home_icon
SIGN IN
SIGN UP
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
LOUNGE
HOW IT WORKS
HOW TO BE DFF OF THE WEEK
TERMS OF USE
CONTACT US
  • Latest
  • Most Viewed
  • Most Loved
  • A-Z
  • My Fanfiction
  • My Subscriptions
  • My Subscribers
  • Create New Fanfiction
Fan Fiction > ANABELLE

ANABELLE

Share:
Author : Rezkyka
Published : 23 Apr 2014, Updated : 24 Oct 2017
Cast : Anabelle Walker as OC, Kim Jongin, Xi Lu Han, Kim Myungsoo , Lee Taemin and many
Tags :
Status : Ongoing
6 Subscribes |44968 Views |15 Loves
ANABELLE
CHAPTER 27 : ANAK BULAN DAN RUANG PERTEMUAN

Ruangan ini jadi begitu sempit ketika para Immortal berdiri tidak jauh dariku. Semakin merapat ketika pintu lift tertutup. Aku mengintip dari celah bahu para Immortal dan menemukan Kai yang berdiri paling depan seperti biasa.

"Aku tidak bisa menemanimu sampai sekolah" suara Sekretaris Lee terdengar meski begitu pelan, mungkin karena ia berdiri di sampingku.

"Tidak apa-apa Tuan" ucapku menanggapi sambil berusaha tersenyum.

"Ketika istirahat kalau terjadi sesuatu bawa saja makan siangmu ke klinik aku berada disana sepanjang hari"

Aku terdiam memandang sekretaris Lee. Ia menangkap pandanganku, apa artinya dengan 'terjadi sesuatu'? Aku tidak bisa memahaminya, hanya ada kekhawatiran dihatiku. Dan aku rasa para Immortal yang pasti mendengar percakapan ini juga mengerti dengan apa yang aku rasakan, apa yang aku khawatirkan.

"Aku rasa tidak akan terjadi sesuatu, aku akan bersama teman-temanku nanti" ucapku berusaha bersikap tenang.

Pintu lift terbuka. Para Immortal melangkahkan kaki keluar lift. "Kau mengetahui maksudku Ana, jika kau merasa kesulitan dan tidak bisa bertemu denganku kau bisa minta tolong kepada mereka" aku menoleh kearah para anak Immortal yang berjalan acuh menuju luar museum.

Aku tidak tahu apa mereka benar-benar bisa diandalkan.

"Baiklah kalau begitu, pergilah" ucapnya sedikit mendorongku untuk berjalan lebih dulu. Membuatku terpaksa mengikuti para Immortal dari belakang.

Aku berjalan tidak semangat dibelakang mereka "Jangan harap kami akan terus mejagamu seperti bayi" sahut Luna yang ternyata berjalan tidak jauh dariku.

"Aku tidak minta kalian menjagaku" Luna langsung membalikan badan saat aku membalas ucapannya, ia seperti akan menghajarku.

"Sudah" sebuah tangan menghalangi kami "kau punya urusan lebih penting dari pada menanggapinya, Noona" ucap Chanyeol yang seperti mengarahkan bahwa ini salahku. Aku menatapnya tidak percaya, padahal Luna yang memulainya.

"Kalian memang aneh" keluhku kemudian berjalan melewati mereka bahkan aku sempat menabrak salah satu bahu mereka, entah siapa. Aku hanya berjalan cepat sambil menekan pelipisku yang mulai terasa pening.

Aku tidak tahu sudah berjalan sejauh apa tapi tiba-tiba tubuhku terhuyung kebelakang akibat tubuh seseorang yang mencoba melindungiku dari sesuatu, kemudian disusul oleh tangan yang menangkap tubuhku, itu Chanyeol yang menangkapku dan yang berada dihadapanku sekarang adalah Kai. Kemudian mereka bergerak secepat kilat membuatku semakin pusing. Setelah itu suara orang-orang berlari memenuhi telingaku.

"Pastikan mereka tidak lari!" Aku mendengar suara Kai berteriak. Aku kembali berdiri dan melihat wajah Luna yang sangat marah menatap sesuatu atau seseorang kemudian berlari mengejarnya, bahkan aku melihat Baekhyun yang melompat sangat jauh.

Aku tidak tahu apa yang sedang mereka lakukan tapi sesuatu kembali mengangguku, sesuatu mengalir ditangan kiriku dan aku dapat mencium bau anyir yang sepertinya timbul dari bagian tubuhku. Aku menoleh kearah lengan kiriku. Lengan seragamku sudah terkoyak membentuk robekan lurus beserta warna kemerahan yang luntur membanjiri tanganku.

Dengan cepat aku menutup robekan itu dan menyadari bahwa kulit lenganku juga ikut terobek, tentu saja darah yang mengalir itu berasal dari lenganku. Rasa sakit luar biasa menjalar keseluruh tangan kiriku. Aku panik, hanya diam berdiri dan berusaha menahan darahnya untuk tidak keluar lagi.

Sampai tiba seseorang yang memegang kedua bahuku. Aku mendongak dan menatap wajah Kai yang sudah terlihat sangat panik menatap lenganku, bahkan matanya membulat dan memerah.

"Sial!" Aku dapat mendengarnya meski kesadaranku sudah mulai menghilang.

Aku seperti melayang, Kai sibuk berlari entah kemana membopongku seolah aku hanya seberat balita, ia tidak kunjung menghentikan umpatannya dan aku sibuk menikmati angin yang samar samar menerpa wajahku.

-

Suara-suara mereka berbincang terdengar tidak jelas, karena sura itu berasal dari ruangan lain. Aku membuka mata dan menyadari aku sedang meringkuk disebuah ranjang rumah sakit. Aku berusaha menggerakan semua angota tubuhku dan yang pertama kali terasa sakit adalah lengan kiriku.

"Aku rasa kau benar" suara itu terdengar lagi. Aku memilih bangkit dan mengantungkan kakiku. Rasanya aku mengenali ruangan ini, bukan rumah sakit, ini klinik kecil yang berada di sudut sekolah dibagian paling belakang sekolah. Klinik yang cukup besar bisa menampung empat orang sekaligus. Jendela-jendelan kecil penganti ventilasi memancarkan sinar matahari yang meredup, menandakan hari sudah siang namun suhu udara tidak kunjung naik.

"Kita mungkin tidak perlu melaporkan ini" lagi-lagi perbincangan itu terdengar, aku menoleh kearah pintu yang berdiri di sudut ruangan.

Dengan mengumpulkan tenaga dan keberanianku, aku bangkit dan berjalan menuju pintu itu. Tempat ini sangat sepi, kecuali ruangan kecil tempat arah aku berjalan.

Ada sebuah jendela kecil di pintu itu, aku bisa melihat ruangan didalamnya dengan sedikit berjinjit.

"Kau yakin pelakunya bukan murid Shinwa?" Dari sini aku dapat melihat Sekretaris Lee yang mengusap dagunya.

"Aku yakin, aku mengenali semua orang" jawab pria tinggi yang duduk dengan santai di sebuah sofa, sepertinya itu Sehun, sedangkan yang lain terlihat tegang.

Aku jadi ingat, hari ini hampir saja nyawaku melayang. Luka di lenganku ini tidak timbul dengan sendirinya. Sebuah benda melesat dengan mulus kearahku, jika bukan Kai yang mendorongku mungkin benda yang sangat tajam itu sudah menancap di jantung ku. Padahal tadinya aku sempat lupa kenapa aku bisa berada di klinik ini.

"Bahkan alert sekali pun, aku mengenali wajah mereka, kecuali orang itu, atau mungkin orang itu suruhan penyi-"

"Tunggu, aku rasa ada yang menguping"

Tiba-tiba seseorang membuka pintu, membuatku sedikit terhuyung. Chanyeol membuka pintu dengan lebar sehingga semua orang yang berada di ruangan itu dapat melihatku.

Aku benar-benar tidak tahu apa yang harus aku katakan, rasanya memalukan.

"Hi Ana" Sekretaris Lee menghampiri ku, menyingkirkan tubuh Chanyeol yang lebih tinggi darinya. Aku sempat melihat tatapkan Kai padaku. Tatapan yang lebih tenang tapi tetap membuatku salah tingkah. Aku tidak bisa melihat ekspresi yang lain karena Sekretaris Lee buru-buru menutup pintu itu kembali.

"Bagaimana keadaanmu?" Sapaannya terdengar kaku "aku kira tidak akan terjadi sesuatu padamu, ternyata kau benar-benar ingin pergi kesini, huh?" Katanya dengan tawa. Aku rasa sesuatu sedang menganggu pikirannya, candaannya jadi canggung dan sikapnya terlihat buru-buru.

"Kau ingin kembali ke kelas? Ini surat keterangan sudah aku buat, berikan saja kepada gurumu di kelas, dan ini pakai jaket ini untuk sementara ya" ia memberikan secarik kertas dan sebuah jaket denim. Aku terdiam sejedak, menatap tangan kananku yang sibuk memegangi dua benda itu.

"Baiklah dokter" jawabku dengan senyuman kecil. Wajahnya terlihat lega saat aku tidak memilih untuk bertanya lebih lanjut. Aku sepertinya memahami situasi ini. Mereka sedang tidak ingin diganggu, sedang tidak ingin ditanya dan sedang berusaha menyembunyikan sesuatu.

Mungkin saat situasinya sudah sedikit mencair, aku bisa dengan leluasa bertanya apa yang sudah terjadi. Atau seharusnya aku memang sudah tahu apa yang sedang terjadi. Sumpah yang sudah aku ucapkan dan permintaanku yang sudah dikabulkan, bahaya dari kedua hal itu sudah mulai berdatangan, bukan?

Aku kembali ke ranjangku dan memakai jaket pemberian sekretaris Lee kemudian membopong tasku menuju keluar klinik, aku sempat menoleh sebentar dan Sekretaris Lee sudah tidak berada disana, dan suara-suara perdebatan mereka kembali terdengar.

Dengan perasaan takut dan sedikit trauma aku menelusuri koridor sekolah yang sangat sepi, bagaimana mereka membiarkanku berjalan sendiri ke dalam sekolah melihat apa yang baru saja terjadi?

Berhenti merengek Ana, bukan tugas mereka harus menjagamu terus. Aku sudah sangat telat hari ini, hampir satu mata pelajaran aku lewatkan. Dengan hembusan nafas panjang aku memasuki kelas.

Aku mengetuk pintu. Tiffany songsaenim disana sedang berceloteh dengan bahasa Inggris-nya yang fasih.

"Oh, Ana? Come inside" aku masuk kelas dengan sedikit canggung, karena aku pasti sedang menjadi objek celaan murid-murid di kelas ini.

Setelah memberi surat yang diberikan Sekretaris Lee padanya, Tiffany Ssaem menandatanginya kemudian mempersilakanku duduk.

Sebelum aku duduk dan bergabung untuk melanjutkan pelajaran, aku mencuri pandang ke beberapa wajah yang aku kenali sebagai anak Immortal. Entahlah tapi aku sangat terkejut, pandangan mereka terlihat berbeda. Tidak setajam saat pertama kali aku tahu kalau mereka Immortal, tidak sedengki saat upacara penyerahan, tatapan mereka lebih tenang tapi juga terlihat was was, sebagian merasa penasaran dengan wajahku yang mungkin masih terlihat pucat atau terheran kenapa aku masih hidup.

Aku duduk,  ditempatku seperti biasa. Lucunya aku merasakan kakiku yang bergetar, jika ada seseorang yang memelukku sekarang, pasti aku sudah mengis mengeluhkan nasibku.  Ingat, ini baru permulaan.

Setelah memastikan diri bahwa aku bersikap normal, aku memberanikan diri untuk menoleh kearah Hana yang ternyata sedang menatapku. Tapi kemudian ia memalingkan wajahnya dan berusaha fokus ke bukunya lagi. Aku masih belum bisa bersikap baik padanya, masih ada perasaan marah dihatiku.

Selama pelajaran aku hanya melamun, mengulang kejadian tadi pagi kepikiranku bergantian dengan wajah Kai yang menatapku. Mengapa bisa ia begitu panik? Yang kemudian digantikan dengan wajahnya yang kembali tajam menatapku.

Saat semua murid mengerjakan soal yang berada di papan tulis. Aku hanya meringkuk meletakan kepalaku diatas meja. Lengan kiriku masih terasa sakit, jika digerakan sedikit terasa lukanya seperti akan terbuka kembali. Aku jadi tidak bisa berfokus pada pelajaran, malah sekarang aku jadi berfokus pada aroma jaket yang tengah aku kenakan.

Aromanya seperti paper mint, rasanya aku pernah mencium aroma seperti ini tapi aku tidak yakin aroma itu berasal dari sekretaris Lee. Lagi pula ia lebih senang menggunakan jas, setelan jaket denim seperti ini bukan gaya sekretaris Lee, ini terlalu... anak muda.

Bel istirahat berbunyi, semua orang sudah berada di luar kelas. Tinggal aku yang sendirian di kelas. Aku tidak merasa lapar dan rasanya aku sangat malas untuk berjalan ke kantin. Yang sekarang aku lakukan hanya membuka ponselku dan mencari kontak seseorang teman.

 

 Luhan, aku ingin sekali menceritakan apa yang terjadi hari ini padanya. Mungkin ia akan jadi khawatir, tapi tidak apa aku ingin sekali bertemu dengannya, dengan saudara-saudaranya yang bisa membuat suasan hatiku jadi sangat baik dan juga bibi Yonju yang sangat penyayang. Rasanya aku merindukan Heks Verden.

Sudah dua kali aku menghubungi Luhan dan tidak ada jawaban. Aku kembali meletakan kepalaku diatas meja kali ini aku menggunakan tangan kananku sebagai alas, aroma mint kembali masuk ke hidungku, membuatku jadi sedikit lebih tenang.

Tidak lama kemudian ponselku bergetar, Luhan menghubungiku.

"Hi Queen" sapanya ditelepon.

"Sorry?"

"Kau sudah jadi ratu Vampir sekarang, kan?" Katanya sambil tertawa. Aku jadi ikut tertawa. "Bagaimana kabarmu?"

"Luar biasa, Lu. Aku ingin bercerita banyak denganmu, kenapa kau tidak mengangkat telepon dariku?"

"Oh, maaf aku ada sedikit urusan tadi sekarang aku sudah di rumah dan ada yang ingin menyapamu, dengar ini" aku menempelkan ponselku rapat-rapat penasaran dengan siapa aku akan berbicara. Tapi dengan cepat pula aku menjauhkan ponsel dari telingaku.

"Ana!!"

 "Apa kabarmu?"

"Cepat kemari kami semua merindukanmu"

"Wah ada ratu vampir"

"Kau baik-baik saja?"

"Aku ingin bertemu ratu vampiiiir"

"Hya! Kau menginjak kakiku!!"

Aku benar-benar tertawa mendengar celotehan saudara-saudara Luhan. Mereka benar-benar sangat menggemaskan.

"Kalian bicaralah satu persatu, aku tidak bisa mendengar kalian dengan baik" ujarku dengan suara yang cukup besar.

"Jangan perdulikan mereka, telingamu bisa terbakar nanti" Luhan kembali menginterupsi suara.

"Aku ingin sekali pergi kesana" keluhku.

"Bagus, kami semua akan senang menyambutmu, bagaimana jika aku menjemputmu sepulang sekolah?"

"Tentu saja!" Jawabku senang.

"Baiklah sampai jumpa nanti sore, aku harus menenangkan diri dulu hari ini sangat berisik di rumah" Luhan terlihat menyindir saudar-saudaranya. Aku tidak bisa menghilangkan senyum dari wajahku. Lalu kami mengakhiri pembicaraan.

Mendengar suara mereka saja sudah membuat mood-ku membaik, bagaimana jika aku bertemu mereka? Aku benar-benar butuh hiburan sekarang.

Karena suasana hatiku sudah membaik, aku memutuskan pergi ke kantin, masih ada waktu untuk menyapa Hanyoung dan Seungjae.

Suasana kantin masih ramai dan aku berjalan dengan hati-hati agar tidak ada yang menyentuh lengan kiriku, aku bisa saja berteriak jika ada yang tidak sengaja menabrak bahuku.

Setelah masuk keadalam kantin, aku dapat melihat rambut orange yang dikuncir kuda, itu pasti Hanyoung disampingnya juga ada Seungjae dengan rambut cepaknya seperti biasa dan disana juga sudah ada Hana yang duduk dihadapan mereka dengan rambut separuh menutupi wajahnya, wajah separuh jahatnya.

 Tidak, ini bukan waktunya bertengkar dengan pikiranku sendiri dan meributkan apa yang sudah ia lakukan. Aku tidak mau menghancurkan suasana hatiku.

"Annyeong!!" Sapaku seceria mungkin. Seungjae tersedak karena terkejut dan aku mentertawakannya.

"Hya! Aku hampir memuntahkan semua makananku" teriaknya dengan wajah sangat lucu.

"Omo, baru saja kami ingin menghampirimu ke kelas, Hana bilang kau sakit" aku melirik Hana sekilas tapi ia mengacuhkanku. Hanyoung bangkit dan menarikku kemeja makan.

"Aw, hati-hati" tegurku yang tiba-tiba kembali merasakan perih dilengaku.

"Kau kenapa Ana?" Hanyoung mulai terlihat panik.

"Tidak apa-apa, hanya sedikit luka" jawabku menahan tangis. Lukanya benar-benar terasa sakit.

Aku duduk disamping Seungjae dan Hanyoung menghimpitku. "Kau ini ada masalah apa Ana? Kalau tidak sakit pasti terluka, kau tidak bisa menjaga dirimu sendiri, huh?"

Aku terdiam tidak menanggapi pertanyaannya yang sangat jelas. Ya, aku memang tidak pintar menjaga diri.

"Ini makanlah, Ibuku membuatkan ini, rasanya enak sekali seperti makanan restoran bintang lima" Hanyoung menyuapiku sepotong bimbimbab dengan sedikit paksaan "kau harus makan yang banyak, arrachi?"

"Ini, makan punyaku juga aku menggorengnya sendiri tidak kalah enak dengan punyanya" Seungjae ikut menyuapiku sepotong nuget. Aku pasrah, mulutku sudah penuh terisi, bahkan air mataku mulai memenuhi pandanganku, bukan karena sakit dilenganku atau karena paksaan mereka menyuapiku. Kebaikan mereka membuatku tidak bisa menahan rasa haru, mereka terus menanyai kesehatanku dan memberiku wadah sendiri untuk makan, bahkan mereka memberikan separuh makan siang mereka.

Hanyoung tidak berhenti bicara dan Seungjae menanggapinya, aku buru-buru mengusap air mata agar mereka tidak melihatnya "gomapseumnida" ucapku ditengah kunyahan mulutku yang penuh.

Hana memperhatikanku, aku rasa dia mengerti dengan sikapku, dan memilih diam memperhatikan kami sambil menyantap makanannya.

"Hana, kau tidak mau membagi makananmu dengannya?" Tegur Hanyoung.

"Tidak usah" jawabku samar, mulutku masih penuh.

Dengan ragu ia menyendokan sayur ke mangkukku "ini makanlah, tenang saja aku tidak meracuninya" ucap Hana ragu, hal itu malah ditanggapi tawa oleh Seungjae dan Hanyoung. Padahal aku tahu Hana meyakinkanku dengan serius. Tidak ada salahnya aku memakan sayur itu, jadi aku melahapnya dan melihat ekspresi Hana yang sedikit terkejut kemudian tersenyum singkat seolah mengucapkan terimakasih.

Aku jadi berpikir, mungkin dugaanku salah, mungkin Hana hanya gadis polos yang dimanfaatkan para vampir, mungkin Hana tidak bersalah, dan jika semua itu benar, aku tidak keberatan untuk memaafkannya. Hanya saja aku harus mendengarkan pengakuannya lebih dulu.

-

Waktunya pulang, akhirnya. Aku tidak merasa lelah, maksudku aku mecoba untuk tidak merasakannya, sore ini aku akan pergi ke Heks Verden. Aku merindukan tempat itu, udaranya, suasananya, seolah aku pergi ke sebuah negara yang sangat indah, seperti Norwegia, atau Irlandia.

Awalnya bebanku hanya tas ransel dan satu luka di lengan kiriku, sekarang bertambah menjadi sebuah buku cukup besar yang harus aku bawa pulang. Itu buku pedomanku, buku untuk seseorang yang tanpa sengaja memiliki Golden Compass lebih tepatnya. Hana memberikanku setelah istirahat, dan menyuruhku membawanya tanpa menghiraukan keluhanku.

Aku berjalan sedikit riang menuju luar kelas, dan akan menunggu Luhan menjemputku di luar sekolah. Tapi sebelum aku mencapai gerbang sekolah yang jaraknya masih sangat jauh itu. Hana tiba-tiba datang menghalangiku, napasnya tidak beraturan seperti habis berlari.

"Apa yang sedang kau lakukan? Disana bukan arah menuju Museum"

Aku menyernyitkan kening "aku ingin pulang"

"Pulang? Kau tidak membaca buku ya?" Hana terlihat mulai memarahiku, aku jadi merasa sedikit kesal "ini hari pertama pelajaran tambahanmu dimulai, setiap Selasa, Kamis dan Jumat"

"Apa?!" Seruku tidak percaya.

"Cepat, mereka sudah menunggu" Hana memberitahuku dan kembali berlari ke dalam sekolah. Aku memberi waktu sedikit untuk otakku berpikir.

"Arrghh, I hate them" sekarang suasana hatiku tidak secerah tadi, hatiku penuh dengan petir dan kilat.

Mau tidak mau aku mengikuti Hana melewati lorong, sampai akhirnya kami berada di halaman Museum. Aku benar-benar tidak habis pikir, kenapa semua jadi serba merepotkan? Apakah tidak ada kompensasi? Luka di lenganku belum kering dan aku harus bergerak ekstra hari ini.

Saat itu koridor Museum terlihat gelap dan kami masih harus berlari melewatinya, setelah sampai di lantai dasar museum  Hana menghentikan larinya dan berjalan kearah sebuah ruangan. Ia merapikan seragamnya dan berjalan cepat kedalam ruangan itu. Aku masih mengatur napasku dan melangkah perlahan, aku berdiri di depan ruangan itu dan memandangnya sekilas.

"Jangan diam saja disana, masuklah" titah seorang pria tua yang kembali menuliskan sesuatu dipapan tulis.

Aku sedikit terkejut dengan teguran itu, matanya begitu tajam menatapku walau hanya sebentar.

Dengan ragu aku melangkahkan kakiku kedalam ruangan itu. Ruangan yang cukup besar dengan beberapa meja dan bangku yang tersusun seperti di sekolah, tapi hanya ada enam pasang meja dan kursi kayu yang anehnya di kelilingi oleh tumpukan buku. Lalu dibelakangnya berdiri juga rak-rak buku seperti di perpustakaan.

Paling aku tidak sangka adalah para mahasiswa itu ada disana, sedang sibuk memperhatikan buku di tangan mereka. Mereka semua berdiri mengelilingi kelas, beberapa memilih bersandar pada dinding, aku juga melihat anak Immortal yang memakai seragam shinwa duduk menempati kursi, mereka seperti terusik oleh kehadiranku. Wajah mereka asing, mungkin karena mereka tidak sekelas denganku. Hanya ada dua meja yang kosong sebelah kiri paling belakang atau sebelah kanan baris kedua tapi persis disampingnya ada Kai yang menyandar pada dinding. Ia belum menyadari kehadiranku, atau mungkin sudah sadar tapi pura-pura tidak tahu.

Aku rasa ruangan ini begitu sempit untuk aku berjalan, dan aku berusaha menenangkan pikiranku untuk tidak menimbulkan kegaduhan, tapi yang terjadi malah suara seseorang berhasil yang memanggilku, membuatku jadi sorotan lagi.

"Ana, kau duduklah disamping Hana, Yeri tolong kau pindah kebelakang" suara itu milik Baekhyun. Semua diam, mereka tidak lagi menulis, tidak lagi membaca tapi menatapku. Termasuk Kai yang sepertinya mulai mengakui kehadiranku.

Aku menatapnya balik, jadi pandangan kami bertemu. Aku ingin selalu menatapnya meski dia memandang tajam diriku, seolah aku sesuatu yang harus dihindari, seolah aku habis merusak barang miliknya, tapi kadang ekspresi lain terselip diraut wajahnya dan aku seperti bisa membacanya. Ia mengkhawatirkan aku, ia peduli padaku.

Pandangannya lebih dulu berpaling, membuatku kembali tersadar.

Aku berjalan dan duduk ditempat gadis berambut cokelat terang dengan kulit lebih pucat, namanya Yeri. Hana melirikku sekilas kemudian memberikan kode untuk membuka bukuku, jelas buku pedoman bukan buku pelajaran sekolah.

Dengan malas aku mengeluarkannya, dengan tangan kananku yang tidak lagi bertenaga dan tangan kiriku yang masih menahan sakit, aku sedikit membanting buku itu untuk menunjukan rasa kesalku. Mereka tidak memberiku istirahat, menyuruhku untuk ini dan itu, menyebalkan.

"Baiklah sudah aku tulis semua" ucap pria tua yang masih memegang kapur. Ia berjalan dengan tertatih ke mejanya. "Seperti yang aku terangkan tadi, ada beberapa dari kalian yang akan berganti tugas, beritahu aku jika kalian belum dapat tugas khusus" pria itu mengoceh lagi sambil membolak-balikan halaman buku yang terlihat sangat usang. Kacamatanya turun dan naik mengikuti arah pandangannya, rambutnya yang putih hampir habis seiring dengan penuaan yang sepertinya tidak pernah henti menggrogotinya.

Aku membuka halaman pertama buku pedoman itu, dan aku kembali membaca kata-kata diatasnya  'tidak pernah kembali ke matahari' sampai sekarang aku tidak mengerti maksud dari kalimat itu.

"Jangan lupa untuk melapor setiap minggu, dan fokus pada tugas masing-masing, pekerjaan kita semakin bertambah sejak gadis itu datang, menyusahkan saja" keluh pria tua itu.

Aku menghentikan kegiatanku dan menatapnya memastikan apa 'gadis' yang ia maksud itu adalah aku. Seketika ruangan itu mejadi lengang.

"Gadis itu ada disini Master" Kai menginterupsi ruangan. Pria tua itu berhenti membuka halaman bukunya, Hana menatapku sekilas tapi tidak aku perdulikan. Pria tua itu menurunkan kaca matanya dan menatap kami satu persatu. Pada akhirnya pandangannya tertuju padaku.

"Ah ya aku melihatnya" pria tua itu menjawab ucapan Kai dan terlihat tidak berdosa, ia tersenyum. Mungkin ia kira hanya dirinya yang disusahkan dengan semua ini.

"Biasanya aku bisa mendeteksi manusia biasa, ternyata kau sudah beraroma seperti kami" kemudian tertawa.

Aku mencium aroma tubuhku sendiri, aku tidak mencium apa-apa kecuali aroma mint jaket denim yang aku pakai.

"Buka halaman 457 baca hingga kalimat terakhir halaman itu" titahnya padaku. Ketika sibuk membaca ia mulai kembali berceloteh, kali ini mengenai pengawasan terhadap pengiriman ramuan calmant kemudian beralih kepada pelatihan alert lalu dokumen-dokumen yang harus mereka bereskan.

Selebihnya aku fokus pada bacaan di bukuku, disana tertulis:

Ruangan Perkumpulan

Ruangan Perkumpulan merupakan ruangan tempat berkumpul para alert untuk membahas tugas-tugas yang diberikan. Bisanya didampingi Anak Bulan dan dipimpin vampir dengan kualitas hidup 100 tahun atau lebih.

Ruangan perkumpulan biasa dijadikan ruangan penyelidikan dan wawancara. Bisa dijadikan ruangan penelitian dengan 2000 sumber buku yang berada di ruangan tersebut.

Para alert diperkenankan hadir 15 menit sebeum perkumumpukan dimulai. Semua kegiatan mencurigakan akan diselidiki dan diberikan sanki dengan kualitas hidup masing-masing. Semua alert yang diberikan tugas khusus wajib melapor seminggu sekali. Semua alert yang diberikan tugas biasa bisa melapor sesuai jadwal.

Anak bulan yang memimpin dibulan yang telah disebut akan bertanggung jawab penuh atas segala kegiatan alert, didalam maupun diluar shinwa.

Aku sudah selesai membaca tapi mereka belum selesai berbicara, sepertinya suatu diskusi sedang dimulai. Tapi pria tua yang dipanggil Master itu menyadari aku telah selesai membaca.

"Apa kau ada pertanyaan?"

"Siapa Anak Bulan?"

"Mereka yang berdiri"

Aku terdiam. Itu berarti para mahasiswa.

"Ada lagi?"

Aku menggeleng, tidak bisa bicara lagi. Aku rasa aku baru menemukan jawaban.

"Aku ingin kau tahu ruangan pertemuan ini sangat penting, meski kau yang memegang golden compass aku tidak segan-segan menghukummu jika terjdi kelalaian, kau bekerja seperti alert dan di ruanganku tidak ada yang boleh mengatur kecuali aku" ucapnya percaya diri.

"Kau bisa membaca halaman 227 tentang tugas-tugas Alert" dia mengingatkanku.

"Pertemuan hari ini cukup sampai disini, karena aku rasa banyak yang harus kalian kerjakan mulai dari sekarang, jika kalian mencariku aku selalu berada di tempat yang kalian tahu"

Seketika itu mereka segera bergegas merapihkan perlengkapan mereka dan pergi meninggalkan ruangan. Rasanya gerakan mereka begitu cepat hingga aku langsung merasakan kesunyian di ruangan ini. Aku menutup buku milikku dan tidak sengaja membaca kutipan buku itu lagi 'tidak pernah kembali ke matahari'

Anak-anak bulan itu, dan matahari. Sepertinya semua ini terlihat masuk akal jika matahari yang mereka maksud adalah para penyihir. Dan hal yang menjadi objek kutipan tersebut adalah Golden Compass yang sekarang diserahkan kepadaku. Benar, kan? Aku baru saja menemukan jawaban.

Tenagaku begitu terkuras hari ini, ini adalah hari yang berat dan tanganku masih terasa sakit. Sepertinya aku mengalami jahitan dilenganku. Dan aku paling tidak menyukai ada bekas luka di tubuhku, hal itu akan mengingatkanku pada hari kejadian aku mendapatkan luka itu.

Setelah aku keluar dari ruangan perkumpulan, sendiri. Catat! sendiri, bahkan Hana tidak ada. Aku tidak selalu berharap bahwa aku akan selalu dibiarkan sendirian.

Getaran ponsel mengejutkanku di tengah kesunyian ini. Luhan, dia menelponku. Astaga, aku punya janji dengannya.

"Luhan?"

"Ana, dimana kau?"

"Aku baru saja-"

"Apa kau baik-baik saja?" Ia menyela ucapanku "apa Golden Compass bersamamu?" Dan ia terdengar sangat panik.

"Iy...iya tentu saja"

"Aku masih menunggumu di lobi sekolah"

"Baiklah aku segera kesana" aku mematikan sambungan dan berlari kecil ke arah lobi sekolah, aku baru kali ini mendengar Luhan begitu panik dan nada suaranya yang tinggi.

Ketika aku menemukan Luhan, ia terlihat tegang dan dengan berdiri tegang kearahku. Dia menatapku begitu tegas. Aku berlari kecil kearahnya dan dia juga ikut melangkahkan kakinya.

Belum sempat aku menyapanya tiba-tiba Luhan menarik sesuatu dari belakang punggunggu. Aku langsung menyingkir dan melihat Kai mendorong Luhan tidak terima dengan tindakannya. Aku tidak tahu kapan dan kenapa Kai bisa berada disana.

"Kalian memang tidak bisa melindunginya!" Luhan berseru dan hendak menyerang Kai lagi aku buru-buru berlari kearah Luhan dan menahan tubuhnya.

"kenapa kalian mencegahnya pergi?"

"Hari ini kelas pertamanya, harusnya kau mengingatnya atau ingatan anak-anak penyihir tidak setajam yang aku kira" Kai membalas sambil merapikan kerah bajunya.

Luhan kembali berusaha melangkah dengan wajah marahnya tapi lagi-lagi aku menahannya, ia tidak melihatku sama sekali ia seperti hanya ingin menyerang Kai.

"Aku rasa raja kalian tidak serius mengurusnya atau memang kalian yang payah" Luhan meladeni.

"Aku sarankan kau tidak membuang waktumu disini" suara lain muncul dari punggung Kai, teman-temannya datang untuk melihat.

"Luhan, ayo kita pergi dari sini" ajakku seperti memohon, aku jadi merasa sedikit takut. Suasananya terasa sangat aneh, aku seperti merasa mereka akan berkelahi atau semacamnya dan Golden Compass yang menggantung di leherku semakin terasa berat.

"Jika kalian banyak berlatih aku rasa kejadian ini tidak akan terjadi, atau memang kekuatan kalian tidak seberapa, tapi aku berjanji jika hal ini terulang atau terjadi lebih parah, kalian tahu akan berhadapan dengan siapa" Luhan terlihat mengancam. Matanya seperti mengeluarkan gemercik api yang membuat kulitku perih.

Mereka, para mahasiswa hanya tersenyum sinis dan membiarkan Luhan menarikku pergi. Disana, tidak seperti wajah-wajah yang lain. Kai menatap dengan pandangan berbeda, seperti ada kepedihan dihatinya, seperti ia telah gagal melakukan sesuatu. Entahlah semuanya seperti terlihat jelas bagiku, tentang perasaan mereka. Semua terlihat jelas kecuali Luhan, ia masih terlihat kesal dan aku tidak tahu harus bagaimana.

Akhirnya kami sampai di Café Hangnam, Luhan memakirkan motornya dan segera turun menyusulku.

"Kau baik-baik saja?" Tanyanya saat aku mengembalikan helm miliknya.

Bukannya seharusnya aku yang bertanya? Luhan yang lebih terlihat menghkawatirkan dari pada aku.

"Lenganmu" dia melanjutkan dan melirik lengan kiriku.

Jadi, Luhan kesal karena ini, karena luka ku ini?

"Kau mengetahuinya?"

Dia mengangguk.

"Ya, aku sangat khawatir apalagi kau tidak kunjung mengangkat telponku tadi" aku diam ingin meminta maaf tapi bingung untuk apa. Aku jadi tidak pandai berkata-kata jika bersama Luhan, aku jadi tidak bisa membaca gerak-geriknya, aku hanya takut salah bicara.

"Mereka sudah melaporkan kejadian tadi pagi, dan harusnya mereka bisa menjagamu lebih baik"

"Mereka menjagaku dengan baik, hanya saja orang itu lebih cepat, jika saja mereka lengah mungkin bukan lenganku yang terluka, ini bisa lebih parah lagi" aku mencoba menjelaskan kepadanya. Meski rasanya aneh membela para anak Immortal itu.

Luhan mengangguk mencoba untuk tidak emosi, membuat kami diam sesaat.

"Anaaa" Seseorang beseru memanggilku.

"Eonnie?" Aku menoleh kearah pintu Cafe yang terbuka, ada Victoria disana. Dia terlihat senang begitu juga aku. Dia membuka tangannya lebar-lebar dan aku segera berlari dan memeluknya.

"Oh Ana, kau baik-baik saja?"

"Ya, tentu" ucapku cepat.

"Kenapa Luhan membiarkanmu berdiri lama diluar?" Victoria melirik Luhan dengan kesal. Luhan terlihat cuek dan masuk lebih dulu kedalam Cafe.

"Dasar laki-laki. Ayo ana kita masuk"

Cafe itu sepertinya sengaja ditutup. Tidak ada pengunjung masuk dan keluar. Aku melangkah masuk masih dalam rangkulan Victoria.

"Lihat siapa yang datang" suara mengejutkan itu datang dari xiumin yang pertama kali melihatku melewati pintu,  wajahnya terlihat sumringah, semua orang menoleh dan menyapaku senang. Kartu yang sedang mereka pegang bahkan mereka acuhkan.

"Wah ini dia ratu vampir kita"

"Harusnya kau memakai gaun setiap hari"

"Dan memegang tongkat ajaib"

"Tidak tidak! Dia harusnya pakai jubah, lalu bibirnya berdarah darah"

Semua sibuk berbicara, aku tidak bisa menangkap penuh pembicaraan mereka. Aku ingin sekali tertawa tapi tenagaku sudah hampir habis, jadi aku hanya tersenyum lebar ditengah tawa dan ocehan mereka.

"Diamlah! Kalian berisik sekali" Tao berseru, seperti biasa selalu dia yang pertama kali mengeluh.

"Kalian ingin bermain kartu lagi atau tidak?" Tanyanya kesal.

"Aku sudah selesai, aku tidak tertarik lagi bermain kartu" ucap Chen yang meletakan kartunya dan berbalik badan.

"Aku juga" Lay mengikuti gerak gerik Chen dan semua setuju. Tao terlihat kesal dan pergi begitu saja.

"Ana duduklah" itu suara berat milik Carl. Perhatian mereka jadi teralihkan dan suasana bisa kembali normal. Menurutku.

"Kalian mengobrolah dengan Ana, aku akan mengambil peralatan untuk membersihkan lukanya" Victoria meninggalkanku dan pergi kesebuah ruangan.

"Ya, lukanya memang harus sering dibersihkan" gumam Lay yang melihatku Iba.

Aku duduk menghadap meja tempat Luhan saudara-saudaranya duduk, Carl pergi ke bar untuk membuat minum.

"Jadi... bagaimana rasanya menjadi 'bagian dari mereka'?" Xiumin bertanya menekankan 'bagian dari mereka' sambil melipat tangannya diatas badan kursi. Yang lainnya ikut mendengarkan.

"rasanya aneh, dan menyeramkan" aku mencoba memainkan ekspresiku agar mereka dapat mereka ikut merasakannya. Karena wajah mereka, wajah yang penuh dengan rasa penasaran.

"Tapi aku sudah tidak takut lagi dengan mereka, aku rasa sekarang aku yang aneh" lanjutku dengan senyuman.

"Kau tidak aneh Ana, kau hebat" Chen menanggapi yang lain memangguk setuju "aku saja terkejut kau mengajukan permintaan itu, sepertinya Luhan sudah memberitahu padamu ramuan calmant itu" lanjutnya. Apakah Luhan yang memberitahuku? Bukan, aku mengetahui segalanya dari mimpi.

Sebelum aku menjelaskan, Victoria keluar dari ruangan yang berada disudut Cafe dan membawa sebuah kotak berwarna putih. Ia menaruh kotak itu di meja yang berada di antara kami kemudian menarik kursi dan duduk mengadapku.

"Katanya kau punya rumah di Peru?" Lay bertanya. Dan semua kembali menyimak.

"Bukan, bukan rumah untukku, hanya rumah sekretaris Lee, aku punya kamar yang cukup luas untuk aku istirahat disana, ada Skretaris Lee Sung Min dan... apa ya sebutannya? Semacam wakilnya namanya Kim Seun, anehnya mereka sangat baik" aku menjelaskan, dan semua terdiam, mungkin berusaha memikirkan apa lagi yang ingin mereka tanyakan.

Aku membuka jaket denim yang aku pakai dan menyodorkan lengan kiriku kepada Victoria.

"Apa masih terasa sakit?" Tanya Victoria

"sedikit" jawabku lemah.

"Anak bulan itu memang tidak bisa diandalakan terlalu banyak melamun, harusnya mereka menyadari ada seseorang yang datang" Xiumin terlihat kesal.

"Ya benar, aku harap waktu itu aku berada disitu, akanku habisi siapapun orangnya" Lay menimpali.

"Sepertinya mereka sudah membunuh siapapun dia" Xiumin berpendapat.

"Tidak ada laporan apa mereka menahan atau menghabisi orang yang mencoba mencelakakan Ana, Noona harus meminta laporan mereka lagi" kata Luhan tak ramah, ia jadi terlihat banyak bicara dan masih terlihat kesal.

"Baik Tuan muda" Victoria terlihat meledek dan kami berusaha menahan tawa.

Carl datang membawa minuman untukku "minunlah Ana, ini Dark Chocolate menu favorite di Cafe ini, ini akan membuatmu lebih relax, kau akan lebih tenang bertemu dengan raja nanti"

"Aku akan bertemu dengan raja?" Aku menoleh kearah Victoria.

"Ya, Luhan tidak memberitahumu? Raja kami ingin bertemu secara langsung denganmu malam ini" Victoria menaburkan bubuk berwarna hijau didekat area lukaku "ini juga menjadi jadwalmu bertemu Raja penyihir"

"Sepertinya Tuan muda itu terlalu sibuk memikirkan sesuatu jadi lupa memberitahuku" aku mencoba berbisik tapi aku yakin mereka semua bisa mendengarku. Luhan terlihat cuek sambil menyandar pada kursi.

Tidak lama kemudian pintu belakang terbuka dan memunculkan Tao disana. Ia terlihat canggung masuk kedalam.

"Bibi Younju menyuruh kalian pulang" ternyata Tao menyampaikan sebuah pesan. Ia seperti seorang anak yang menyampaikan pesan Ibunya. Wajahnya terlihat ragu.

"Ah tidak asik! Aku masih ingin disini"

"Aku belum selesai mengobrol dengan Ana"

"Ayo kita main kartu lagi saja!"

Semua terlihat mengeluh dan berusaha membujuk.

"Ahjuma berkata; now or never" ucap Tao yang mencoba mengikuti gerak gerik bibi Younju saat mengatakannya. Aku dan Victoria tertawa kecil, sedangkan mereka mendecak kesal.

"Ya dia benar kita harus pulang" Luhan bangkit dan menepuk bahu Xiumin, mengajaknya untuk pergi.

"Apa aku akan bertemu raja sendirian?" Aku bertanya pada Victoria.

"Tidak, aku dan Kangta akan mengantarmu" Victoria tersenyum ragu.

"Ayo cepat kalian pulang, sebelum bibi kalian yang cerewet itu membuat Heks Verden berantakan" mereka semua bangkit dengan tidak semangat saat Carl membatu Luhan meyakinkan mereka.

"Sampai jumpa lagi Ana"

"Ya besok kau harus ke Cafe lagi"

"Kalau kau ingin pakai kostum vampir tidak apa-apa"

Mereka mengucapkan salam perpisahan saja terlihat melantur. Aku tersenyum dan melambaikan tangan kearah mereka, padahal aku juga masih ingin mengobrol dengan mereka.

"Aku pulang" Luhan menghampiriku "sampai jumpa lagi" wajahnya juga terlihat sedih, tapi juga lelah. Aku ingin sekali bertanya apa yang sebenarnya mengganggu pikirannya, yang sebenarnya membuat ia begitu kesal.

Aku menatap punggungnya yang mengilang setelah melewati pintu belakang. Kemudian aku mengalihkan pandanganku kearah Voctoria yang terseyum sambil menggelengkan kepalanya.

"Ada apa? Apa ada yang salah?"

Victoria menegakan tubuhnya dan menatapku sesaat.

"Tidak, hanya saja... wajahmu" ucapnya kemudian mengambil perban baru untukku.

"Kenapa dengan wajahku?"

"Terlihat sekali kau memiliki banyak pertanyaan di kepalamu,  kau seperti kesulitan menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, kau terlihat sangat bingung Ana"

"Ternyata terlihat jelas ya?" Aku menghembuskan napas "memang, banyak pertanyaan yang menggantung di kepalaku, membuat kepalaku menjadi semakin berat memikirkannya" aku menerawang kearah bar yang kosong. Carl tiba-tiba tidak ada disana, sepertinya ia pergi ke dapur.

"Kalau begitu cobalah untuk menjawabnya satu persatu, carilah semua jawaban itu"

"Tapi bagaimana?" Aku sedikit tertawa, terlalu lelah berpikir.

"Kau punya buku pedoman Ana, di Bab 1 kau akan mengetahui segalanya tentang Golden Compass lalu Bab 2 tentang kerajaan dan sejarah, lalu bab-"

"Bagaimana kau bisa tahu semua itu?" Aku memotong pembicaraannya.

"Karena akulah yang pertama membaca buku itu sebelum diserahkan kepada raja, sudah jadi tugasku" jawabnya santai.

"Tapi Eonnie, bagaimana jika jawabannya tidak berada di buku itu?"

Ia menghentikan gerakan tangannya "seperti apa contohnya?"

"Pertanyaan mengenai...  Bulan dan Matahari" Victoria tidak menjawab dan memilih menyelesaikan perbanku lebih dulu. Ia pasti tahu maksudku.

Setelah selesai ia menarik napas lagi dan menatapku.

"Ana, jika kau memiliki pertanyaan mengenai itu, kau harus bertanya pada musuh mereka" Victoria mulai membereskan peralatan di meja. Ya, jelas disini Bulan dan Matahari bermusuhan.

"Jika kau memiliki pertanyaan mengenai Immortal tanyalah kepada penyihir jika kau memiliki pertanyaan mengenai penyihir tanyalah kepada Immortal"

"Kenapa begitu?" Alisku sepertinya berkerut.

"Karena, setiap musuh pasti akan mengatakan kelemahan lawannya dan menyembunyikan milik mereka" Victoria bangkit dan membawa kotak putihnya "dan di dunia kami kelemahan adalah suatu kebenaran" ia terseyum.

"Ayo kita harus mengganti bajumu"

Aku mengganti baju dengan setelan gaun hitam yang pernah aku pakai sebelumnya. Victoria bilang hanya itu satu-satunya baju berwarna hitam yang berada di heks verden. Kami masih berada di Cafe sampai Kangta menjemput.

Entah kenapa sejak Kangta datang keadaan jadi sedikit canggung, terlebih Victoria yang seperti menghindari tatapan langsung kearah Kangta. Victoria jadi sedikit lucu jika sudah bertingkah seperti itu. Aku rasa Victoria menyukai Kangta. Aku hanya menebak.

"Ayo waktunya pergi" aku mengikuti Kangta dan Victoria berjalan dibelakangku.

"Sampai jumpa lagi Ana" ucap Carl kepadaku, ia muncul dari dalam dapur.

"Ya, sampai jumpa lagi, terimakasih untuk minumannya, rasanya enak sekali" Carl tersenyum lebar mendengar pujianku.

Aku melambai padanya dan kami bertiga segera memasuki Heks Verden. Aku meraih tangan Victoria dan menganggandengnya. Rasanya tangan-tangan penyihir begitu sejuk dikulitku, yang ikut menyejukan hatiku.  Kami berdua berjalan dibelakang Kangta yang terlihat kaku saat berjalan, padahal dia bukan anak Immortal.

 "Oh ya aku sudah memberika sedikit obat herbal pada lukamu dan ada beberapa ramuan yang bisa membantumu menyembukan luka dari dalam, sudah aku masukan kedalam tasmu"

"Terimakasih banyak" ucapku sungguh-sungguh pada Victoria, ia benar-benar perduli padaku, entah karena perintah kerajaan atau memang perbuatannya tulus, aku merasa senang apapun alasannya "aku beruntung banyak yang memperhatikanku disini"

Aku melirik Kangta sekilas. Ia seperti menoleh sekilas kemudian kembali seolah-olah ia jalan seorang diri.

"Eonnie" panggilku "aku rasa kau orang yang tepat untuk aku mintai jawaban, banyak yang ingin aku tanyakan tentang... you know" ucapku berbisik.

"Kita sudah sampai" Kangta memotong pembicaraan kami saat bangunan seperti layaknya kerajaan berdiri dihadapan kami.

"Jika menurutmu begitu, tanyakan saja, kita bisa bertemu setiap hari di Cafe, bagaimana?"

"Okay" ucapku senang.

“Tapi Ana dengarlah, sesuatu yang ingin kau ketahui bisa saja merubah pandanganmu, cara berpikirmu dan aku harus bisa menentukan sendiri mana yang benar dan salah”

 

Aku belum sempat menanggapi perkataan Victoria karena sebuah gerbang besar  telah terbelah dua dihadapan kami seolah mempersilahkan kami untuk masuk.

Banyak orang-orang di dalam kerajaan itu yang terlihat berlalu lalang. Beberapa orang terlihat menggunakan topi panjang dengan ujung lancip yang terlipat diatas kepala mereka.

Dan setelah melewati beberapa koridor, akhirnya kami berada di sebuah ruangan serba putih dengan karpet yang memanjang membentuk sebuah jalan. Karpet itu berwarna keemasan, menghiasi lantai yang berwarna putih pucat sama dengan wajah dinding. Aku melirik Victoria sekilas.

"Aku juga pernah tergakum sepertimu dulu" ia berbisik.

Saat kami sampai di ujung ruangan sebuah jubah perak mengantung ditubuh seseorang yang kurus dan tinggi, ia membalikan badan menyambut kami. Gerakannya seperti orang yang sedang menari.

Aku melihat mata keunguan menatap kami dan bibir pucat pasi tersenyum kearah kami. Apakah itu raja penyihir? Kulitnya putih, tubuhnya yang kurus sedikit tersamarkan dengan jubah perak yang dikenakannya. Rambutnya juga berwarna putih dengan hiasan berwarna keemasan ditelinganya. Ia terlihat seperti patung, begitu sempurna dengan wajah tampan dan tegas.

"Selamat datang" ucapnya lembut. Aku seperti mendengar nyanyian singkat.

Kami membungkuk hormat dan ia tersenyum sangat ramah. Aku tidak bisa berhenti untuk memujinya. Pria itu lebih seperti seorang dewa. Ia turun dan melangkah kearahku. Kangta berusaha tidak menghalangi jalan dan Victoria melepaskan gengamannya.

"Senang bertemu denganmu Ana" ucapnya menyentuh bahuku. Tangannya begitu lembut dan ringan, napasnya terasa dingin dan semua kecantikan itu berubah menjadi ketampanan saat aku memandang wajah tegasnya.

"Kehormatan bagiku yang mulia"

"Perkenalkan aku Raja Xi yang ke - XIV" dia menujukan sisi orientalnya ketika tersenyum matanya sedikit menyipit mebuatnya terlihat lebih menawan.

"Kau sudah melewati hal-hal berat, aku turut bersimpati" aku tersenyum menanggapinya "tapi aku sudah membuat kesepakatan dengan Raja Han bahwa kau tidak akan tersakiti" sepertinya ia mencoba menghiburku.

"Sayang, kita baru bisa bertemu sekarang, dan setelah ini mungkin akan lebih sulit karena kau sudah menjadi milik mereka" aku bersumpah melihatnya berkaca-kaca lalu berubah ekspresi menjadi penyemangat yang ceria "itu hanya kata mereka! Percayalah Ana, sesungguhnya kau hanya milikmu sendiri, kau yang berkuasa atas dirimu sendiri" dia seperti sedang memerankan peran dalam sebuah pertunjukan, gerakannya begitu indah dan ekspresi wajahnya yang selalu berganti-ganti.

"Dan aku harap ini bukan pertemuan terakhir kita, aku harap kau sering berkunjung" ia mengakhiri dialognya dengan tersenyum.

"Aku pasti akan sering berkunjung masih banyak yang ingin aku ketahui tentang semua ini, hal ini seperti mimpi bagiku aku hanya ingin mencoba bangun dan merasakan bahwa semua ini adalah nyata, aku masih membutuhkan bantuan para penyihir" ungkapku jujur.

"Ana, jika kau menginginkan sesuatu kau bisa meminta langsung padaku akanku bantu sebisaku, apalagi semua orang begitu mengkhawatirkanmu"

"Yang Mulia, Anda dan para penyihir yang lain sudah banyak membantuku, aku sangat bersyukur kalian mau membantuku bahkan melindungiku meski harusnya sekarang aku sudah menjadi musuh kalian"

Raja Xi mendekat dan meraih tanganku. Tangannya begitu dingin dan lembut, seperti gumpalan kapas yang membalut tanganku.

"Kau akan selalu menjadi bagian dari kami, Ana" ucapnya "dan kau akan selalu terlindungi" tanganya terangkat dan menaburkan sesuatu diatas kepalaku, seperti bubuk keemasan yang segera hilang setelah mengenai tubuhku seperti terserap kedalam.

Setelah itu aku mendengar suara, suara yang aneh, seperti dentingan jam, seperti gesekan roda, seperti suara kunci yang terpasang.

Golden Compass itu... terbuka.

 

-

 

Maaf banget baru bisa update karena habis uts dan aku mungkin bisa update sebulan sekali, mungkin gak sampai sebulan tapi aku mau coba ngedit dulu sebelum diupdate biar gak banyak typo dan kalian masih bisa nyaman baca FF ini. Maaf banget buat yang udah nanyain FF ini kapan update, saya emang author penuh dosa...

POPULAR FANFICTION

BERITA PILIHAN

COPYRIGHT 2025 DREAMERS.ID PUBLISHED BY DREAMERS NETWORK