnya? Jadi membuatku lebih sering membeda-bedakkan rumah ini dengan rumahku yang dulu.

Rumahku yang dulu berada disuatu Desa di Jeonju. Gaya rumahnya masih berbentuk Hanok dengan kasur lipat untuk tidur. Jika aku berangkat ke sekolah aku akan melewati taman bunga, kebun dan jalan dengan pohon tinggi disisinya, hidupku pun sederhana tapi bahagia itulah yang aku rindukan, rumahku yang sebenarnya.

“huh! Ibu mengaggetkanku” ucapku setelah membalikkan badan. Ternyata Ibu sudah berdiri tegap dan elegant seperti ratu Elizabeth ketika masih muda dibelakangku.

“kau seperti sedang serius sekali, Ibu tidak ingin mengganggumu” Ibu mendekat dan aku kembali membalikkan badan. Aku melirik Ibu yang ikut menenpelkan tubuhnya pada penyangga balkon. “Bagaimana kabarmu?”

“aku baik, Ayah juga baik” sebenarnya Ibu tidak menanyakan kabar Ayah, tapi aku hanya ingin memberitahunya saja. Ibu tidak merespon panggilanku ia hanya menunduk memainkan jarinya. Aku benar-benar merasa kami seperti orang asing.

"sepuluh tahun adalah waktu yang singkat ya"

"ya, sangking singkatnya Mom sampai lupa dengan seleraku" aku mengagguk paham.

"Mom kira kau sudah banyak berubah diumurmu yang ke tujuh belas ini" ia kembali memainkan jarinya seperti anak kecil, aku memperhatikannya bahkan jarak kami mengobrol cukup jauh, seperti ada satu tembok yang belum diruntuhkan “dan sepertinya kami salah mendekor kamar, Sorry

Gwenchana” ucapku cepat sambil membuat senyuman kecil. Aku jadi merasa tidak enak kalau situasinya begini. Ibu menoleh padaku dan tersenyum senang.

“Ah iya, Ibu sudah taruh beberapa brosur sekolah di mejamu, kau tinggal memilihnya saja setelah itu kau bisa memberi tahuku” Ibu menoleh sebentar kearah meja belajarku “dan istirahatlah” lanjutnya, kemudian sepatunya mulai berbunyi kembali, Ibu mulai berjalan menuju pintu kamar.

“Mom” aku berbalik dan terlihat Ibu menghentikan langkahnya.

Thanks” aku tersenyum kemudian dengan cepat membalikkan kepalaku lagi, tak lama setelah itu aku dapat mendengar suara pintu yang tertutup. Ibu sudah keluar dari kamar dan aku tidak tahu bagaimana ekspresinya tadi, aku begitu malu-malu mengucapkan terima kasih yang harusnya menjadi kata-kata wajar yang diucapkan.

Aku meghembus napas panjang berusaha menahan air mata, sebenarnya bukan ini yang aku inginkan. Aku ingin hidupku yang dulu kembali, tapi semua itu tidak mungkin. Aku tidak pernah dengar ada mesin waktu yang berfungsi kecuali di film kalau ada mungkin aku yang akan memakainya pertama kali.

Pandanganku kembali terpaku pada pemandangan rumah modern yang berbaris rapi mementuk jalan. Dari balkon dimana aku berdiri, aku juga dapat melihat halaman depan dua rumah disamping rumah ini. Satu rumah terlihat biasa saja dan tertutup dengan kanopi putih menghalangi dan yang satu lagi terlihat jelas dengan taman indah yang menghiasi halamannya. Aku terus memandangi tanaman-tanaman itu hingga aku melihat seorang pria keluar dari rumahnya. Aku mencoba melihat dengan jelas, ternyata dia masih muda, bajunya terlihat modis dengan jeans hitam yang robek di lututnya serta kaos coklat yang lengannya digulung hingga pendek, ia membuka pintu gerbang dengan lebar dan segera masuk ke dalam mobilnya, sepertinya ia ingin pergi. Aku mencoba tidak mengurusi urusan pria itu dan kembali masuk kedalam kamar.

Aku berjalan menuju meja belajarku dan mengambil brosur yang disebut Ibu tadi. Aku memperhatikan halaman depan brosur itu, ternyata semua sekolah elit dengan fasilitas nomor satu di Korea. Ini bukan kabar bagus, karena aku tidak ingin sekolah di tempat anak-anak kaya dan manja berkumpul, tidak , tidak pernah ingin.

POPULAR FANFICTION

BERITA PILIHAN

COPYRIGHT 2024 DREAMERS.ID PUBLISHED BY DREAMERS NETWORK