home_icon
SIGN IN
SIGN UP
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
LOUNGE
HOW IT WORKS
HOW TO BE DFF OF THE WEEK
TERMS OF USE
CONTACT US
  • Latest
  • Most Viewed
  • Most Loved
  • A-Z
  • My Fanfiction
  • My Subscriptions
  • My Subscribers
  • Create New Fanfiction
Fan Fiction > ANABELLE

ANABELLE

Share:
Author : Rezkyka
Published : 23 Apr 2014, Updated : 24 Oct 2017
Cast : Anabelle Walker as OC, Kim Jongin, Xi Lu Han, Kim Myungsoo , Lee Taemin and many
Tags :
Status : Ongoing
6 Subscribes |44968 Views |15 Loves
ANABELLE
CHAPTER 29 : LEDAKAN

Sekarang aku ingat apa yang aku pelajari tadi malam, saat pelajaran tambahanku dimulai. Mereka menceritakan mengenai sekolah Shinwa yang dibangun dengan susah payah oleh para Immortal. Shinwa merupakan kerajaan kedua setelah museum sebagai pusat kerajan mereka. Lalu Peru sebagai rumah mereka.

Shinwa dibangun dengan tujuan menampung anak-anak Immortal, menyekolahkan anak-anak vampir agar mereka tidak perlu berbaur dengan manusia. Tapi sayang orang-orang yang mulai penasaran dengan sekolah bergaya klasik dengan bangunan tidak seperti sekolah itu. Gerbang yang besar, pohon yang menjulang tinggi, taman-taman yang indah, seperti bukan sekolah pada umumnya. Banyak manusia yang ingin memasuki Shinwa tapi para vampir dan Immortal tidak ingin kerajaan mereka diganggu oleh manusia, manusia bisa membongkar tempat persembunyian mereka. Hingga beberapa tahun kemudian manusia bisa masuk dan bersekolah di Shinwa. Orang-orang tidak lagi curiga namun kini para penyihir yang curiga. Mereka mulai memata-matai, meneror dan mencaritahu semua kegiatan di sekolah itu.

Ingatanku hanya berhenti sampai disitu, selebihnya aku sepertinya tertidur dan tidak ada yang menyadarinya. Mungkin karena aku melakukan kelas tambahan bersama beberapa alert yang baru, jadi orang-orang jadi tidak menaruh perhatian padaku. Aku tersadar kembali ketika Suho salah seorang Immortal yang sedang menerangkan tentang makhluk-makhluk yang bekerjasama dengan kelompok mereka.

Aku bukannya tidak ingin memperhatikan, kadang aku tidak ingin tahu jauh lebih dalam mengenai semua ini. Biarlah aku tidak tahu apa-apa, biarlah aku menjalani ini dengan semua ketidaktahuanku. Karena kini aku adalah salah satu orang yang tidak begitu akrab dengan kenyataan, aku tidak ingin menilai mana kebenaran, mana hanya tipuan. Tidak cukupkah aku diberi mimpi yang tidak akan pernah berakhir?

Tapi haruskah aku... haruskah aku mencari kebenaran yang dibertahukan Sa Eun padaku?

Sejarah mengenai Shinwa sudah cukup membuat aku bingung, karena seolah dalam sejarah itu, mereka hanya makhluk biasa yang ingin membangun kehidupan tanpa berniat jahat. Tapi kenapa? Apa vampir bukanlah tokoh jahatnya?

Bahkan sekarang aku kembali terusik dengan kenyataan baru. Bahwa Kai lebih dari sekedar anak immortal yang diberi tugas rahasia, lebih dari seorang mahasiswa yang memendam seribu rahasia dibalik pandangannya. Benarkah orang yang menyelamatkan ku saat kecelakaan itu adalah dirinya? Yang membawaku terbang sampai ke tepi jalan dan hilang entah kemana.

Sayangnya, aku tidak bisa langsung bertanya. Kali ini dia tidak mengatarku pulang, dia tidak muncul, bahkan saat aku sedang di kelas tambahan tadi malam. Disampingku, Byun Baekhyun yang sedang sibuk menyetir mobil. Aku baru pertama kali ini diantar pulang olehnya, selain Kai atau Chanyeol.

"Kenapa melihatku seperti itu?" Baekhyun menangkap tatapanku.

Aku mengalihkan pandanganku segera setelah ia menyadarinya. "Tidak"

"Tenang saja, aku akan mengantarmu sampai rumah dengan selamat" ucapnya ramah.

Kenapa beberapa anak Immortal sepertinya begitu ramah? Seperti Sekretaris Lee Sungmin misalnya. Ketika menatap wajahnya tidak ada raut menyeramkan. Bahkan beberapa anak Immortal sudah menunjukan gejala untuk menuju seorang vampir, tapi gejala itu tidak aku dapatkan dikedua orang ini.

Aku pernah dengar pembicaraan anak-anak immortal dengan perubahan gejala itu. Mata mereka akan lebih sering memerah, kulit mereka akan mengering, gigi mereka akan semakin runcing dan tubuh mereka makin rapuh. Aku rasa para Immortal memiliki ketakutan sendiri dengan hal itu. Tahap akhir yang harus mereka lalui sebagai makhluk abadi begitu menyeramkan.

"kita sudah sampai" Baekhyun menyadarkanku.

"Terima kasih" ucapku formal. "Ah iya, aku penasaran sebenarnya kenapa Kai tidak bisa mengantarku pulang?"

"Dia sedang menyusun laporan di ruang pertemuan, tugasnya untuk melapor besok" jawab Baekhyun santai.

"Sebenernya apa tugas-tugas anak bulan? Maksudku kalian tampak sangat sibuk termasuk Kai"

"Pasti kau jarang membaca buku pedoman ya?" Baekhyun menebak. Aku hanya membalasnya dengan tersenyum.

"Tugas kami cukup berat, kami akan bertanggungjawab pada banyak hal, seperti mengawasi murid-murid di Shinwa, memgatur upacara-upacara penting dan masih banyak lagi" aku mengangguk paham, tapi ingin sekali aku tanyakan mengenai mengawasi murid-murid di Shinwa, apa mereka juga mengatur tentang korban berikutnya? Tapi itu pasti akan mengundang amarah Baekhyun.

"Dan untuk Kai, ini pasti masa-masa yang sulit baginya" Baekhyun menggelengkan kepala. "Setelah Ayahnya meninggal semuanya jadi sedikit kacau di Kerajaan, harusnya ia sedang mempersiapkan diri menjadi pendamping raja yang sah setelah ia menjadi vampir, tapi setelah Ayahnya meninggal sepertinya hal itu masih berlaku lagi padanya, ia tetap mendapat tugas-tugas yang sangat berat meski dia bukan lagi calon pengurus kerajaan"

Aku terkesiap dengan ceritanya "tunggu sebentar, tadi kau bilang Kai siapa?" Aku mencoba mencari penjelasan.

"Kai, dia anak dari raja sebelumnya yang dulunya memegang Golden Compass, Ayahnya meninggal dan Kai belum berubah menjadi Vampir oleh karena itu raja Yeon yang mengambil alih dan pengurus kerajaan. Sampai saat ini belum ditentukan diurus oleh siapa kerajaan kelak, semuanya masih bergantung pada kami"

"Jadi..." aku berusaha menyimpulkan "Ayahnya adalah raja yang mempunyai golden compass ini, itu berarti ia meninggal karena golden compass ini belum berada ditangannya dalam tujuh hari?"

"I-iya" Baekhyun ragu menjawabnya, dia seperti menangkap rasa terkejutku. Aku memandangnya panik, itu berarti Ayah Kai meninggal karena aku. Patas saja ia begitu tajam melihatku, begitu ketus berbicara padaku. Ternyata Kai membenciku.

Tunggu, Kai membenciku?

"sebaiknya kau segera masuk ke dalam rumah, hari sebentar lagi pagi"

Aku masih dengan wajah terkejutku saat keluar dari mobil Baekhyun, dan berjalan masuk ke rumahku yang gelap. Tidak ada yang sadar bahwa selama ini aku keluar masuk rumah tengah malam. Bahkan cctv pun tidak bisa menangkap basah aku. Chanyeol mengatur semuanya dengan baik.

Kini rasa penyesalan kembali merasukiku. Sebuah pernyataan berhasil menyalahkanku. Tentang kebodohanku yang membuat semua orang merugi. Andai sejak awal aku kembalikan saja golden compass ini, atau aku tidak perlu memungut benda ini dan sok peduli pada pemilik golden compass. Pasti sampai sekarang aku tidak perlu berurusan dengan siapapun dan Kai tidak akan kehilangan siapapun.

Ternyata yang selama ini aku rasakan benar, saat matanya yang menghakimiku tanpa alasan, saat matanya tajam membuat hatiku merasa sakit, semua benar terbaca. Itulah yang benar-benar ia rasakan. Lelah, sedih, khawatir, dan semua terjadi karena aku yang dengan beraninya masuk kedalam kehidupan yang bukan milikku, dan menghancurkan kehiduapan milik seseorang yang berharga.

Aku duduk dipinggir tempat tidurku dengan tubuh yang masih terasa kaku. Kegelapan tidak mengagguku sama sekali, malah membuatku larut dalam pikiranku. Bahkan rasa kantukku hilang digantikan perasaan tegang yang mebuat seluruh tubuhku kaku.

Aku menarik ponselku dari dalam saku jaket dan menatap nama Kai disalah satu kontak ponselku. Pikiran bodoh hinggap dikepalaku berpikir bahwa aku bisa menelponnya dengan sesuka hatiku setelah apa yang aku ketahui. Tidak Ana, kau tidak bisa begitu saja meneleponnya sekarang dan meminta maaf padanya. Kau sudah melukai perasaannya, kau membuat Kai kehilangan Ayahnya.

Segera ku melemparkan ponselku ke tempat tidur dan merebahkan tubuhku saat menyadari semua itu. Ku pandang cermin yang berada di hadapanku dengan tatapan melamun. Cermin yang cukup besar dan lurus kearah tempat tidurku itu adalah hal yang paling membuatku bisa membedakan mimpi dan kenyataan. Setiap aku terbangun di pagi hari cermin itulah yang pertama kali aku sapa.

Pikiranku kembali lagi untuk memikirkan Kai. Jika memang ia membenciku kenapa ia jadi satu-satunya iImmortal yang selalu menolongku dan mengawasiku?

Satu-satunya cara adalah memastikannya. Aku bangkit dari tidurku dan berjalan kearah meja rias. Setelah membuka jaket Kai yang masih aku pakai, aku duduk didepan meja riasku dan membuka salah satu laci. Disana terdapat benda kecil yang aku simpan dengan baik. Sebuah kancing.

Ku ambik kancing itu dan aku cocokan pada salah satu tempat kancing yang kosong. Benar! kancingnya cocok. Tepat dibagian aku menarik jaket pria yang menolongku sampai salah satu kancingnya terlepas. Ini bukan kebetulan, kan?

Kai adalah orang yang menolongku saat itu, aku yakin itu. Dengan segala kekuatan yang ia miliki tentu saja ia bisa membawaku dengan cepat ke tepi jalan. Bahkan ia juga menolongku saat aku pergi ke Jeonju. Tidak ada alasan untuk tidak berpikir bahwa Kai adalah orang yang menolongku.

Tapi bagaimana ia bisa seperti itu? Aku yang menyebabkan ia kehilangan Ayahnya. Untuk apa ia repot-repot menolongku?

Ini tidak masuk akal. Lebih mudah jika ia membenciku.

---

Aku merasa bumi sedang bergoncang. Membuat tubuhku terpontang-panting dan kepalaku menjadi pusing.

"Ana, ya Tuhan kau ini pingsan ya?" suara Ibu lagi-lagi terdengar.

"Wae mom?" Aku masih merasa tubuhku digoncang-goncagkan dengan keras.

"Bangun sayang, ini sudah pagi" Ibu menarik selimutku yang hangat.

"Aku tahu tapi ini weekend mom, kenapa membangunkanku sepagi ini?" Ku tarik lagi selimut yang terlepas. Ini kesempatanku untuk bermalas-malasan, untuk menghabiskan rasa kantukku. Tapi kenapa suara Ibuku tidak kunjung berhenti?

"Nenek sudah datang!" Serunya lagi.

"Siapa?" Tanyaku pura-pura tuli.

"Nenek sayang, ia sudah dibawah" aku memilih kembali tidur dan tidak menghiraukan ibuku. "Ayolah Ana, dia ingin sekali bertemu dengamu, temuilah sebentar, nanti kau bisa tidur lagi kan?"

Aku membuka selimutku dengan terpaksa dan menatap Ibuku marah. "Apa?" Katanya melihat tatapanku.

"Janji, jangan ganggu tidurku lagi setelah ini" nadaku terdengar megancam.

"Aku berjanji" ucap ibu dengan pasrah, namun aku masih bisa melihat tawanya yang tertahan. Aku menghela napas berat dan beranjak dari kasur.

"Eh Ana, kau tidak ingin membasuh wajahmu dulu?"

"Ah Ibuuu! Apakah itu perlu?" Aku menghentakan kakiku.

"Tentu, dan sisir rambutmu juga, Please!" meski ibu terlihat memohon aku hanya membasuh wajahku sekali tanpa menyisir rambut. Aku hanya mengikatnya asal. Masa bodo. Langsung saja aku turun ke bawah.

Mataku masih sangat berat dan pagiku kembali terusik. Bahkan kali ini dan mungkin hanya hari ini aku bisa mendengar suara Juno lebih sering dari biasanya. Karena baru aku melangkahkan kakiku ke ruang utama, suara Juno sudah sangat terdengar dan cenderung kearah berisik. Dia senang kedatangan nenek-nya. Entah bagaimana dengan diriku nanti.

"Ibu, ini Anabelle"

Setibanya aku disana Ibu menarik tanganku dan menyunggingkan senyuman lebar.

"Annyeonghaseyo" sapaku pada nenek. Aku tidak harus tersenyumkan?

Dia berdiri tegak setelah mengelus rambut Juno kemudian menatapku. Jika aku gambarkan, nenekku ini sangat jauh dari kata seorang nenek. Pakaiannya yang masih terlihat modis, warna rambut hitam kelam yang tak alami, kulit yang kendur dipoles dengan bedak dan mata yang masih tajam. Cerminan sekali dari Ibuku. Kecuali kulit yang kendur.

"Anabelle" ucapnya sambil menilai pemanpilanku. Aku jadi sedikit malu dan mencoba merapikan gulungan rambutku.

"Sudah bisa ditebak" bibirnya menjadi miring dan matanya menatap malas diriku.

"Ne?" Aku sedikit terkejut dengan suara ketusnya. Raut wajahnya juga tidak ramah, tapi aku harap dia bisa berkata lebih baik denganku. Atau aku juga tidak bisa berkata baik dengannya.

"Bagaimana kabar Ayahmu?" Dia mendekat dan senyumnya merekah "Apa dia masih dengan pekerjaannya?"

Aku menyernyitkan kening dan meminta penjelasan pada Ibuku, apa maksud wanita ini bertanya seperti itu.

"Ya, Ayah masih di pekerjaannya,"

"Montir, kan?" Ternyata wanita ini sangat menyebalkan, matanya terlihat rendah memandangku.

"Sebenarnya Ayahku sudah membuka bengkel yang cukup besar dan mempekerjakan beberapa orang, ah montir maksudku, jadi bisa dibilang dia bosnya sekarang" ucapku dengan senyum yang lebar.

"Ah aku menyayangkan kehidupan kalian yang tidak banyak berubah, tapi aku senang melihat kau disini" Dia membalas senyum lebarku dengan tawa kecilnya.

Kalau bisa aku ingin sekali langsung menghilang dan bisa berada di kamarku dengan segera. Pagi ini wanita tua itu sudah membuatku terbangun dan berkata dengan sangat sombong. Aku menyesal keluar dari kamarku pagi ini.

Nenek kembali mengobrol dengan Juno dan kembali mengeluarkan hadiah dari sebuah kantong besar. Juno terlihat memuji hadiah pemberian nenek. Sebuah games yang katanya sedang sangat populer.

"Ibu, pasti membawa hadiah juga untuk Anabelle, kan?" Ibu merangkulku dan aku menyipitkan mata padanya.

"tentu saja, ini untuk Ana" nenek itu memberi sebuah kotak yang cukup besar.

"Bukalah," Ibu berbisik padaku.

Aku terpaksa mengikutinya dan membuka hadiah yang mencurigakan itu. Ketika aku membukanya, hanya ada baju-baju yang tidak jelas bentuknya, malah terlihat bekas dipakai.

"Astaga! Ana, sepertinya aku salah memberikan hadiah untukmu" nenek tua itu menghampiriku dengan ekspresi wajah yang aneh.

"Ibu, apa ini?" Baru sekarang aku mendengar suara Ibuku dengan nada tinggi.

"Sepertinya hadiah untuk Ana tertukar, aku meminta asisten rumah tangga untuk membungkusnya, sepertinya ia salah membungkus hadiah untuk Ana, itu baju-baju yang ingin nenek sumbangkan ke panti sosial" Ia menatap Ibuku dengan wajah menyesal. Tapi wajahnya tetap menyebalkan.

Aku menyerahkan kotak itu pada Ibuku dan menatap Ibuku sinis. Semua yang dilakukan nenek tua itu sepertinya dilakukan dengan sengaja, dan Ibuku sepertinya pura-pura tidak tahu. Aku segera menuju ke kamarku dan ingin melanjutkan tidurku. Aku harap nenek itu segara pulang.

"Ana!" Ibu masuk kedalam kamarku sebelum aku menutup pintu. Aku membiarkannya masuk dan memarahiku. Terserah nanti Ibu mau berkata apa, aku menarik selimutku lagi untuk kembali tidur.

"Ana bangun!"

"Apa lagi, mom? Mommy sudah janji untuk tidak mengangguku setelah bertemu dengannya"

"Dengannya? Dia itu nenekmu, kenapa kau memanggilnya seperti itu?"

"lalu berkata seperti apa? Aku sudah sangat sopan tadi bahkan aku sudah melampilkan seluruh gigiku agar dia merasa dihormati"

"Dia? Astaga Ana, kau harus menjaga sikapmu"

Aku kembali bangkit untuk duduk dan langsung menatap Ibuku kesal. "Menjaga sikap? Memang mom tidak lihat bagaimana ia melihat dan berbicara denganku? Dan hadiah darinya itu..."

"Memang begitu caranya bicara Ana, dan nenek kan sudah mejelaskan hadiahnya tertukar.

"Benarkah?" Aku hampir saja tertawa.

Ibu menatapku dan siap meluncurkan celotehannya lagi. Aku buru-buru menutup tubuhku dengan selimut.

"Ana, kau tidak boleh tidur lagi, kita akan sarapan bersama nenekmu, aku tunggu kau dibawah atau..." Ibu terlihat memikirkannya "atau Ibu akan potong uang jajanmu" kemudian Ibu keluar dengan membanting pintu.

Aku tersenyum, bahkan setengah uang jajanku sehari bisa aku gunakan untuk seminggu.

---

"Dimana menantuku? Apa pagi-pagi sekali dia sudah berangkat bekerja?" si nenek tua itu kembali bersuara. Dia tidak henti bertanya ini dan itu, mengomentari ini dan itu. Aku berusaha fokus dengan sarapanku saja. Dan aku harap nenek segera pulang ke rumahnya.

"Dia masih di Jepang bertemu beberapa client" jawab Ibu dengan senyuman bangga.

"Ah menantuku sangat pekerja keras, dengar ya Juno kalau sudah besar kau harus menjadi pekerja keras seperti Ayahmu"

Juno mengangguk dengan senyuman. Ada apa dengan anak ini? Dia bisa begitu ramah dengan wanita tua yang duduk di sebelahnya itu. Ah iya, dia memang bukan nenekku tapi nenek-nya Juno. Aku tidak beruntung kali ini.

"Lalu Ana, kau sekolah dimana?"

"Dia sekolah di Shinwa, bu" masih saja Ibuku yang menjawab pertanyaan-pertanyaannya. Ada apa sih. Terlihat sekali Ibu ingin semuanya berjalan lancar, terlihat ia menghindari beberapa hal dan membuat nenek senang. Ya, biarkan saja.

"Shinwa? Dimana itu? Aku tidak pernah mendengarnya. Aku rasa sekolah itu tidak cukup terkenal"

"Itu sekolah biasa bu, tapi cukup bagus"

"Sekolah biasa? Hmmm"

Wajah nenek tua ini sangat menyebalkan. Kalau aku bisa, aku ingin mengajaknya ke sekolahku dan membuatnya bertemu para Immortal. Mungkin mereka bisa memperkenalkan nenek pada para vampir nanti, aku rasa ia akan ketakutan setengah mati. Wah, betapa mudahnya berpikir jahat.

"Bagaimana kalau hari ini kita pergi?" Nenek itu kembali bersuara.

"Aku setuju!" Juno langsung menyambar.

"Bagaimana Ana? Kita pergi bertiga" nenek itu melihat kearahku.

"A-apa? Aku... aku dirumah saja" ucapku cepat.

"Tidak Ana, kau harus ikut, kau kan jarang pergi jalan-jalan" Ibu malah ikut membujukku. Wajahnya terlihat lebih sumringah.

"Iya Noona, pasti menyenangkan" kali ini Juno yang menatapku. Aku sebenarnya tidak mau merusak hari bahagia Juno ini. Ia jarang sekali terlihat senang. Dan aku tidak ingin jadi perusak harinya. Aku masih hutang penyesalan padanya karena pernah membuatnya masuk ke dalam rumah sakit.

"Baiklah" kataku akhirnya. Dengan nada mengeluh.

Kami bersiap pergi setelah sarapan. Tidak lupa aku membawa golden compass ke dalam tasku. Hal ini sudah menjadi kebiasaan, golden compass sekarang sudah menjadi bagian dari hidupku.

Ibu menyambut senyuman dibawah tangga saat melihatku turun.

"Have fun" ucapnya saat aku berjalan melewatinya. Terserahlah.

Aku berusaha berpikir positif. Ini pasti menyenangkan, ini pasti menyenangkan. Dan ketika aku baru ingin meraih pintu mobil nenek tua itu sudah berada di sampingku dan membuka mobil lebih dulu, kemudian disusul Juno, dan mereka berdua sudah duduk rapi dibelakang. Apa nenek tua itu tidak melihatku? Sabar Ana, kau hanya tinggal duduk didepan.

Hal ini berlanjut saat kami tiba di mall. Nenek tua itu selalu bicara tapi tanpa mengundangku dalam pembicaraanya dengan Juno. Ketika Juno menoleh padaku aku hanya pura-pura tersenyum, aku tahu anak itu ingin memastikan apa aku senang pergi bersama mereka hari ini. Aku tidak mau Juno berpikiran aneh-aneh.

Lama-lama keadaan makin parah. Si nenek tua ini malah menyuruhku membawa semua belanjaan dan selalu meninggalkanku jauh dibelakang. Aku tidak tahu apa maksudnya, tapi ia selalu membuat Juno sibuk sehingga tidak bisa menoleh padaku. Padahal aku ingin sekali mengajaknya pulang. Apalagi hari sudah mulai malam. Aku bahkan menguap beberapa kali.

Saat sebelum kami benar-benar pulang nenek ini mengajak cucunya untuk makan di sebuah restoran. Aku? Aku bukan cucunya, cucu yang tidak dianggap. Dia hanya berbicara pada Juno sedangkan aku masih membuntuti mereka dari belakang. Karena semua belanjaan aku yang membawanya jadi membuatku sulit untuk berjalan.

Saat tiba di restoran, dengan sedikit membanting belanjaan itu aku duduk bersama mereka. Wajahku sepertinya juga sudah mengisyaratkan rasa kesal, dan Juno menyadarinya.

"Noona, gwenchana?" Juno menatapku dengan semua belanjaan yang aku letakan. Kau terlambat menanyakannya Juno. Aku memandangnya sambil berkata dalam hati.

"Tenang saja, Noona-mu pasti hanya sangat lapar, jadi ayo segera kita pesan makanannya" wajahnya bersinar-sinar pasti ia sangat senang sudah mengerjaiku. Dasar nenek tua.

"Dengar Juno selama nenek menginap, aku yang akan mengantarmu ke sekolah"

"Tidak perlu nenek, aku biasa berangkat dengan Noona, Jung ahjussi yang mengantar kami" Aku sedikit menyunggingkan senyum.

"Tidak kali ini Juno, pokoknya nenek yang akan mengantar kalian berangkat sekolah dan pulangnya kita bisa pergi jalan-jalan lagi, bagaimana?"

"Aku setuju, nenek memamg yang terbaik!" Juno mengacungkan jempolnya. Aku menatap mereka berdua dengan sinis. Aku harap tidak lagi mejadi bagian dari kegiatan jalan-jalan mereka. Bisa-bisa nenek akan mengerjaiku lagi, seperti hari ini.

"Ana, kenapa sepanjang hari kau diam saja? Tidak ada yang ingin kau ceritakan?"

Aku menaruh lagi sumpit yang sudah aku arahkan ke mulutku. Tiba-tiba nenek membuatku kesal. Dia bilang aku diam saja?

"Bagaimana aku cerita sedangkan nenek saja tidak bertanya apa-apa padaku" aku menjawab seramah mungkin.

"Oh apakah begitu? Baiklah, ceritakan kehidupanmu di Inggris"

"Aku tidak tinggal di Inggris, tapi di Amerika" jawabku ketus.

"Ah begitu, aku dengar di Amerika semua serba bebas benar begitu?" Nenek kembali mengunyah makanannya kemudian menelannya dengan cepat "aku lihat di film-film kalau anak Amerika seumurmu sudah sangat bebas, bahkan tingkat aborsi sangat tinggi disana, astaga!"

Juno melirikku, sepertinya dia sadar dengan raut wajahku yang mulai terlihat seperti orang bodoh. Padahal anak seumurnya tidak mungkin memandangku seperti itu.

"Barang terlarang, pesta anak muda, wah aku tidak tahu bagaimana kau tinggal disana" suara nenek meninggi dan wajahnya terlihat makin aneh. Beberapa orang sempat melihat kearah kami. Apa dia berusah mempermalukanku?

Berpikir positif-lah Ana. "Disana tidak seperti itu" sanggahku "nenek hanya terlalu banyak menonton televisi" untuk sekarang aku masih berusaha menahan emosiku.

"Tentu saja, kau pasti tidak mungkin seperti itu, Ayahmu pasti mengajarkanmu dengan baik selain membongkar pasang mobil, aku bersyukur dia masih bisa menyekolahkanmu"

Aku menaruh sumpit ditanganku dengan kasar. Ku tatap nenek tua itu dengan tajam. Dia menatapku bingung.

"Kenapa nenek bicara seperti itu?"

"Ada apa Ana? Aku salah bicara?" Wajah pura-pura polos terpampang pada ekspresinya.

"Kenapa nenek selalu membawa nama Ayahku?"

Wanita tua itu hanya tersenyum sambil menikmati hidangan yang sebentar lagi habis.

"Ana, aku sangat tahu bagaimana kehidupan Ayahmu yang menyedihkan itu" nada suaranya mengecil. Bahkan Juno mungkin hampir tidak bisa mendengarkannya "aku rasa karena kau disini ia jadi sedikit mengambil keuntungan, apa kau sering mengirim uang pada Ayahmu?"

"Kau pasti sudah ingin mengatakannya sejak tadi"

"Ne?"

"Tujuanmu adalah untuk merendahkanku dan Ayahku" aku meletakan sumpit ditanganku dengan kasar "Ayahku tidak pernah meminta uang dan aku tidak pernah mengirimnya, jika kau berniat membuatku kesal hari ini, maka kau berhasil"

"Ana, apa yang kau katakan? Kenapa memanggil nenekmu sendiri begitu?"

Aku tidak mendengarkannya dan segera berjalan pergi dari restoran itu. Ini tidak akan berjalan dengan baik. Tidak perduli nenek akan membenciku karena aku juga tidak keberatan untuk membencinya.

Kau salah Juno, kau salah. Seorang nenek tidak mungkin melakukan ini terhadap cucunya. Dia tidak menganggapku cucunya. Ini sama sekali tidak menyenangkan.

---

Taksi yang membawaku pulang segera tiba dirumah. Ibu pasti akan bertanya-tanya kenapa aku bisa pulang lebih dulu, tapi jika Ibu meyayangiku dia pasti mau mendengarkan dan tidak menyalahkanku sepenuhnya.

Aku membuka pintu rumah dan mendapati suara langkah kaki yang berlari dari dalam, pasti itu Ibuku.

"Sudah pulang?" Tanya Ibu dengan wajah ceria. Aku tidak mejawabnya dan berjalan menuju tangga.

"Ana, dimana adik dan nenekmu?"

"Tentu saja mereka sedang menikmati hari antara cucu dan neneknya" jawabku dengan senyuman sinisku.

"Ana, apa yang kau katakan kau juga cucunya, sebenarnya ada apa?"

"Ibu berhenti bersikap tidak tahu!" aku sedikit membentak. "Aku sudah berusaha bersikap baik tapi jangan pernah menyuruhku menghargai orang yang tidak menghargaiku"

"Ana!" Belum sempat Ibu melanjutkan memarahiku suara mobil dan pagar terbuka terdengar "itu mereka pulang, jangan pergi kemana-mana dan tetap disini"

Ibu setengah berlari menuju pintu masuk dan langsung mendapati wajah nenek tua itu yang entah mengapa makin menyebalkan. Dia melihatku berdiri ditangga dan mulai berkspresi aneh.

"Aduh punggungku!" Seru nenek sambil meletakan belanjaan ke lantai.

"Ada apa Ibu?"

"Ah punggungku, aku memang sekarang tidak bisa membawa banyak barang" ia terlihat kesakitan. Tapi aku ragu.

"Kenapa Ibu dan Juno tidak pulang bersama Ana? Apa Ibu naik taksi?"

"Iya, kami naik taksi, bagaimana kami bisa pulang bersama? Anak perempuanmu meninggalkan kami saat makan diluar tadi" nenek itu mengadu ternyata.

Ibu langsung menatapku dengan skeptis. Dia meminta penjelasan dengan tatapan matanya. Aku masih tidak bergeming, berdiri sambil melipat tanganku.

"Dan lihat, dia membiarkan nenek tua ini membawa semua belanjaan, bahkan Juno tidak tega melihatku dan dengan baik hati membantuku"

"Ana kau benar-benar..." Ibu menatapku dengan pandangan tidak percaya.

Aku sendiri terkejut dengan perkataan wanita tua itu "Ibu, aku yang membawa semua belanjaan itu dari awal, dan asal Ibu tau dia telah menghina Ayah"

"Ana! Panggil nenekmu dengan baik!" Ibu malah membentakku.

Aku menghempaskan tanganku dan memandang Ibuku tidak percaya. "Bahkan Ibu tidak mendengar penjelasanku, dan hanya fokus dengan cara aku memanggil nenek tua ini" tunjukku pada wanita tua itu

"Lihat! Ji hyun, bagaimana ia bisa menunjuk neneknya seperti itu? Apa yang diajarkan Ayahnya pada anak itu sebenarnya? Sangat tidak terdidik!"

"Stop!" Seruku. Aku melangkahkan kakiku perlahan "jangan pernah membawa-bawa nama Ayahku, kau selalu menyebutnya dengan rasa tidak hormat" aku menujuk kearah wanita tua itu.

"Anabelle!" Ibu menghampiriku dengan mata yang marah padaku.

"Aku tahu bagaimana cara menghormati orang dan dari Ayahku, tapi nenek ini mengajarkanku bahwa kekayaan bisa mengubah rasa hormat itu. Sayangnya Ayahku terlalu baik, bahkan dia memintaku menyayangi dan menghormati wanita yang sudah meninggalkanku selama 10 tahun"

Aku menatap Ibu dengan mata berkaca-kaca. "Aku tahu bagaimana ini pada akhirnya, jika Ibu ingin hubungan kita lebih baik, jangan satukan aku dengannya, aku tidak bisa mendengarnya menghina Ayahku lagi"

Setetes air mata yang sudah tidak dapat ditampung dan jatuh ke pipiku. Aku segera berlari ke kamarku dan menghapus air mata yang malah membuatku makin kesal. Aku tidak ingin menangis, tapi air mata masih saja jatuh ke pipiku. Menyakitkan sekali menengar nenek berkata yang tidak-tidak.

Lama aku bersender dipintu kamarku, dan mengulang perkataanku yang tadi aku lontarkan pada Ibu. Apa aku sudah keterlaluan? Apa Juno melihat semua tadi? Apa aku sudah merusak harinya?

Pikiranku ini membuatnya semakin kacau. Aku tidak berniat menyakiti siapapun. Perkataan nenek membuat hatiku sakit. Sikapnya membuat aku sangat membencinya. Manusiawi kan jika aku berkata seperti itu?

Ya Tuhan, aku harus keluar dan meminta maaf. Aku tidak ingin nanti Ibu malah berpikiran yang tidak-tidak dan mengembalikanku ke San fransisco. Aku kembali keluar kamar dan menuruni tangga. Tidak bisa aku bayangkan berapa besar kekacauan yang sudah aku timbulkan.

"Hatiku sakit Ji Hyun!" langkahku terhenti saat aku sedang menuruni tangga. Aku bisa dengar suara nenek.

"Aku tahu aku memang suka berkata semauku tapi tidak pernah menghina siapapun" aku mendekat untuk bisa mendengar lebih jelas "aku berusaha bersikap baik padanya tapi dia selalu menjawab pertanyaanku dengan ketus, dia tidak mau menatapku dan memandangku dengan sinis, lalu dia menyebutku nenek tua, padahal aku sudah mengajaknya pergi dan berbelanja"

"Ibu, Ana termasuk anak yang keras, mungkin dia salah paham"

"Tidak, dia tidak salah paham, dia membenciku seperti Ayahnya yang membenciku, aku tahu tujuan Mark menyuruhnya tinggal disini, dia pasti ingin anaknya memperalatmu karena hidupmu jauh lebih baik dari mereka"

Aku kembali menitikan air mata. Teganya dia.

"Ibu, Mark tidak seperti itu dan Ana adalah anak yang baik"

"Kalau dia anak yang baik, kenapa dia mencelakakan cucuku Juno, sampai ia dibawa kembali ke rumah sakit?" Aku mematung, apa karena itu nenek jadi tidak menyukaiku? "Dengar Ji Hyun, aku sudah cukup melihat sikapnya hari ini, ini baru satu hari dan dia sudah memperlakukanku seperti itu, bahkan didepanmu. Bagaimana pun kau akan mendidiknya, dia sudah terlanjur jadi anak yang liar. Aku sudah menyimpulkan bahwa kau harus mengambalikan anak itu kepada Ayahnya"

"Ibu..."

"Ji Hyun, kau mau Ibumu ini dipermalukan lagi oleh cucunya sendiri? Jika kau tidak menurutiku, mungkin aku tidak akan kemari lagi, aku tidak bisa datang ke rumah ini lagi"

Aku menunggu jawaban Ibu atas semua yang dikatakan nenek. Tapi ia hanya terdiam dan menunduk.

Aku kecewa. Ibu bahkan terlihat tidak memperjuangkanku. Ini sudah cukup bagiku. Ibu memang tidak pernah mau mempertahankanku disini.

Aku kembali berlari menuju kamarku dan mengambil tas ranselku. Ku bawa semua baju dan barang yang aku butuhkan kedalam tas. Aku tidak kuat. Aku tidak bisa bertahan dirumah orang-orang yang bahkan tidak mengharapkanku.

Aku segera keluar kamar dan tidak sengaja berpapasan dengan Juno. Ia mematapku tajam.

"Kau memang orang yang mengecewakan" ucapnya yang kemudian melewatiku.

"Sorry?" Tegurku. Aku tidak mengerti apa yang ia maksud.

Juno membalikan badan dengan raut wajah yang marah "pertama kau bermasalah dengan Taemin Hyung kemudian dengan nenek, Taemin hyung tidak ingin bermain denganku lagi dan nenek tidak akan pernah menjengukku lagi, kenapa kau selalu saja membuatku jauh dari orang-orang yang menyayangiku?"

Aku terkejut mendengar ucapannya "A-aku... Juno" aku tidak bisa berkata-kata lagi. Semua ucapannya benar. "Juno aku benar-benar tidak bermaksud begitu" aku menghampirinya tapi ia keburu membalikan badan. Matanya yang tajam menghujaniku.

"menjauhlah dariku"

Hatiku begitu sakit ketika melihat pandangan Juno berubah lagi padaku. Dia menatapku seperti waktu pertama kali kami bertemu, namun kali ini menyakitkan. Lebih menusuk.

Juno membanting pintu, membuat hatiku yang tadinya membeku kini seperti terpecah belah didalam. Aku mematung sesaat, namun tidak mengubah niatku untuk pergi dari rumah ini.

Jadi aku segera menuruni anak tangga dengan sangat terburu-buru. Ingin sekali aku segera keluar dari rumah ini, sebelum tubuku meledak karena serpihan hatiku yang pecah tadi.

"Ana?" Aku berhenti saat tanganku sudah memegang gagang pintu. Aku menoleh dan mendapati Ibuku dengan tatapan bingung. Aku tidak sanggup lagi bicara atau aku akan benar-benar meledak. Lalu terpecah berkeping-keping dan aku akan benar menyakiti Ibuku. Aku tidak ingin menyakitinya, aku sangat menyayanginya. Bahkan jika ia tidak lagi menyayangiku nanti.

Dengan semua rasa sesak dihatiku. Aku melangkahkan kakiku keluar dari rumah itu. Berharap setelah aku keluar dari rumah itu semua akan kembali normal, rasa sesak didadaku menghilang, rasa kecewa Juno terhadapku sirna. Dan semua bisa kembali seperti semula.

Sayang, harapanku tidak didengar Tuhan. Setelah aku melewati pagar rumah Ibuku, aku malah berpapasan dengan Taemin didepan rumahnya. Dia ikut terkejut melihatku. Rasa sesak ini makin bertamah, rasanya tubuhku akan meledak.

"Ana?" Suaranya memanggilku lembut.

Aku memilih untuk berjalan melewatinya, namun seketika darahku seperti berhenti mengalir. Menghentikan langkah kakiku dan seluruh tubuhku. Namun satu hal yang bisa aku lakukan... yaitu membalikan badan dan menatapnya.

Dengan sekuat tenaga aku berusaha membuka mulutku "K-kaatakan padaku" tenggorokanku tercekat tapi aku masih berusaha berbicara "bahwa aku hanya salah paham, kau bukan bagian dari mereka, katakan kalau kau hanya manusia biasa" air mataku menetes. Aku akan segera meledak.

"Katakan, maka aku berjanji aku akan melupakan semuanya dan kita bisa berteman lagi, aku tidak akan melarangmu bertemu dengan Juno lagi, kau bisa jadi tetangga kesayangan keluargaku lagi dan aku tidak akan menghalanginya... aku mohon katakanlah" rasa sakit ditenggorokanku tidak sesakit didadaku. Sesak. Aku tidak bisa bernapas sekarang. Sekarang aku sedang menjadi orang yang merasa sangat bersalah. Aku harap Taemin dapat menolongku, untuk menghilangkan sebagian rasa bersalah ini.

"Ana..."

"Please..." ini adalah sisa-sisa kata yang bisa ku keluarkan.

"Aku minta maaf"

Ucapan Taemin berhasil membuat tubuhku meledak. Aku bahkan tidak bisa mendengar suara tangisku sendiri. Air mata yang menumpuk telah membanjiri pipiku. Rasa sakit itu semakin nyata dibarengi dengan kata-kata Juno sebelum ia menutup pintu kamarnya. Aku mebuatnya jauh dari orang-orang yang menyayanginya. Bahwa aku adalah orang yang mengecewakan baginya.

Aku berlari secepat yang aku bisa. Aku menangis sekeras yang aku bisa. Aku benar-benar meledak sekarang. Hatiku sesak, aku ingin melepaskannya. Aku ingin membebaskannya, tapi tangisku ini malah tidak berguna, tidak sedikit pun mengurangi rasa sesaknya.

Kakiku tiada ampun untuk berlari. Angin yang kencang membantuku menjatuhkan setiap tetes air mataku. Hilang. Aku ingin semua ini menghilang, aku ingin diriku menghilang.

---

Entah sudah berapa lama aku menangis, sudah berapa jauh aku berlari. Akhirnya aku berhenti, dan membungkuk. Menopang tubuhku pada lututku. Napasku tidak teratur, antara mengeluarkan rasa lelah atau mengeluarkan air mata. Ya, tetesan air mataku masih terjatuh dan mengenai jalan setapak. Rambut-rambutku kini mengikuti gravitasi. Jatuh dan menggantung mengelilingi wajahku.

Tidak lama waktu berselang, langkah kaki seseorang terasa mendekat kearahku. Aku melihat sepasang sepatu dihadapanku. Menunjukan bahwa ada seseorang yang berada didepanku.

Aku bangkit untuk melihat wajahnya.

Ternyata orang itu adalah Kai, yang menatapku dengan pandangan khas miliknya. Dia memandang wajahku yang basah oleh air mata, rambutku yang berantakan tertiup angin, dan tubuhku yang seperti tidak bernyawa. Aku diam tapi dia memilih untuk memelukku.

Kai... dia memelukku. Memeluk tubuhku yang sudah melayang tidak bertenaga. Tubuh yang baru saja meledak berkeping-keping. Tapi dia memelukku erat, seolah ingin menyatukan setiap kepingan tubuhku untuk kembali jadi satu.

Dia tidak berkata apapun namun aku bisa merasakan tangannya mengusap kepalaku, mengenggam bahuku, memeluk lebih erat diriku. Aku tidak ingin ia melepasnya. Aku takut jika ia melepaskan pelukannya, tubuhku akan berubah menjadi debu.

"Aku akan membawamu pergi" ucapnya ditelingaku.

Aku ingin membalasnya, tapi aku tidak bisa bersuara lagi. Aku ingin mengatakan padanya bahwa aku tidak ingin dia melepaskan pelukannya. Aku ingin dia tetap mengenggam bahuku.

Dan jika dia ingin membawaku pergi, aku harap ia membawaku jauh dari sini,  keujung dunia pun aku tidak perduli. Asalkan aku berada disisinya. Asal aku tetap mendapatkan pelukannya.

 

---

Siapa yang seneng aku updatenya cepet?? haha. Makanya yang belum sempet komen atau kasih love ayo aku tunggu, soalnya itu penyemangat aku banget hehe.

POPULAR FANFICTION

BERITA PILIHAN

COPYRIGHT 2025 DREAMERS.ID PUBLISHED BY DREAMERS NETWORK