“Jadi, Henry-ssi. Kau juga ikut ambil bagian dalam drama murahan adikku dan Kyuhyun Super Junior itu?” Tanya Ji Na saat mereka sudah duduk di sofa ruang tamu rumah Ji Eun. Kedua orangtua Ji Eun dan Ji Na sedang bekerja saat itu.
“Aku, aku hanya mengungkapkan yang sebenarnya, Nuna.” Jawab Henry rendah. Ia berani mengatakannya dengan jujur karena tidak ada Ji Eun di sana, ia sedang sibuk di dapur membuat minuman yang diperintahkan Ji Na.
“Oh.” Ji Na mengangguk-anggukan kepalanya paham, tapi matanya tidak berhenti menelusuri kepala sampai kaki Henry, menilai. “Kau menyukainya? Tapi, itu bukan masalah bagiku. Masalahnya, karena kau dan Kyuhyun itu membuat tokoku hampir bangkrut. Kau tahu?”
“Chusunghaeyo, nuna. Aku sungguh minta maaf, aku kira kalau waktu itu aku mengatakan yang sesungguhnya, semuanya akan selesai. Tapi, aku tidak tahu kalau hyung, Kyuhyun juga akan mengatakan hal yang sama. Jeongmal chusunghaeyo!” Henry berdiri dari duduknya dan membungkukkan badannya pada Ji Na.
“Sudahlah, kata maafmu tidak akan membuat tokoku berubah seperti semula.” Kata Ji Na santai, mengabaikan permintaan maaf Henry itu dan berdiri. “Sudah cukup, aku mengerti, kalau kau sudah selesaikan urusanmu dengan adikku, silahkan pergi Henry-ssi.” Ji Na yang sudah menaiki anak tangga pertama menuju lantai atas tiba-tiba berbalik seolah-olah baru mengingat sesuatu, ia menatap kedua bola mata Henry lurus, “tapi aku cukup respek dengan kejujuranmu, Henry. Katakanlah pada Ji Eun sebelum terlambat.”
Ji Na kembali menaiki tangga rumahnya menuju lantai atas saat Ji Eun baru saja keluar dari dapur dengan sebuah nampan yang ia pegang di kedua tangannya. Ia sempat mendengar ucapan akhir kakaknya sebelum naik ke lantai atas tapi tidak bisa mengerti apa yang maksud dari kata-kata kakaknya itu. Ji Eun menyuguhkan secangkir teh di atas meja dengan alis terangkat, menandakan kebingungannya pada Henry.
“Ji Eun, aku minta maaf. Sungguh minta maaf.” Ucap Henry tiba-tiba sambil membungkukkan badannya berulang-ulang.
“Henry-ssi! Apa yang kau lakukan? Kau membuatku kaget!” Tapi bukannya berhenti membungkukkan badannya, Henry kembali mengucapkan permintaan maafnya berulang kali pada Ji Eun. “Sudahlah, aku sudah memaafkanmu. Sekarang, ini Ushiro dan Mae, mereka sudah rindu denganmu.”
Henry meraih akuarium kecil berisi ikan-ikannya dengan wajah sumingah. “Gamsahabnida.”
***
Ji Eun mengantarkan Henry pulang dari depan pagar rumahnya saat Jong Jin baru saja akan menekan bel di depan pagar rumah Ji Eun.
“Ah, Ji Eun, baru saja aku akan menekan bel.” Sapa Jong Jin pada Ji Eun, lalu pandangannya beralih pada Henry. “Ah, ada kau juga Henry!”
“Ya.” Balas Henry, “apa kabar Jong Jin-ah?”
“Baik. Kau juga ingin bertemu dengan Ji Eunkah?” Tanya Jong Jin.
“Ah, tidak, aku baru saja akan pulang. Aku hanya ingin mengambil ikan-ikanku.” Jawab Henry sambil memperlihatkan akuarium Ushiro dan Mae.
“Oh, baguslah. Aku ingin mengajak Ji Eun keluar hari ini.” Ujar Jong Jin yang menoleh pada Ji Eun. “Ji Eun, kau harap kau tidak ada janji siang ini.”
***
“Oppa, ada apa sebenarnya?” Tanya Ji Eun setelah duduk di sebuah kafe dekat stasiun yang tidak terlalu ramai.
“Kau benar-benar melupakannya ya, Ji Eun?” Tanya Jong Jin balik.
“Mwo?” Tanya Ji Eun bingung.
“Ah, gosipmu itu benar-benar menyita seluruh perhatian dan pikiranmukah?” Jong Jin menggeleng-gelengkan kepalanya, “tadinya aku ingin menenangkanmu. Aku kira kau sedang resah menunggu hasil ujian masuk universitasmu.”
“Ah! Ujian masuk universitas! Aku baru ingat! Ya, ya, benar, tanggal delapan itu besok!” Seru Ji Eun panik sendiri menyadari waktu pengumuman masuk universitasnya itu. “Bodoh, bodoh, bodoh.” Rutuknya sambil memukul-mukul kepalanya sendiri. “Bagaimana ini, oppa?”
“Berhentilah memanggilku oppa saat kau sedang terdesak, anak kecil.” Jong Jin menyesap cappuccinonya dengan gaya bangsawannya, membuat Ji Eun tidak tahan menunggunya. “Baiklah, besok aku temani.” Putus Jong Jin yang sebenarnya meskipun Ji Eun tidak minta pasti ia kabulkan itu, itulah sebabnya ia mengajak Ji Eun keluar hari itu.
“Gomawoyo!” Senyum Ji Eun mengembang saat mengatakannya, dan ia terburu-buru meminum tehnya setelah itu.
***
“Lee, Lee, Lee Ji Eun...” Gumam Ji Eun mencari namanaya sendiri, ia menyusuri kertas di depannya dengan jari kelingking. “Mana ini? Aku bisa buta melihat tulisan kecil-kecil seperti ini!” Gerutunya di tengah keramaian orang yang juga mengerubungi papan pengumuman. Untuk sebuah papan pengumuman kelulusan atau penerimaan mahasiswa fakultas kedokteran yang berjumlah sepuluh lembar berisi seribu nama hanya disiapkan sepuluh papan pengumuman. Bayangkan satu papan pengumuman dikerubungi seratus orang yang diterima dan berteriak-teriak gila saat melihat namanya. Itu pun belum ditambah dengan jumlah peserta tidak lulus dan hanya numpang ikut seleksi, totalnya ada sekitar lima ribu calon seleksi tahun ini. Berarti paling tidak dalam satu papan pengumuman dikerubungi sekitar lima ratus orang! Oh, God!
Ji Eun yang berbadan kecil begitu mudah menerobos kerumunan orang di papan ke empat dan sudah berdiri di depan papan sekitar lima menit dan masih belum berhasil menemukan namanya. Sedangkan, Jong Jin yang bertubuh lumayan besar hanya bisa mengandalkan kekuatan bahunya untuk mendorong dirinya ikut maju bersama Ji Eun. Sebelumnya ia sudah menyarankan Ji Eun untuk melihat hasil pengumuman online saja yang akan diumumkan sejam setelah pengumuman asli dikeluarkan tapi Ji Eun langsung menolaknya dengan cepat. “Tidakkah kau tahu sensasi yang kau rasakan saat melihat namamu dalam daftar pengumuman?” Begitulah Ji Eun menolak sarannya. Tapi, belum sempat Jong Jin menggeleng untuk menjawab pertanyaan Ji Eun itu, Ji Eun sudah kembali membuka mulutnya, “Oh, ya, aku lupa kalau Tuan Kim itu tidak perlu susah payah melihat namanya, bahkan panitia sendiri yang akan memberitahumu, bukan?” Ucap Ji Eun sedikit sinis. Ya, bagaimana tidak, mengetahui kenyataan bahwa tiga tahun lalu Jong Jin tidak perlu mengikuti tes seleksi masuk fakultas kedokterannya sekarang ini. Itu karena nilainya begitu indah, itu yang Ji Eun katakan saat ia memperlihatkan kertas ujiannya pada Ji Eun tiga tahun lalu.
“Carilah dari yang paling bawah, Ji Eun.” Saran Jong Jin yang lebih mirip dengan ejekan saat ia sudah berhasil memposisikan dirinya di samping Ji Eun. Ji Eun sudah sampai di lembar pengumuman ketiga dan masih belum menemukan namanya. Ia bahkan tidak mengindahkan saran Jong Jin itu, Ji Eun begitu serius berkutat dengan nama-nama bertulisan kecil di depannya itu.
Sejam setelahnya Ji Eun berjongkok dengan lemas di samping papan pengumuman. Papan pengumuman di sampingnya sendiri tidak seramai sejam yang lalu. Mungkin orang-orang sudah lelah dan memilih mencari namanya online. Sedangkan Jong Jin berdiri di depannya dengan kedua lengan yang ia simpulkan di depan dada. Jong Jin berusaha menahan senyumnya sedari tadi melihat kelakuan Ji Eun itu, tampang putus asa, kecewa dan sedih yang bercampur menjadi satu di wajah Ji Eun yang murung. Ji Eun tidak berhasil menemukan namanya di lembar pengumuman, itulah mengapa wajahnya ditekuk seperti itu padahal sudah bersusahpayah mencari-cari namanya dari papan pengumuman bertulisan kecil itu selama sejam. Sementara hanya dalam waktu kurang dari lima menit Jong Jin sudah menemukan nama Lee Ji Eun secara online yang berada di posisi ketujuh. Sepuluh besar dari seribu, bukankah itu hebat? Tapi, salah satu dari sepuluh orang dengan nilai tertinggi tes masuk fakultas kedokteran universitas ternama saja tidak bisa mencari namanya sendiri dengan teliti di lembar pengumuman. Lucu bukan? Paling tidak, itulah yang Jong Jin rasakan. Ia ingin tertawa melihat wajah murung Ji Eun yang masih saja betah berjongkok di samping papan pengumuman.
Tiba-tiba ponsel Ji Eun berbunyi tapi saat ia sudah menemukan ponselnya dengan cepat ia mematikan hubungan ponselnya. Hanya berselang lima detik ponselnya kembali berbunyi dan dengan gerakan cepat ia kembali mematikan hubungan ponselnya. Lalu dengan kejam ia mengeluarkan baterai ponselnya keluar.
“Kenapa dia? Tidakkah ia senang dengan kelulusannya?” Tanya Kyuhyun bingung di seberang sana saat panggilan teleponnya dengan Ji Eun dimatikan. Lalu, ia menghubunginya ulang tapi, gagal. “Sudahlah, mungkin ia begitu senang sampai tidak mendengar ponselnya berdering.” Kyuhyun meraih handuknya dan masuk ke kamar mandi.
“Ji Eun! Angkat! Apa yang kau lakukan memutus hubungan begitu saja!” Pekik Henry kesal saat Ji Eun tidak menjawab teleponnya. Dan untuk kedua kallinya teleponnya gagal, koneksinya menabrak koneksi Kyuhyun sepertinya. Ia meraih kunci mobilnya dan pergi begitu saja hanya dengan kaos putih, jaket dan celana jeans yang belum sempat ia cuci.
“Sampai kapan kau mau jongkok di sana?” Tanya Jong Jin setelah hampir setengah jam lelah menunggu Ji Eun untuk pergi. Tapi, tanda-tanda Ji EUn akan berdiri saja pun tidak ada. “Hei, anak kecil. Kau mau apa? Mengemis di sini?” Tanya Jong Jin sedikit meninggikan nada suaranya dari sebelumnya.
“Kau tidak tahu perasaanku, oppa!” Seru Ji Eun yang terdengar seperti rengekan pada Jong Jin.
“Jadi, kau mau apa hah? Jongkok di sini, kau tahu kau itu memalukan.”
“Kau mau menghiburku, hah?” Tanya Ji Eun kembali.
“Untuk apa aku menghiburmu, kau tidak lulus, yang benar saja perbandingannya hanya satu banding lima dan kau tidak lulus. Mengecewakan.”
“Berhentilah mengejekku, aku tahu kau pintar, pastilah berbeda dengan bebek sepertiku.” Ji Eun mulai memainkan jari-jarinya di tanah.
“Apa yang kau lakukan, hah? Itu jorok, kau bisa cacingan kalau memainkan tanah seperti itu!” Jong Jin menarik napas pendek. “Bahkan bebek pun masih lebih baik daripadamu, kau tahu. Berdirilah, kau ini benar-benar anak kecil.”
“Berhentilah menggerutu tentang aku, oppa! Harusnya kau menghiburku sekarang ini!” Ji Eun berseru lantang membuat beberapa orang yang di sekitar mereka menoleh padanya.
“Kecilkan suaramu, bebek kecil.” Jong Jin mendesis keras mengetahui mereka menjadi tontonan saat itu. “Baiklah, apa yang kau inginkan, anak manis? Apa yang harus aku lakukan untuk menghiburmu?” Tanya Jong Jin yang ikut berjongkok di depan Ji Eun agar bisa berbisik pada Ji Eun.
“Aku, aku mau es krim.” Jawab Ji Eun sambil memonyong-monyongkan bibirnya.
“Kenapa kau tidak katakan dari tadi kalau hanya mau es krim saja? His.”
“Aku mau pergi ke taman hiburan, aku ingin naik jet coaster, aku ingin main rumah hantu, aku ingin kimbap dan aku ingin, aku ingin merobek lembar pengumuman ini!”
“Cih, pelankan suaramu! Kau tahu itu banyak sekali, kau mau membuatku bangkrut hah? Dan apa-apaan permintaanmu yang terakhir itu? Aku bisa dipanggil kalau ketahuan membantumu melakukan itu.”
“Kalau kau tidak ingin menghiburku, pulanglah!”
“His, kau ini. Baiklah, baiklah. Cepat!” Jong Jin bangkit dari jongkoknya dan berjalan mendahului Ji Eun menuju lapangan parkir motornya. Ji Eun mengikutinya di belakang, ia tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya. Dia benar-benar ingin menguapkan stressnya tidak diterima di fakultas kedokteran yang sama dengan Jong Jin ini.
***
“Hyung!” Seru Henry panik setengah mati saat hubungan teleponnya diangkat di seberang sana, sampai-sampai Kyuhyun di seberang sana menjauhkan telinganya dari gagang telepon.
“Bisakah kau menyapa dengan lebih sopan, dongsaeng?” Tanya Kyuhyun mendikte, jarang sekali ia memanggil Henry dengan sebutan dongsaeng –ia tidak suka kalau gelar junior diambil Henry.
“Gawat, hyung! Ji Eun-ah, Ji Eun-ah!” Seru Henry makin panik.
“Katakan pelan-pelan, ada apa dengan Ji Eun?” Tanya Kyuhyun yang juga sedikit menenangkan nada suaranya agar tidak meninggi ikut panik.
“Dia, dia kencan dengan Jong Jin. Gawat!”
“His, kau ini! Aku kira kenapa, rasanya aku ingin memukul kepalamu.” Omel Kyuhyun mengetahui fakta menggelikan yang juniornya itu tadi katakan, tapi ia tidak memungkiri ada sedikit perasaan iri atau lebih tepat kalau disebut rasa cemburu. Kyuhyun memainkan bibirnya sebentar. “Mereka berkencan kemana?” Tanya Kyuhyun akhirnya.
***
Ji Eun menggunakan bando tanduk iblis berwarna merah di kepalanya sambil memegang sebuah cone es krim yang sangat tinggi. Ia menunjuk-nunjuk jet coaster yang berjarak sekitar lima ratus meter dari tempatnya berdiri bersama Jong Jin.
“Oppa! Itu, jet coaster! Ayo!” Seru Ji Eun saat melihat jet coaster itu menikuk ke bawah diikuti teriakan orang-orangnya. Tanpa menunggu jawaban Jong Jin, ia menarik lengan Jong Jin untuk ikut mengantri di antrean jet coaster yang hari itu tidak begitu ramai.
Di belakang mereka, Kyuhyun dan Henry menyamar, masing-masing dalam balutan pakaian musim dingin yang meskipun bagi mereka tidak terlalu menonjol tapi kenyataannya berpihak lain. Kyuhyun mengenakan kaos lengan panjang berwarna biru laut yang dipadukan dengan jaket mantel pendek berwarna hijau toska, lalu ia menggunakan celana jeans berlogo dan sepatu kets tinggi. Ia menambah topi berwarna hijau tua dan kacamata gaya sebagai penyamarannya. Di sampingnya Henry tampil lebih biasa dibanding Kyuhyun. Ia menggunakan baju yang sama seperti baju yang tadi pagi ia kenakan keluar rumah, hanya ditambah dengan topi baseball coklat dan ia mengganti sepatunya dengan sepatu tinggi berwarna coklat. Mereka mengikuti Ji Eun dan Jong Jin dari jarak aman, sekitar lima sampai sepuluh meter di belakangnya.
Kyuhyun dan Henry masuk dalam wahana dengan fasilitas cepat, dan saat sampai giliran Ji Eun dan Jong Jin mereka ikut mengantri di belakang. Jet coaster berhenti, para pemain sebelumnya keluar dari seat masing-masing dan mulai menuruni tangga. Ji Eun naik terlebih dulu, disusul Jong Jin. tapi baru satu kaki Jong Jin mengambang untuk masuk dan naik, seseorang di belakangnya menerobos dan naik disamping Ji Eun tanpa dosa.
“Ah, mianhae. Aku benar-benar menginginkan permainan ini, aku tidak sanggup untuk harus menunggu satu putaran lagi.” Ucap Kyuhyun sambil menunduk ke arah Jong Jin dengan suara diberatkan.
“Oh, baiklah. Silahkan, Ahjussi.” Jawab Jong Jin dengan sopan. Lalu, ia menurunkan topinya lebih dalam lagi, saat Ji Eun menyolek punggung tangannya.
“Ahjussi, apakah kau ingin main dengan mengenakan topi?” Tanya Ji Eun sambil menunjuk ke atas kepalanya yang bertengger topi hijau toskanya itu.
“Ah, ne! Aku tidak bisa melepaskannya, ini topi kesayanganku.”
“Kalau begitu, berhati-hatilah, topimu bisa terbang terbawa angin.” Ji Eun menyelesaikan pembicaraannya dengan Kyuhyun dan menoleh pada Jong Jin yang sedang menatapnya. Ji Eun menaikkan salah satu tangannya sedikit sulit, lalu melambai pada Jong Jin yang dibalas dengan senyuman manis oleh Jong Jin. Kyuhyun ikut menoleh, tapi bukan wajah Jong Jin yang ia cari, wajah juniornya, Henry. Di balik punggung Jong Jin, Kyuhyun melihat juniornya itu sedang menahan tawa sambil memegang perutnya. Henry membuat gerakan fighting yang ia tiru seperti member-member girlband biasanya.
***
“Uhuuk! Uhuuk!” Kyuhyun membungkukkan badannya dan mengeluarkan rasa mualnya. Ia benar-benar tidak ingin mencoba bermain jet coaster lagi, ia berjanji.
“Ini, hyung!” Henry menyodorkan sebotol air mineral padanya dan handuk kecil. Henry menahan tawanya, tapi yang terjadi hidungnya mengeluarkan suara aneh.
“Berhentilah menahan tawa, Henry!” Seru Kyuhyun setelah meminum beberapa tegukan air mineralnya. “Kalau kau mau tertawa, tertawalah dengan baik jangan ditahan-tahan. Arasseo?” Lanjutnya.
“Tapi hyung, bagaimana bisa kau mual hanya karena bermain jet coaster?” Tanya Henry masih tidak bisa menyingkirkan nada gelinya.
“Pengalaman buruk! Kau tahu, ini karena nunaku.” Jawab Kyuhyun sambil mengelap wajah dan mulutnya dengan handuk kecil yang tadi henry bawakan. Jawaban Kyuhyun itu hanya direspon dengan anggukan Henry.
“Kau mau pulang sekarang atau terus merusak suasana?” Tanya Henry akhirnya meminta keputusan seniornya itu.
“Terus. Kau tidak akan tahu betapa bahagianya Ji Eun di atas sana meneriakkan kegembiraannya, itu cukup menyenangkanku yang mual-mual.” Ujar Kyuhyun panjang yang memiliki maksud tersembunyi untuk membuat Henry cemburu karena tidak bisa naik jet coaster bersama Ji Eun. “Jadi, dimana mereka sekarang?” Tanya Kyuhyun.
Sedangkan itu jauh di belakang mereka, seorang badut dengan kostum beruang terus melihat mereka sambil membagikan balon pada anak-anak yang menarik-narik lengan bajunya.
***
“Jong Jin-oppa, kau tidak apa-apakah tidak ikut naik jet coaster bersamaku?” Tanya Ji Eun setelah pesanannya datang dan disuguhkan pelayan di depan mereka. Mereka sekarang sudah berada di salah satu restoran cepat saji seperti yang disarankan Jong Jin karena waktu makan siang sebenarnya sudah lama berlalu dan mereka masih belum mengisi perut mereka dengan apapun setelah dari universitas.
“Tidak, aku tidak apa-apa, bahkan aku bersyukur ada yang menggantikanku naik. Aku sedikit pusing.” Jawab Jong Jin tenang dan mulai memakan burgernya.
“Baguslah, tapi andai kau ada tadi. Itu sungguh menyenangkan. Aku berteriak sangat kencang tadi.” Celoteh Ji Eun sambil membuka bungkusan burgernya sendiri.
“Ya, ya, aku mendengar suaramu. Teriakanmu itu membuat telingaku tuli, tahu.” Kata jong Jin dengan sebuah senyuman manis.
“Begitukah?” Tanya Ji Eun tidak percaya. Jong Jin mengangguk mantap.
“Mungkin kalau tadi ada kakek-kakek yang memiliki sakit jantung, mungkin dia bisa mati karenamu.”
“Ah, oppa! Kau jahat, itu tidak mungkin. Tapi baguslah, aku sudah mengeluarkan setengah kekesalanku hari ini. Gomawo.” Ji Eun bangkit berdiri dari duduknya dan membungkuk pada Jong Jin.
“Sama-sama. Tapi, Ji Eun,” Ucapan Jong Jin itu mengambang di udara seolah ia ragu sejenak, “baiklah, aku rasa kau harus tahu yang sebenarnya. Kau tahu, kau itu, aduh!” Pekik Jong Jin saat kursinya ditabrak seseorang yang lewat, seorang laki-laki berjaket biru.
“Aku kenapa, oppa?” Tanya Ji Eun mempertanyakan kalimat Jong Jin yang menggantung karena kejadian tadi.
“Ah, ya. Kau itu sebenarnya, aw!” Sekali lagi Jong Jin memekik cukup tinggi saat kursi di belakangnya mundur dan menabrak kursinya sehingga dadanya menyentuh meja.
“Oppa, kau tidak apa-apa?” Tanya Ji Eun khawatir.
“Ah, anniyo, Ji Eun-ah. Lupakan saja, ayo kembali makan.” Kata Jong Jin sambil mengibaskan sebelah tangannya yang tidak memegang burger pada Ji Eun.
Sementara itu di belakang meja Jong Jin dan Ji Eun, Henry dan Kyuhyun saling menukar senyum sambil membuat gerakan toast di udara.
“Cih, jahat sekali mereka. Apa yang mereka lakukan pada adikku?” Tanya si badut beruang dalam hati.
to be cont...