home_icon
SIGN IN
SIGN UP
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
LOUNGE
HOW IT WORKS
HOW TO BE DFF OF THE WEEK
TERMS OF USE
CONTACT US
  • Latest
  • Most Viewed
  • Most Loved
  • A-Z
  • My Fanfiction
  • My Subscriptions
  • My Subscribers
  • Create New Fanfiction
Fan Fiction > ANABELLE

ANABELLE

Share:
Author : Rezkyka
Published : 23 Apr 2014, Updated : 24 Oct 2017
Cast : Anabelle Walker as OC, Kim Jongin, Xi Lu Han, Kim Myungsoo , Lee Taemin and many
Tags :
Status : Ongoing
6 Subscribes |44964 Views |15 Loves
ANABELLE
CHAPTER 19 : HANYA UNTUK SEMENTARA

Mimpi buruk kembali datang, kali ini lebih menyeramkan. Memimpikan seklompok vampir yang membatai seluruh kota termasuk kedua orangtua ku. Aku mencoba meyadarkan diriku kalau hari sudah pagi dan waktunya menyelesaikan mimpi buruk. Aku jatuh dari ketinggian tepatnya jatuh dari atas gedung, lalu baru aku bisa terbangun dari mimpi. Rasanya badanku sangat lelah seolah kejadian di mimpi itu benar-benar aku alami. Aku mengangkat tanganku dan mengusap keningku untuk memijitnya. Aku tidak tahu bagaimana aku bisa melewati semua ini, rasanya aku langsung ingin mati saja.

Baiklah, aku memang akan mati tapi tidak sekarang, aku harus tetap berjuang, kan?

Aku memandang langit-langit kamarku sambil mencoba menengkan pikiran dengan mengusap keningku lagi. Tapi aku menemukan sesuatu yang aneh dari jari-jari tanganku. Mereka begitu kurus seperti hanya tulang yang terlilit kulit dan aku memperhatikan seluruh tanganku yang terlihat sama mengerikannya. Aku mencoba untuk duduk tapi badanku tiba-tiba terasa sakit dan sulit di gerakan. Aku tidak sanggup bangun. Astaga.

Jangan panik Ana, jangan panik. Kau baik-baik saja. Aku mencoba menenangkan pikiranku sendiri sampai air mata tiba-tiba jatuh mengenai kupingku. Aku sekarat, aku tahu itu.

Suara ketukan pintu mengagetkanku. Suara Ibu yang memanggil namaku juga terdengar bersamaan dengan suara ketukan pintu. Aku segera menarik selimut dan menutupinya sampai hidungku.

"Ana, kau sudah bangun?" kepala Ibu muncul dari pintu. Aku sengaja menutup tubuhku dengan selimut agar Ibu tidak tahu apa yang terjadi padaku. Dia bisa membawaku ke dokter dan tidak akan menemukan penyakit apapun di tubuhku. Karena aku memang tidak sakit, hanya sebagian kekuatanku yang menghilang dibawa oleh golden kompas antik.

"Hmm" aku menjawab pertanyaan Ibu seadanya.

"Ayo cepat siap-siap kau harus sekolah" sekarang aku dapat melihat Ibu duduk disampingku. Aku hanya menatapnya mencoba untuk tidak mengeluarkan air mata. "Hey kau kenapa? Apa kau sedang sakit?" Tanyanya sambil mengelus rambutku.

Aku mengangguk, "sepertinya hari ini aku tidak sekolah dulu badanku tidak enak sekali" ucapku dari balik selimut.

"Oh baiklah tapi mom dan paman Teo akan pergi sampai malam, kalau kau sakit mom akan.."

"No mom, I'm fine" sanggahku dan aku masih mencoba menormalkan suraku yang tiba-tiba terdengar serak.

Wajahnya terlihat khawatir "Baiklah kalau begitu, mom akan suruh pelayan untuk menjagamu, I'm sorry" Ibu tersenyum dan kembali mengusap kepalaku. Tak lama kemudian Ibu beranjak pergi tapi ada yang ingin aku katakan terlebih dahulu.

"Mom" panggilku.

"Ne?" Ibu kembali menoleh.

"I love you mom" ucapku tulus. Aku ingin ibuku tahu kalau aku sangat menyayanginya sebelum hal yang lebih buruk terjadi padaku.

Dia kembali duduk di pinggir tempat tidurku dan mencium keningku "I Love you more" ucapnya dengan senyuman. Kemudian dia benar-benar pergi dan menghilang dibalik pintu kamarku.

Aku mengusap mataku yang kembali basah. Sebenarnya pagi ini mengingatkanku kebeberapa tahun yang lalu ketika terakhir kali ibu bermalam di rumah sebelum benar-benar pergi. Ibu mengelus rambutku dan berbisik padaku yang saat itu masih terjaga, bahwa dia sangat menyayangiku. Kenangan itu menjadi kenangan indah sekaligus kenangan menyakitkan karena hari itu menjadi hari terakhirku melihat wajah Ibu. Dan sekarang mungkin semua itu akan kembali terulang, bedanya aku yang akan pergi.

Selang beberapa menit kemudian aku tidak mendengar suara ketukan pintu tapi pintu kamarku kembali terbuka. Aku kembali menutup tubuh kurusku ini dan memperhatikan siapa yang muncul dari pintu itu.

Ternyata Juno.

Aku membuka sedikit selimutku dan tersenyum kepadanya.

"Apa Noona sedang sakit?" Tanyanya masih sambil memegang gagang pintu. Aku hanya menjawabnya dengan mengangguk. Tapi dia hanya diam dan terlihat berpikir kemudian ikut mengangguk, setelah itu tubuh kecilnya kembali menghilang di balik pintu.

Aku tahu Juno bukan anak yang pintar berekspresi atau yang pintar mengibur. Tapi aku tahu dia sedang menunjukan kepeduliannya tadi.

Aku kembali merasa mengantuk dan ingin tidur kembali, tapi rasa takutku lebih besar. Aku takut mimpi itu datang kembali. Jadi aku hanya diam dibalik selimut sambil berpikir bagaimana cara terbaikku untuk bisa pergi dengan tenang. Oh ya dan minggu ini aku belum sempat menelpon Ayah. Mungkin dengan meneleponnya aku akan merasa lebih baik.

Aku tidak tahu bagaimana keadaanya sekarang apa dia akan meresmikan hubungannya dengan stacy? Entahlah. Aku tidak punya waktu untuk memikirkan itu. Aku hanya punya waktu untuk merangkai ucapan selamat tinggal.

Dengan susah payah aku berusaha meraih ponselku yang berada cukup jauh dari jangkauanku. Benda itu berada di meja kecil di bawah lampu kamar yang sudah tidak menyala. Aku sedang mengasiani diriku sendiri sekarang, meraih ponsel saja butuh perjuangan, tubuhku kaku dan kakiku lemas.

Sebentar lagi, sebentar lagi aku dapat meraih ponselku. Aku terus memajukan badanku tapi tenagaku seperti hampir habis. Jari tengahku sudah dapat menyentuh ujung ponsel tapi benda tipis itu terjatuh kelantai membuat badanku ikut terhuyung ke depan kepalaku pasti akan membentur lantai. Tapi dua tangan asing berhasil menangkap bahuku. Dan kepalaku selamat.

"Taemin?" Rambut hitam lurus dan kulit tangan yang putih langsung menggambarkan siapa orang yang menangkapku.

"Ana, apa yang kau lakukan?" Dia berhasil mengangkat tubuhku dan mendudukanku kembali. Pandangannya beralih pada ponselku yang meringkup di lantai "kau mau mengambil ini?" Tanyanya dan aku mengagguk.

Setelah mengambil ponsel itu dia memberikannya padaku dan duduk menghadapku "gomawo" kataku.

"Kenapa kau bisa disini?" Tanyaku pada Taemin yang terus memandangku. Aku tahu ada rasa iba dimatanya.

"sebelum orangtuamu berangkat aku sempat menyapa mereka, dan Ibumu bilang kau sedang sakit jadi aku sempatkan melihatmu"

"Kau baik sekali, apa kau sering menjenguk Juno juga saat dia sakit?"

"Ehem, bahkan menjaganya seharian karena dia pasti sangat kesepian"

"Berarti kau juga ingin menjagaku seharian?" Saat masa-masa kritis seperti ini aku ingin ada yang menemaniku, aku benar-benar merasa takut sendirian. Apalagi di kamar ini yang akan terus membawaku pada mimpi buruk.

Ekspresi wajah Taemin berubah, ia menundukkan wajahnya sebentar dan kembali memandangku. "Sayang sekali hari ini aku tidak bisa, ada hal yang harus aku lakukan hari ini" wajahnya terlihat sangat sedih.

Aku tersenyum, "gwenchanayo, aku bisa menjaga diriku sendiri, aku hanya bercanda" aku jadi merasa tidak enak, Taemin adalah orang yang sangat baik aku tidak boleh memanfaatkannya dan membuatnya merasa bersalah. Diakan bukan pelayan di rumah ini.

"Mianhe" Kata Taemin lagi. Apa dia begitu baik sampai-sampai merasa bersalah karena tidak mejagaku?

"Oh jongmal gwenchana, masih banyak pelayan yang akan menjagaku, kau tidak perlu begitu" aku berusaha tersenyum dengan lebar membuatnya berpikir kalau aku benar benar baik-baik saja. Meski wajah kurusku tidak bisa berbohong.

Aku melihat tangan Taemin meraih tanganku, "berhati-hatilah di rumah aku akan menemanimu jika aku sudah pulang"

Kenapa aku merasa ada yang aneh dengan Taemin? Aku hanya mengangguk ragu "yang penting jangan merepotkan dirimu sendiri" ucapku. Taemin membalas denga senyuman, tapi tidak sampai dua detik senyumnya menghilang dan menatapku kembali dengan wajah sedihnya. Apa dia benar-benar mengkhawatirkanku?

Sebelum dia pergi Taemin meraih salah sesuatu di balik punggungnya, setangkai mawar merah. Aku memandangnya "untukmu" ucap Taemin dengan mengulurkan tangannya.

Aku meraih mawar itu, yang ternyata tidak di penuhi duri. Mungkin Taemin sudah memisahkannya.

"thanks" aku tidak bisa tersenyum sekarang, hanya perasaan heran. Taemin adalah orang yang menurutku memiliki banyak kepribadian. Kadang dia bertindak sebagai tetangga yang baik, lalu menjadi sesosok kakak laki-laki yang sangat peduli, kemudian menjadi pria misterius yang kadang menghilang dan sekarang menjadi teman pria yang romantis. Aku tidak sabar menunggu kejutan lainnya dari tetanggaku yang satu ini.

"Aku pergi dulu"

Setelah aku menggangguk dia beranjak pergi, langkahnya sangat lambat dan kepalanya terlihat gusar aku melihat tangannya berhenti di gagang pintu kamarku.

"Hem, Ana?" ia membalikkan badannya. Aku kembali menaruh perhatian padanya. "Jika aku melakukan kesalahan, apa aku patas dimaafkan?"

Aku mengkerutkan alisku "setiap orang pasti memiliki kesalahan dan memiliki kesempatan untuk dimaafkan" benarkan hari ini Taemin sangat aneh.

"Dan jika aku memiliki kesalahan yang menurutku sendiri tidak pantas untuk dimaafkan, apa aku tetap pantas dimaafkan?"

Pertayaan Taemin membuatku sedikit bingung "kau orang baik, aku percaya padamu" Taemin pasti sedang memiliki masalah yang besar dan dia tidak tahu bagaimana menghadapinya seperti aku saat ini.

"Jadi aku bisa dimaafkan?" Taemin memperjelas pertanyaanya. Entah kenapa aku sedikit tidak yakin. Tapi aku tetap harus mebantu Taemin, kan? Mungkin dengan perkataanku Taemin memiliki keberanian untuk melakukan sesuatu yang ia ragukan.

Aku mengangguk "tentu bisa"

Taemin balas mengangguk dan pergi setelah menutup pintuku dengan rapat. Semoga apapun masalah yang Taemin hadapi saat ini, dapat terselesaikan dengan baik. Karena kata Ayahku jika aku berdoa untuk seseorang berdoalah seperti untuk diriku sendiri.

Leherku kembali terasa perih. Jari-jari dengan kuku panjang menancap di leherku. Membuatku sulit bernapas dan merasakan perih luar biasa pada leherku. Aku berusaha menarik tangan itu. Tapi tenagaku hampir habis hingga seseorang datang dan memukul kepala pria yang mencekikku dengan benda berat hingga dia terpental jauh. Aku terlepas dari jeratan tangannya membuatku langsung terbangun dan berhadapan dengan kaca di hadapanku.

Kaca itu menggambarkanku yang duduk tanpa darah sedikitpun, hanya wajah pucat dan rambut berantakan, hal itu menyimpulan bahwa aku baru saja menyelesaikan mimpi burukku. Lagi.

Aneh, di dalam kaca itu aku tidak sendiri aku melihat sesosok pria berdiri di sampingku jadi aku menoleh dengan cepat tapi tidak medapati siapapun. Hanya kaca jendela yang terbuka lebar hingga angin musim gugur bisa masuk dan menyentuh kulit rapuhku. Aku kedinginan.

"Permisi nona" ketukan pintu mengagetkanku. Suara pelayan dari balik pintu itu membuatku tenang karena aku kira aku masih berada di dalam mimpi.

"Ya masuklah" aku tahu suaraku sangat kacau. Seperti terkena radang tenggorokan, bahkan aku sulit menelan ludahku sendiri.

Seorang pelayan wanita masuk ke dalam kamarku malu-malu. Aku rasa dia pelayan paling muda disini. Aku pernah dengar salah seorang pelayan yang berkerja bersama anaknya disini.

"Ada tamu untuk Anda" ucapnya tanpa melihatku.

"Tamu? Siapa?" Aku masih berusaha bersuara.

"Dia bilang namanya Lu Han"

"Lu.. Han" aku mencoba menormalkan suaraku yang mulai terdengar parau "ia dia temanku, suruh saja dia masuk, aku.. akan turun ke bawah" aku mecoba menggerakan kakiku. Tapi terlalu lemas. Ingat, aku sedang tidak berdaya.

"Nona yakin?" Aku masih berusaha menurunkan kakiku tapi ini terlalu sulit.

"Tidak, tolong antar dia ke kamarku saja" ucapku akhirnya. Aku bahkan hampir saja tertawa. Menertawakan diriku sendiri, sebentar lagi aku akan menjadi mayat hidup. Ini sangat lucu, hidup ini memang saat lucu. Bagaimana sebuah benda keemasan berbentuk kompas bisa membuatku sekarat seperti ini? Dan bagaimana bisa aku bermimpi buruk terus menerus dan hampir membuatku gila. Tidak ada yang bisa mengendalikan tubuhku kecuali aku sendiri. Harusnya.

Aku kembali menurunkan kakiku dan mencoba membuatnya menyentuh lantai. Jari-jari kakiku terlihat sangat kurus. Sekarang aku bisa merasakan lantai yang dingin melalui jari-jari kakiku. Aku akan berjuang meski tanpa bantuan orang lain, aku tidak akan mati secepat itu. Aku yang akan menentukan bagiamana hidupku. Bukan para raja vampir atau kompas aneh itu.

"Aaw" aku tidak menyangka akan jatuh segampang ini. Kakiku seperti tidak memiliki otot. Hanya kerangka tulang yang di lapisi kulit rapuh. Bodohnya aku, aku akan terlihat sangat lemah ketika Lu Han datang nanti. Aku mencoba memegang seprai dengan kuat dan berusaha berdiri tapi semakin aku paksakan kepalaku malah menjadi pusing.

Akhirnya aku terdiam lama sampai aku menyadari bahwa Lu Han sudah berada di dalam kamarku. Dia memandangku lekat memperhatikanku yang duduk diatas tulang kakiku. Mungkin Lu Han lebih tahu apa yang sebenarnya terjadi padaku jadi ia tidak begitu terkejut melihat keadaanku, hanya merasa kasihan. Dia pasti tahu kedua orangtuaku sudah pergi dan adik tiriku sudah berangkat sekolah, ketika aku berada di rumahnya dia sempat bilang akan sering menjengukku. Aku hanya mengangguk dan tidak menyadari maksudnya. Sekarang aku tahu.

Aku mencoba kembali bangun, setidaknya untuk duduk di tepi kasurku. Tapi aku tidak sanggup "aku sepertinya akan duduk disini saja, ini lebih nyaman, mungkin kau bisa mengambil alas di lemariku untuk duduk disini" aku mengatakannya dengan ceria seolah aku sedang mengajak Lu Han berpiknik. Dia terlihat menghembuskan napasnya dan menggeleng kemudian berjalan kearahku.

"Aku bisa bangun sendiri, aku hanya ingin duduk dibawah. Lu, turunkan aku" dia menggendongku, tangannya yang hangat menyetuh punggung dan kakiku. Beginilah aku diperlalukan seperti gadis penyakitan yang sering aku lihat di film. Setelah tubuhku berada di atas tempat tidur aku hanya bisa menundukan kepalaku dan menangis. Lihat, tidak ada yang bisa aku lakukan selain menangis. Ini merupakan rekor dalam sejarah hidupku. Bahkan aku tidak menangis saat tanganku tergores pisau saat umurku lima tahun. Atau terjatuh dari pohon saat umutku sembilan tahun, atau saat anjing kesayanganku mati aku tidak menangis hanya merasa sangat sedih. Terakhir kali aku menangis saat Ayah menyuruhku kembali ke Korea dan kami berdebat cukup lama. Semua ini membuat kepribadianku berubah, aku seperti tidak menemukan diriku sendiri.

Aku baru ingat Lu Han masih disini, melihatku, memperhatikanku "maaf" ucapku sambil meghapus air mataku dengan cepat.

"Tidak, aku tahu ini sangat berat, aku menyesal kau harus terlibat dengan semua ini, tapi aku membawa kabar baik" wajah Lu Han berubah cerah, aku juga mulai menyesuaikan.

"Kemarin, berita tentang kau sudah menyebar luas, raja sudah tahu dan mengirimkan beberapa orang untuk bertemu dengan raja vampir"

"Apa yang mereka lakukan?"

"Raja kami menginginkan pertemuan serius karena kali ini masalahnya menyangkut manusia dan nyawanya terancam"

"Lalu bagaimana jika mereka bersedia bertemu? Apa yang akan mereka lakukan?"

"Mereka akan mendiskusikan apa yang akan mereka lakukan padamu, apa akan memberimu kesempatan atau tidak itu tergantung dengan permohonamu"

Aku mengerutkan keningku. Kesempatan? Itu berarti antara hidup atau mati. Waktuku tergantung pada kesempatan itu. Dan permohonan? Itu berarti bonus.

"Dan aku membawakan sesuatu" Lu Han begerak dan meraih benda didalam kantong celananya. Dia mengeluarkan botol kecil dengan cairan berwarna ungu di dalamnya. Botol itu terlihat tidak biasa, botol klasik berbentuk tetesan air.

"Apa ini?" Aku meraihnya bersamaan dengan Lu Han yang tersenyum.

"Ini dari Yojin Ahjuma, minumlah kau akan merasa lebih baik" Aku membuka botol itu ragu dan memastikan air apa yang ada di dalamnya. Aku mencium bau daun, bunga dan wangi ngingseng di dalamnya itu pun kalau aku tidak salah menebak "habiskan semua" titahnya.

Demi tubuhku yang mulai rapuh ini aku percaya padanya dan mulai meneguk obat itu. Rasa pahit langsung memenuhi mulutku, kalau tidak ada Lu Han didepanku mungkin aku sudah menyemburnya. Aku yakin ada rasa kunyit di dalamnya lalu kenapa obatnya berwarna ungu?

"Ah! Pahit sekali" seruku ketika aku berhasil menghabiskan semua obatnya dalam botol mungil itu. Lu Han diam-diam tersenyum sambil membantu menutup botol obatnya.

"Apa kau suka sandwich?" Tanyanya tiba-tiba.

"Ehem, dengan banyak keju" ucapku yang mulai merasa lapar. Tunggu, sudah beberapa hari ini aku tidak merasakan lapar, membayangkan makanan saja tidak napsu.

"Kalau begitu aku akan memaksakan untukmu" ujarnya sambil berdiri.

"Apa?"

"Bolehkan aku memasak disini?"

"Tentu saja tapi.. Kau.. Bisa memasak?" Aku yakin mataku sudah membesar sekarang. Dia hanya tersenyum sambil mengangguk.

Aku tidak mengira obat yang aku minum bereaksi sangat cepat. Kakiku dapat kembali menopang tubuhku. Aku dapat turun dari tempat tidurku tanpa kesulitan. Aku bahkan bisa pergi menuju cermin untuk memandang diriku sendiri dan mengasiani diriku sendiri. Betapa kurusnya aku.

Aku berdiri menyandar disalah satu dinding dapur memperhatikan Lu Han yang dengan lincah memotong bumbu masakan. Aku mengedarkan pandanganku sesaat. Beberapa pelayan sempat melirik kearah dapur kemudian pergi dengan langkah yang cepat.

"Sepertinya aku harus menelpon ibuku untuk menjelaskan siapa dirimu sebelum pelayan-pelayan disini melaporkan yang tidak-tidak"

Lu Han mengangguk santai "lalu apa yang akan kau jelaskan untuk memberitahu ibumu siapa aku? Kau tidak ingin megejutkan ibumu untuk menerangkan siapa aku sebenarnya bukan?"

Aku baru sadar akan hal itu. Aku tidak mungkin mejelaskan kalau Lu Han seorang penyihir yang sedang membantuku yang sebentar lagi akan.. Ya seperti itu. Berbicara tentang kematian adalah hal yang paling sensitif untukku sekarang. Aku juga tidak bisa mengarang kalau aku bertemu Lu Han di jalan dan berkenalan kemudian berteman, aku rasa Ibu bukan orang yang pandai menerima orang asing masuk kelingkup pertemananku.

"Ya, kau benar lalu bagaiamana?"

"Bilang saja aku juga sekolah di Shinwa dan salah satu mahasiswa disana jadi kau.."

"Ah ya! Benar" aku berseru dan Lu Han terlihat terkejut "aku bilang saja kau temannya Taemin"

"Taemin?"

"Iya tetangga sebelah rumahku, dia kuliah di Shinwa"

Aku segera mengambil ponsel dari kantongku sambil mencuri pandang kearah Lu Han yang terlihat berpikir keras sementara tangannya kembali menotong bumbu masakan. Kenapa wajahnya jadi terlihat sangat menggemaskan.Oh hentikan Ana, obat apa yang baru saja kau minum?

Tentu saja obat dari Lu Han.

Kami makan dengan tenang, sangat tenang malah. Bahkan aku tidak ingat berapa kali aku menarik napas. Mulutku hanya penuh dengan makanan, rasanya seperti tidak pernah makan berhari-hari.

"Emm, ini sangat enak" pujiku pada Lu Han yang ikut duduk di depanku. Dia hanya tersenyum dan menggelengkan kepalanya.

Aku berhenti mengunyah dan menatapnya sebentar "obat apa yang kau berikan padaku?"

"Ramuan" jawabnya "ramuan yang kau minun itu penangkal sihir yang tidak kita kehendaki hanya untuk sementara"

"Penangkal sihir? Aku tidak mengerti"

"Jadi di dalam kompas itu sudah diberikan sihir yang sangat kuat, kita semua tidak tahu sihir apa yang di masukkan kedalamnya yang membuat sebagaian nyawa pemiliknya mulai menghilang bersamaan dengan menghilangnya kompas itu, dan ramuan itu menghalang sihir untuk sementara, untuk mengembalikan tenagamu lagi tapi tidak untuk menyembuhkan"

Baik, sudah cukup penjelasannya. Aku kembali makan dalam diam. Senyuman Lu Han juga ikut menghilang setelah memberitahukan hal itu. Memang aku sedikit berharap Lu Han memberikanku obat yang dapat membuatku sembuh perlahan, tapi memang hanya bersifat sementara, aku rasa wajah kecewaku terlihat saat ini.

Kami melakukan kegiatan tanpa banyak bicara lagi. Lu Han membereskan semua barang-barang di dapur dan tidak meminta bantuan pelayan. Aku kembali beranjak ke kamar dan Lu Han menemaniku dia membantuku berjalan melewati tangga, beberapakali aku merasa pusing yang kemudian menghilang. Lu Han memberitahuku kalau aku harus tetap menghemat tenagaku karena ramuan yang aku minum akan segera habis efeknya jika aku membuang banyak tenaga.

Aku melamun sejenak memandangi Lu Han yang juga terdiam memandangi mawar yang sedang aku mainkan di tanganku. Entah kenapa satu tangkai mawar ini dapat membuat seluruh kamarku menjadi harum. Ya, aku memang benci wewangian tapi mawar ini memberikan efek berbeda pada pikiranku.

"Kalungnya masih kau pakai?" Tiba-tiba Lu Han bersuara. Aku baru ingat Lu Han memberikan aku kalung waktu itu. Aku menyentuh leherku dan meraih bandul kalungnya.

"Masih" jawabku "lalu untuk kalung ini, apa tugasnya?" Aku berganti bertanya.

"Eem, kau benar-benar ingin tahu?" Lu Han memangku dagunya.

Keningku berkerut "tentu saja" aku mulai merasa semburat merah diwajahku, sikap Lu Han yang lembut selalu membuatku penasaran.

"Hanya untuk mengingatkanmu tentangku" ucapnya.

"Kau bercanda" ejekku dan aku tertawa. Lu Han ikut tertawa dan menutup wajahnya seolah merasa malu dengan apa yang dikatakannya.

"Kau serius?" Ucapku tidak percaya sambil menarik tangannya.

"Ok, biar aku jelaskan sesuatu" ia menyudahi tawanya. "Setelah penyihir muda menyelesaikan seluruh latihan sihirnya dan berusaha menaiki level tertinggi sebagai penyihir, mereka akan mendapat ujian yang berat, aku sudah melewati ujian itu dan kalung itu adalah hadiahnya" aku mengangguk sejenak "Kalung itu adalah kalung permohonan" aku mulai tersenyum mendengar ceritanya, kalung ini pasti sangat ajaib "Setiap penyihir yang memilikinya dapat memberi dua permohonan yang ia masukan ke dalam kalung itu. Entah untuk dirinya atau untuk orang lain, aku pernah memakainya tapi setelah itu permohonannya kembali kosong, lalu aku mengubahnya untukmu"

"Jadi permohonannya dapat dirubah?" Rasa ingin tahuku semakin besar, bila Lu Han memberikan satu permohonan untuku mungkin aku bisa memintanya lagi untuk dirubah.

"Bisa, bila orang yang kau tuju sudah tidak berada di dunia ini lagi" aku menurunkan tanganku dan melepaskan kalungnya dari tanganku "aku sempat memohon sesuatu untuk orangtuaku" ungkapnya.

Aku mengenggam tangan Lu Han "Maaf"

Lu Han membalas gengamanku "setidaknya permohonan itu sudah terisi kembali" balasnya dengan senyum.

"Jadi apa dua perhomonanmu?"

"Baiklah aku akui, permohonan pertamaku memang agar kau selalu mengingatku" Lu Han terlihat menahan senyumnya "Karena aku ingin ketika kau merasakan bahaya kau selalu mengingatku dan aku akan datang untuk menolong, dan aku akan selalu tahu dimana kau berada"

Memang, setelah memakai kalung ini aku merasa hidupku bergantung pada Lu Han, hanya dia yang dapat menolongku. Mungkin kalungku ini juga membantuku percaya dengan Lu Han.

"Apa kau selalu menyelinap ke kamarku ketika aku sedang bermimpi buruk? Karena aku selalu merasa ada orang yang menemaniku ketika aku terbangun dari mimpi"

Lu Han menatapku serius, "tidak, aku tidak akan datang jika kau tidak menghendakinya"

"kalau begitu mungkin hanya halusinasiku saja" Lu Han mengangguk membenarkan "lalu apa permohonan yang kedua?"

"Kalau itu rahasia, pernah dengar kata orang tentang mengucap doa? Tidak boleh terlalu keras atau sampai terdengar orang jika ingin terkabul" ucapnya lagi-lagi dengan senyum yang menenangkan.

Setelah Lu Han pulang aku beristirahat sampai tertidur dan bangun malam hari, saat itu tidak ada mimpi buruk, aku tidur dengan sangat nyanam meski aku tahu ini hanya bertahan sekali, aku benar-benar menikmatinya.

Aku memutuskan menelepon Ayahku. Dan tak lama terdengar suara serak dari sana.

"Dad kau sakit?"

"Itu bukan sapaan Ana" balasnya, dan aku tersenyum singkat.

"Apa itu perlu?, kita berdua sama-sama tidak suka basa basi, kan?"

"Ya baiklah, pergantian cuaca dan aku harus dibengkel seharian, banyak kendaraan minta di benarkan sebelum salju turun dan melicinkan seluruh jalan"

"Seandainya aku disana, aku akan menbantumu"

"Dan membiarkan anak buahku memakan gaji buta? Tidak akan"

"Dad,"

"Ana, dengar jika kau bertengkar dengan Ibumu, aku mohon selesaikan sendiri"

"Daddy come on!"

"What? Kalian tidak bertengkar?"

"Tentu saja tidak, hubunganku dan Ibu sudah membaik, sangat baik malah"

"Ok, lalu?"

"Aku hanya sedang ingin menelepon karena aku sedang merasa bosan karena harus meringkup di kamar seharian, dan karena aku sedang sakit"

"Oh, benarkah? Sorry, sudah minum obat?

"Sudah"

"Sudah beristirahat?"

"Sudah"

"Kalau begitu kau akan segera sembuh"

Aku terdiam, kemudian menggeleng, aku tidak akan sembuh Dad dan aku tidak bisa memberitahumu. Aku menghela napas.

"Daddy yang harus sembuh, bengkel akan kacau balau tanpamu"

"Benar, aku harus kembali ke bengkel, Dad harap kau menjaga dirimu baik-baik disana"

"Ayay captain"

Aku melemparkan ponsel kesampingku setelah sambungan terputus. Aku menenggelamkan kepalaku diatas lutut, sesekali mejambak rambutku. Dengan mengumpulkan tenaga aku bangkit dan berganti baju, memakai setelan jaket dengan kupluk lebar menggantung di punggungku dan bergegas keluar kamar.

Paman Teo dan Ibuku belum sampai di rumah dan Juno sibuk bermain games di ruang tengah, tanpa memberitahu siapapun aku keluar dari rumah dan bergegas pergi. Angin malam langsung menghempaskan rambutku jadi aku mengenakan kupluk jaketku dan memasukan kedua tanganku ke saku jaket.

Aku membawa uang secukupnya untuk membeli makanan di jalan dan menaiki bus. Tadi siang sebelum Lu Han pulang dia memberiku ramuan itu lagi jika aku memerlukannya, aku membawanya sekarang, takut kalau tenagaku habis di jalan. Ini memang ide gila, aku sekarang, di malam hari, dkondisi yang sedag sekarat pergi keluar rumah dan menuju Jeonju, menuju rumah masa kecilku. Aku memang tidak begitu hafal jalan, tapi masa bodo aku bisa bertanya, bisa browsing internet melalui ponsel dan sebagainya.

Menyusuri kota malam hari adalah hal yang paling menakutkan, tapi lagi-lagi aku tidak perduli. Hari ini adalah hari dimana Raja vampir san Raja penyihir bertemu, memutuskan sesuatu tentang diriku, tentang berapa lama aku hidup jadi aku tidak akan menyia-nyiakan waktuku. Aku ingin sekali pergi ketempat itu, ke rumahku yang lama, ke tempat kenangan masa kecilku terkubur dan ramuan dari Lu Han hanya bertahan sementara jadi aku akan menggunakannya sebaik mungkin. Aku menaiki bus saat aku telah mengirim pesan ke ponsel ibuku untuk tidak perlu mengkhawatirkanku. Dan disinilah aku, di dalam bus sambil memandangi lampu jalan dari jendela.

Kadang rasa takut muncul melihat beberapa orang asing yang ikut menaiki bus atau memandang jalan yang mulai sepi. Aku pikir aku terlalu nekat, atau mungkin karena bekejaran dengan waktu yang membuatku memberanikan diri.

Aku sampai di pemberhentian pertama dan siap menunggu bus berikutnya. Tapi angin dingin ini membuat jariku sedikit bergetar jadi aku bangkit untuk menuju super market, sebenarnya jujur aku tidak tahu persis berada dimana sepertinya sudah berada diluar Seoul, tinggal menaiki bus satu kali lagi aku sudah sampai ditempat tujuan. Aku masuk ke dalam mini market kecil pinggir jalan dan membeli beberapa makanan dan susu. Ketika aku masih berada di dalam mini market segerombolan pria masuk sambil tertawa kemudian mengambil beberapa minuman berakohol dari dalam lemari es, aku berfirasat untuk segera pergi dari tempat itu jadi aku menuju kasir dengan pandangan was-was.

Sambil menunggu penjaga kasir aku melirik kebelakangku dan mendapati mereka juga menuju kasir.

"Sendiri saja Nona cantik?" Sapa salah satu pria dibelakangku. Jantungku sudah berdegup kencang. Tapi aku mencoba santai dan bergegas keluar mini market itu. Aku berjalan cepat tapi kakiku mulai terasa lemas. Langkah kaki terdengar mendekat, aku tahu kelompok pria itu berniat jahat, aku berjalan dengan cepat entah kemana yang jelas jalanan yang lebih sepi dan sempit, aku tahu aku mengambil jalan yang salah. Aku mecoba menyentuh kalungku berharap agar Lu Han disini menemaniku, meski ini sudah sangat jauh dari kota.

Aku mendengar suara bisik dan tawa kecil, aku yakin mereka sudah makin mendekat dan sebelum aku tertangkap seseorang sudah menangkapku lebih dulu. Seorang pria yang sedikit lebih tinggi dariku memakai jaket jins ia membekap tanganku dan menyuruhku diam dengan menaruh jari telunjuk di bibirnya.

Apakah dia adalah Lu Han yang lebih dulu mengetahui keberadaanku? Gang itu sangat gelap dan aku hanya bisa melihat sebagian wajahnya dari bantuan sinar bulan malam itu. Aku mendengar suara kelompok pria itu mendekat.

"Dimana gadis itu? Ayo cari" jantungku benar-benar berdegup dengan cepat, gadis yang dimaksud pasti aku. Aku bergerak gusar, aku harus melarikan diri tapi pria di hadapanku menahan tubuhku.

"Don't move" pria itu mendekat memberitahu dan aku bisa melihat kedua matanya, dia bukan Lu Han. Melainkan Kai, yang menolongku, yang harusnya menjadikanku musuh, yang harusnya membiarkanku. Aku merasakan tanganku yang memegang jaketnya membeku. Belum lama kami terdiam dan merasa aman ponselku berbunyi dan menarik perhatian kelompok pria itu.

"Siapa disana?" Ucap salah satu pria yang sepertinya mendengar.

"Sial" aku dapat mendengar kata-kata itu darinya sebelum ia menarikku dan menenggelamkan kepalaku dalam pelukannya. Aku dapat merasakan napasnya di pipiku.

"Ada apa? Hanya pasangan yang sedang bercumbu, ayo tinggalkan saja kita cari gadis itu" sahut pria lain.

Aku merasakan detak jantung Kai, detak jantung anak immortal, detak jantung milik vampir setengah manusia dan aku yakin ia juga bisa merasakan detak jantungku, detak jantung yang melemah, tubuh yang kurus dan tangan yang gemetar. Apa hanya perasaanku atau memang pelukannya semakin erat.

POPULAR FANFICTION

BERITA PILIHAN

COPYRIGHT 2024 DREAMERS.ID PUBLISHED BY DREAMERS NETWORK