home_icon
SIGN IN
SIGN UP
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
LOUNGE
HOW IT WORKS
HOW TO BE DFF OF THE WEEK
TERMS OF USE
CONTACT US
  • Latest
  • Most Viewed
  • Most Loved
  • A-Z
  • My Fanfiction
  • My Subscriptions
  • My Subscribers
  • Create New Fanfiction
Fan Fiction > ANABELLE

ANABELLE

Share:
Author : Rezkyka
Published : 23 Apr 2014, Updated : 24 Oct 2017
Cast : Anabelle Walker as OC, Kim Jongin, Xi Lu Han, Kim Myungsoo , Lee Taemin and many
Tags :
Status : Ongoing
6 Subscribes |44964 Views |15 Loves
ANABELLE
CHAPTER 25 : DIRIKU YANG BARU

Pintu museum itu terbuka begitu saja saat aku dan sekretaris Lee mendekat, terlihat tidak terkunci. Aku melirik sekilas kearah sekretaris Lee yang berjalan tenang, wajahnya yang terlihat ramah dan pancaran matanya yang lembut membuat ia terlihat berbeda diantara para immortal yang lain. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana nanti jika ia sudah berubah menjadi vampir seutuhnya. Matanya akan memerah seperti orang yang sakit mata, kulitnya akan mengelupas seperti orang yang terkena penyakit kulit, ia tidak akan pernah tersenyum ramah lagi karena bibirnya terlanjur kering dan akan membuat bibirnya luka jika terlalu lebar menariknya. Bahayangan itu membuatku bergidik ngeri, bagaimana anak immortal bisa hidup tenang saat mereka tahu suatu saat mereka akan berubah menjadi mayat hidup yang buruk rupa, selamanya.

Tidak lama kami sudah sampai di depan museum. Aku kira hari sudah sangat terik atau setidaknya sudah terlihat matahari yang mengintip malu-malu namun aku terkejut melihat hari masih gelap.

"Jam berapa ini?" Gumamku yang di tanggapi Sekretaris Lee.

"Jam lima" aku menganga tidak percaya.

"Dan jam berapa kita keluar dari Peru?"

"Sekitar jam tiga" jawabannya membuatku mual. Pantas saja ketika aku sarapan perutku terasa aneh meski aku tetap makan seperti orang kerasukan.

Aku hanya tidur dua jam tapi tidak ada rasa kantuk kecuali saat aku benar-benar berkonstentrasi dengan apa yang harus aku rasakan.

Sekretaris Lee menatapku saat aku mengusap kepalaku.

"Kau baik-baik saja?" Ia memiringkan kepalanya "kita harus bergegas, mereka sudah menunggu" ia memberitahu. Aku tidak tahu siapa yang disebut mereka namun aku mengikuti langkahnya untuk menuruni tangga dan menuju gerbang museum.

Disana, aku melihat orang yang tidak asing berdiri bersandar pada motor besarnya, rambutnya cepak berwarna coklat keemasan dan tubuhnya kurus namun tetap gagah, meski gelap masih mengelilingi kami tapi aku dapat melihat pipinya mengembang ketika aku datang.

Aku mempercepat langkahku dan memastikan itu benar-benar Lu Han. Aku mendekat kearahnya dan rasa senang sekaligus lega terasa didadaku. Baru aku ingin menyapanya seseorang mendahuluiku.

"Hi, Ana" Xiumin disana menyambutku dan memotong pandanganku ke Luhan.

"Halo, kau mengagetkanku Xiumin" dia tersenyum sambil mengangkat bahu.

"Kalau dia tidak begitu kau tidak akan tahu kalau kami juga berada disini, selain Lu Han" Chen menjelaskan membuatku tersenyum tidak enak, entah mengapa aku memang hanya melihat Lu Han disana dan tidak menyadari saudara-saudaranya juga berkumpul disisinya.

Aku mengintip ekspresi Lu Han dari balik punggung Xiumin dia memandangku sambil menahan tawa. Hal itu membuatku malu. Tapi tidak lama kemudian bahunya menegang, aku sadar sekretaris Lee sudah berada disampingku. Tanpa banyak bicara Seketaris Lee mengangkat tasnya dan Xiumin meraihnya, aku melihat gerak-gerik mereka yang aneh, tanpa bicara dan hanya memandang satu sama lain. Saat Xiumin mundur beberapa langkah Luhan terlihat mendekat dan menatap lurus kearah Sekretaris Lee. Tanpa menyapa, tanpa bicara apapun, mereka memandang cukup lama. Tidak lama setelah itu Sekretaris Lee menoleh kearahku.

"Sampai bertemu di Sekolah nanti, Ana" kemudian pergi dengan langkah tenangnya.

"Siapa yang tidak sabar ingin pulang?" suara lembut Lu Han menyadarkanku dan senyumnya mengembang lagi.

Aku balas tersenyum "tentu saja aku" akhirnya kami menaiki motor masing-masing dan aku duduk dibelakang Lu Han ia memberiku helm yang entah mengapa sangat pas untuk kepalaku, sangat nyaman.

Luhan mengendarai motornya dengan cukup cepat namun aku sedikit memprotes untuk memelankan laju motornya. Mungkin ini efek kecelakaan tempo hari, bayangan motor ini akan jatuh atau ditabrak sesuatu melintas dipikiranku membuatku sedikit pusing. Lu Han tidak menanyakan apapun dan dia menuruti keinginanku. Kami sampai dan langit mulai terang meski matahari belum terlihat.

Yang membuatku terkejut saat kami sampai di rumah Ibuku beberapa anak Immortal berdiri didepan gerbangnya. Aku turun dengan sedikit sempoyongan dan tatapan para Immortal langsung mengintimidasiku.

"Kenapa mereka disini?" Tanyaku pada Lu Han seperti berbisik.

"Mereka akan mengembalikan ingatan keluargamu" Lu Han menatapku sungguh-sungguh "untuk kembali mengingatmu"

"Oh aku hampir lupa hal itu" aku mendesah.

"Kau akan masuk bersama mereka dan kau bisa keluar kamarmu seperti biasa di pagi hari" Lu Han menjelaskan. Aku menatap rumah itu lekat, aku makin penasaran bagaimana kehidupan Ibuku tanpa adanya aku.

"Baiklah, sepertinya aku akan tidur panjang" aku berusaha menghibur diriku.

"Sayangnya tidak bisa" terdengar Lu Han merasa bersalah. Aku mengerutkan kening.

"kau harus berangkat ke sekolah, Ibumu akan curiga jika kau tidak berangkat"

Aku menunduk kecewa, padahal aku sudah bisa membayangkan tidur di kamar tanpa harus kembali bangun untuk sekolah. Bagaimana aku bisa menahan kantuk?

"Lagi pula jika kau tidak ke sekolah itu akan membuat beberapa pihak makin tidak suka denganmu"

Aku mengerutkan kening, sebelum aku bertanya dia sudah kembali bersuara "Ini" Luhan mengeluarkan sesuatu dari kantungnya "ramuan yang sudah disiapkan Ahjuma untukmu, ini bisa membuatmu lebih segar" aku meraih ramuan itu dari tangannya. Warnanya kuning keemasan.

"Apakah dari kunyit? Atau gingseng?" Ini lebih seperti menebak dari pada bertanya.

"Tidak, ini dari akar tumbuhan langka dan sedikit rempah-rempah, tapi masih ada ekstrak gingsengnya" aku merasa cukup senang salah satu tebakanku ada yang benar.

"Gomawo" aku mendongak kerahanya.

Luhan mengangguk "Masuklah, mereka sudah menunggumu" aku melihat kearah tunjukan dagu Luhan. Aku melihat semua anak Immortal yang memandang atau sekedar melirik kami sambil pura-pura sibuk menatap rumah Ibuku. Aku tidak banyak melihat anak Immortal yang aku kenal, hanya yang bernama Luna.

"baiklah, sampai bertemu lagi" ucapku sambil menoleh. Ia tidak menjawab dan hanya mengangguk. Aku tahu ia juga pasti kecewa, kita baru saja bertemu dan harus kembali berpisah. Entahlah kekecewaan ini menjadi sesuatu yang memiliki arti.

Sebelum aku berbalik aku melambai kearah saudara-saudaranya, namun aku tidak melihat Tao. Ia memang tidak memiliki sikap yang ramah kepadaku jelas ia tidak akan menyusahkan dirinya bangun lebih pagi untuk menjemputku ke Museum. Setelah itu aku melirik tas yang dipegang Xiumin, aku tahu isinya jerupakan jadwal harianku serta buku pedoman. Mungkin mereka akan membawa ke raja mereka untuk disetujui.

Aku melangkah masuk dan para anak Immortal bersiap mengikutiku. Sekilas aku mengingat keberadaan rumah Taemin disamping rumah Ibuku. Rumahnya selalu seperti biasa semuanya tertutup rapat seperti tidak berpenghuni, seperti sebelumnya aku yang selalu menerka-nerka kemana perginya Taemin yang tiba-tiba menghilang dan meninggalkan rumahnya seperti sudah tidak ditempati, kemudian ia aka datang dan rumahnya terlihat segar kembali. Sekarang aku tahu alasannya, ia bukan manusia biasa, mungkin ia pergi mencari mangsa, atau berkumpul dengan kelompoknya. Sekarang jadi tidak masalah bagiku, aku tidak ingin memperdulikannya.

Aku menarik napas dalam saat tahu pintu rumah tidak dikunci. Aku mencium aroma ruang tamu yang khas, Ibuku selalu memakai pengharum ruangan yang sama sejak aku datang, bahka sejak ia tinggal disini. Wanginya tidak menyengat, terasa lebih seperti lavender namun lebih lembut.

Para Immortal masuk dan berpencar keseluruh rumahku, mulai menyadarkan orang-orang di rumah ini untuk kembali mengingatku. Aku memandang kesegala arah dan matahari mulai terlihat cahayanya melalui jendela-jendela rumah yang masih tertutup tirai. Aku berjalan kearah dapur karena itu satu-satunya tempat yang terdengar suara. Aku mengintip dan menapati Ibuku dan salah satu orang pelayan sedang menyiapkan sarapan. Wajahnya terlihat lelah tapi caranya memandang meja makan menandakan kalau ia senang melakukannya, itu berarti Ibuku bahagia.

Anak Immortal yang berlalu lalang tidak mengusiknya. Ia seperti tidak meyadari keberadaan kami yang cukup ramai ini. Aku mengedarkan pandanganku dan melihat seorang anak Immortal berdiri tengah ruang tamu sambil melipat tangannya, aku mendekat dan matanya terpejam. Aku tahu dia, namanya Chayeol. Padahak tadi aku tidak melihatnya sama sekali.

"Apa yang sedang kau lakukan?" Tanyaku tanpa berbasa-basi.

"Membuat orang-orang di rumah ini tidak menyadari keberadaan kami" jawabnya ringan seperti tidak merasa terganggu dengan pertanyaanku. Tidak lama matanya terbuka. Aku tercengang melihat matanya yang berkilauan sesaat. Mata besar itu kemudian menatapku sinis.

" pergilah ke kamarmu, dan bersiaplah lakukan kegiatan seperti biasa" titahnya. Aku mengangguk seperti terhipnotis dan menaiki tangga seperti orang yang melamun, padahal aku ingin kembali menoleh dan melihat matanya yang memberi perasaan aneh saat menatapnya, walau tinggi badanya mengangguku, butuh sedikit mendongak untuk menatapnya.

Aku masuk ke dalam kamarku dan mulai tersadar. Sejenak aku perhatikan kamar ini tidak berubah, sama seperti yang aku tinggalkan terakhir kali. Mungkin orang-orang ini juga lupa kalau kamar ini perlu dibersihkan.

Aku duduk di ujung tempat tidur dan menatap kearah cermin yang langsung memantulkan diriku. Aku menatapnya terkejut. Wajahku tidak lagi sekurus dulu, rambutku tidak begitu kusam, bahuku tidak lagi menonjolkan tulang-tulangku. Kesimpulannya, aku seperti hidup kembali.

Ramuan pemberian Lu Han mengingatkanku saatnya bangkit dan memulai segalanya seperti sediakala, tapi aku merasa tidak seperti melanjutkan hidupku, melainkan memulainya kembali seperti yang kupikirkam tadi.

Ramuan kuning kecoklatan itu menyemburkan sedikit bau yang tidak kusukai, bawang -meski aku tidak yakin. Bagaimana bau itu bisa dijadikan ramuan berwarna kuning ini?

Aku meminumnya sekali tegak dan rasanya tidak begitu buruk, aku suka rasa gingseng yang mendominasi jadi tidak begitu mebuatku mual. Setelah itu aku bangkit untuk mandi. Mempersiapkan seragam dan buku-bukuku. Aku tidak sadar melakukan semuanya dengan cepat sampai aku benar-benar mengenakan seragam dan kaus kaki.

Aku menatap di cermin, diriku yang baru. Ada sedikit kekuatan yang membuatku lebih berani datang ke sekolah. Aku melihat diriku lebih kuat tidak selemas tiga hari yang lalu. Aku pergi keluar kamar degan semangat, ramuannya bekerja dengan sangat baik.

Aku mendekat perlahan kearah meja makan dimana Juno dan Paman Tae Joong sudah berada disana.

"Ana, sayang" suara Ibuku memanggil. Ia muncul dari sisi dapur yang terhubung langsung dengan ruang makan. Ia sedang membawa segelas susu untuk Juno.

"Ayo kita sarapan" aku tersenyum samar tapi tidak bisa menghilangkan kesedihanku. Aku menahan air mata, rasanya senang bisa benar-benar melihat wajah Ibu yang menatapku. Aku sangat merindukannya, sangat takut untuk berpisah lagi dengannya.

Ia menangkap kesedihanku dan meghampiriku "Ana, are you okay?" Ia menyentuh kedua pipiku dengan tangannya yang hangat.

"Ya, hanya rasanya seperti sudah pergi berhari-hari" Ibuku menatapku lega. Mungkin ia pikir aku merindukan San Fransisco dan berniat pergi dari rumah.

"kau tidak pergi kemana-mana Ana" ia tertawa "ayo kita sarapan" ia menarikku menuju meja dan mendudukanku disalah satunya.

"Selamat pagi Ana" suara berat khas pria empat puluhan terdengar.

"selamat pagi paman Teo Joong" balasku menyapa. Aku melihat Juno sedikit mendongakkan wajahnya dan melirikku dibalik bulu matanya. Aku pura-pura tidak melihat itu dan dia melanjutkan sarapannya. Aku berusaha tidak tersenyum.

Setelah sarapan selesai, kami berjalan ke halaman depan untuk menuju mobil kami masing-masing. Hari ini Ibu tidak pergi ke kantor dan mengerjakan pekerjaannya di rumah saja. Ibuku mengecup keningku dan Juno bergantian. Aku senang sangat tangan hangatnya menyentuh wajahku lagi, aku merasa hubungan Ibu dan anak ini benar-benar membaik. Ia tersenyum tulus.

Aku mulai kembali berjalan tapi Juno medahuliku. Aku merasa tingginya bertambah karena kepalanya sudah sebahuku, atau aku yang memang terlalu pendek padahal aku rasa tubuhku juga sedikit meninggi semenjak berat badanku yang juga kembali normal.

Aku menghentikan langkahku karena terkejut Juno menaiki mobil yang seharusnya aku naiki. Ia muncul lagi dibalik pintu.

"Ayo Noona, nanti aku terlambat" kemudian menutup pintu. Aku tersenyum singkat dan menuju mobil dengan semangat. Aku rasa Juno benar-benar sudah merasa nyaman satu mobil denganku. Ibu memperhatikan kesenanganku. Setidaknya aku tahu kami akan jadi keluarga yang akur. Sebelum aku masuk ke dalam mobil aku mendengar Ibuku memanggil seseorang dengan seruan yang kencang sambil melambai.

"Taemin!" aku melihat kearah gerbang dan melihat Taemin dengan setelan Jogging-nya membalas lambaian Ibuku.

"Habis lari pagi?" Ibuku bertanya seolah-olah tidak melihat peluh di wajahnya. Aku memutar bola mataku dan masuk kedalam mobil sambil meninggalkan pandangan sinis pada Taemin. Ia memandangku sedih sama seperti terakhir kali aku melihatnya berdiri disamping gerbang rumahku dan mebiarkan aku pergi ke sekolah. Aku ingat hari itu, sebelum upacara penyerahan, mungkin saat itu dia tahu akan membencinya seperti ini, harusnya Taemin bisa mengatakannya lebih awal setidaknya kebencianku tidak sebesar sekarang.

"Wajah Taemin hyung terlihat sedih" Juno berkata setelah mobil kami melesat "aku akan mengajaknya bermain game di rumah"

"Jangan!" Aku terkejut dengan ucapanku sendiri.

"Kenapa?" Juno bertanya polos.

"Aku tidak suka ia berada di rumah aku sedang marah padanya"

Ia menangguk mengerti, "nanti ia akan main di kamarku saja" aku melotot kearahnya.

"Kau tidak mengerti ya? Dia itu berbahaya" Aku mendengar suaraku meninggi dia menatapku heran "maksudku dia.. dia bukan teman yang baik, sebaiknya kau menjauhi Taemin" saranku lebih pada memaksa.

"Tapi seingatku Taemin hyung yang terakhir membawaku ke rumah sakit" jawab Juno dengan ekspresi datarnya.

Baiklah Juno benar, dan aku meyalahkan diriku sendiri karenanya. Membiarkan Taemin menolong keluargaku dan kami jadi berhutang budi padanya. Aku melipat tanganku kesal. Tapi Juno terlihat tidak begitu perduli. Saat itu aku merasa ia mirip Paman Tae Joong.

Kami sampai ke sekolahnya lebih dulu dan tanpa berkata apa-apa dia bersiap turun "Juno" aku memanggilnya ketika ia memegang pintu.

"Pokoknya jangan mengajaknya ke rumah" aku memohon dengan nada sedikit memerintah. Ia menghembuskan napas berat dan mengangkat bahu kemudian keluar dari mobil. Semoga ia mau mendengarkanku.

Kini aku yang diantar ke sekolah. Perutku sedikit mulas memikirkan bagaimana sekolah setelah semua terjadi, apalagi setengah dari penghuni sekolah itu adalah anak-anak vampir. Aku makin was was ketika mobil melewati gerbang. Pepohonan yang berhasil ditanam tinggi-tinggi akan menutup jejak kami semua yang berada di lingkungan Shinwa, orang-orang tidak akan tahu jika aku terbunuh didalam. Mobil yang mengantarku sampai di depan lobi. Aku turun sambil menyembunyikan rasa takut. Setelah mobil itu pergi aku menyemangati diriku sendiri untuk tidak takut. Mataku masih tidak memandang lurus ke depan bahkan melirik orang-orang di sekitarku saja tidak berani. Hari ini aku begitu takut. Tapi bukan takut jika tiba-tiba seseorang akan mencelakakanku. Aku takut jika aku terlalu mebenci keadaan ini, takut jika menemukan yang menatapku adalah anak Immortal dan menemukan bahwa beberapa orang yang aku kenal di kelas ternyata adalah musuhku sekarang, karena itu membuat hariku makin berat. Aku tidak ingin hal ini membuatku menyesal datang ke Korea dan menjadi alasan kebencian dari hidup di Korea. Aku tidak ingin punya alasan untuk pergi dari Korea. Aku baru saja berbaikan dengan Ibuku, hal ini buatku makin takut.

Aku masih berharap Hanyoung dan Seungjae tidak menatapku seperti itu, seperti anak Immortal menatap, karena berarti hanya mereka benar-benar teman manusia normalku di sekolah ini.

Aku masih menunduk sampai aku menginjak lantai kelas. Aku merasa senang tidak perlu melihat mata-mata mereka yang pasti mengutukku. Aku masuk ke kelas dengan diam meski langkah kakiku tidak mungkin tidak terdengar, hanya dua orang yang tidak menatapku saat masuk. Itu berarti sisanya tahu siapa aku dan aku tahu siapa mereka. Aku masuk ke kelas senormal mungkin menyingkirkan kebencian dimata mereka dan terus masuk ke dalam kelas. Bahkan gadis yang pertama kali mengajakku berkenalan saat masuk sekolah ini ikut menatapku jijik. Aku menelan ludah, mengganti ingantanku dengan ia yang menghampiri mejaku dan mengganti kata-katanya dulu "aku akan menyarankan agar kau menjadi korban selanjutnya di museum, sepertinya darahmu enak" dia pasti sangat membenciku sesuatu yang harus orangtuanya santap malah harus ia hormati.

Aku bergidik ngeri memikirkannya tapi itu malah membuatku kasihan kepada mereka disamping membenci keberadaan mereka. Harusnya mereka memang tidak pernah ada, tidak di kota ini, tidak saat aku baru saja pulang kembali ke Korea dan saat aku memulai hidup baru dengan Ibuku.

Seseorang yang duduk tidak jauh dari sampingku lebih aku benci. Dia membaca buku tebalnya seperti biasa seolah menganggapku tidak ada. Murid teladan satu ini adalah pemulus semua rencana pembunuhan yang terjadi di sekolah ini. Bahkan sampai sekarang aku tidak mempercayainya. Dan tidak mempercayai perkataanku sendiri yang aku lontarkan dalam hati mengenai 'pembunuhan'.

Sepanjang pelajaran aku sama sekali tidak bicara pada siapun bahkan saat guru sedang bertanya, semua menjawab serempak seperti biasa tapi aku tidak bersuara. Tentu saja guruku kali ini manusia biasa, dia tidak menatapku seperti guru lain yang begantian mengajar.

Setelah bel berbunyi untuk istirahat aku segera membereskan bukuku dan setengah berlari keluar dan menuju kelas Hanyoung dan Seunjae, aku sedikit menabrak beberapa murid yang baru saja meninggalkan kelas. Aku mohon semoga bukan Hanyoung dan Seungjae, aku tidak bisa membenci mereka juga saat aku masih berdoa dalam hati aku berpapasan dengan mereka dipintu.

"Hai Ana!" Sapa Hanyoung ceria, Seungjae ikut tersenyum dibelakangnya. Aku bernapas lega "tidak seperti biasanya kau yang menghampiri kami" tanyanya sambil keheranan melihat deru napasku. Rasanya ingin menangis sambil memeluk mereka lalu mengelurakan mereka dari sekolah dan memerintahkan mereka untuk tidak pernah kembali ke sekolah ini lagi.

"Kenapa Ana?" Seungjae menyadari keanehan ekspresiku.

"Dimana Hana?" Hanyoung bertanya menginterupsi pertanyaan Seungjae.

"dia menginginkan kita kekantin lebih dulu" aku berbohong. Satu-satunya yang aku inginkan adalah mejauhkan mereka berdua dari Hana.

"Ayo kita ke kantin" ajakku lebih ceria. Seungjae masih menatapku heran tapi aku mengacuhkannya.

Disepanjang perjalanan kami hanya mendengar celotehan Hanyoung tentang pertandingan basket antar murid SMA Shinwa dengan para mahasiswa, ia menceritakannya dengan senang tapi aku memandangnya khawatir. Seungjae sibuk dengan rasa cemburunya mendengar Hanyoung menceritakan para mahasiswa yang sangat tampan yang akan menjadi lawan mereka nanti. Aku tahu Seungjae punya perasaan khusus terhadap Hanyoung.

"Apa pertandingan itu sering dilakukan?" Tanyaku saat kami sudah duduk didalam kantin lagi-lagi tidak memperdulikan pandangan sinis murid-murid kearahku, aku bersyukur Hanyoung dan Seungjae tidak begitu peka dengan keadaan sekitar jadi tatapan anak-anak Immortal yang menghujaniku tidak ikut mengusik mereka.

"Tentu, setiap tahun, tapi SMA tidak pernah menang pemain dari universitas sangat hebat" aku mengangguk mengetahui alasan mereka lebih sering menang.

Kami makan dengan normal, Hana tidak datang ke kantin mempermudah segalanya. Aku akan menjaga Hanyoung dan Seungjae, mereka tidak boleh tersakiti sedikitpun oleh para Immortal dan mungkin juga Hana yang mulai membuatku khawatir. Sambil menyantap makan siang kami aku tengah berpikir bagaiamana nasibku ditentukan lagi. Kerajaan vampir mungkin sedang berdiskusi untuk mengabulkan permintaanku sedangkan para penyihir sedang membaca baik-baik jadwal serta peraturan yang harus aku jalani. Dan setelah keputusan dari kedua kerajaan sudah diketahui entah bagaimana nasibku di sekolah pasti lebih banyak yang membenciku. Aku mengatur hidup mereka, aku membuat kebebasan mereka terganggu. Mereka pasti akan sangat membenciku lebih daripada aku membenci mereka.

Setelah makan selesai, Hanyoung lebih mendominasi pembicaraan. Aku hanya pura-pura mendengarkan dan sesekali melihat kearah Seungjae yang sangat nyaman memandang Hanyoung. Aku tersenyun melihatnya. Kemudian kuarahkan pandanganku kesekeliling. Tatapan beberapa anak-anak disana masih sama, berbanding terbalik dengan pandangan pertama mereka ketika hari pertamaku masuk sekolah. Sedih memang, keadaan berubah begitu cepat.

Makan siang berjalan dengan lancar, tapi aku tidak mau kembali ke kelas, rasanya di kelas akan lebih menyeramkan dari pada disini. Aku menoleh kearah kaca-kaca besar yang membatasi kami dengan taman kecil disamping kantin kemudian setelahnya terdapat gedung yang menghubung ke universitas atau lebih tepatnya ke kafetarianya. Dadaku berdesir saat diperhatikan lekat-lekat beberapa mahasiswa duduk didekat kaca besar yang membatasi kafetaria mereka dengan taman kecil itu. Yang membuat jantungku berdegup kencang adalah mahasiswa itu bukan mahasiswa biasa, itu Kai dan teman-temannya dan begitu kencangnya degup jantungku membuatku jadi mulas. Mataku terbelalak terkejut bahwa dari kejauhan mereka tertawa. Tertawa lepas. Tidak ada mata yang tajam atau rahang yang mengeras, mereka seperti mentertawai sesuatu dan beberapa diantaranya saling memelintir leher. Aku tidak menyangka melihat pemandangan ini. Aku kira mereka tidak lebih dari sekedar robot untuk orangtua mereka, bahkan jarang sekali memuncul kecuali saat benar-benar penting atau kebetulan. Salah satu dari mereka menangkap pandanganku kalau tidak salah namanya Sehun dan lainnya ikut menoleh. Aku terkesiap dan mengalihkan pandangan hal itu mebuatku berhenti bernapas sejenak. Mereka menangkap basahku memandangi mereka, dari jarak yang harusnya tidak mereka sadari. Saat itu baru aku ingin segera pergi ke kelas.

Setelah semua pelajaran selesai aku merapikan semua buku-bukuku dan melirik kearah Hana sebentar. Biasanya ia tidak pernah bergerak begitu cepat, ia melihatnya terlalu lemah untuk membereskan semua perlengkapannya yang sangat banyak itu tapi sekarang ia lebih dulu berdiri dari pada aku. Aku mengambil kesempatan itu ketika ia lewat dihadapanku.

"Aku harap kau tidak menemui mereka lagi" ia menghentikan langkahnya dan menatapku bingung "aku tidak mau kau berteman lagi dengan Hanyoung dan Seungjae" geramku.

"Kau tidak bisa menceritakan semuanya pada mereka, kau akan dapat hukuman besar memberitahu keberadaan kami" ia lebih terlihat menyindir daripada memberitahu.

"Aku tidak memberitahu mereka, mereka tidak akan membencimu karena kau seorang alert, karena mereka tidak tahu apa itu, tapi aku akan pastikan mereka membencimu sebagai teman yang sangat jahat" senyumku merendahkan. Aku merasa aneh dapat berbicara seperti ini padanya. Ia terlihat gentar dan memilih berlari keluar kelas seperti anak kecil yang ingin menangis.

Aku mengerjapkan mataku beberapa kali, sambil menimbang-nimbang ucapanku barusan. Aku tega sekali. Tapi mungkin itu sebanding. Ya Tuhan aku seperti mendengar dua suara di kepalaku. Seolah membenarkan dan menyalahkan tindakanku.

Aku segera meninggalkan kelas dan entah mengapa cepat sekali sekolah sepi. Aku berjalan menuju lobi namun aku melihat Hanyoung dan Seungjae yang mengobrol di depan lapangan parkir.

"Hi" sapaku pada mereka. Mereka menatapku sedih "kenapa?" Aku menanyakan raut wajah mereka.

"Hana bersikap aneh sekali hari ini" Hanyoung bahkan seperti menangis. Aku sedikit panik. Mereka pasti sempat bertemu dengan Hana dan melihat ekspresinya.

"Mungkin ia hanya sedang terburu-buru atau ada masalah pribadi mungkin, entahla kalian harus memberinya sedikit privasi" aku mencoba menenangkan.

"Tapi Hana selalu menceritakan padaku apapun yang sedang ia alami" wajahnya kecewa.

"Mungkin masalahnya berbeda" aku menanggapinya lebih santai dan membenarkan ucapanku sendiri, ini memang masalah yang berbeda dan Hanyoung maupun Seungjae tidak bisa dilibatkan, beruntungnya mereka tidak menyadari perubahan suaraku.

"Yasudah, ayo kita pulang saja" ajak Seungjae.

Aku mengangguk semangat menggantikan wajah Hanyoung untuk menjawabnya "iya sebaiknya kalian pulang" lebih cepat mereka pulang lebih aman.

"Kau sudah di jemput?" Tanya Seungjae beralih padaku.

"Belum aku akan menunggunya di lobi, jangan khawatirkan aku" Seungjae mengangguk dan meraih tangan Hanyoung untuk menuju motor mereka. Aku merasa bersalah karena menjadi alasan perpecahan mereka, tapi Hana sangat bahaya aku tidak bisa membuat Hanyoung dan Seungjae dalam bahaya sepertiku, tidak perduli seberapa lama mereka berteman, Hana adalah mata-mata vampir dan itu tidak baik. Aku sudah yakin menyimpulkannya.

Aku bergerak lamban menuju lobi, sambil memikirkan hal-hal yang tidak penting seperti reaksi ayahku ketika mengetahui aku menjadi salah satu bagian kehidupan legenda yang tidak pernah orang percaya. Ia pasti akan langsung menyuruhku pulang ke San Fransisco, begitu juga Myung Soo sahabatku yang pasti juga khawatir, bahkan mungkin marah. Kehidupanku disini bagai dongeng, maksud ke dalam bahaya yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya bertemu hal-hal mitos yang sangat diragukan faktanya. Tapi ini benar-benar terjadi. Mungkin ini karena ucapanku yang sembarangan, berharap kehidupanku disini tidak membosankan dan aku memiliki alasan untuk tetap tinggal di Korea. Sekarang aku malah terjebak dalam hal-hal berbahaya, membuatku benar-benar harus berada di Korea, karena sekarang banyak yang mengawasiku tidak membiarkanku kemanapun membawa golden compass.

Aku berhenti dan berdiri menghadap parkiran universitas yang dapat dilihat dari lobi sekolah, disana terdapat sekelompok mahasiswa yang tadi aku lihat di Kantin. Mereka tidak lagi saling tertawa, mereka mengobrol lebih serius dan bersender pada mobil-mobol sport mereka. Semuanya ada disana, bahkan Kai. Menyebut namanya membuat perutku tergelitik dan tiba-tiba sentuhan tangannya terasa di punggung tanganku. Aku tidak menemukan yang perempuan, Luna. Dia mulai jarang terlihat bersama yang lainnya.

Suara yang familier terdengar. Itu suara motor Lu Han, dan betapa terkejutnya aku dapat menghafal suara motornya. Aku tersenyum kearahnya yang masih menggunakan helm.

"Hai" sapanya ceria saat berhenti didepanku. Aku tidak dapat menghilangkan rasa bahagiaku ketika ia datang.

"Hi, Lu" ia tertawa mendengar nama panggilan yang sering di ucapka Carl. Si penjaga cafe itu.

"Aku kira kau sudah pulang" Lu Han tidak turun dari motornya dan terlihat tidak perniat.

"Belum, belum di jemput" jawabku. Aku berharap Lu Han yang akan mengantarku pulang atau mungkin ia ke sekolahku untuk mengajakku ke Hesk Verden. Aku pasti tidak akan menolak.

"kalau begiti aku akan menunggumu di jemput" wajah Lu Han terlihat sedikit murung.

"Ada apa?" Aku memiringkan wajahku berusaha menangkap ekspresinya ketika menunduk.

"Keputusan sudah dibuat" Lu Han menatap balik aku yang mematung "Nanti malam aku akan menjemputmu saat semua keluargamu sudah tertidur" lanjutnya. Aku mengeratkan genggamanku pada tali ranselku "Jangam khawatir aku akan menjagamu" Lu Han tersenyum tulus.

"Apa kau tahu.. yang aku minta?" Tanyaku was was.

"Tentu" Lu Han meraih tanganku yang menegang "itu permintaan yang sangat berani" aku melihat tanganku yang digenggamnya, aku jadi sedikit lebih tenang.

"itu berarti kesempatanku untuk terbunuh lebih besar ketika mereka menyetujuinya, kan?"

"Kami akan melindungimu" ucap Lu Han meyakinkan.

"Apa jangan-jangan kau kemarin untuk memastikan apa aku masih hidup atau tidak?" Tebakku.

"Itu salah satunya" aku tertawa mendengar jawaban jujurnya "kau tahu, menurutku ketika permintaanmu disetujui semuanya akan berjalan lebih mudah"

Aku mengerutkan kening, bagaimana permintaan tidak masuk akalku membuat semua lebih mudah? Siapa yang di mudahkan? Aku justru merasa makin sulit melewati hari.

Sebelum aku bertanya mengenai pernyataan Lu Han, mobil jemputanku sudah datang "aku harap kau beristirahat dengan baik di rumah, aku akan menjemputmu sebelum tengah malam"

"Bagaimana aku pergi tanpa membangunkan seisi rumah?"

"Ingat saja, kau akan pergi dengan siapa" Lu Han terlihat menyombongkan diri. Aku memutar bola mataku. Baiklah, Lu Han adalah seorang penyihir ia bisa melakukan hal-hal ajaib yang dapat membuat semuanya berjalan dengan lancar. Aku tidak tahu apakan anak-anak penyihir memiliki kekuatan sama besar dengan anak-anak Immortal.

"Okay, baiklah sampai nanti" Lu Han melepaskan tanganku dan aku melambai padanya. Ia tetap diatas motornya, mungkin sampai aku benar-benar menghilang. Sebelum aku keatas mobil aku sekilas melihat kearah parkiran mahasiswa. Seperti yang aku duga, mereka memperhatikanku. Mata mereka menatapku, meski tidak setajam dulu. Pandangan itu terlihat seperti pandangan penasaran daripada pandangan kebencian. Akhirnya aku melepaskan pandanganku dan naik keatas mobil. Lu Han terlihat tidak ingin berlama-lama disana dan segera menyalakan motornya. Dan begitu mobilku menuju gerbang sekolah Lu Han terlihat melewati kami dan aku dapat melihat senyumnya yang diarakan padaku saat ia lewat tadi.

Aku kira akan membutuhkan waktu lama untuk mengabulkan permintaanku, tapi sepertinya tidak. Walau aku terlalu yakin, bisa saja mereka menolaknya. Aku tidak begitu semangat saat aku membuka pintu mobil dan menuju rumahku. Rasanya aku pasti mengabaikan perintah Lu Han untuk istirahat, karena sampai sekarang aku belum merasa lelah dan kantuk. Ramuan yang diberikan Lu Han tadi pagi masih berfungsi. Tiba-tiba aku punya ide untuk mengajak Juno bermain games saja, aku ingin menemaninya bermain di ruang tengah ia pasti tidak keberatan jika aku bergabung dengannya untuk menjadi lawan dibeberapa pertandingan.

Ide itu membuatku semangat memasuki rumah dan bergegas menuju ruang tengah tanpa berniat menaruh tasku dikamar lebih dulu.

Tunggu, Juno tidak disana. Tvnya juga tidak menyala, aku memandang penuh ruang tengah dengan pemasaran.

"Apa Juno sudah pulang?" Tanyaku pada salah seorang pelayan yang melewatiku.

"Sudah, Nona"

"Kalau begitu dimana dia?"

"Tuan muda sedang bermain di rumah sebelah, Nona"

"Maksudnya rumah Taemin?" Suaraku meninggi dan membuat pelayan itu takut.

"I...iya Nona" aku membelalakan mataku. Kenapa Juno tidak menurut? Aku sudah bilang padanya untuk menjauhi Taemin. Hal ini membuatku tiba-tiba teringat dengan keputusan yang telah dibuat mengenai permintaanku. Siapa tahu kalau permintaanku dikabulkan dan Taemin tidak menyukainya? Ia akan membalas kemarahanya pada Juno.

"Tidak! Tidak!" Aku berseru dan melempar tasku kearah sofa kemudian berlari keluar. Juno tidak boleh menjadi korban. Aku berusaha berlari sekuat mungkin meski aku merasa badanku gemetar. Ku dorong gerbang rumah Taemin yang besar dan mulai memanggil adik tiriku itu.

"Juno! Juno!" Aku memanggilnya sambil menahan tangis. Aku tidak lagi memperdulikan tanaman Taemin yang indah, halamam rumah Taemin yang sejuk. Aku tidak akan terpengaruh dengan keindahan itu, yang sebenarnya sedikit membuat hatiku goyah.

Ku gedor dengan kuat pintu rumah Taemin, aku seperti kerasukan. Aku memanggil Juno dengan sekuat tenaga karena tidak ada yang menjawab panggilanku. Kakiku lemas dan lututku menyentuh lantai. Untuk kedua kalinya aku merasa gagal melindunginya. Aku tidak akan memaafkan Taemin jika terjadi hal-hal yang buruk menimpan Juno. Tidak akan. Selamanya.

-

 

Halo readers, aku masih membuka kesempatan untuk kalian yang mau masuk jadi pemain di cerita ini yaa (baca: note di capter sebelumnya)

Jangan lupa komentar yaa, satu komentar bisa buat aku semangat lanjutin FF ini looh

POPULAR FANFICTION

BERITA PILIHAN

COPYRIGHT 2024 DREAMERS.ID PUBLISHED BY DREAMERS NETWORK