Aku berlari secepat yang aku bisa. Bayanganku tentang kejadian di Museum kembali terulang. Bahkan sekarang aku ingat asal memar di lengan ku. Itu semua karena genggaman pria berjubah hitam di Museum. Aku tahu mereka itu apa, vampir.
Kakiku sudah menginjak koridor sekolah, tapi aku tidak kunjung berhenti, aku masih ingin berlari. Sampai tubuhku ditangkap seseorang dan terdapat tangan kekar yang melingkar di bahuku membuatku berhenti berlari. Aku mengatur napas.
"Ana!" Itu Seung Jae, dia menatapku heran. "Kenapa berlari seperti itu? Aku memanggilmu dari tadi" dia melepaskan tangannya dari bahku dan meletakkan tangan di pinggangnya. Hembusan napasnya juga tidak teratur, pasti dia mengejarku tapi aku sama sekali tidak menyadarinya.
Suara langkah kaki lain terdengar "Hey-kalian" Aku melihat Hanyoung datang sambil memegangi perutnya dan wajahnya sedikit pucat dengan napas yang sama-sama tak stabil. "Kalian lari cepat sekali, aku hampir memuntahkan semua makanan yang baru aku telan" keluhnya dan menauh telapak tangannya di lutut.
"Maaf" ucapku menyesal, aku benar-benar tidak mendengar panggilan mereka.
"Ada apa denganmu? Kenapa berlari seola-olah baru melihat hantu?"
Bukan, bukan hantu. Lebih menyeramkan menurutku. Aku belum sanggup menceritakan semua pada mereka karena aku pun masih meragukan apa yang aku ingat. Semuanya belum terlihat jelas di otakku.
"Oh tidak" sekarang giliran Seung Jae yang napasnya mulai terdengar normal tapi tidak dengan suaranya, dia menatap lututku dengan mata lebar "Ana! Lutut mu berdarah" serunya yang langsung menangkap lenganku, aku menunduk dan melihat perban di lututku yang mulai berganti warna menjadi merah, seketika rasa sakit langsung menjalar ke seluruh tubuhku.
"Ana, kita harus membawamu ke ruang kesehatan" Hanyoung memegang lenganku yang satunya. Padahal ketika berlari tadi aku tidak merasakan apapun. Sekarang melihat lututku beradah seperti ini aku jadi merasa ngilu sendiri.
"Harusnya kau lebih menjaga lututmu karena luka sebelumnya masih basah, dan kau malah menambah luka baru" ucap seorang dokter yang sedang melingkarkan perban di lututku. Wajah dokter itu terlihat manis tidak seperti wajah pria pada umunya, dia terlihat imut dengan wajahnya yang kecil dan bibirnya yang tipis. Tapi saat melihat tangannya yang cekatan menangani lukaku tangannya terlihat kekar dan sigap. Aku melirik name tag di jas putihnya disana tertulis nama Lee Sungmin "Selesai" serunya dengan senyuman. Dia kembali merapihkan perlatan miliknya.
"Kemana kedua temanmu?" Dia berdiri dan memandangi lututku.
"Ah, itu aku menyuruh mereka kembali ke kelas saja. Aku tidak mau mereka ketinggalan pelajaran" jawabku, dia mengangguk.
Untuk membunuh kesunyian aku memulai topik pembicaraan, aku hanya ingin menjadi orang yang ramah "Apa dokter biasa berada disini?"
"Tidak, biasanya asistenku yang berada disini, kebetulan aku sedang tidak ada jadwal mengajar"
"Mengajar?" Aku mengangkat alis.
Dia melihat kearahku. Aku segera menyembunyikan tanganku yang terasa masih bergetar Karena menahan sakit.
"Iya, aku salah satu dosen di Universitas Shinwa" dan ia kembali membereskan mejanya, aku mengangguk.
"Aku jarang melihat wajahmu, apa kau anak yang penyendiri?" Wajahnya terlihat ramah memandangku, aku marasa mulai nyaman menatapnya.
"Ya, lebih tepatnya penyendiri karena belum begitu lama bersekolah disini, aku anak baru" akhirnya aku baru bisa tersenyum setelah sekian lama menahan perih dilututku.
"Pantas saja, wajahmu terlihat sedikit berbeda" sekarang ia beralih pada laci transparan yang berada diatas kepalanya, mengatur letak beberapa obat.
"Siapa namamu?" Dia berdiri didepanku menyender pada sebuah lemari kecil berwarna putih. Tangannya ia memasukan kedalam saku celananya.
"Ana Walker?"
"Not suprise" katanya dengan aksen british yang fasih. Aku tersenyum. "Ah ya" dia berjalan menuju meja yang tidak jauh dariku mengambil cangkir diatasnya dan memberikan padaku. "Minumlah, tadi aku melihat wajahmu yang sedikit pucat dan tanganmu yang gemetar, tadinya aku kira kau terjatuh dari ketinggian" candanya.
Aku mengambil cangkir yang ternyata berisi teh berbau mint "terima kasih" ucapku "aku hanya sedang sedikit shock tadi"
"Shock?" Ulangnya dan berjalan kembali ketempatnya.
"Ya, aku tiba-tiba mengingat sesutu yang harusnya aku lupakan" jelasku kemudian menyeruput teh pemberiannya. Ia terlihat mengangguk, kali ini tanpa senyum. Entah kenapa rasa mint di teh ini membuat perasaanku sedikit ringan, bahuku tidak lagi menegang dan aku mulai melupakan sakit di lututku, dan diseluruh tubuhku.
Kali ini aku tidak pulang dengan bis karena ternyata paman Teo Joong sudah menjemputku.
"Maaf meninggalkanmu tadi pagi" aku sudah kira dia akan mengatakannya. Tapi aku tidak tahu kata maaf itu darinya atau dari permintaan Ibuku.
"Gwenchana"
Sekarang kami sedang menuju sekolah Juno. Terlihat sekali paman Teo memilih menjemputku lebih dulu dibanding Juno, pencitraan sangat penting untuk orang yang baru saja meminta maaf.
Kami sampai di sekolah Juno. Sekolah biasa, dengan anak-anak biasa. Tanpa vampir seperti yang baru saja aku lihat. Sekolahnya juga terbuka hanya sedikit pepohonan dan aku dapat melihat gedung sekolah itu dengan jelas. Aku menemukan perbedaan disini. Sekolahku tertutup dengan gerbang menjulang tinggi, aku kira itu memberi kesan mewah tapi sepertinya hal itu hanya untuk menyembunyikan apa yang mereka sembunyikan di dalam. Tunggu, kenapa aku menyimpulkan sendiri? Aku tidak boleh menyimpulkan apapun dulu sebelum aku membuktikan semuanya, bisa saja yang terjadi kemarin itu hanya mimpi dan aku yang terlalu berhalusinasi.
"Apa kau mengaktifkan ponselmu?" Suara paman Teo terdengar.
Aku menoleh "ponsel?"
"Iya, yang diberikan Ibumu"
"Aku baru memakainya sekali dan belum sempat diaktifkan lagi" aku melihatnya sebentar dan setelah ia mengangguk aku kembali menoleh ke luar jendela.
"Aku harap kau mengaktifkan terus ponselmu, komunikasi itu sangat penting jika kau ingin memperbaiki sesuatu" ini sepertinya akan menjadi hal penting yang harus ku dengarkan dengan baik, "Aku dan Ibumu masih harus pergi ke luar kota, kami bisa sering mengubungimu begitu juga sebaliknya dan kejadian tempo hari tidak terulang lagi" aku ingin menatapnya tapi terlalu sungkan. Sekarang aku tahu maksud dari memperbaiki sesuatu dalam kalimatnya, aku mengangguk.
"Baik"
Mungkin selama ini aku hanya memikirkan pemikiranku sendiri, tentang keluarga baru Ibu, tentang kehidupan baru Ibu, tanpa melihat dari sisi lain. Dan kalau di pikir-pikir Paman Teo Joong tidak begitu menyembalkan seperti yang aku bayangkan.
Tidak lama Juno muncul dari gerbang, dia melihatku duduk di kursi depan kemudian beralih pada pintu belakang dan membukanya. Dia duduk dalam diam tidak menyapaku, tidak juga menyapa Ayahnya.
"Apa ada yang lapar? Sepertinya aku ingin sekali makan Jangjanmyeon, sshh" Aku tidak menjawab, aku tidak ingin terlihat sok akrab didepan mereka, itu bukan aku.
"Sepertinya aku juga ingin Ice cream" Juno merespon tapi pandangannya masih ke luar jendela, tunggu, aku bisa melihat senyuman Samar dari bibirnya.
"Baiklah kalau begitu kita harus bergegas" seru Paman Teo dengan girang. Apa hari ini aku tidak salah lihat? Melihat tingkah paman Teo Joong dan nenangkap senyuman kecil dari wajah datar Juno. Mereka terlihat.. Berbeda.
Kami makan di sebuah tempat makan yang tidak begitu ramai, entah karena harganya terlalu mahal atau makanannya tidak begitu enak. Yang aku tahu hanya Paman Teo Joong ingin makan Jajangmyeon, tapi sekarang meja malah terisi dengan banyak makanan, bahkan teokpoki pun ada. Aku memandang Juno dan Paman Teo bergantian dengan mulut terbuka, tapi mereka malah terlihat gembira melihat semua makanan ini dan mulai memakannya dengan lahap. Aku menelan ludah.
"Ayo Ana makanlah, aku dan Juno sering kemari setelah menjemputnya sekolah" aku dapat melihat senyum lebarnya yang tak beraturan karena makanan yang penuh di mulutnya.
Aku mengambil sumpit dan mulai meyakini diriku. Walau ragu tapi aku mulai menyumpitkan kimbab. Mulutku mulai terisi penuh. Astaga. Aku melirik Juno dan Paman Teo bergantian. Makanan ini enak sekali!!
Aku terus makan dengan lahap meski Paman Teo dan Juno menatapku dengan hampir tertawa. Aku ingat belum sempat memasukkan apapun ke dalam perutku sejak tadi pagi dan baru terasa lapar sekarang.
"Juno" aku mendengar suara Paman Teo Joong "kau mau Ice Cream, kan? Appa tahu dimana kita bisa beli Ice Cream yang enak" dia tersenyum. Dan apa aku harus ikut mereka lagi?
Semua berjalan menyenangkan. Aku hanya bersikap jujur pada diriku bahwa menyenangkan bisa pergi bersama Paman Teo dan Juno. Tidak, tidak ada yang salah disini aku hanya mencoba membuat diriku nyaman. Meski pertemuan pertama ku dengan mereka tidak menyenangkan, tapi jujur, aku juga ingin bisa menganggap mereka sebagai keluargaku.
Kami menghabiskan waktu bersama. Sampai jam sembilan malam kami baru sampai dirumah. Aku tidak tahu kenapa kami bisa pergi selama itu. Entah kenapa aku juga bisa nyaman pergi tanpa menguap padahal aku cepat bosan. Mereka berhasil membuatku nyaman. Setidaknya aku tahu bagaimana wajah ketika Juno tertawa.
"Wah kalian pulang malam" Ibuku menyambut di depan pintu dan melirik kantong belanja di tanganku. Aku berjalan melewati Ibuku tanpa menatapnya "semakin dekat rupanya" ia menggumam dan berhasil terdengar olehku.
Aku berjalan cepat menuju kamarku "Aku mengantuk" seruku berusaha menghindar dari pertanyan Ibu yang pasti akan bertanya bagaimana kedekatanku dengan anak dan suaminya. Aku masih terlalu canggung untuk membahasnya.
"Apa kau vampir?" Tanganku gemetar.
"Senang kalau kau sudah tahu" dia mendekat dan menyingkirkan rambutku dari leher. Tiba-tiba leherku seperti ingin putus, rasa sakit yang luar biasa menjalar keseluruh tubuhku.
"Bunuh dia! Sebelum dia ingat semuanya" suara pria dari sudut ruangan berseru. Aku mendorong orang yang berusaha mematahkan leher ku tapi tanganku terikat oleh rantai emas yang membuat tanganku membiru.
"Aku mohon lepaskan aku" ringkih ku.
"Kau harus mati!.." Seseorang berjubah hitam dengan darah segar menetes dari mulutnya.
"Tidak!" Seruku, aku merasakan seluruh tubuhku menegang, napasku sesak, dan air mataku mulai mengalir.
"..Roseline"
"Apa? Aku bukan.." Mereka memanggil nama lain. Bukan! tidak ada tawanan lain, tapi aku yakin yang dimaksud adalah aku. Untuk memastikan diri aku menoleh kearah lain dan mendapati cermin yang terpasang menghadap ku. Dan yang kulihat juga bukan bayangan diriku, melainkan wanita yang berambut pirang bahkan hampir terlihat memutih, kulitnya pucat, tapi wajah yang dimilikinya persis seperti wajahku.
"Tolong aku" ucap bayangan di hadapanku.
"Siapa kau?" Aku menanggapi tapi dia tidak mejawab dan menatapku dengan pandangan yang tidak bisa di artikan "Siapa kau?!" Tanya ku lagi kali ini dengan seruan.
"Kau harus mati" bayangan wanita itu seketika berubah menjadi orang yang berjubah hitam dengan kuku panjangnya yang menancap di leherku, membuatku merasa sakit yang luar biasa.
Mataku terbuka dengan cepat, napasku terburu-buru dan keningku sudah basah karena keringat. Tadi adalah mimpi yang paling buruk yang pernah aku alami. Rasa sakitnya seperti sungguhan bahkan aku masih mengingat dengan rinci mimpi itu. Sekarang semua kejadian di museum itu aku sudah ingat, bahkan sebelum kejadian itu. Aku juga ingat percakapan Lu Han, pria yang berusaha menolongku dari ketua vampir. Pria yang selalu mengingatkan aku betapa bahanya masalah yang aku hadapi, tapi malah aku yang menganggapnya santai, tanpa rasa takut sama sekali.
Aku sedikit menjambak rambutku. Mimpi itu mebuatku frustasi. Aku ingat tentang perkataan Lu Han tentang benda itu dan aku. Harusnya benda itu sudah jadi milikku dan jika orang lain mengambilnya lagi dariku, maka aku akan mati dalam tujuh hari. Tidak, aku harus menemui para mahasiswa itu. Tapi tunggu, jika aku menemui mereka justru aku yang akan dibunuh. Lalu aku harus bagaimana?
Lu Han, yah benar. Aku harus mencarinya, dia mungkin bisa menolongku, dia pasti bisa menolongku. Tapi bagaimana aku menemukannya? Aku tidak tahu dimana rumahnya dan bagaimana menghubunginya. Tidak ada yang bisa membantuku selain dia dan dia tidak kunjung muncul, pasti karena dia pikir aku sudah lupa dengan yang terjadi. Bisa-bisanya mereka membiarkanku mati perlahan?
Setelah mimpi paling burukku itu, ternyata mimpi-mimpi lain menunggu untuk datang. Mimpi itu mengahantui tidurku sepanjang malam. Aku bahkan mulai tidak berani tidur, pikiranku mulai kacau, aku juga mulai tidak napsu makan. Aku tidak bisa hidup seperti ini. Aku benar-benar akan mati.
Kaki ku terhenti ketika mendengar suara tawa. Aku melihat Ibu, Paman Teo dan Juno saling melempar tawa dan senyuman, seolah-olah tidak ada masalah yang pernah terjadi. Aku juga tidak pernah melihat Ibu sebahagia ini, perceraian memang selalu berdambak buruk untuk ku tapi bukan berarti penghalangku untuk bahagia. Aku harus memberi kesempatan pada diriku sendiri, untuk memaafkan Ibu dan bergabung dalam keluarga kecilnya. Tapi bagaimana aku bisa mengambil kesempatan itu kalau sebentar lagi aku akan mati?
"Ana!" Lamunan ku buyar mendengar suara Ibu. "Ayo sarapan" Ibuku tersenyum begitu pula Paman Teo yang sama-sama melihat kearahku. Tidak, aku tidak boleh diam saja, aku harus mencari Luhan. Dia bisa membantuku.
"Aku harus segera pergi ke Sekolah, ada yang harus aku lakukan"
Mereka memandangku khawatir tapi segera aku tampis dengan senyuman kecil. Aku ingin, ingin sekali duduk bersama mereka dan berbagi hal yang menyenangkan, tapi saat ini tidak, aku harus merebut kembali apa yang harus menjadi milikku.
Hari ini aku memilih untuk tidak sekolah dan mencari Lu Han keseluruh tempat yang aku ketahui, seperti cafe tempat kami bertemu, jalanan ramai di Seoul atau lingkungan sekitar museu, meski aku masih sedikit trauma melihat museum, entah kenapa.
Sampai sore, aku tidak kunjung menemukan petunjuk tentang Lu Han. Aku tidak bisa mencari info tentang orang lain secara ilegal dengan menyuruh orang suruhan, heacker atau semacamnya. Aku kembali ke rumah tanpa berbicara pada Ibu, aku terlalu lelah pergi seharian tanpa hasil dan pikiran tentang umurku yang sebentar lagi berakhir membuatku frustasi. Aku harap Ibu tidak menaruh juriga. Aku tidak bisa menceritakan padanya, selain dia tidak akan percaya aku pasti akan dianggap gila.
Aku kembali bermimpi, mimpi yang lebih buruk dan lebih menyeramkan. Selalu ada pria berjubah yang berusaha mebunuhku dan selalu ada aku yang berubah menjadi sosok wanita bernama Roseline. Aku tidak tahu siapa dia.
Setiap pagi aku bangun dengan perasaan kacau. Aku melihat diriku sendiri di cermin, aku baru sadar aku sangat kurus sekarang dan aku baru sadar kalau aku jarang sekali makan karena aku tidak pernah merasa lapar. Aku sibuk memikirkan mimpi-mimpi ku dan merasakan bahwa ada yang hilang dalam diriku.
Dengan perlahan aku turun dari tangga dan Ibuku menyambutku di bawah.
Dia tersenyum "Selamat pa.." Tapi senyumnya memudar ketika aku sampai di anak tangga terakhir "astaga Ana, kau terlihat kurus sekali, apa kau sedang diet?" Ibu ku memegang tangan ku dan mempertahatikan ku dengan lekat.
"Aku tidak apa-apa" andai Ibu tahu umurku tidak lama lagi.
"Ada yang ingin, Mom tanyakan" dia menggenggam kedua jari tanganku dan aku memperhatikannya. Sekarang aku dapat melihat kerutan-kerutan yang berada di sekitar matanya. "Apa beberapa ini hari kau membolos sekolah?" Aku menarik kedua tanganku cepat. Aku tidak bisa memberitahunya apa yang terjadi.
"Em.. I am"
"Mom tahu dari gurumu, sekolah mereka sangat bagus karena memperhatikan murid-muridnya" Ibu tidak tahu bagaimana aku hampir mati karena sekolah disana. "Sebenarnya apa yang terjadi Ana? Kau mulai bosan?" Dia melipat tangan dan memandangku lelah.
"No" aku menjawabnya singkat.
"So what happened to you?" Dia mulai menggeretak "sifatmu berubah, kau mulai sering bolos dan kau sudah tidak pernah makan bersama lagi, aku kira hubunganmu dan Teo Joong sudah tidak ada masalah"
"Mom"
"Jangan buat aku menyerah Ana, jangan buat aku menyerah untuk mengurusmu, aku mulai tidak sanggup"
"Kau tidak tahu apa yang terjadi"
"Memang, karena kau tidak pernah memberiku kesempatan menjadi Ibumu" Dia berjalan menjauhiku, menuju meja makan yang seperti biasa sudah ada Paman Teo Joong dan Juno disana.
Aku menoleh kearah ruang makan, memandang sebentar dan membatin "Andai aku bisa memberitahumu, Mom"
Tanpa berniat menuju meja makan aku berjalan cepat menuju halaman rumah, menghapus sedikit air mataku. Semua pelayan sudah datang jadi seorang supir akan kembali mengantarku ke Sekolah. Aku baru membuka setengah pintu mobil, melihat Teamin berdiri di depan gerbang. Ia memakai kaus tanpa lengan dan celana pendek selutut. Di lehernya menggantung handuk putih dan kausnya sedikit basah, mungkin dia habis berolahraga. Dia memandangku tanpa ada senyum sapaan, dia hanya memandangku seolah-olah dia memandang lututku yang terluka, tapi tidak, yang dia pandang adalah wajahku. Wajahku yang terlihat sangat tirus dan tulang pipiku yang mulai terlihat jelas. Ekspresinya lebih terlihat seperti orang yang khawatir.
Aku memilih untuk tersenyum lebih dulu kemudian masuk ke dalam Mobil. Semoga dia tidak menganggap aku penyakitan atau semacamnya.
Sampai Mobil keluar melewati gerbang aku masih melihat Taemin berdiri tidak berpindah tempat, dia memandang Mobil ini seolah-olah bisa melihatku dengan jelas. Aku sedang tidak bisa menyapanya selain ia akan menanyakan kenapa tubuhku sangat kurus dia akan menanyakan kenapa mataku merah dan mengeluarkan air mata, yah sekarang aku sedang menangis. Kenapa semua ini terjadi padaku saat aku hampir mendapatkan kebahagiaan, ketika aku mulai bisa bergabung dengan keluarga kecil Ibuku. Aku malah mendapati diriku yang sebentar lagi akan mati sia-sia.
Air mataku belum berhenti mengalir, aku mecoba menyibukan diri dengan memandang keluar jendela, melihat pemandangan kota yang ramai. Di sudut penyebrangan aku melihat seorang wanita tua umurnya kisaran enam puluh tahun sepertinya. Ia terjatuh dan menumpahkan katung belanjaannya. Seseorang datang menolongnya, membantunya menangkap apel yang menggelinding, nenek itu terseyum seolah sangat senang dibantu karena orang lain sibuk menyebrang jalan dengan langkah terburu-buru. Aku memperhatikan pria penolong itu, rambutnya coklat dan wajahnya kecil, sangat manis.
Aku mengenalinya, ya aku mengenalinya. Dia yang aku cari selama ini.
"Hentikan mobilnya" seruku pada supir. Aku memastikan penglihatanku dan aku yakin itu Lu Han.
Aku keluar dari Mobil dan berlari secepat yang aku bisa. Lu Han sudah berdiri dan mengucapkan salam perpisahan pada nenek tua itu, dan ia segera melangkah pergi. Tidak, aku tidak boleh kehilanganya.
Aku berhasil menangkap lengannya sebelum ia pergi. Lu Han menoleh, wajahnya terlihat terkejut Dan matanya melebar. Aku belum bisa berbicara karena aku masih mencari udara untuk mengisi paru-paruku. Tapi segera ku paksakan.
"Aku.. Sudah ingat semuanya.." Ucapku tersenggal-senggal. Ia memalingkan wajahnya kemudian melepaskan lengannya dengan paksa, dia kembali berjalan kali ini dengan cepat. Aku kembali mengejarnya dan menarik jaketnya dengan tenaga.
"Aku tidak mengenalmu, sebaiknya kau pergi" dia melepaskan tanganku dari jaketnya tapi tanganku segera menangkap dan menggenggam jarinya dan dia kembali menatapku. Aku merasa air mataku sudah tumpah lagi, aku tidak bisa menahannya.
"Aku tidak mau mati, setidaknya tidak secepat ini" ekspresinya berubah, aku berusaha bicara lagi sebelum isakan menenggelamkan suaraku. "Tolong aku"
-
HEY STOP JADI SILENT READERS!!