home_icon
SIGN IN
SIGN UP
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
LOUNGE
HOW IT WORKS
HOW TO BE DFF OF THE WEEK
TERMS OF USE
CONTACT US
  • Latest
  • Most Viewed
  • Most Loved
  • A-Z
  • My Fanfiction
  • My Subscriptions
  • My Subscribers
  • Create New Fanfiction
Fan Fiction > ANABELLE

ANABELLE

Share:
Author : Rezkyka
Published : 23 Apr 2014, Updated : 24 Oct 2017
Cast : Anabelle Walker as OC, Kim Jongin, Xi Lu Han, Kim Myungsoo , Lee Taemin and many
Tags :
Status : Ongoing
6 Subscribes |44964 Views |15 Loves
ANABELLE
CHAPTER 17 : HEKS VERDEN

Dia menatapku, seolah memastikan bahwa aku benar-benar mengingat semuanya. Kemudian dia menatap jari-jarinya yang aku genggam dengan erat dan dia sadar bahwa tanganku gemetar. Aku tahu dia merasakan ketakutanku di balik jari-jari ku yang kurus menggenggam tangannya.

"Aku akan menemuimu nanti, disini terlalu banyak orang" suaranya pelan, seperti berbisik dan mengawasi orang-orang yang berlalu-lalang di sekitar kami. Kemudian matanya tak lepas menatapku.

"Lalu aku akan setengah mati mencarimu lagi? Tidak" tolakku tanpa ragu. Aku tidak mungkin melepaskan seseorang yang sudah aku cari berhari-hari ini bukan tentang aku yang lelah mencari kemudian mengeluh, ini tentang aku yang di kejar waktu dan sedang berusaha keras mengambil waktu sebanyak yang aku bisa. Aku harap Lu Han mau menolongku, dengan rela.

"Aku akan menemuimu sepulang sekolah nanti, aku janji" sebenarnya aku sempat marah dengan sikapnya yang acuh dan pura-pura tidak mengenalku tadi. Tapi sekarang matanya terlihat hangat menatapku dan aku merasa terlindungi saat ia menatapku seperti ini. "Maaf atas sikapku tadi" Wajahnya penuh penyesalan dan ia kembali meyakinkanku dengan senyuman. Aku tidak membalas senyumnya, aku masih merasa khawatir dan tidak tenang. Sekarang bayangan Ibuku yang terlintas di benakku, membayangkan wajah lelahnya akibat sikapku akhir-akhir ini.

Dia melepaskan jarinya dari genggamanku kemudian mengeluarkan sesuatu dari lehernya. Sebuah kalung dengan tali hitam dan bandul emas berbentuk bulan "ini kalung pelindung, manusia biasa menyebutnya jimat, dia akan melindungimu sampai kita bertemu nanti" dia memasukkan kalung itu ke dalam leherku. Aku menatap bandulnya, warnanya keemasan tapi sedikit kusam, setelah itu aku kembali mentapnya.

"Aku akan menunggumu sampai kau datang" aku tidak tahu apa yang membuatku yakin kalau Lu Han benar akan menemui ku nanti. Mungkin kalung ini, mungkin bukan, mungkin rasa kasihan atau mungkin yang lain. Aku tidak tahu, tapi aku terus memainkan bandulnya sambil berjalan ke arah mobil, menoleh kearah Lu Han yang ternyata masih berdiri di tempatnya tidak bergeming. Pandangan Lu Han sama seperti pandanga Taemin padaku pagi ini, entah itu merupakan pandangan kasihan atau khawatir tapi pandangan mereka malah membuatku takut, seolah aku benar-benar terlihat seperti orang yang akan mati.

Sampai di Sekolah.

Sekolah yang membuatku bertemu dengan hal paling konyol yang terus menerus membayangi pikiranku. Setiap hari aku seperti mendengar dentingan jam yang biasanya bisa aku dengar jika keadaan sepi, sekarang seperti menggema di telingaku memperingatkanku kalau waktuku tidak banyak. Yang mulai aku pikirkan sekarang adalah tentang Lu Han yang seorang penyihir, atau semacamnya aku tidak tahu pasti Karena dia belum menjelaskannya. Yang baru aku tahu pasti dia tidak berteman baik dengan para mahasiswa itu. Kalau memang seorang vampir harusnya membunuh manusia, mungkin penyihir sebaliknya. Aku harap bisa berlindung di balik punggung penyihir seperti Lu Han, kalau memang benar.

Akhir-akhir ini lututku semakin membaik, meski kadang aku menepuknya beberapa kali untuk menghilangkan rasa gatal, itu efek dari luka di lututku yang mulai mengering. Aku kira Hana yang duduk tidak jauh di sampingku akan terganggu karena rasa gelisahku itu, tapi sejak kelas dimulai aku tidak melihatnya merasa terganggu, bahkan aku tidak yakin ia sadar ada aku yang duduk di sampingnya atau murid lain yang sibuk mendengkur saat pelajaran, dia hanya fokus pada pelajaran, terlalu fokus sebenarnya.

Aku berjalan di koridor dengan langkah yang lebih cepat dari kemarin, sekarang waktunya istirahat. Aku dan Hana berjalan berdampingan ke kantin tanpa suara. Tidak ada yang salah dengan hari ini semua berjalan seperti biasa, kecuali Hana. Mungkin dia memiliki sedikit masalah yang membuatnya murung dan memilih diam sepanjang perjalanan, aku berusah peduli tapi Hana terlalu cuek untuk merespon ucapanku.

Kami sampai di kantin. Hanyoung dan Seung Jae sudah duduk di tempat biasa di dekat kaca transparan yang menghubungkan taman dengan kolam ikan kecil di dalamnya, mereka memang selalu duduk lebih dulu di kantin. Aku sendiri heran, mereka yang paling bersemangat saat jam makan siang. Karena kelas kami berbeda jadi kami tidak sempat berjalan ke kantin bersama.

"Hello Ana, Hello Hana" Hanyoung melambaikan tangan dengan ceria, seperti biasa. Seung Jae juga menyambut dengan senyum yang lebar, aku tidak bisa kalau tidak merespon keceriaan mereka. Aku bersyukur bisa berteman dengan mereka, rasanya lengkap. Mempunyai teman pintar, terkenal dan baik hati. Sebenarnya banyak hadiah terselip ketika Tuhan memberi cobaan.

"Hey" aku balas menyapa kemudian duduk dihadapan mereka yang melipat tangannya dengan rapi, seolah kami berada di kelas mewarnai Taman Kanak-kanak.

Setelah memesan makanan dan mengobrol sebentar makanan kami datang menghentikan obrolan klasik kami dan beralih untuk megisi perut lebih dulu. Hari ini tidak begitu banyak obrolan, kami hanya membicarakan beberapa murid yang sepertinya berpacaran, lalu mengenai acara sekolah yang tidak pernah diadakan. Hanyoung bercerita mengenai peraturan Sekolah yang melarang mengadakan acara besar yang mengundang Sekolah lain, acara menginap di Sekolah, lomba antar Sekolah dan masih banyak lagi seolah Sekolah ini tertutup dengan kegiatan di luar. Aku berpendapat kalau semua itu terjadi karena ada sesuatu yang sekolah ini sembunyikan. Tentu saja.

"Apa kalian tidak curiga? Sekolah ini begitu tertutup dengan hal diluar" aku bertanya. Hana lebih dulu melirikku kemudian Hanyoung dan Seung Jae yang ikut menatapku tapi dengan pandangan lebih santai.

"Curiga?" Seung Jae bertanya balik dengan mulutnya yang masih mengunyah.

"Aku rasa sekolah yang tidak mau di kenal sekolah lain agak aneh"

"Jika untuk kebaikan murid sekolah ini aku rasa tidak" Hana menimpali dengan rasa tidak setujunya.

"Kebaikan?" Aku menaikkan alisku dan menatap Hana heran. Dengan menjadikan satu persatu murid sebagai korban setiap tahunnya? Dimana letak kebaikkannya?

"Sekolah ini ingin muridnya lebih fokus belajar, lebih disiplin dan tidak mengikuti tingkah anak muda yang mulai tidak baik" Hana melanjutkan.

Dalam kasus ini harus aku garis bawahi tentang ketidaktahuan Hana, Hanyoung, dan Seung Jae tetang sekolah ini yang sudah membahayakan nyawaku.

Aku diam. Tidak merespon kembali, dan aku rasa Hanyoung dan Seung Jae setuju dengan penyataan terakhir Hana. Apa aku harus mengatakan kepada mereka tentang semua yang terjadi? Mungkin tidak, tidak di kantin yang ramai ini.

"Oh ya, aku sebenarnya agak ragu mengatakannya tapi sepertinya aku mulai percaya dengan apa yang dikatakan Hanyoung tentang..." Aku menelan makanan di mulutku dan mempersiapkan diri "...vampir" nada suaraku menurun.

Hanyoung menatapku senang, tapi sebelum kata-kata keluar dari mulutnya suara tawa Seung Jae terdengar dengan sangat keras "sepertinya kau harus jauh-jauh dari Hanyoung kalau tidak kau bisa dianggap gila" katanya masih sambil tertawa. Hanyoung menatap Seung Jae sinis dan bersiap melemparkan sendok ke wajah Seung Jae yang terihat gembira. Hana hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala.

"Aku serius" ucapku cepat. Tangan Hanyoung berheti di udara dan tawa Seung Jae berhenti menggema, mereka bertiga menatapku dengan berbagai ekspresi. Hanyoung menurunkan tangannya dan fokus menatapku. Melihat ekspresi mereka aku jadi takut salah memilih kata.

"Aku belum bisa menjelaskan bagaimana aku bisa percaya, tapi sungguh akhir-akhir ini menemukan banyak hal aneh" Hanyoung dan Seung Jae menatapku khawatir.

"Jangan bercanda" kali ini wajah Seung Jae terlihat menyeramkan. Aku hanya menghembuskan napas berat.

"Omong kosong apa ini" Hana membuang wajahnya dengan kesal.

"Ana" Hanyong berusaha tidak tertawa "kau tidak perlu mempercayaiku, aku..."

"Aku tidak mempercayaimu, aku mempercayai apa yang aku lihat" entah kenapa aku jadi mulai kesal.

Hanyoung terdiam kemudian menyederkan tubuhnya. Tangannya terangkat untuk menggaruk tengkuknya.

"Hya! Ini salahmu, Ana jadi terbawa aneh karenamu" seru Seung Jae pada Hanyoung dengan mendorong lengannya "dengar Ana, dia sendiri tidak yakin dengan apa yang di yakininya, tidak perlu dipikirkan tetang isu omong kosong itu" Aku tahu Seung Jae mencoba mewaraskan pikiranku, tapi sudah terlanjur, aku hampir gila bahkan hampir mati juga.

"Benar Ana, sebenarnya aku juga sadar terlalu banyak menonton film dan membaca buku, aku memang sangat sangat menyukai cerita vampir, tapi aku tidak menyangka kau akan memikirkan apa yang aku pikirkan" wajahnya terlihat merasa bersalah.

"Dengarkan?" Seung Jae menimpali.

Hanyoung memajukan tubuhnya dan menyentuh tanganku "Sudah, jangan dipikirkan kau boleh ambil salah satu poster vampir yang berada di kamarku kalau kau mau, mungkin kita bisa berkemah dan menemukan cara untuk memburu para vampir itu, semangat!" Hanyoung tersenyum dan pengepalkan tangannya dengan yakin. Hana memutar bola matanya kemudian kembali menggeleng sedangkan Seung Jae membuka mulutnya dengan lebar, sepertinya ia tidak menyangka apa yang ia dengar.

"Hya!! Kenapa kau malah.. Haisssh"

-

Saatnya pulang, aku harap Lu Han menepati janjinya untuk menemuiku. Aku, Hana, Hanyoung dan Seung Jae berjalan bersama di koridor, kami berjalan sedikit lamban karena Seung Jae yang sibuk mengintrogasi Hana dengan pertanyaan sulit matematika.

"Kita harus mencari waktu yang tepat untuk belajar bersama, bagaimana kalau minggu ini?" Suara Seung Jae terus terdengar sepanjang kami berjalan sedangkan Hanyoung sibuk menekan layar ponselnya. Aku kembali berjalan lurus merasa tidak punya kesibukan seperti mereka jadi aku hanya mengedarkan pandanganku memandangi jendela-jendela kelas, lantai putih yang kami pijak, dan cahaya langit yang mengintip malu dari rindangnya pohon-pohon disini.

"Ana" aku menoleh dan mendapati Hanyoung menatapku heran "seperinya kau harus berhenti diet, badanmu sudah sangat kurus, aku baca di internet kalau diet yang berlebihan itu.." Hanyoung kembali menatap ponselnya.

"Aku tidak sedang diet" jelasku dengan cepat sebelum Hanyoung repot-repot menjelaskan dampak buruk diet berlebihan yang baru saja ia temukan di internet.

"Tapi kenapa..." Dia menatapku khawatir.

"Aku hanya sedang banyak pikiran" jawabku mengangkat bahu kemudian tersenyum.

"Mungkin kau bisa minum teh gingseng, itu biasanya bisa menenangkan pikiran, rasanya juga hangat di tubuh" Hanyoung memberitahu, wajah polosnya membuatku melebarkan senyum.

"Saran yang bagus, gomawo"
Pertama, saat berpikir bahwa aku tidak cocok sekolah disini, lalu kemudian aku merasa cocok, lalu merasa membenci sekolah ini tapi aku memiliki teman-teman yang baik seperti mereka, sekarang, saat semua berjalan dengan baik aku malah mendapat hadiah bom waktu.

"Sampai bertemu besok!" Seru Hanyoung yang menuju parkiran bersama Seung Jae, mereka sering pulang bersama memang.

"Aku ada janji bertemu Tiffany Ssaem di ruang guru" kini giliran Hana yang pamit. Akhirnya aku sendiri berjalan menuju lobi. Setibanya di lobi sekolah aku memandang parkiran mahasiswa yang bisa terlihat dari tempat aku berdiri. Aku melihat kearah sana bukan tanpa alasan. Para mahasiswa itu kembali menarik perhatianku, mereka secara beramai-ramai masuk ke dalam parkiran tanpa wanita berambut kaku di sekitar mereka, aku ingat namanya, Luna.

Satu-persatu dari mareka mulai memasuki mobil. Aku masih diam memandang dan tidak satupun dari mereka sadar. Sampai suara motor mendekat kearah ku, Lu Han datang seperti janjinya, dengan motor sport merah yang tidak pernah aku lihat sebelumnya. Dia berhenti persis di depanku kemudian membuka kaca helmnya "maaf menunggu"

"Aku belum lama menunggu disini, tapi sudah cukup lama menunggumu sadar bahwa aku merasa hampir mati setiap hari ketika mencarimu"

"Memang, harusnya aku tidak mebiarkanmu, tapi aku tidak punya pilihan lain saat itu atau kau.. Sudahlah lebih baik kita cepat pergi dari sini" Lu Han memberiku satu helm yang lebih kecil. Aku rasa dia benar-benar niat menemuiku.

"Memang kita mau kemana?"

"Akan aku jelaskan nanti"

Aku percaya padanya, selain hanya Lu Han yang bisa membantu dia juga memberiku harapan kalau aku bisa hidup lebih lama. Hal ini sudah sering aku katakan berkali-kali sebenarnya.

Sedikit sulit naik ke motor Lu Han, aku perlu memegang pundak Lu Han sebagai tumpuan, sepertinya ia juga tidak keberatan. Aku baru sadar kenapa kami harus terburu-buru pergi dari sekolah ini, karena bisa-bisa para mahasiswa itu melihat kami dan sadar kalau ingatanku sudah kembali, mereka bisa kapan saja menyerangku.

Lu Han mulai mengendarai motornya dan aku menoleh sebentar kearah parkiran memastikan kalau para mahasiswa itu tidak melihat kami dan sudah pergi dengan mobil-mobil mengkilat mereka. Tapi sekarang mataku membulat, ternyata ada seorang pria memandang kami, salah satu dari para mahasiswa itu menatapku dengan sangat jelas seolah jarak tidak ada artinya. Dia yang melihat kearahku adalah dia yang tempo hari aku tabrak bahunya, yang menjadi pemandu kami saat memasuki bagian terdalam museum, dia yang memgambil golden compas dari tasku. Kai. Yang melihatku saat ini. Kai. Yang melihat kami pergi.

Motor Lu Han melesat dengan sangat cepat membuat mataku tidak lama menatap Kai. Aku mulai berpikir apa yang akan dilakukannya setelah ini, memberitahu teman-temannya kalau aku sudah ingat semuanya? Berencana membunuhku secepatnya? Bibirku begitu kelu untuk mengatakannya kepada Lu Han. Aku takut kalau aku benar-benar tidak punya waktu lagi.

Kami berhenti di depan sebuah cafetaria di dekat jalan. Aku ingat cafe ini, tempat kami bertemu kedua kalinya, dan sepertinya dugaanku benar, ini cafe favoritnya. Aku juga sempat mencari Lu Han di cafe ini tapi aku tidak menemukannya.

Kami turun dari motor. Aku melepaskan helm yang Lu Han berikan padaku dan menatap punggungnya.

"Ayo" Lu Han mulai melangkah.

"..tadi" Lu Han menoleh, aku mencoba memperbaiki suara ku dan Lu Han mulai menaruh perhatian "tadi Kai melihatku, kau ingatkan? salah satu mahasiwa itu" aku mengulum bibirku mencoba untuk tidak memperlihatkan rasa takutku.

"Itu saja?" Tanyanya. Aku mengangguk "kalau begitu ayo kita masuk"

"Apa itu tidak masalah?" Lu Han terlihat berpikir kemudian menggeleng santai. Dia kembali berjalan dan aku mengikutinya, tidak bisakah ia mengatakan sesuatu untuk menangkanku? Gelengan kepala saja tidak cukup.

Aku mecoba memainkan jariku, menekan kuku ku dengan keras ke jariku tapi aku tidak merasakan apapun. Tanganku mati rasa. Separah itu kah aku?

Lu Han membuka pintu cafe, kami masuk tapi tidak ada suara lonceng yang mengaggetkan pelayan. Suasana cafe ini agak berbeda dari sebelumnya. Jendelanya tertutup dan lampunya tidak begitu terang, gelas-gelas besar tertata dengan air berwarna orange di dalamnya, kemudian beberapa pria berjenggot tebal mengambil minuman itu dan duduk di kursi lapuk yang tidak tertata dengan baik. Ini jelas bukan cafe yang aku masuki kemarin. Ini tempat yang berbeda.

"Apa kita tidak salah masuk?" Tanyaku ragu. Lu Han menoleh ke belakang kemudian menggeleng lagi. Aku masih mengedarkan penglihatanku sebelum aku nenemukan keanehan berpakaian wanita disini. Gaun selutut, kaus kaki yang pudar warnanya di tarik hingga setegah betis dan sepatu dengan satu tali. Mereka berpakaian seperti mendiang nenekku padahal wajah mereka masih cukup muda.

Lu Han berhenti di depan meja barista berkumis tebal "Hi Carl" sapanya pada pria itu.

"Hi Lu!" pria itu menatap Lu Han dengan wajah senang.

"Lu?" Bisikku di telinganya memastikan bahwa teman berkumisnya tidak salah memanggil.

"Nama panggilan, hanya dia yang memanggilku begitu" Lu Han memberitahuku dengan ikut berbisik. Aku berpikir 'Lu' panggilan yang... Menggemaskan.

"Membawa teman rupanya, apa seorang peyihir? Fairy? Atau seorang alliert? Tapi dari wajahnya mungkin Fairy benarkah?"

Alisku berkerut mendengar kata-kata asing dan segera menatap Lu Han untuk meminta penjelasan. Dia menatapku sebentar.

"Bukan, dia seorang manusia biasa"

Apa hal itu sesuatu yang buruk? Kenapa mendengar kata 'manusia biasa' pria di depan ku langsung merubah ekspresi wajahnya.

"Ana, kenalkan dia temanku Carlson Choi" Aku memberi salam dengan membungkuk, tadinya aku ingin melambai saja karena aku kira dia orang asing karena mata dan rambutnya tidak seperti orang Asia, sepertiku, tapi mendengar marga Korea-nya aku rasa harus menyapanya dengan cara khas orang Korea.

"Ana?" Muncul ekspresi tidak percaya pada wajahnya "Ana.. Gadis yang di beritakan itu? Ana, Anabelle?"
Gadis yang diberitakan, Apa maksudnya? Apa dia tahu mengenaiku? Kemudian semua orang diam entah karena mendengar seruan Carl atau karena menyebutkan namaku. Mulai terdengar sura berisik di belakangku. Aku menoleh dan aku tahu pandangan mereka kearahku.

"Aku harus bertemu dengan Kangta Hyung" Lu Han menarik tanganku untuk pergi.

"Lu, tapi kau bilang gadis ini sudah..." Aku melihat rasa kecewa dari wajahnya, apa dia akan menangis? Wajahnya sangat merah sekarang.

Lu Han berhenti sejenak "itu salah ku" kemudian kembali berjalan menuju pintu lain di samping cafe ini. Pintu yang tiba-tiba menghubungkan kami pada sebuah jalan lain. Jalan yang tidak pernah aku lewati sebelumnya. Jalan yang hanya memiliki lebar sekitar lima meter degan dinding-dinding tinggi berjendela di kedua sisi.

"Baiklah, aku butuh penjelasan... sekarang" aku menghentikan langkah ku dan menarik tangan Lu Han. Dia membalikan badan kali ini dengan wajah lelah.

"Bisakah kita pergi dulu? aku akan menjelaskan semuanya disana"

"Disana? Dimana? Kau bahkan tidak menjelaskanku kemana kita akan pergi. Cafe yang aku tahu tempatnya berubah menjadi tempat aneh dengan suasan asing, dan ketika namaku disebut semua orang menatapku seolah aku adalah sesosok hantu" aku menghembuskan napas beratku "setidaknya beritahu apa yang harus aku tahu sekarang, tentang dunia anehmu ini, tempat dimana berdiri sekarang"
Lu Han diam sejenak kemudian mendekat kearahku "Cafe tadi adalah jalan menuju duniaku, selamat datang di Heks Verden, duniaku, dunia penyihir" dia kembali memundurkan langkahnya kemudian membuka tangannya lebar-lebar bersamaan dengan itu langit berubah-ubah warna seperti ada kembang api diatas kepalaku, warnanya hilang dan berganti rintikan salju yang membuat tubuhku menjadi dingin, tapi aneh, saljunya memiliki wangi seperti permen dan mengilang di tepak tanganku saat aku ingin menyentuhnya.

"Indah sekali"

"Aku harap kau menikmati perjalananmu setelah ini"

"Jadi kita mau kemana?"

"Ke rumahku"

POPULAR FANFICTION

BERITA PILIHAN

COPYRIGHT 2024 DREAMERS.ID PUBLISHED BY DREAMERS NETWORK