home_icon
SIGN IN
SIGN UP
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
LOUNGE
HOW IT WORKS
HOW TO BE DFF OF THE WEEK
TERMS OF USE
CONTACT US
  • Latest
  • Most Viewed
  • Most Loved
  • A-Z
  • My Fanfiction
  • My Subscriptions
  • My Subscribers
  • Create New Fanfiction
Fan Fiction > ANABELLE

ANABELLE

Share:
Author : Rezkyka
Published : 23 Apr 2014, Updated : 24 Oct 2017
Cast : Anabelle Walker as OC, Kim Jongin, Xi Lu Han, Kim Myungsoo , Lee Taemin and many
Tags :
Status : Ongoing
6 Subscribes |44968 Views |15 Loves
ANABELLE
CHAPTER 28 : MIMPI YANG BERKEPANJANGAN

Aku masih terdiam saat motor yang dikendarai Luhan melaju. Waktunya pulang, dan Luhan bertugas mengantarkanku, atau memang keinginanya untuk mengatarku. Sepanjang jalan kami terdiam, Luhan masih tidak secerah biasanya. Dan aku masih terbayang dengan kejadian hari ini; Serangan seseorang yang tidak dikenal, pertengkaran Luhan dengan Kai, dan pertemuanku dengan Raja penyihir.

Tapi yang paling aku pikirkan sekarang adalah Golden Compass yang menggantung dileherku. Raja Xi mengeluarkan sihir yang menurutku penyebab Golden Compass ini terbuka. Tapi tidak satupun dari mereka menyadarinya, mereka bilang Raja Xi hanya mengeluarkan sihir pelindung untukku, tapi menurutku itu bukan sekedar sihir biasa. Golden Compass ini bukan sembarang benda, dari awal benda ini tidak pernah terbuka, mungkin aku akan mencaritahu lewat buku pedoman.

Sudah setengah jalan menuju rumahku, tapi Luhan malah berbelok kelain arah. Kami berhenti di pinggir taman, dekat jalan setapak terdapat air mancur yang entah kenapa suaranya menyejukan hati. Luhan memintaku turun dari motor dan dia menyusulku.

"Kenapa kita kesini?" Tanyaku padanya.

"Ada yang ingin aku bicarakan" wajahnya terlihat makin serius. Aku tidak mengerti apa yang sedang ia pikir tapi sebenarnya, tapi aku tetap menunggu kata-kata yang sepertinya sulit ia ucapkan.

"Aku.." luhan bersuara akhirnya "besok aku akan pergi, untuk waktu yang cukup lama" napasku terhenti, dan aku mematung sesaat.

"Apa? besok? Kenapa?" Tanyaku bertubi-tubi, aku mendekat kearahnya yang masih memandang taman.

"Aku harus mencari bahan untuk ramuan calmant, bahan-bahannya tidak mudah didapatkan, aku harus segera pergi sebelum musim dingin benar-benar datang"

Tidak tahu lagi apa yang bisa aku katakan, rasanya sedih, dan sesak, matahari itu akan pergi untuk sementara dan hidupku penuh dengan kegelapan. Semenjak mengetahui tentang anak bulan dan matahari dalam buku pedoman, aku jadi menganggap penyihir dan vampir adalah dunia yang berbeda. Bagai didampingi bulan dan matahari hidupku sekarang ini. Dan luhan adalah salah satu bagian dari matahariku, sinarnya dapat membuatku kuat menjalani semua ini, jika dia pergi...

"Lalu bagaimana dengan aku?" Mungkin pertanyaan ini yang ditakutkan Luhan karena ketika aku bertanya, ia langsung menoleh kearahku.

Ia berdiri menghadapku dan meletakan tangannya diatas bahuku "Kau akan tetap aman, banyak yang akan melindungimu Ana" katanya padaku.

"Bagaimana jika yang aku butuh hanya... satu orang?" Aku ingin Luhan tetap tinggal.

Dia menggenggam bahuku dengan kuat "aku berjanji akan segera kembali"

Mau tidak mau aku harus menyetujui itu, bahwa ia akan pergi dan segera kembali. Aku mengangguk sedih, matahari itu akan pergi. Aku bisa merasakan hawa dingin akan membuatku mati membeku. Siangku akan selalu menjadi malam.

Luhan menatap mataku dalam "Ana, cara kau memandangku tidak akan berubah, kan?"

"Apa maksudmu Luhan?"

"Berjanjilah padaku apapun yang terjadi selama aku pergi kau tidak akan merubah cara pandangmu terhadapku"

Aku mengerutkan kening "Tapi untuk apa aku..."

"Berjanjilah Ana, kalau kau akan tetap percaya padaku sampai aku kembali untuk melindungimu lagi"

"Luhan.." aku merasa membuat janji seperti itu padanya adalah hal yang membingungkan. Aku akan selalu mempercayainya dan penyihir yang lain, tanpa ia minta.

"Aku dan sepupu-sepupuku akan pergi ke tempat yang sangat jauh dalam waktu yang cukup lama, dalam waktu yang lama itu penyihir hanya bisa mengawasimu dari jarak yang cukup jauh" Luhan kembali mengalihkan pandangannya.

"Dan dalam waktu yang lama itu, semua hal bisa terjadi, bisa saja para vampir itu meracuni pikiranmu, membuat kau menjadi yang mereka ingin, membuat kau menjadi bagian dari mereka seutuhnya"

"Itu tidak akan terjadi" jawabku cepat. Aku menambah senyuman untuk meyakinkan meyakinkan.

"Kalau begitu berjanjilah, kau tidak akan mempercayai orang lain sebelum kau mendengarnya dariku"

"Aku berjanji" ucapku yakin, karena menurutku aku tidak perlu terlalu memikirkan perkataannya. Aku hanya tidak ingin melihat kekhawatiran di wajah Luhan, aku ingin dia segera kembali dan pulang dengan selamat saat pergi nanti.

"Tapi kemana kau akan pergi?" Aku menarik lengan jaketnya.

"Mencari beberapa tumbuhan langka, biasanya mereka di daratan tropis dan beberapa di utara, kami akan berpencar mencarinya" rasa takut kembali menyerangku sepertinya mereka akan melakukan perjalanan yang tidak mudah.

"Aku berpikir bahwa, seandainya aku tidak mengajukan permintaan itu kalian pasti tidak perlu repot-repot pergi mencari bahan ramuan itu" aku mengakui penyesalanku.

Luhan kembali menghadapku "Tidak Ana, kau melakukan semuanya dengan baik dan kau sangat mendengarkanku dengan baik, jadi kau bisa mengambil keputusan yang sangat berarti untuk kaumku" dia meyakinkan.

"Dengar" dengan hati-hati ia menyentuh pipiku "permintaanmu yang sangat berani ini membuat kau menyalamatkan banyak orang yang akan menjadi korban selanjutnya, lalu membuat para penyihir wanita terlindungi, jangan pernah menyesalkan apapun" Luhan mengusap pipiku lembut, kata-katanya yang menyejukan membuat aku lebih tenang.

"dan aku percaya Golden Compass ini akan memberimu banyak pentunjuk untuk menolong kaum penyihir, karena apa? Karena sesungguhnya Golden Compass ini milik kaum penyihir dan kau adalah penyelamat kami, kau harus selalu ingat itu" aku merasa mata Luhan bersinar-sinar membuat kulitku seperti di hinggapi butiran-butiran salju. Berbeda ketika ia menjemputku di sekolah dan memercikan api amarah. Aku merasa senang ia kembali menjadi Luhan yang aku kenal.

Taman itu begitu sunyi, hanya suara air yang lembut berasal dari pusat taman. Kami begitu merasa nyaman satu sama lain, senyum Luhan yang tidak kunjung pudar seperti menghipnotisku, mata Luhan yang menatapku membuat aku merasa terjaga. Sampai Luhan merasa ada yang sedang mengintai kami jadi ia memutuskan untuk segera mengantarku pulang.

"Ah ya dan satu lagi" Luhan menoleh sebelum menyalakan motornya "jangan pernah lepaskan kalung pemberianku, arrachi?" Aku mengangguk.

Meski waktuku bersama Luhan di taman itu sangat singkat tapi aku merasa sentuhan tangan Luhan sangat berpengaruh pada perasaanku. Aku jadi bisa melupakan hal-hal berat yang telah terjadi padaku. Aku akan menunggu matahariku kembali, aku akan terus menunggunya dan tidak akan terpengaruh dengan siapapun.

Malam itu aku tidak bisa tidur, aku terus memikirkan kepergian Luhan, kadang merasa takut terjadi sesuatu padanya, kadang merasa takut bahwa aku akan sendiri. Rasanya aku ingin bertemu dengan Luhan lagi, harusnya aku menginap saja di Heks Verden, tapi mungkin tidak mereka pasti sibuk menyiapkan keberangkatan mereka besok. Aku memikirkan Luhan sampai aku tertidur.

Malam itu tidurku nyenyak namun seseorang membangunkanku dia membisikanku sesuatu "bangunlah" dan seketika aku membuka mata. Kamarku yang gelap membuat aku tidak bisa melihat siapa yang membangunkanku.

Aku hanya melihat ada seorang pria yang berdiri tidak jauh dari jendela kamarku, ia memunggungiku dan cahaya malam menyinari punggungnya yang tegap. Aku bangkit tanpa rasa takut, aku merasa tidak asing dengan jaket denim yang ia pakai. Jadi aku mendekat berusaha meraih punggungnya, sebentar lagi aku meraihnya namun genggaman tangan menghentikanku.

Aku menoleh "Luhan?" Ucapku terkejut, ia menarik tanganku untuk mendekat kearahnya aku mengikutinya dan sekarang kami berhadapan meninggalkan pria misterius yang masih berdiri disana. Luhan tersenyum kepadaku, wajahnya begitu menawan, rambutnya yang keemasan dan warna matanya yang berubah keunguan membuatnya begitu memesona. Ia mengalungkan sebuah benda di leherku, tapi benda itu sangat berat sampai membuat tubuhku terjatuh ke lantai. Benda itu terus menarik leherku, membuatku tidak bisa bernapas. Terus menjerat leherku, terus menariku hingga tidak ada satu udara pun yang bisa aku hirup.

"Anabelle!! Mom sudah lelah membangunkanmu cepatlah bangun Juno sudah menunggu dibawah"

Aku membuka mataku dan memegangi leherku bersamaan dengan suara pintu kamarku yang tertutup. Aku kembali bermimpi, aku kira akan benar-benar tidur nyenyak kali ini. Ternyata tidak.

Aku kembali mengulang mimpiku sebelum aku melupakannya. Rasanya mimpi itu begitu buruk meski tidak seburuk mimpiku sebelumnya tapi mimpiku sekarang lebih seperti meninggalkan pesan atau lebih misterius. Aku jadi mengalihkan pandanganku pada jaket denim yang mengantung di ujung tempat tidurku. Aku beranjak mengambil jaket itu dan memandangnya, aku bahkan masih bisa nencium aroma jaket itu.

Tunggu, Golden Compass itu kemarin terbuka dan aku belum memeriksanya. Aku segera bangkit dan berlari menuju tas sekolahku. Aku memperhatikannya dengan baik dan mencoba membukanya dengan perlahan tapi tidak terbuka, aku mencobanya lebih keras dan tetap tidak bisa. Aku sangat yakin bawa semalam benda ini tebuka. Tapi tidak bisa.

Aku merasa frustasi, dan bertanya-tanya apa yang terjadi. Aku segera menyambar ponselku dan menelfon seseorang.

"Yeobseo eonnie?" Aku mengatur napasku "apa mereka sudah pergi?"

"Ya, mereka pergi dini hari tadi" aku duduk di atas tempat tidurku masih memegangi jaket denim saat Victoria mejawabnya.

"Eonnie, apa nanti kita bisa bertemu? Ya sepulang sekolah, baiklah sampai jumpa"

Mereka benar-benar sudah pergi, sekarang aku sendiri, memagari diriku agar tidak ada seorangpun yang bisa mencelakaiku. Harusnya aku belajar sihir atau minimal bela diri untuk melindungi diriku sebdiri. Mungkin satu hal yang bisa aku lakukan, aku punya keahlian berlari dengan cepat mungkin itu bisa membantu saat aku dikejar makhluk asing.

Lagi-lagi aku masih harus berangkat ke sekolah, padahal aku sudah tidak memiliki niat sama sekali untuk belajar. Aku memakai jaket denim pemberiam Sekretaris Lee dan turun ke lantai bawah. Selama sarapan aku masih saja membayangi mimpiku.

"Anak-anak Ibu punya pengumuman" aku menghentikan tanganku yang sedang mengaduk sarapan, dan Juno sepertinya juga berhenti mengunyah.

"Besok nenek akan datang ke rumah" ucap Ibu dengan senyum yang mengembang.

"Jinjjayo?" Aku menoleh kearah Juno yang tiba-tiba antusias, aku tidak pernah melihat ekspresinya yang seperti ini, "Nenek benar-benar datang besok?" Juno meletakan sumpitnya dan memandang Ibuku dengan mata melotot.

"Tentu saja, nenek sudah lama tidak berkunjung"

Senyum Juno merekah, sepertinya ia benar-benar senang. Aku malah khawatir melihatnya seperti itu, paman Teo juga hanya tersenyum. Ini mengerikan, melihat mereka begitu ceria.

Aku mengalihkan pandangan ke Ibuku yang ternyata sudah memandangku lebih dulu "dia juga ingin melihatmu Ana, dan Ibu yakin nenek pasti membawa banyak hadiah untuk kalian berdua"

"Apa kami pernah bertemu sebelumnya? Karena aku tidak ingat wajahnya... nenek maksudku"

"Ehm kebetulan sejak kau lahir ia tidak sempat bertemu denganmu jadi ini kesempatan bagus bukan?" Ibuku tersenyum dan memandangku dengan penuh harap.

Aku balas tersenyum dan mengangguk. Ibuku terlihat lega. Sepertinya banyak alasan kenapa aku tidak pernah bertemu dengan nenekku sendiri. Dan aku tidak begitu penasaran dengan itu. Aku tahu keharmonisan keluargaku memang tidak begitu baik. Dan aku memang belum pernah merasakan kasih sayang seorang nenek. Ayahku sebatang kara, orangtuanya meninggal ketika ia masih kecil. Keluarga yang dimiliki Ayah hanyalah aku. Dan aku rasa sekarang ia pasti merindukanku meski ia tidak pernah menelepon dan mengatakannya.

Sebelum aku pergi ke sekolah, aku dikejutkan dengan sebuah motor merah yang terparkir di halaman rumah. Itu motor yang aku kendarai ketika kecelakaan yang menimpaku terjadi. Motornya sudah terlihat lebih baik meski banyak goresan yang belum dipoles.

"Apa motor ini yang diberikan-"

"Iya benar, aku pergi dulu mom, bye" ucapku segera dan melesat masuk kedalam mobil. Aku tidak ingin Ibu mengintrogasiku, apalagi kalau Ibu tahu aku sedang bermusuhan dengan tetangga kesayangannya itu.

Dalam perjalanan aku banyak melamun, memikirkan banyak hal dan menatap ke langit dimana cahaya matahari mulai bersinar. Semoga matahari yang satu ini bisa membuat hatiku hangat.

"Noona" Juno menghentikan lamunanku. Aku menoleh kearahnya "gwenchana?"

Aku mengangguk "wae?"

"Semenjak Ibu bilang kalau nenek akan datang berkunjung Noona selalu melamun"

Apa dia memperhatikanku? "Tidak kok, aku sudah melamun sejak pagi"

"Kenapa?" Juno terlihat peduli. Baiklah tidak ada salahnya berbagi cerita sediki dengannya.

"Aku bermimpi semalam, teman baikku berubah jahat dan mencelakaiku, aku jadi takut padanya sekarang"

"apa orang itu... Taemin Hyung?"

"Sayangnya bukan" meski keadaanya sama, tapi bukan Taemin yang berada di mimpi itu. Jika memang Taemin aku tidak akan setakut ini. Apa mungkin Luhan bisa berubah menjadi jahat, atau mungkin akan ada seseorang yang membuatku beranggapan seperti itu. Luhan sudah memperingatkanku bahwa apa saja bisa terjadi selama ia pergi.

"Juno, kenapa kau sangat senang nenek akan datang?" Aku mengalihkan pembicaraan.

"Tentu saja, semua cucu akan senang jika nenek mereka datang, nenek akan datang membawa hadiah, juga makanan yang enak, nenek lebih perhatian dan memanjakanku makanya aku senang, Noona akan merasakannya nanti" jawabnya dengan wajah datarnya seperti biasa.

"Oh begitu" aku mengangguk paham.

"Aku belum pernah memiliki nenek seperti itu sebelumnya, dulu ketika kecil aku dekat dengan seorang nenek tua, dia menjaga rumah Ayahku di Jeonju, orang-orang bilang aku dulu sangat menyayanginya dan membuat kue untuknya, tapi aku sudah tidak ingat, banyak yang ingin aku lupakan dulu tapi ternyata kenangan menyenangkan juga ikut terlupakan" ceritaku singkat.

Seperti biasa kami sampai di sekolah Juno lebih dulu. Ia keluar dari mobil dengan diam dan tidak mengucapkan apa-apa lagi selain ekspresi datarnya. Aku kembali melamun dan supir meneruskan perjalanan.

Setelah menempuh perjalanan yang tidak terlalu lama, gerbang sekolahku terlihat. Apakah orang-orang tahu bahwa gerbang sekolah ini hampir sama seperti gerbang neraka?

Aku meraih bandul kalungku, kalung pemberian Luhan yang tidak pernah aku lepaskan. Dengan kalung ini mungkin akan mengikat aku dan Luhan, dan ketika diantara kami mengalami hal yang buruk kami akan sama-sama mengetahuinya. Aku harap kalung ini bekerja seperti itu.

Aku masuk kedalam lobi sekolah dengan keadaan pasrah seperti biasa, entah apa yang akan terjadi padaku hari ini.

"Annyeong" tiba-tiba saja Seungjae berada dihadapanku dengan senyum lebarnya.

"Annyeong, hari ini kau ceria sekali" sapaku.

"Tentu saja, lihat!" Seungjae mengangkat satu kakinya dan menggoyangkannya.

"Woah sepatu baru!"

"Sebentar lagi ada pertandingan besar di sekolah, aku mendapatkan ini sebagai penyemangatku"

"Oh Ayahmu perhatian sekali"

"Ini bukan dari Ayahku" ucap Saengjae dengan wajah bersemu-semu

"Hanyoungi-ga"

"Woah, jinjjayo?"

"Tapi jangan bilang aku senang mendapatkannya, dia pasti menyombongkan diri, aku hanya ingin memamerkannya padamu"

Au memutarkan bola mataku "arrasseo"

"Ana, kenapa mereka melihat kita begitu?" Aku menoleh kearah pandangan Seungjae. Kumpulan mahasiswa itu disana, baru saja keluar dari mobil mewah mereka dan seperti yang Seungjae katakan mata mereka mengarah pada kami, berbicara seperti membicaraka kami.

"tidak, mereka tidak mungkin memandangi kita, ayo cepat pergi" aku segera menarik seragam Saungjae dan berjalan cepat kedalam. Astaga, apa yang sedang mereka bicarakan? Apa mereka berniat melalukan sesuatu pada Seungjae atau mereka hanya membicarakanku?

"Anabelle, kenapa kau tidak jadi pemandu sorak saja dan berdiri di pinggir lapangan, para mahasiswa itu pasti akan memperhatikan anggota cheerleader yang cantik dan tidak fokus pada pertandingan, timku bisa menang nanti"

"Kau bicara apa sih? Jangan menagada-ngada" aku meliriknya kesal.

"Annyeong" Hanyoung muncul sama seperti Seungjae, dengan senyum yang lebar dengan mata berbinar-binar. Aku menggelengkan kepalaku.

"Woah, tenyata sepatunya langsung dipakai, kau sangat menyukainya ya?"

"Aku hanya mencobanya apakah ini cukup bagus untukku bertanding, ah sepertinya agak kebesaran, warnanya juga sangat norak"

"Dasar tidak tahu terima kasih!" Hanyoung mencubit pinggang Seungjae berulang kali. Dan aku mulai tertawa melihat mereka berketengkar.

"Kalian sedang apa?" Tiba-tiba kami dikagetkan dengan suara Tiffany Ssaem. Kami jadi terdiam "cepat masuk kelas, sebentar lagi bel berbunyi"

"Ne, seongsaenim" ucap kami bersama-sama. Aku merasakan sesuatu, biasanya aku seperti ini ketika menghadapi para Immortal atau vampir tapi hal ini berbeda, Tiffany Ssaem bukan Immortal. Tapi aku merasakan sesuatu yang kuat didalam dirinya.

"Bagus, kalau begitu aku pergi dulu, jangan membuat keributan" Tiffany Ssaem tersenyum manis sebelum ia pergi dan aku yakin dengan apa yang aku rasakan. Tiffany Saem, apakah ia seorang penyihir?

"Ana, kenapa kau melihat Tiffany Ssaem seperti itu?" Seungjae ternyata memperhatikanku.

"Seperti apa? Sudah, aku mau ke kelas dulu" aku segera meninggalkan Hanyoung dan Seungjae disana.

Seperti  biasa disamping bangku ku sudah ada Hana disana, ia sedang membaca buku. Aku duduk disampingnya dan sedikit memperhatikannya, seperti biasa ia menutup sebagian wajahnya denan rambut pajangnya. Aku beralih kepada buku yang ia baca, tunggu, itu bukan buku pelajaran. Bentuknya seperti buku pedoman yang aku punya hanya milik Hana lebih tipis dan tidak sebesar buku pedomanku.

"Ada yang mau kau tanyakan?" Tiba-tiba Hana bersuara.

"Tidak" aku mengalihkan wajahku dan mulai mengeluarkan buku dan meletakannya diatas meja.

Aku menghentikan gerakan tanganku dan menatap Hana, aku sedang sangat penasaran kali ini "Aku mau bertanya" Hana memutar bola matanya, seolah aku ini sangat labil "apa mungkin penyihir bisa berada di sekolah ini?"

"Bisa tidak kau pelankan suaramu?" Tegur Hana. Aku menyesali suaraku yang ternyata membuat beberapa anak Immortal menoleh.

"Kenapa tiba-tiba bertanya seperti itu?"

"Tidak apa-apa hanya penasaran apa bisa peyihir bersekolah atau mengajar disini" aku mengecilkan suara.

"Ck, ini lingkungan kami, kau tahu siapa yang berkuasa disini, tidak mungkin kami membiarkan musuh kami berada ditempat yang sama, kan?" Hana terdengar ketus "jadi jangan harap kau bisa membawa teman penyihirmu itu kesini"

Aku menyipitkan mataku kesal "aku tidak membicarakan mereka kok"

Kemudian seorang guru datang ke kelas dan memulai pelajaran seperti biasa.

--

Golden Compass akan memberi petunjuk kepada siapa saja yang memilikinya. Penyihir yang memiliki Golden Compass dapat merasakan kehadiran vampir dan anak-anak mereka, Iblis dan anak-anak mereka.

Aku sudah membaca banyak tetang Golden Compass tapi aku belum menemukan alasan mengapa Golden Compass bisa terbuka dan tertutup dengan sendirinya. Buku ini terlalu tebal aku sulit menemukan hal-hal yang aku ingin tahu. Aku bukan pembaca yang baik memang, aku tidak begitu suka membaca buku. Aku lebih suka mendengarkan.

Dalam waktu yang ditentukan Golden Compass tidak kembali kepada si pemilik maka jiwanya akan pergi bersama dengan Golden Compass itu dan si pemilik baru akan memiliki jiwa mereka-mereka yang menetap dalam Compass itu.

Aku tidak mengerti apa maksud kalimat ini. Siapa sih yang membuat buku seperti ini? Kenapa dia tidak menggunakan bahasa sederhana? Aku merebahkan kepalaku ke meja, merasa begitu lelah dengan semua pelajaran ini.

Hari ini aku akan bertemu dengan Victoria mungkin ia akan membantuku mempelajari banyak hal. Hanya saja ia tidak kunjung datang. Aku sudah menunggu sekitar setengah jam di cafe.

Kemudian aku memutuskan untuk kembali membaca buku itu.

Golden Compass akan memberikan pemiliknya suatu kebenaran yang kadang merupakan kelemahan, suatu kejujuran yang kadang merupakan kekuatan, maka sang pemilik tahu bagaimana ia akan bertindak.

Ketika matahari dikalahkan oleh bulan, ketika matahari hancur tidak bersinar, kehancuran itu pula yang dirasakan bulan, maka itu adalah suatu kebenaran. Jika Golden Compass memihak matahari maka bulan tiadalah arti.

"Annyeong" suara itu berasal dari wanita yang sekarang telah duduk dihadapanku, suaranya yang sedikit nyaring membuatku sedikit tersentak.

"Annyeong" balasku lemas.

"Maaf membuatmu menunggu" ucapnya dengan nada menyesal.

"Tidak apa, kalau eonnie sedang sibuk kita bisa bertemu besok"

"Tidak-tidak, besok kau ada kelas tambahan, lagi pula kau pasti memiliki pertanyaan jika kita tidak membahasnya sekarang pertanyaan itu akan bertambah" jelas victoria. Aku setuju dengannya.

"Kau sudah baca buku itu sampai mana?" Victoria memperhatikanku.

"Aku baru saja memulai dan aku memilihnya secara acak" jawabku.

"Kenapa? Harusnya kau baca dari awal, apa ada sesuatu yang kau cari?" Tebaknya. Aku mengangguk mengakui.

"Aku bertanya-tanya, bagaimana cara Golden Compass membuka dan menutup? Aku rasa ada sesuatu didalamnya"

Victoria memandangiku sejenak kemudian meraih buku pedoman dari tanganku. Dia membuka lembar demi lembar dan berhenti pada sebuah halaman.

"Baca yang ini" ia menyerahkan bukunya kembali.

"Kepercayaan berarti besar bagi Golden Compass, jika sang pemilik berkeinginan membagi rahasianya maka Golden Compass akan terbuka untuknya" aku berhenti membaca.

"Apa maksudnya?"

"itu berarti Golden Compass akan terbuka hanya kepada orang yang kau percayai" Victoria menjawabnya santai.

"Benarkah?" Tanyaku tidak percaya "ini aneh"

"Ada apa?"

"Kemarin benda ini terbuka ketika aku bertemu dengan raja penyihir, apa aku berarti mempercayainya? Tapi bagaimana bisa? Aku baru bertemu dengannya"

Victoria terdiam, wajahnya seperti terkejut tapi ia tidak ingin menampilkannya, "Itu bisa saja terjadi saat kau mempercayai seseorang akan sesutu yang besar, yang bahkan kau rela memberikan Golden Compass itu padanya, itu berarti kau percaya padanya"

Ya, aku memang berpikir begitu. Aku selalu berpikir bahwa Golden Compass ini sejatinya milik para penyihir dan aku ingin memberikannya saja pada Raja penyihir. Tapi tidak mungkin, karena itu tidak akan membuatku terbebas dari apapun.

"Tapi kenapa Golden Compass tertutup lagi saat aku mencoba membukanya?"

"Mungkin kau tidak percaya dengan dirimu sendiri"

Perkataan Victoria membuat aku tersadar. Ya, aku sangat tidak bersahabat dengan diriku sendiri, aku pesimis dan tidak percaya dengan diriku sendiri. Memiliki Golden Compass ini seperti aku memegang kendali atas dua dunia yang tidak pernah bersatu, tapi aku merasa malah aku yang dikendalikan. Aku aku tidak begitu cerdas untuk menghadapi semua ini, andai saja Golden Compass ini jatuh ketangan orang yang lebih cerdas dariku, yang lebih kuat dariku. Aku hanya gadis pesimis yang suka bermusuhan dengan takdir.

Hal ini membuatku sedih, bahwa aku tidak sehebat para penyihir pikirkan. Aku benci merasa tidak berguna.

"Eonnie, apa mereka benar-benar sudah pergi?" Aku mengganti topik pembicaraan.

"Siapa? Luhan dan saudara-saudaranya?" Victoria melipat tangannya diatas meja "ya, mereka pasti sudah hampir melewati perbatasan sekarang, aku akan benar-benar merindukan mereka, aku terbiasa nendengar celotehan mereka, sekarang jadi sedikit sunyi, aku merasa aneh" Victoria mengangkat bahunya.

"Aku juga" ucapku jujur.

"Tapi mereka akan baik-baik saja, mereka adalah pahlawan bagi para penyihir, perjalanan mereka kali ini sangat setimpal, aku harap ramuan calmant itu benar-benar bekerja" Victoria tersenyum padaku.

Aku terdiam tidak begitu menyetujui ucapnnya, aku sedikit khawatir dengan ramuan itu sebenarnya. Ada sesuatu didalam hatiku yang merasa berat dengan akan adanya ramuan itu.

"Bagaimana dengan bibi Younji, dia masih suka membuat kue?"

"Tidak, dia terlihat lebih sering membersihkan rumah. Mungkin bibi akan membuat kue lagi jika Luhan dan yang lainnya sudah pulang" jawab Victoria dengan pandangan sendu.

Aku menundukan kepalaku, aku merasakan apa yang mereka rasakan, seakan semua orang bersedih dengan kepergian Luhan dan saudara-saudaranya, seakan hari-hari mereka jadi tidak secerah biasanya. Begitu juga denganku, setiap memikirkan Luhan aku jadi merindukannya.

Oh Ana, bagaimana kau bisa sangat merindukannya? Apakah kau memiliki perasaan terhadap Luhan? Atau kau hanya tidak terbiasa tanpa dirinya?

Aku masih menunduk menyembunyikan wajah sedihku namun aku melihat salah satu kancing jaket yang aku pakai hilang. Aku memperhatikannya lagi dan aku merasa tidak asing dengan kancing jaket itu.

"Aku tidak tahu kalau kau datang bersamanya" tiba-tiba Victoria berbicara hal yang aku tidak mengerti. Tapi pandangannya menghadap jendela, seperti sedang memandangi seseorang, jadi aku mengikuti arah pandangnya. Ternyata disana ada Kai berdiri bersandar disamping mobilnya, tangannya terlipat dan matanya tajam menatap kami, seolah pandangannya dapat menembus sampai ke dalam Cafe ini.

"Aku... aku tidak datang bersamanya, aku tidak tahu kenapa dia ada disini" jelasku masih memandangi Kai "sepertinya ia hanya ingin menjemputku" aku menebaknya, dan Victoria mengangguk paham.

"Kalau begitu aku pulang dulu eonnie, maaf kita tidak bisa mengobrol lama, sampai jumpa lagi" aku melambaikan tanganku padanya.

Buru-buru aku keluar, aku tidak enak jika ada penyihir lain yang melihatnya. Mereka pasti tidak suka jika ada anak Immortal datang ke wilayah mereka.

Kini pandangan Kai menghadapku. Dia seperti berusaha menebak apa yang aku bicarakan dengan victoria didalam.

"Apa yang kau lakukan disini?" Tanyaku.

"Untuk menjemputmu, cepat masuk ke mobil" Kai memerintahkanku tapi dia sendiri belum bergerak dari berdirinya.

"Kita mau kemana?"

"Tentu saja ke rumahmu, aku hanya mengantarmu pulang" Kai menjawab ketus.

"Apa? Kau kesini hanya mengantarku pulang? Aku bisa pulang sendiri, kau membuatku meninggalkan Victoria eonnie didalam" keluhku dengan kesal.

"Aku bilang, masuk-kedalam-mobil-sekarang!" Kai menatapku tajam, tapi aku tidak melihat amarah dimatanya, aku hanya melihat sesuatu seperti rasa khawatir, lelah, takut, seolah aku bisa menembus kedalam pikirannya. Ia menginginkanku untuk menurutinya. Apa yang terjadi? Aku seperti dapat membaca pikirannya.

Ku alihkan pandanganku dari matanya kemudian menurutinya masuk kedalam mobil. Tidak lama ia menyusul dan mulai menjalankan mobil. Tanpa berkata apapun.

Awalnya kami hanya saling diam, sampai tidak berapa lama kemudian Kai membuka suara. Ia sudah menahan untuk berbicara sejak tadi.

"Apa yang kau bicarakan dengannya?"

"Apa aku harus memberitahumu?"

"Tidak, jika kau benar-benar ingin dianggap mata-mata penyihir"

Aku menyandarkan kepalaku yang kembali terasa berat "aku hanya menanyakan tentang keadaan mereka, kami hanya berbicara mengenai para penyihir dan... ya seperti itu, aku lama tidak mengunjungi Heks Verden" tiba-tiba aku merasa gugup. Begini rasanya jika menyembunyikan sesuatu.

"Mulai merasa kehilangan, huh?" Kai menebak, ia pasti tahu kalau Luhan dan saudara-saudaranya pergi "aku beri saran untuk tidak terlalu bersimpati pada mereka, kau bisa sangat menyesal nanti"

"Apa maksudmu?" Aku menoleh kearahnya.

"Mereka akan memanfaatkanmu, jadi jangan terlalu bersimpati, perkataan mereka bisa lebih berbahaya dari racun, itu yang aku tahu"

"Beraninya kau! Kenapa kau bisa berbicara seperti itu?" Aku menatap Kai kesal "aku tahu kalian bermusuhan tapi dengan menjatuhkan musuhmu dengan cara seperti ini sangat tidak beradab, mereka adalah orang-orang yang akan menolongku dari makhluk seperti kalian"

Kai menarik bibirnya dan menatap jalanan dengan sangat sinis, telapak tangannya terlihat memutih memegang setir, ia marah. Apa aku salah bicara?

Kami tiba di rumahku. Kai masih terdiam. Aku rasa ia sangat tersinggung dengan ucapanku. Tapi mengapa? Perkataan yang mana yang membuatnya merasa tersinggunb? Aku masih tidak beranjak dan tidak berniat keluar dari mobil sebelum ia bicara.

"Kai..." aku beranikan diri memanggil namanya.

"Kau harusnya lebih mencari tahu tentang kami Ana, harusnya kau tahu  berada dipihak siapa, setidaknya kepada siapa kau harus percaya" Kai masih tidak menatapku.

"Yang aku tahu mereka orang baik, mereka tidak mungkin mencelakakanku, mereka seperti... keluarga bagiku, aku tahu ini terdengar konyol, tapi tidak bisakah kalian berdamai saja?"

Kai tiba-tiba saja menoleh padaku. Menatap wajahku tatapan yang menyakitkan namun indah. Ya, aku baru sadar mata itu kadang memancarkan sinar hangat padaku. Sangat indah, seperti mata penyihir, mungkin karena mereka juga memiliki darah penyihir. Kecuali ketika mereka berubah menjadi Vampir suatu saat nanti.

"Berdamai? Kau kira apa yang sedang kaumku lakukan serang? Kau tidak pernah mengetahui sejarah kami, kau hanya mendengar semuanya dari musuh kami, dan kau selalu saja takut"

"Aku tidak takut"

"Lalu kenapa kau tidak bertanya hal-hal mengenai Golden Compass pada kami saja?"

Dia tahu. Dia tahu apa yang aku bicarakan dengan Victoria. Dia tahu aku menyembunyikan sesuatu. Dan aku tidak menyadari kalau wajah Kai sangat dekat denganku. Aku merasa makin gugup. Aku tidak berani berbicara lagi.

"Lain kali" Kai berbisik "berpikirlah sebelum bertindak, pahamilah sebelum kau bicara, karena jika kau tahu kebenarannya nanti kau akan benar-benar menyesal.

Aku mengeratkan gengamanku pada buku pedoman yang aku bawa. Setelah itu aku dapat mendengar suara pintu mobil terbuka.

Kai membukakan pintu untukku kemudian kembali duduk dikursinya "kau boleh pergi"

Aku meninggalkan mobil dalam diam dan segera berlari kedalam rumahku. Jantungku berdegup kencang membuat kepalaku pusing.

--

Dulu aku pernah memiliki permintaan untuk tetap tinggal di Korea, aku ingin punya alasan untuk tinggal di Korea. Sekarang, keinginanku sudah terkabul. Aku tidak bisa pergi kemana-mana tanpa sepengetahuan raja vampir atau orang-orang terdekatku dalam bahaya, jadi inilah alasanku kenapa aku harus bertahan di Korea. Sejauh ini mimpiku cukup stabil tidak begitu menyeramkan tapi tetap membuat tidurku tidak nyenyak. Aku masih merasakan ada orang yang selalu berada di kamarku. Bahkan aku beberapa kali melihat bayanganku sendiri di cermin berubah menjadi Roseline.

Pagi ini tidurku berakhir dengan aku yang tiba-tiba terbangun karena terjatuh dari atas tebing. Aku tidak tahu kenapa berakhir seperti itu. Didalam mimpiku aku selalu menjadi orang lain, aku merasa aku masuk kedalam tubuh seseorang yang hampir terenggut jiwanya dan merasakan apa yang mereka rasakan. Aku seperti merasakan kematian berkali kali.

Setiap pagi setelah aku bermimpi buruk aku mencoba mengartikan semua mimpiku. Tapi aku tidak menemukan petunjuk apapun, biasanya aku harus melaporkan arti mimpiku kepada para vampir tapi akhir-akhir ini tidak. Mereka seperti membiarkan aku tenggelam dalam mimpiku sendiri.

Sa Eun mengambilkan baju untukku dari lemari. Sedangkan aku masih mencoba menyadarkan diriku sendiri. Waktunya pulang, pelajaran tambahanku hari ini mulai dari jam 10 malam sampai pukul tiga pagi, dan sekarang pukul empat lewat lima belas menit aku sudah harus kembali ke rumahku sebelum Ibuku terbangun dan sadar aku tidak ada diatas tempat tidurku.

Aku mengenakan pakaian hangat yang sudah disiapkan Kim Sa Eun. Kemudian ia bergegas merapikan tempat tidurku.

"Tidak eonnie, aku akan merapikannya sendiri nanti" cegahku. Kim Sa Eun hanya tersenyum dan tetap merapikan tempat tidurku seperti biasa.

"Sudah menjadi tugasku Ana, kau tidak perlu selalu merasa tidak enak" katanya. Aku menatapnya dari bayangan cermin dan merasa bersalah. Aku tidak sepantasnya dilayani seperti ini.

 "Lagi pula kau harus segera pulang kan? Oh ya katanya nenekmu mau datang ya?"

"Iya" jawabku singkat. "Oh ya eonnie, kenapa akhir-akhir ini aku tidak pernah ditanyai mengenai mimpiku lagi? Apa aku tidak perlu melapor lagi?"

"Untuk sekarang tidak," Sa Eun terlihat selesai merapikan tempat tidurku.

"Tapi kenapa tidak?"

"Apa kau tidak membaca buku pedomanmu? Sampai mana kau belajar?"

"Aku baru belajar mengenai Shinwa, werewolf, Lucifer dan apa ya tadi aku lupa" jawabku asal sambil memasukan barang-barang ke dalam tasku.

"Ana, kau tidak menyimak?" Sa Eun menghampiriku dan membantuku memasukam alat tulis dan baju tidurku.

"Mungkin karena aku lupa meminum ramuan menahan kantuk, aku kira hal itu dapat membuatku tidur sedikit lebih pulas dan aku tidak perlu bermimpi" ungkapku jujur.

"Ana, kemari aku akan memberitahumu sesuatu" Kim Sa Eun menuntunku untuk duduk di tepi tempat tidur.

"Pertama, kami sangat membutuhkan kau untuk fokus kepada setiap yang kami berikan agar pengetahuanmu mengenai kami lebih banyak" Sa Eun masih mengenggam tanganku agar aku tetap memperhatikannya.

"Lalu kedua, kau harus sering membaca buku pedoman hingga selesai jadi jika ada yang tidak kau mengerti kau bisa tanyakan pada kami dan tidak meminta penyihir untuk membantumu, mereka tidak akan memberikanmu kebenaran"

Aku mengeringkan tenggorokanku, sepertinya semua orang sudah mengetahui bagaimana aku bertemu dengan Victoria dan membahas mengenai Golden Compass. Apa mereka akan marah padaku?

"Lalu yang terakhir, kenapa kami tidak menanyakan mimpimu untuk sekarang ini, itu karena kami telah mengetahuinya, semua mimpi itu pernah dialami oleh seluruh pemilik Golden Compass" aku terdiam memasang wajah 'tidak mengerti'ku "kau akan terus bermimpi Ana, semua jiwa pemilik Golden Compass ada dalam dirimu sekarang, kau... akan memegang semua rahasia milik mereka, separuh jiwa mereka yang tersimpan didalam Golden Compass ini akan satu persatu memasukimu"

Aku menarik tanganku dari gengamnnya dan bangkit dari dudukku. Kakiku mulai merasa gemetar dan rasa takut yang sudah lama hilang kini datang kembali bahkan lebih menakutkan. Ini semua akan jadi mimpi berkepanjanganku, aku akan memiliki semua mimpi itu selamanya.

"Kau tenang saja Ana, kami semua akan menjagamu"

"Kenapa aku tidak diberitahu sebelumnya?" Suaraku terdengar sedikit bergetar.

"Kami ingin kau tidak memikirkannya"

"Lalu apa yang akan terjadi padaku?"

Tentu saja aku akan kehilangan kewarasanku kan? Ya Tuhan.

"Tidak akan terjadi apa-apa Ana selama kau masih menjadi dirimu sendiri, selama kau percaya pada dirimu sendiri kau dapat mengontrol semua itu, kau dapat menguasai segalanya"

"Menguasai apa?"

"Ana, ini lebih besar dari yang kau bayangkan aku tidak mau menakutimu atau memberi beban padamu, pelajarilah semuanya sendiri Ana" pintanya. Sa eun terlihat menyentuh kepalanya, terlalu banyak yang ingin ia sampaikan dan sembunyikan.

Setelah ia menghembuskan napas, Kim Sa Eun kembali mematapku "Kau tahu apa yang terbaik bagi dirimu? Jangan pernah dengar kata orang lain, kau tidak akan pernah tahu siapa musuhmu sebenarnya sebelum kau mengenal dirimu sendiri Ana, jangan biarkan orang lain mempengaruhimu, jangan biarkan mimpi itu mempengaruhimu, karena kadang mimpi itu hanya akan memberimu kenangan, kadang akan menghadirkan kebenaran, dan kau harus menemukan cara untuk membedakan semua itu sendiri"

Sa Eun terlihat menghembuskan napas beratnya "baiklah cukup hari, aku tidak menyangka aku akan mengatakan semuan itu" ia bangkit dan kembali mengepak barang kedalam tasku.

"Tidak, jaket itu milik sekretaris Lee" Sa Eun menarik lagi jaket denim yang tadinya sudah masuk ke dalam tasku "aku ingin mengembalikannya"

"Ini bukannya milik Seungmin" Kim Sa Eun membalikan badannya "ini milik Kai" aku terdiam sejenak. Kemudian teringat dengan mimpiku beberapa hari yang lalu pria dengan jaket denim berdiri memunggungiku, tubuhnya disinari cahaya bulan. Seolah mimpi itu ingin memberitahuku bahwa ada orang yang selalu mengawasiku. Sangat masuk akal jika orang itu adalah Kai, dia yang bertugas mengawasiku, memiliki tugas rahasia yang menyangkut diriku. Besar kemungkinan dia adalah orang yang selalu mengawasiku ketika tertidur, ketika aku pergi dari sekolah, dan ketika di cafetaria. Dan mungkin saat aku mulai memiliki golden compass itu.

Tunggu, aku seperti mendapatkan sesuatu. Aku harus mengingat sesuatu, tentang yang terjadi sebelumnya. Apa mungkin Kai sudah mengawasiku sebelum semua ini bermulai?

Aku mengambil jaket itu dari tangan Sa Eun. Aku tahu aku mengenali wanginya selama ini, jaket ini, dan kancing yang lepas ini, aku pernah menggenggamnya dengan kencang hingga kancingnya terlepas. Kejadian tempo hari teringat kembali, saat kecelakaan itu, saat aku hampir saja kehilangan nyawaku. Apakah ingatan ini benar? Apakah ini rahasia baru yang harus aku temukan? Sang penolong misterius-ku.

-

 

Aku tahu nggak ada maaf buat author yang lama update cerita FF tapi bagaimana pun juga maafkan aku ya semuanyaa :(

POPULAR FANFICTION

BERITA PILIHAN

COPYRIGHT 2025 DREAMERS.ID PUBLISHED BY DREAMERS NETWORK