Saat itu aku hanya melihat cahaya bulan yang menyusup ke dalam gang kecil itu. Aku masih terdiam, merasa terkejut dan takut sekaligus. Tanganku diam kaku menggangtung membiarkan seorang pria yang memeluku dengan semaunya. Aku sempat berpikir kenapa pria ini menolongku saat aku merasa bahwa sebentar lagi kita benar-benar akan menjadi musuh, tapi sebelum aku berpikiran lebih jauh lagi aku terhuyung hampir jatuh karena dorongan tangannya. Hal baik yang aku pikirkan tentangnya kembali hilang bersaman dengan wajah menyebalkannya yang kembali datang. Matanya yang tajam sempat menatapku seolah menyadarkanku kalau ia bukan seorang pahlawan yang sengaja datang karena teriakan minta tolong. Tapi hanya orang biasa yang kebetulan menolong dan mengambil kesempatan.
Sekarang dia mengecek ponsel ditangannya dengan wajah marah. Itu ponselku. Bagaimana ia mengambilnya dari kantung jaketku? Atau mungkin saat mengeratkan pelukannya tadi? Aku harap wajahku tidak memerah mengingat hal itu. Karena memang tidak seharusnya.
"Lu Han?" Nadanya terlihat meremehkan "orang yang berjanji melindungimu malah membuatmu hampir celaka" lanjutnya kemudian melemparkan ponselnya kearahku. Aku menangkap dengan sigap, bahaya kalau ponsel ini jatuh, aku tidak sanggup mengganti atau membelinya lagi, tidak dengan bantuan ibuku. Sekarang aku menyerangnya balik dengan tatapan tajam. Sejak awal aku tahu dia orang yang sangat menyebalkan.
Dia berjalan melewatiku ketika aku sedang mengecek panggilan masuk yang memang ternyata dari Lu Han. Aku sempat berpikir pria yang menolongku adalah Lu Han, tapi malah kenapa pria ini? Yang selalu menatapku dengan sinis, yang selalu memandang orang lain lebih rendah dari pada dirinya.
Aku berpikir mungkin Lu Han merasakan panggilanku karena aku terus mengingantanya saat aku ketakutan tadi. Wajar ia meneleponku, dan keberadaan Kai membuatku heran kenapa justru ia yang menemukanku. Daerah ini sudah jauh dari pusat kota, aku tidak akan berpikir dunia sempit, karena memang tidak. Kai pasti mengikutiku.
"Kenapa kau ada disini?" Kakinya berhenti melangkah dan aku dapat mendengar hembusan berat napasnya.
"Sesuatu yang aku sesali" dia membalikkan badan "tidak seharusnya aku mengikutimu" ujarnya yang kemudian kembali membalikkan badan dan menuju ke mobilnya.
"Hey, tunggu, mengikutiku? Kau mengikutiku?" Aku berlari kecil untuk menyamakan langkahku dengan langkah panjangnya. Dugaanku benar dia mengikutiku tapi untuk apa? Jika untuk membunuhku seperti printah rajanya kenapa ia harus repot-repot menolongku.
"Sudahku duga kau belum mengetahuinya" entah ini gumaman atau dia mencoba memberitahuku sesuatu, dengan caranya.
"Katakan, apa yang belum aku tahu" aku masih terus menyamakan langkah kakiku dan dia masih berjalan mengacuhkanku. Dengan sedikit langkah panjang aku berusaha meraih tangannya.
"Hey!!" Aku menarik lengan jaketnya dengan tenaga yang aku punya. Aku tahu sebentar lagi aku akan kehabisan tenaga. Semoga suara napasku yang menyedihkan membuatnya sedikit tergerak. Meski aku tahu sebagian dirinya bukan manusia.
Dia menatap tanganku yang menarik mantelnya "masih punya tenaga rupanya?" Lagi-lagi pandangan meremehkan diperlihatkannya. Tapi aku tidak merasa sakit hati, aku memang sudah kehabisan tenaga. Kai hanya menyadarkanku.
"Aku sekarat kau tidak membantuku aku tidak perduli, kau membahayakan sekaligus menyelamatkan hidupku aku juga tidak perduli, tapi beritahu apa yang harus aku tahu" ucapku memohon.
"Baiklah" dia merubah posisinya "Yang aku tahu mungkin doa mu selama ini terkabul, karena terkabulnya doa itu mau tidak mau aku terlibat untuk mengawasimu" Kai melepaskan tanganku dari mantelnya.
"Ini pertama kalinya dari seratus tahun terakhir kedua raja bertemu" Kai kembali menatapku tajam "tanpa perang" tambahnya. Entah dibagian mana dari kata-kata itu yang membuatku merinding.
Aku terdiam cukup lama sampai menyadari sesuatu. Kedua raja bertemu? Berarti mereka telah memutuskan sesuatu seperti yang di jelaskan Lu Han.
"Apa mereka memutuskan untuk membunuhku sekarang?" Tanyaku dengan degupan jantung yang mulai mengencang.
"Jika memang hal itu yang diputuskan, aku sudah melakukannya sejak tadi" jawabnya dengan santai. Aku hanya menundukan kepalaku sambil menahan rasa gemetar di kakiku "dengar," lanjutnya, aku mendengar kakinya bergeser dan sekarang posisinya lurus menghadapku "Karena prinsip menjunjung rasa kemanusiaan dari dunia penyihir dan belas kasihan dari rajaku, kau diberi kesempatan untuk menjadi bagian dari kami, sampai.." perkatannya membuat aku mengangkat kepala.
Dia menatapku balik, dengan tayapan mata yang tegas aku tidak melihat bola matanya bergerak sedikitpun "... Sampai saatnya tiba, dan aku di tugaskan mengawalmu karena kau pemilik kompas itu sekarang" lanjutnya lagi. Aku sedikit bernapas lega setidaknya Kai tidak menjemputku untuk melakukan eksekusi.
Aku ingin membalas ucapannya tapi kepaku pusing dan mulutku terasa pait, aku tahu aku akan segera pingsan "jadi lebih baik kita pulang saja" katanya yang bergegas pergi. Dengan sisa tenaga yang ada aku menahan tangan Kai.
"Tidak, aku harus pergi kesuatu tempat" ucapku parau "tolong.. Antarkan aku" aku mengigit rahangku, menahan rasa pusing dan degupan jantung yang makin kencang.
-
Aku berhasil bertahan, setidaknya sampai aku duduk di samping Kai yang sekarang tengah menyetir. Aku kembali meminum ramuan pemberian Lu Han yang berhasil membuatku ingin mengeluarkannya lagi. Aku melirik Kai sebentar, dia tersenyum. Sungguh, aku bersumpah aku melihatnya tersenyum, meski hanya beberapa detik, bahkan aku bisa mengulang momen itu dipikiranku. Melihat Kai mengangkat bibirnya membuat aku jadi terdiam, ada sesuatu yang sedikit mengangguku, entah kenapa saat aku merasa Kai adalah orang yang jahat saat itu juga aku memiliki alasan untuk membatah hal itu. Contohnya dengan melindungiku, tapi dia juga mendorongku, dia membantuku tapi dia juga merendahkanku. Dan anehnya aku tidak bisa benar-benar marah, aku hanya tidak tahu bagaimana menyikapi orang seperti dirinya.
Sudah pukul tiga pagi dan kami masih berada di jalan. Sepanjang perjalanan kami tidak berbicara, aku tidak akan berani memulai pembicaraan padanya sedangkan Kai mungkin berpikir tidak ada gunanya mengajakku bicara.
Laju mobil mulai melamban, kami memasuki perumahan asing yang tidak pernah aku ingat sebelumnya. Harusnya kita hampir atau bahkan sudah sampai tapi dengan keadaan gelap dan jalanan yang sedikit berubah aku kesulitan menari rumah itu.
"Dimana rumahnya?" Akhirnya aku mendengar suara Kai lagi setelah kami terdiam cukup lama, suaranya sedikit berat dan serak, aku harap itu bukan bertanda ia sedang berubah dan kehausan.
Aku mencoba menyadarkan diriku "aku lupa, yang aku ingat tidak jauh dari sini" aku mengalihkan wajahku dari Kai dan mencoba mengedarkan pandanganku kesekeliling. Mobilnya kembali melaju dan mencoba mengelilingi perumahan itu. Aku tidak menemukan rumahku, yang aku ingat beberapa pohon harusnya berdiri di sisi jalan tapi aku hanya melihat rumah bertingkat atau toko yang masih tutup. Aku mencoba memberi ide untuk masuk lagi ke bagian dalam perumahan sampai aku menemukannya.
"Berhenti" ucapku. Aku melihat rumah yang berbeda diantara rumah-rumah yang lain, pagarnya kayu yang tak terawat meski belum lapuk. Lampu rumah yang sedikit redup dengan beberapa bayangan tanaman di halamannya.
"Itu rumahku" ucapku lirih.
Aku membuka pintu mobil dan berjalan menuju depan pagar. Hanya rumah ini yang tidak memiliki pagar tinggi, hanya rumah ini yang tidak terlihat asing di mataku. Aku merasa Kai sudah berada di sampingku, ikut menatap rumah dengan gaya tradisional di hadapan kami dengan wajah penasaran.
"Tempat apa ini?" Tanyanya.
"Ini rumahku dulu" ucapku dengan senyuman bangga. Seolah aku ingin memberitahunya bahwa rumah ini adalah rumah paling indah diantara rumah disekitarnya.
Aku tidak percaya masih melihat rumah ini utuh, gayanya masih berupa rumah traditional dengan halaman yang luas. Aku mengendurkan senyumanku, aku hampir lupa kalau aku mengunjungi rumah ini tidak dengan perasaan yang bahagia. Aku tidak datang dengan Ayahku, ataupun dengan Ibuku, aku datang dengan keadaan hampir mati. Bisa saja ini terakhir kalinya aku berkunjung.
Kai menyadari perubahan ekspresiku, tapi aku tidak sempat menjelaskannya kalau tiba-tiba hatiku merasa hancur mengingat kenangan di rumah ini. Aku berjalan dan mencoba membuka pagar yang tingginya tidak lebih dari setengah badanku. Pintunya terkunci, tanpa pikir panjang aku loncat untuk menaikan kakiku melewati pagar. Aku mulai tidak perduli dengan keberadaan Kai dan sibuk memandang seluruh bentuk rumah ini tanpa bersuara. Aku menaiki anak tangga yang terbuat dari kayu. Suara decitannya tidak kutemui dulu, mungkin karena usia, rumah pun boleh mengeluh karena sudah tentah. Aku menyentuh pintunya. Dingin, dan ditempeli debu serta berbau kayu lapuk. Aku senang disambut dengan suasana seperti ini, seolah rumah ini memang menunggu penghuninya yang dulu untuk datang.
"Apa ada orang di dalam?" Suara itu merasuki telingaku yang tadinya sunyi. Kai sudah berada di belakangku entah sejak kapan, aku tidak mendengar suara pagar yang bergoyang atau langkah kaki yang mendekat.
"Aku tidak tahu, mungkin sudah di huni penghuni lain" aku menyapu debu disisi pintunya "walau aku tidak yakin"
Aku membalikan badan melihat ekspresi Kai yang bingung sambil memandang sekeliling. Ada beberapa hal yang terlintas di pikiranku, mobil bagus, pakaian yang selalu terlihat mahal, rambut tidak pernah berantakan, apa semua vampir begitu?
Kai menyadari tatapanku "kenapa memandangiku begitu?" Tanyanya.
"apa kau tidak bisa membaca pikiranku?" Aku melihatnya tertawa.
"Bagaimana bisa? Aku buka mentalis, jangan termakan omongan drama remaja" dia menyender pada tiang kayu dan melipat tangannya "hanya penyihir yang bisa melakukannya, aku hanya keturunan mayat hidup yang kebetulan diwarisi sebagian kekuatan dari Ibuku yang seorang penyihir" Kai kembali menurunkan tangannya dan menasukannya ke dalam saku celana. Aku dapat melihat salah satu kancing jaketnya yang menghilang, entah sejak kapan tapi seingatku ketika dia memelukku aku tidak menarik jaketnya sekuat itu.
"Aku akan istirahat disini sampai seseorang datang" kataku sambil duduk dan menyender pada dinding.
"Kenapa tidak di mobil saja? Di luar pasti sangat dingin" aku tidak megaggap tawaran Kai sebagi wujud dari kepeduliannya, karena memang ia tidak perduli.
"Kau saja, aku tetap disini, aku tidak bisa berjauhan lagi dengan rumah ini" jawabku sambil meraba lantai yang juga terbuat dari kayu.
Kai tidak kunjung bergerak, ia malah ikut duduk di depanku. Lututnya masih terangkat dan menutup tubuhnya, ia berusaha menghangatkan tubuhnya sepertiku, hanya saja pandangannya tidak lepas dariku. Seolah sedang membaca pikiranku, karena aku tetap tidak percaya dia tidak bisa membaca apa yang aku pikirkan jadi aku hanya membuang muka dan berusaha menutup mataku yang mulai sangat berat. Sekarang aku sedang dilindungi oleh mausia setengah vampir, rasanya ingin tertawa tapi tidak bisa. Mungkin ini akan mejadi lelucon menyeramkan sepanjang hidupku.
-
Pagi tiba dan cahaya matahari mulai mengangganggu tidurku, aku membuka mata dan sudah mendapatiku yang tertidur di lantai tanpa alas. Aku tidak mendepati Kai berada di dekatku, atau dimanapun. Hanya ada dua kaki renta yang berjalan kearahku dengan perlahan. Aku mencoba menyadarkan diriku lagi. Pasti itu pemilik rumah ini, dia pasti terkejut melihat aku berada disini. Aku segera bangkit dan membungkuk pada wanita tua yang terus menatapku, ia seperti ingin bicara tapi tertahan.
Aku menjadi sedikit takut. Apa tadi malam aku berubah jadi vampir? Atau monster yang berwajah hancur? Sayang aku tidak memiliki kaca untuk memastikannya karena wanita dihadapanku masih menelusuri wajahku dengan lekat.
Aku masih tak bergerak tapi wanita itu menghampiriku sambil kembali bersuara, sekarang aku tahu apa yang ia katakan.
"An..Ana?" Suara seraknya terdengar. Seperti menahan sakit untuk menghalau semua kekeringan yang ada pada tenggorokannya.
Dia tahu namaku. Itu yang pertama kali terlintas di pikiranku ketika ia mulai diam menunggu jawabku.
"Ya, aku Ana, dulu aku tinggal disini" Bahunya terlihat lebih santai dan badannya terlihat menegak, matanya tak lagi menyipit. Ia tersenyum seperti merasakan kelegaan dalam hatinya.
Sebelum aku membalas senyumnya dia sudah berbalik dan membuka pintu dengan kunci yang dipenganya.
"Apa Nenek mengenalku?" Tanyaku ragu karena ia tidak kunjung bicara.
"Apa Nenek pemilik rumah ini sekarang?" Tanyaku lagi untuk meyakinkan, dia tak menjawab dan masih sibuk membuka pintu dengan kunci dan melepaskan beberapa pengait sebagai kunci manual di tepi pintu.
Baru aku membuka mulutku untuk berbicara lagi, tapi ia segera mendorong pintu dan membiarkannya terbuka lebar, sekarang aku tidak melihat satu jengkal pun ia melangkah. Tidak lama kemudian Nenek itu menghadapku, wajahnya terlihat senang "rumahmu" katanya dengan suara serak.
Aku menatap kedalam pintu itu. Dalamnya masih gelap, aku masih tidak begitu melihat dengan jelas apa yang ada di dalamnya. Tapi Nenek itu bilang ini rumahku, yang berarti masih menjadi rumahku, yang berarti tidak ada pemilik lain.
Dengan degup jantung yang tak stabil dan tangan yang hampir gemetar aku masuk kedalam rumah itu. Lantainya masih seperti yang dulu, sofa berwarna coklat yang masih tertata menandakan ruangan ini masih mejadi ruang tamu. Di sudut ruangan terdapat meja kecil yang dapat di pindahkan, biasanya aku dan kedua orangtua ku makan disana. Dengan panci yang langsung diambil dari atas kompor, dengan mangkuk kecil putih dan sumpit biru kesukaanku, disanalah aku, Ibu dan ayah akan makan.
Aku kembali berjalan sambil meremas bajuku. Aku mulai mengingat semua kebahagiaan yang dulu diambil paksa dariku. Aku bahkan seperti mencium wangi parfum Ibuku yang bercampur dengan masakan Ayah dari dapur. Rasanya seperti kembali ke masa lalu.
Dengan ragu aku masih melangkahkan kakiku sambil meletakan tanganku didada, ada sedikit rasa sesak disana. Semakin lama semakin sesak sampai aku lupa cara bernapas dengan benar, karena sekarang aku bertemu dengan sebuah dinding besar dengan meja panjang di bawahnya. Meja-meja yang dihiasi fotoku yang masih bayi, foto Ibu yang menggendongku, foto ayah yang mencium pipiku. Kemudian, aku mendongakkan wajahku. Dan persis seperti dugaanku, benda itu masih disana. Sebuah lukisan besar yang berisi aku, Ayah dan Ibu yang saling memeluk. Dadaku makin sesak dan bibirku mulai tak tahan untuk berusara. Air mataku tumpah dengan getaran tubuhku yang tidak terkendali, aku benar-benar merindukan tempat ini.
Aku merasa punggungku menghangat karena usapan tangan Nenek itu. Aku masih tidak menghentikan tangisku. Tangis ini sebagai penggantiku atas rasa kesepian bertahun-tahun, merasakan keluarga yang tidak utuh, dan merasaka akibat dari keegoisan orangtuaku.
Aku ditarik menjauhi dinding itu dan didudukan di sofa. Tangan Nenek itu meraih tempat tisu diatas meja dan memberikannya padaku, bahkan tempat tisu itu masih disana, kain yang menghiasi tempat tisu itu dibuat oleh tangan Ibuku, dihias dengan tangannya yang cekatan namun lembut. Bayangkan, hidupku dulu bahagia tapi sekarang ketika aku kembali, aku seperti tidak mengenal Ibuku, terlebih ketika ia berdiri dengan keluarga barunya. Lalu Ayahku juga tidak seceria dulu, dia juga ikut berubah, dulu semua kerusakan di rumah ini Ayahku yang membetulkannya, rumah ini tidak akan indah tanpa tangan dingin Ayahku. Sekarang, aku bahkan jarang melihatnya tersenyum, rumah kami disana pun tidak seindah rumah kami disini.
"Minumlah" aku kembali mendengar suara seraknya. Segelas teh hangat sudah berada di meja entah sejak kapan.
Aku mencoba menenangkan diriku. Mengusap pipi dan daguku yang basah.
"Nenek, siapa?" tanyaku segera. Dia yang membawa kunci rumah ini tapi sepertinya tidak tinggal disini "Apa nenek yang merawat rumah ini?"
Dia tersenyum dan mengangguk kecil "terimakasih, terimakasih banyak, Nek" ucapku yang hampir menangis lagi. Sebenarnya aku seperti mengenal Nenek ini tapi aku benar-benar lupa, aku ingin banyak bertanya padanya tapi sepertinya ia memiliki kesulitan bicara jadi aku tidak memaksanya.
Aku mengesap teh yang masih hangat sambil mencoba menelusuri rumah ini. Satu tempat yang ingin aku kunjungi selama ini, yaitu kamarku.
Aku membuka pintu dan kamarku masih terasa familiar. Bahkan boneka-boneka pemberian Ayahku masih tetarapi di atas kasur. Meja belajar, rak buku, semuanya masih sama. Aku menyentuhnya satu-persatu sambil mengingat apa yang pernah aku lakukan dengan barang-barang ini di kamarku. Nenek itu benar-benar merawat semua ini. Ayah tidak pernah bilang kalau ada yang merawat rumah ini, atau Ayah tidak ingin memberitahu kalau selama ini sebagian uangnya disisihkan untuk biaya merawat rumah ini.
Aku meletakan gelas tehku diatas meja belajar kemudian membuka lemari dan masih menemukan baju-bajuku lamaku disana. Sebagian besar berbentuk gaun dan terusan. Aku menyadari sesuatu, sesuatu yang berbeda tentang aku disini. Aku berjalan menuju cermin yang tidak terlalu besar didekat lemari. Dulu, sebelum aku keluar kamar aku sempatkan menatap cermin ini. Jadi aku mulai membandingkan anak sepuluh tahun yang lalu dengan aku yang sekarang.
Pertama, aku adalah putri Ayah yang sangat baik hati dan ramah, kedua aku adalah anak kesayangan Ibuku. Ya, dulu aku adalah anak yang sangat berbeda, Rambutku dulu sering dikepang, sering memakai pakaian terusan berwarna pastel, dan selalu berlari riang saat di dalam rumah. Sekarang gadis kecil itu berubah menyeramkan, aku melihat wajah kurus, lingkar mata yang hitam, jeans yang robek, rambut yang kusam dan hidup yang suram di cermin itu sekarang. Ya, aku menemukan perbedaan itu. Aku sangat berterima kasih dengan cermin ini, benda yang selalu membuatku menyadari sesuatu yang salah pada diriku.
Karena tidak sanggup menatap cermin lebih lama lagi, aku berpaling dan menuju jendela kamar. Dari jendela ini aku bisa melihat taman yang berada di depan rumah, pagar yang terbuka dan jalanan yang mulai ramai. Aku penasaran kemana perginya Kai, mungkin dia tidak sanggup harus tidur tanpa alas, atau dia tidak bisa terkena matahari pagi, yang jelas dia meninggalkanku.
Lama menatap jendela aku melihat seorang pria membawa dua buah ember yang penuh dengan air lalu menaruhnya di depan rumah dan kemudian pergi untuk mengambil air lagi. Untuk apa pria itu membawa air?
Aku pergi keluar kamar untuk memastikan dan hanya mendapati Nenek itu sedang memasak sesuatu di dapur, seolah membiarkan seorang pria memberinya air dan mengumpulkannya di depan "kenapa ada orang yang membawa air didepan?" Tanyaku akhirnya. Dia menoleh sebentar dan memastikan ember-ember didepan sudah terisi air setelah itu ia berjalan kearah westafel, membuka keran, dan menatapku menatapku sambil menggeleng. Ternyata airnya mati. Mungkin itu sebabnya pria itu membawa air untuk keperluan Nenek ini.
"Apa kerannya rusak?" Tanyaku lagi sambil mendekat.
Nenek itu menggeleng "tersumbat" ujarnya. Tentu saja, biasanya Ayahku yang membenarkan saluran air tidak mungkin Nenek ini sendirian membetulkan keran air. Terlebih sepertinya tidak ada yang bisa membantunya merapihkan semua yang berada di rumah ini.
Aku membuka mantel dan menggulung lengan bajuku. Aku tidak mempunyai ikat rambut jadi aku hanya menyibakkan rambutku kebelakang dan menjadikan satu gengam rambutku menjadi sebuah ikat yang tidak kencang. Aku biasa membenarkan sesuatu di rumah ketika Ayah bekerja. Jadi, membenarkan keran bukan sesuatu yang sulit bagiku. Nenek itu pergi ketika aku mulai membongkar saluran air, mungkin tidak ingin mengangu. Beberapa peralatan aku temukan digudang, masih di tempat yang sama yang biasa Ayah letakan.
"Siapa kau?" Aku sedikit terlonjak ketika suara seorang pria terdengar. Aku masih berjongkok dan menoleh. Itu pria yang membawa air tadi. Ototnya masih terlihat menegang dan peluhnya masih menempel di kening. Aku berdiri untuk melihatnya lebih jelas. Ia memakai kaus tanpa lengan dan celana selutut. Aku lupa bagaimana aku harus mulai menyapa seseorang yang tidak dikenal. Oh iya, membungkuk.
Pria itu terlihat menyipitkan matanya dan menatapku lekat "Apa aku pernah bertemu denganmu sebelumnya?"
"Tidak, aku baru saja datang. Namaku Ana" jawabku. kerutan di keningnya menghilang dan pandangannya terlihat berubah.
"Ana? Anabelle?" Kami sama terkejutnya, ternyata dia mengenalku, tapi sayang aku tidak mengenalinya "ya Tuhan, aku hampir tidak mengenalimu" ucapnya dengan pandangan tidak percaya.
"Siapa kau?" Tanyaku ragu. Mungkin dulu aku mengenalnya, tapi sekarang aku sudah banyak melukapan hal-hal tentang rumah ini. Salah satunya Nenek itu dan pria ini. Sepertinya aku akan banyak dikejutkan tentang rumah ini.
Pria itu tersenyum, wajahnya jadi terlihat ramah "Aku Taecyon" jawabnya.
-
Halloo readers, lama tak bertemu hehe, maaf ya aku hiatus gak bilang-bilang. Aku sebenernya masih mau ngelanjutin cerita ini tapi gak tau kalo kondisinya gak mendukung. Mungkin setelah masuk libur aku baru bisa lanjut lagi. Sekali lagi aku minta maaf. Mianhee