“Ji Eun-ah, sudahlah. Jangan menangis lagi.” Ucap Jong Jin lembut menenangkan Ji Eun. Ia tahu gadis di depannya ini sedang dalam keadaan sedih, baru saja melihat orang yang disukainya bersama orang lain dalam keadaan yang bisa dikategorikan mesra. Dan kenyataan bahwa orang lain itu, saingannya itu, sangat berbanding jauh dengan dirinya.
“Hiks, entahlah. Aku tidak tahu, Jong Jin-ah, rasanya dadaku sesak.” Isak Ji Eun. Jong Jin memeluk Ji Eun lebih erat lagi seolah-olah tidak ingin melepaskannya.
“Mungkin ini salah paham.” Hibur Jong Jin sambil mengelus belakang rambut Ji Eun yang ada di bawah dagunya.
“Aku melihatnya dan mendengarkan, aku ada di sana tadi.” Ucap Ji Eun masih terisak lalu menenggelamkan seluruh wajahnya ke dada Jong Jin yang bidang, Ia terisak lebih keras lagi.
***
“Hyunie, apa yang kau lakukan hah? Kau berteriak-teriak dan membuat seorang gadis lari ketakutan?!” Teriak Ara ke arah adiknya yang duduk di ranjang pasiennya.
“Itu bukan salahku!” Elak Kyuhyun.
“Apa yang kau katakan, hah? Bukan salahmu? Coba katakan sekali lagi! Aigoo, apa yang aku ajarkan padamu? Mana sopan santunmu? Kau keterlaluan! Gadis itu bukan tamu kita!” Teriak Ara lebih keras lagi. Bahkan saking kerasnya membuat suara pintu yang didorong Siwon tidak terdengar.
Siwon dan Heechul masuk ke dalam ruang rawat inap sambil menenteng kantong-kantong makanan. Keduanya saling berpandangan dengan wajah kaget, mendengar teriakan tadi.
“Heechul-ah! Siwon-ah! Kalian bawakan makanan untukku?” Seru Yesung polos, seperti tidak menyadari kebisingan di ranjang sebelahnya. Siwon dan Heechul pun meletakkan kantong-kantong makanan yang mereka bawa di meja Yesung dan baru saja akan bergerak untuk mengambil kursi lipat di depan ranjang saat tirai di belakang mereka tersibak dan terbuka lebar. Untuk kedua kalinya mereka berdua berpandangan kaget saat melihat sosok Ara yang tersenyum ramah pada mereka di balik tirai tadi. Tidak percaya dengan kenyataan bahwa wanita yang tadi berteriak tidak keruan itu adalah Ara. Malaikatnya Super Junior.
“Anyeonghaseyo, Siwon-ssi, Heechul-ssi.” Sapa Ara ramah, berbeda sekali dengan suara teriakannya saat mereka masuk. Masih mematung di tempat mereka, Siwon dan Heechul hanya bisa membalas sapaan Ara dengan senyuman manis mereka.
“Ah, Ara-ssi. Aku membawakan kimbap untuk Hyun-ah.” Ujar Heechul mencairkan suasana setelah mendapatkan kembali seluruh kesadarannya. Ia mengambil sebuah kantong makanan dan menyerahkannya pada Ara.
“Wah, kimbap ya? Pasti dia senang sekali. Tapi sayang sekali, Hyunie sedang tidak mau makan kimbap sekarang.”
“Benarkah? Sayang sekali, padahal itu kimbap yang sangat enak loh.”
“Benarkah? Kalau begitu, bagaimana kalau untukku saja?”
“Ah?” Heechul bingung melihat kelakuan Ara yang tidak biasa itu untuk sesaat, “Ne, tentu saja. Silahkan.” Ucap Heechul akhirnya dengan senyuman menggantung. “Ah, bagaimana kabar Hyun-ah? Dongsaeng-ku.” Tanya Heechul sambil menepuk kedua tangannya sebelum berjalan memutar menuju sisi ranjang Kyuhyun yang berhadapan dengan jendela.
“Hyun-ah, kau baik-baik saja?” Tanya Kyuhyun sambil sedikit menunduk. “Ada masalah apa sebenarnya?” Tanya Heechul berbisik ke telinga Kyuhyun. Kyuhyun menyibak selimutnya dalam satu gerakan dan memamerkan wajahnya yang terlihat tersiksa dan memelas. Heechul kasihan melihat juniornya itu. Tapi, kalau masalahnya berhubungan dengan kakaknya Kyuhyun, Heechul tahu lebih baik ia tidak ikut campur. Heechul melihat Ara sekilas yang sedang menyiapkan sumpit dan memalingkan wajahnya saat melihat gerakan Ara yang beranjak menuju ke arahnya.
“Heechul-ssi, gamsahabnida untuk kimbap yang sangat enak ini.” Ujar Ara sambil sedikit menunduk, lalu duduk di salah satu bangku dekat jendela yang berhadapan dengan ranjang Kyuhyun. Sedangkan Heechul sudah menyingkir dan kembali ke sisi ranjang Yesung bersama Siwon, Siwon yang menatapnya dengan pandangan bertanya hanya bisa ia balas dengan mengangkat bahu.
“Hyunie, benarkah kau tidak mau?” Tanya Ara sambil menunjukkan sepiring kimbap yang terlihat lezat pada Kyuhyun. “Sayang sekali, ini terlihat sangat menggiurkan, bukan? Ne, kalau begitu aku akan mulai makan, selamat makan!”
***
Ji Eun duduk sendirian di bangku taman rumah sakit. Masih di tempat yang sama seperti tadi. Ia menghela napasnya dalam dan menatap biru langit di atasnya yang sedikit tertutup oleh siluet-siluet daun-daun pohon yang gelap karena cahaya matahari. Awan-awan putih di atasnya menggantung cantik. Cerah, tidak seperti suasana hatinya. Tiba-tiba seorang laki-laki datang dan duduk di sebelahnya. Laki-laki itu menarik napas dan menghembuskannya dengan keras diikuti dengan desahannya juga. Ji Eun tidak mempedulikannya, setelah muak melihat langit cerah di atasnya ia beralih sibuk melihat ujung-ujung sepatunya yang kotor.
“Kau ini cengeng sekali.” Ujar laki-laki di sebelahnya tiba-tiba, mengagetkan Ji Eun. Ji Eun mengangkat kepalanya dan menoleh bingung pada laki-laki yang duduk di sebelahnya. Ia tersentak lebih kaget lagi saat mengenali wajah laki-laki berambut kusut di sampingnya itu yang memegang tiang infus lengkap dengan seragam pasien rumah sakit. Meskipun sunglasses ungunya sangat kontras dengan pakaian rumah sakitnya tapi Ji Eun tetap bisa mengenalinya.
“Kyu, Kyuhyun?” Tanya Ji Eun ragu sejenak, seakan tidak yakin dengan matanya sendiri. Ia tahu laki-laki yang duduk di sampingnya itu member termuda Super Junior. Cho Kyu Hyun yang terkenal dengan senyum iblisnya. Laki-laki itu tidak menjawab, hanya memandang jauh ke depan lalu menoleh pelan pada Ji Eun yang masih kebingungan, memamerkan senyumannya yang menawan.
“Kau Ji Eun, kan? Kekasih Jong Jin?” Tanya Kyuhyun balik, tapi senyumannya memudar hanya dalam hitungan detik berganti dengan wajah suram. “Kau! Karena kau! Aku tidak bisa makan kimbap kesukaanku!” Bentak Kyuhyun menakutkan Ji Eun. Tapi, sebelum Ji Eun sempat merespon dan mengumpulkan semua kesadarannya, seseorang memukul kepala Kyuhyun dari belakang.
“Bodoh! Siapa yang suruh kau membentaknya, hah?!” Teriak seorang wanita yang muncul dari belakangnya. Ji Eun terkesiap melihat kejadian itu, kejadian lima detik yang tidak disangkanya. Dan mengenali wanita yang barusan memukul Kyuhyun sebagai kakaknya, Cho Ara. “Hah?! Kau mau memalukanku Cho Kyu Hyun?!” Teriak Ara lagi.
“Ne, hentikan itu, Nuna! Aku akan meminta maaf!” Kyuhyun bangkit berdiri dan menyilangkan tangannya di atas kepala untuk menghindari pukulan susulan dari kakaknya, “Jangan pukul aku lagi! Aku pasien, kau tahu? Ya, aku akan meminta maaf!” Teriak Kyuhyun kesal.
“Kau, Lee Ji Eun. Dengarkan ini baik-baik, sebab aku tidak akan mengulanginya. Aku, Cho Kyu Hyun mohon maaf atas kelakuanku membuatmu kaget tadi.” Katanya sambil membungkuk dalam pada Ji Eun. Tapi, belum Kyuhyun menegakkan posisinya lagi, kakaknya, Ara kembali memukul kepala Kyuhyun.
“Apa kau laki-laki sejati? Kau sudah membuatnya menangis di kamar dan kau juga membentaknya tadi. Bahkan permintaan maaf seperti itu tidak akan berhasil. Kau tahu? Kau bersalah!” Seru Ara keras di telinga adiknya untuk kalimat terakhirnya, memberitahu kesalahan Kyuhyun.
“Lalu apa?!” Balas Kyuhyun kesal, “apa yang harus aku lakukan biar kau puas, Nuna?” Tanyanya geram pada kakaknya.
“Hei, Agassi. Bisakah kau memaafkanku?” Tanya Kyuhyun sambil menatap Ji Eun lurus dengan merendahkan nada bicaranya. Terlihat sekali dia frustrasi dengan kelakuan kakaknya.
“Sudahlah, Kyuhyun oppa. Aku sudah memaaf… .” Ji Eun belum sempat menyelesaikan kata-katanya saat seseorang menutup mulutnya dari belakang,yang ia sadari adalah tangan Ara.
“Tentu nona ini tidak akan memaafkanmu dengan mudah, Hyunie. Kau sangat bersalah padanya.” Cho Ara menggantikan Ji Eun bicara yang jawabannya sangat berbeda dengan apa yang ingin dikatakan Ji Eun tadi. Tangannya masih menutup mulut Ji Eun erat.
“Nuna! Kau tahu ini tidak adil! Aku bertanya pada nona ini, bukan padamu!” Teriak Kyuhyun benar-benar frustrasi pada kakaknya.
***
Tidak jauh dari sana, Henry menatap serius tiga orang yang sedang adu mulut itu. Dan seorang laki-laki setengah baya yang bersembunyi di balik pohon tidak jauh dari mereka bertiga, mengarahkan kamera ke arah mereka. Laki-laki itu berbalik cepat dan hendak pergi. Henry melihat laki-laki itu baik-baik dan mengingat wajahnya.
***
Ji Eun melangkahkan kakinya lemas ke arah tokonya. Mengetahui kenyataan tokonya terletak di atas tanjakan membuatnya tambah lemas. Kaki, tangan, bahkan seluruh bagian tubuhnya sangat lemas melewati hari yang terlalu panjang baginya ini. Tapi, sesuatu yang ia lihat jauh di depan mendorongnya untuk melangkah lebih cepat lagi. Pintu tokonya terbuka! Siapa yang membuka tokonya? Siapa yang masuk ke dalam tokonya? Pertanyaan-pertanyaan itu berkelebat cepat dalam pikirannya sambil memacu kakinya untuk melangkah lebih cepat lagi. Apakah kakaknya sudah kembali ke Korea? Kalau benar, rasanya hari ini akan berubah menjadi hari yang baik sekali baginya.
Henry baru saja akan memasukkan Ddangkonim ke dalam akuarium saat sebuah seruan mengagetkannya.
“Henry-ssi! Apa yang kau lakukan?!” Teriak Ji Eun dari ambang pintu melihat Henry yang hendak menenggelamkan Ddangkonim ke dalam akuarium. “Kau mau membunuh Ddangkonim?!” Bentaknya sambil merebut Ddangkonim dari tangan Henry. Henry yang baru saja dibentak hanya diam membisu masih kaget dan agak takut melihat kemarahan Ji Eun itu. Tidak tahu apa yang harus dikatakan sampai akhirnya ia mengerjap sadar dan menatap Ji Eun dengan pandangan tidak mengerti mengapa Ji Eun membentaknya.
“Aku, aku hanya ingin membuatnya berenang.” Jelas Henry akhirnya, tidak ingin membiarkan kesalahpahamannya yang membuat suasana menegang terus berlanjut.
“Kau! Apakah kau tidak tahu kalau Ddangkonim itu kura-kura darat?!” Bentak Ji Eun lagi.
“Aku kira semua kura-kura bisa berenang,” Ucap Henry menunduk dan merasa bersalah, “tapi dia terus menatap ke akuarium Ushiro dan Mae, jadi aku kira dia ingin berenang.” Jelas Henry.
“Ya, tapi, ah, sudahlah. Lupakan saja,” Ucap Ji Eun sambil mengibaskan salah satu tangannya ke depan dengan suara yang sudah kembali terdengar normal, dia berbalik dan mengembalikan Ddangkonim ke kandangnya, “bahkan tuannya saja pernah melakukan kesalahan yang sama sepertimu.” Ujar Ji Eun lemah yang hanya terdengar seperti bisikan.
***
“Jadi, apa yang terjadi Nona Lee?” Tanya Henry saat mereka sudah duduk berhadapan di showroom toko Ji Eun yang terletak di depan hotelroom, kandang penginapan hewan-hewan.
“Mwo? Apa apa?” Tanya Ji Eun kembali dengan bingung dengan maksud pertanyaan Henry.
“Tadi aku melihat seorang gadis menangis sedih di taman rumah sakit, wajahnya jelek sekali. Tapi, aku bingung ada dua laki-laki tampan yang menghiburnya. Beuntung bukan gadis itu? Tapi, meskipun begitu aku masih bisa melihat bekas-bekas kesedihan di wajah gadis itu.” Ujar Henry panjang sambil menatap cangkir teh yang ia pegangi terus dengan kedua telapak tangannya, menikmati sensasi hangat teh dalam cangkir itu. Lalu, dalam satu gerakan, ia mengangkat cangkir itu dan meminum habis isinya. Tapi, gadis di depannya masih diam seribu bahasa dan malah menunduk dalam, seakan-akan ada sesuatu yang menarik di kolong meja yang harus ia amati.
“Tidak ada apa-apa.” Kata Ji Eun akhirnya.
“Kau pembohong yang payah, Nona.”
“Lalu kenapa? Apa ini masalahmu?”
“Entahlah, hanya penasaran.”
“Cih, apa-apaan itu? Tidak ada sedikit rasa ibakah?” Ji Eun menaikkan bibir bagian atasnya, mengejek.
“Emph, iba?” Tanya ulang Henry kepada dirinya sendiri, lalu dengan cepat menggelengkan kepalanya. “Urusankukah?” Tanyanya mengejek, membalas kata-kata Ji Eun sebelumnya. Tapi, beberapa detik kemudian, ia menaikkan tangannya ke atas meja dan mendekatkan ibu jari dan telunjuknya, “mungkin sedikit.”
“Aich! Sudahlah, lupakan saja. Aku tidak mau berbicara denganmu! Kenapa kau ke sini?” Tanya Ji Eun mengalihkan topik pembicaraan. “Oh, ya! Bagaimana kau bisa masuk ke dalam tokoku?” Tanya Ji Eun dengan tatapan penuh curiga mengingat Henry masuk paksa ke dalam tokonya dan bahkan lupa menutup pintu depan tokonya lagi.
“Oh itu, aku hanya perlu mengambil kuncinya di balik lampion depan.” Jawab Henry polos.
“Bagaimana kau tahu?”
“Kebiasaan orang Korea.” Jawabnya pendek.
“Aich, kau tahu? Aku bisa melaporkanmu ke polisi dengan tuduhan masuk sembarangan ke toko orang.” Tuntut Ji Eun.
“Laporkan saja.” Jawab Henry santai.
“Aigoo, salah apa aku dipertemukan dengan orang sepertimu?” Desis Ji Eun pada dirinya sendiri. “Lalu, kenapa kau ke sini, hah?”
“Oh, ya aku ingin memberitahumu. Aku akan pulang ke Cina selama sebulan, jadi mohon bantuannya untuk menjaga Ushiro dan Mae.” Henry berdiri dari duduknya dan membungkukkan badannya sedikit.
“Hei! Apa-apaan kau?! Seenaknya menitipkan ikan di sini? Buat apa kau membelinya kalau kau tak mau menjaganya, hah?” Seru Ji Eun langsung ke wajah Henry sejurus setelah Henry baru saja kembali duduk di kursinya.
“Aku kan sudah katakan, kalau aku tidak bisa membawanya pulang ke Cina. Lagipula aku akan membayar jasamu.” Henry diam sejenak lalu mengangkat wajahnya dan menatap Ji Eun lurus, “mungkin kau akan membutuhkan mereka untuk mengusir sepi. Beberapa hari ke depan hewan peliharaan hyung akan kembali ke dorm kecuali ikanku. Bukankah itu berita baik?” Goda Henry, tapi gagal. Ji Eun bergeming di kursinya tanpa memasanga mimik apa pun di wajahnya.
“Sudahlah, lupakan saja kata-kataku. Tolong jaga Ushiro dan Mae baik-baik, Ji Eun-ssi.” Kata Henry menutup pembicaraan. Ia berbalik untuk pergi meninggalkan Ji Eun sendiri, tetapi sebelum sampai di ambang pintu, kembali berbalik dan memanggil Ji Eun, “Jangan pikirkan Ara-nuna. Dia tidak mungkin dengan hyung, tidak mungkin. Kyu hyung menjodohkannya dengan Siwon hyung asal kau tahu.” Lalu ia menghilang di balik pintu yang menutup.
***
Pagi-pagi Ji Eun sudah berkeliaran di taman bersama dengan tiga belas pegangan tali, yang masing-masing talinya berakhir di leher masing-masing anjing yang ia bawa ke taman. Enam tali di kanannya berakhir di leher Goming, Ari, Choco, Bada, Meo dan Teushirre, lalu yang di sebelah kanan berakhir di leher Ali, Rong-rong, Husky dan Mao-mao, sedangkan tiga sisanya adalah anjing yang baru lahir minggu lalu di tokonya. Tiga anjing yang baru lahir itu terlihat ceria, terus menyalak bahkan membuat Meo dan Bada kesal, padahal ketiganya masih sangat kecil. Masing-masing dari tiga anjing kecil itu berwarna hitam kelam, abu-abu dan putih, karena itulah Ji Eun menamai mereka Guma, Husag dan Waita. Kalau mengingat proses kelahiran mereka, Ji Eun merasa sangat lelah.
Malam-malam, ia baru saja akan pulang dari tokonya saat Jibang tiba-tiba menyalak rendah dan lemah. Panik, itu yang pertama dan terus Ji Eun rasakan. Dia tidak pernah menangani kelahiran anjing, ia hanya pernah melihat kakaknya membantu persalinan anjingnya yang lama.
Sudah tiga puluh menit, ia berjalan-jalan dengan ketigabelas anjing yang rata-rata berukuran kecil itu di taman. Lumayan lelah karena Goming, Meo, Bada dan ketiga anjing kecilnya terus berlarian berlainan arah dan berlawanan dengan arah yang ia tuju.
Ji Eun duduk di salah satu bangku taman berwarna biru dan menarik napas dalam. Ketiga belas pegangan anjingnya masih tergenggam erat dalam pegangannya. Ia baru saja menengadah ke atas, melihat langit biru dan awan-awan putih cerah yang menggantung tanpa matahari yang masih bersembunyi di timur dan menghembuskan napasnya kuat-kuat, saat sebuah kaleng muncul di atas kepalanya. Sebuah kaleng minuman energi. Ia menoleh ke belakang dengan cepat dan mendapati Jong Jin di sana masih memegang kaleng minuman itu, lalu menyodorkannya pada Ji Eun saat ia sudah duduk di sebelah Ji Eun. Ji Eun hampir melepaskan pegangan enam pasukannya di tangan kanan saat Jong Jin meraih tali itu dan menggantikan Ji Eun.
“Lelah?” Tanya Jong Jin menyesap kaleng minuman bagiannya, sedangkan Ji Eun masih berusaha membuka kaleng minumannya dengan tangan kanannya yang bebas.
“Tidak terlalu.” Jawab Ji Eun pendek sebelum meminum bagiannya degan sedikit rakus. “Paling tidak, aku tidak mati bosan menungggu liburanku berakhir tanpa arti.” Ujar Ji Eun setelah melepaskan bibirnya dari kaleng minumannya.
“Hyung pulang hari ini.” Ucap Jong Jin yang memecahkan sepi yang bertahan cukup lama setelah jawaban Ji Eun. Tapi, Ji Eun tidak menunjukkan ekspresi apa pun. “Kau tidak mau memelukku?”
“Untuk apa?” Kali ini pertanyaan Jong Jin berhasil direspon Ji Eun yang langsung menoleh cepat kepadanya.
“Biasanya kau akan melakukan itu kalau kau sedang senang, khususnya mendengar kabar tentang hyung. Mendengar hyung sudah kembali sehat, tidakkah kau senang?” Tanya Jong Jin lurus ke air mancur di depannya.
“Jong Jin oppa,” Ji Eun yang masih menoleh pada Jong Jin menatap Jong Jin dengan pandangan kosongnya, “entahlah.” Kata Ji Eun sambil mengibaskan kanan kirinya rendah ke depan dan kembali duduk lurus seperi semula. Mereka berdua menatap lurus ke arah air mancur cukup lama, menghabiskan waktu dalam diam. Seolah air mancur di depan mereka itu terlihat sangat menarik bagi mereka.
“Aku sudah memikirkannya. Mungkin aku, aku hanya seorang gadis ingusan yang terlalu menyukai cerita komik dan selalu memimpikannya tiap aku tidur di malam hari. Terus mengkhayal, kalau aku bisa menjadi salah satu tokoh dalam komik-komik itu. Ya, aku terlalu berkhayal, aku terlalu berlebihan dengan perasaanku. Aku terlalu lugu, tidak, aku rasa aku terlalu bodoh. Aku hanya menyukainya sama seperti penggemar-penggemar yang lain, tidak lebih. Aku sama saja seperti gadis-gadis elf lainnya, bukan? Tidak ia kenal baik. Meski aku tahu, dia menyayangiku, sama seperti dia menyayangi semua penggemarnya. Haha,” Ji Eun diam sejenak setelah mengumandangkan tawanya yang hambar.
“Ya, sebagai penggemar, sepuluh tahun menjadi penggemarnya. Bukankah aku ini seorang penggemar yang sangat setia? Meskipun, aku sudah mengenalnya sejak sepuluh tahun lalu, tetap saja aku ini hanyalah penggemarnya. Ia tidak mungkin ingat padaku. Aku terlalu bodoh untuk terus berharap suatu hari dia mengingatku. Lalu kalau mengingatku, memangnya mengapa? Apa segala sesuatu akan berubah? Haha, aku bodoh, aku sangat bodoh, kan oppa?” Tanya Ji Eun yang menoleh dan menatap Jong Jin dengan mata merahnya.
“Berhentilah memanggilku oppa.” Jawab Jong Jin serak setelah membeku lama melihat mata merah gadis di sampingnya itu.
***
Di lain tempat, Henry bersiap masuk ke gerbang keberangkatan. Di belakangnya di balik pembatas, banyak penggemar yang berteriak-teriak ke arahnya dan memotret semua gerak-geriknya. Ada apa dengan mereka? Tidakkah mereka sekolah? Tanya Henry dalam hatinya setelah melihat beberapa penggemarnya yang berpakaian seragam. Ia melirik arlojinya untuk kelima kali selama setengah jam belakangan, sebelum melangkah lebar masuk ke dalam gerbang keberangkatannya. Dan, ada apa denganmu Henry? Mengapa kau berharap Nona Lee datang dan berteriak padamu juga seperti penggemarmu yang lain?