Jong Jin dan Ji Na akhirnya sampai ke depan Betty Pet Hotel Shop milik Ji Na yang penuh dengan massa. Mereka rata-rata membawa papan yang bertuliskan kata-kata jahat dengan tinta merah. Di masing-masing tangan mereka membawa tepung dan telur, bahkan ada beberapa yang membawa tomat juga. Keadaan tokonya sama seperti saat ia kembali ke Korea beberapa hari yang lalu. Mereka mulai menimpuk jendela toko dan papan nama toko sambil meneriakkan yel-yel yang mereka buat dengan lantang. Melihat keadaan ini, Ji Na turun dari motor Jong Jin dengan marah dan berteriak-teriak pada massa.
“Apa yang kalian lakukan dengan tokoku, hah?!” Serunya lancang dan memekikkan.
“Tokomu? Kami tidak berurusan denganmu, tapi dengan Lee Ji Eun! Yang sudah meruntuhkan persahabatan personil M!” Tantang salah seorang massa yang berpakaian seragam sekolah dan berikat kepala merah.
“Lee Ji Eun itu adikku, dan dia bukan perempuan seperti itu! Orang-orang itulah yang mengejar-ngejar adikku!”
“Apa yang kau bilang?! Beraninya kau berkata seperti itu!” Teriak si ikat kepala merah sambil maju mendekati Ji Na.
“Ya, adikmu keterlaluan bukan idola kami!” Teriak temannya yang lain. Lalu, dalam sedetik, teriakan massa yang lain membahana. Mereka mengepung Ji Na yang berontak keras dengan teriakan-teriakan di sekitarnya. Keadaan tidak terkendali, papan-papan yang mereka bawa saling bertabrakan, sampai si ikat kepala merah tadi, menginjak tomat yang tadi ia lemparkan sendiri dan terjatuh. Ia menabrak dan menjatuhkan orang-orang di belakangnya. Tapi, ia sendiri jatuh dan kakinya yang tertimpa orang-orang yang juga ikut jatuh bersamanya tertindih di atas batas trotoar dan kepalanya berdarah karena terkena salah satu papan temannya. Keadaan semakin tidak terkendali dengan teriakan orang-orang yang kesakitan. Si ikat merah merintih, dengan cekatan Ji Na menariknya keluar dari timpaan teman-teman massanya. Tapi, bukannya membantunya memberi pertolongan pertama Ji Na hanya berdiri dengan wajah pucat, gemetar melihat keadaan kaki si ikat kepala merah.
Jong Jin yang melihat keadaan ini langsung berlari mendekati Ji Na.
“Apa yang kau lakukan! Tolong dia! Kau kan calon dokter!” Teriak Jong Jin ke telinga Ji Na saat berlari mendekat. Tapi, Ji Na bergeming, ia tidak bergerak sedikit pun. Matanya terpaku mleihat luka di kaki si ikat kepala merah. Jong Jin yang sudah tidak mengharapkan sebuah gerakan pun dari Ji Na membopong tubuh si ikat kepala merah ke pinggir trotoar. Ia mengeluarkan sapu tangan dari kantong jaketnya dengan sigap dan mengikatkannya pada pangkal paha gadis itu. Ia membaringkan gadis itu di tengah jalan, beberapa orang yang sudah bangkit dari jatuhnya mengelilingi Jong Jin dan gadis itu penuh perhatian, sedangkan Ji Na masih bergeming hanya melihat dengan mata merah dan gemetar. Jong Jin memindah-mindahkan kaki gadis itu dalam beberapa gerakan, untuk memastikan tidak ada tulang yang bengkok.
“Ji Na! Telepon ambulans! Ji Na! Telepon ambulans!” Teriak Jong Jin pada Ji Na yang mematung. Mendengar teriakan Jong Jin, Ji Na sadar dan langsung mencari ponselnya dengan panik. Ia menekan tombol-tombol handphonenya dengan gemetaran.
***
“Apa yang kau lakukan tadi? Seharusnya kau memberinya pertolongan pertama, kau bodoh? Meskipun tadi kau sedang marah dengannya, tapi bagaimana kalau ada yang terjadi dengannya? Itu situasi darurat, kau tahu?!” Omel Jong Jin panjang lebar sambil menatap Ji Na yang terduduk lemas di depannya. Jong Jin memposisikan dirinya di sebelah Ji Na, ia menghempaskan tubuhnya di kursi sebelah Ji Na. Mereka sekarang sedang duduk di ruang tunggu rumah sakit, menunggu penanganan pertama yang para dokter lakukan untuk gadis ikat kepala merah tadi.
“Kau itu calon dokter, kalau kau tidak bisa sigap seperti tadi, bagaimana dengan pasien-pasienmu nanti?” Tanya Jong Jin menghakimi sambil meregangkan otot-otot tangannya. Gerakannya terhenti, saat ekor matanya melihat bahu Ji Na yang gemetaran.
“Ya, Ji Na, Ji Na!” Panggil Jong Jin sambil menepuk-nepuk bahu Ji Na yang duduk di sebelahnya. Jong Jin mengangkat wajah Ji Na dan mendapati pipi Ji Na yang banjir dengan air mata. “Ada apa? Kenapa kau menangis? Sudahlah, tidak apa-apa, dia sudah ditangani oleh para dokter.” Hibur Jong Jin, ia merangkul bahu Ji Na halus.
“Bodoh, aku bodoooh. Jong Jin-ah, aku benar-benar bodoh.” Isak Ji Na.
“Tidak, tidak, kau tidak bodoh. Kau hanya kaget, ini tidak akan terjadi lagi. Kau pasti bisa menangani dengan baik lain kali.”
“Tidak akan bisa, Jong Jin-ah. Aku bukanlah calon dokter lagi, aku sudah keluar. Aku, aku payah.” Lalu, Ji Na menangis lebih keras lagi.
***
“Ji Na!” Teriak Ammy, temannya yang jatuh terjerembap masuk ke dalam jurang.
“Ammy-ah! Jangan lepaskan tanganku, aku akan mengangkatmu!” Dalam hitungan ketiga, Ji Na menarik Ammy yang terperosok tidak terlalu dalam dengan sekuat tenaga. Tapi, karena tarikan Ji Na itu, kaki Ammy terluka karena mengenai batu-batu dan ranting-ranting tajam di pinggiran jurang.
“Bertahanlah!” Kata Ji Na. “Sebentar lagi paramedic akan datang!” Beritahu Ji Na.
“Ji Na! Kakiku, kakiku sakit sekali. Tolong, tolong kakiku!”
“Apa yang harus aku lakukan? Sebentar aku akan mengikatnya.”
“Tidak, tidak. Buka saja betisku, temukan jaringannya, kau pasti bisa.” Ucap Ammy dengan napas memburu, menghentikan gerakan Ji Na yang akan memotong bajunya.
“Jaringan? Jaringan! Oh, tapi itu, aku belum mempelajarinya.”
“Ayolah, aku tidak kuat menahan sakitnya!”
“Aku tidak bisa, Ammy. Bahkan aku tidak memiliki alkohol!”
Tapi, beberapa menit kemudian, Ji Na sibuk mencari-cari jaringan kaki Ammy yang terjepit saraf. Darah melumuri tangannya dan keluar dengan cukup deras.
“Aku tidak menemukannya, Ammy! Bertahanlah!”
“Pasti tersembunyi di sana, Ji Na. Ayo, aku tidak kuat!” Ucap Ammy yang lebih mirip dengan desisan. Wajahnya dan mulutnya pucat. Ia kehilangan lumayan banyak darah.
“Ammy, aku akan menghentikannya di sini. Sebentar lagi para medis akan datang. Bertahanlah!”
“Lee Ji Na! Apa yang kau lakukan? Kau pikir kau bisa menjadi seorang pahlawan? Kau hanya memperburuk keadaan Ammy!” Seru salah satu dosennya yang juga adalah dokter di rumah sakit daerah dekat tempat kecelakaan Ammy.
“Maafkan, aku. Aku benar-benar menyesal.” Jawab Ji Na dengan suara lemah, ia hanya bisa menunduk mengakui keteledorannya yang membuat kondisi temannya semakin buruk.
“Kau bahkan belum mempelajari bagian itu! Beraninya kau! Kau harus bertanggung jawab kalau sampai ada sesuatu yang terjadi dengan Ammy! Kau tahu itu?!”
***
Seorang dokter diikuti dua perawat keluar dari ruang UGD. Jong Jin yang lebih dulu berdiri dan bertanya, “Bagaimana?”
“Anda keluarganya?” Tanya dokter itu kembali.
“Kami, kami yang mengantarkannya. Keluarganya belum tiba.”
“Sejauh ini, tidak ada luka serius. Tidak ada tulang patah, hanya mungkin tulang betisnya akan sedikit bermasalah dan memerlukan perawatan beberapa minggu. Tidak ada apa-apa dengan kepalanya, tapi untuk pembuktian kami akan melakukan CT scan.”
“Oh, syukurlah. Terima kasih, dok.” Jawab Jong Jin.
“Ah, apa kami bisa melihatnya sekarang?” Tanya Ji Na mengagetkan Jong Jin, menghentikan langkah dokter itu.
“Oh, tentu. Pasien akan dipindahkan ke kamar rawat biasa.”
***
“Namanya Kim Hye Na. Seorang pelajar, usianya enam belas tahun.” Ujar Jong Jin menjelaskan identintas gadis yang sedang terkapar di atas ranjang. Di sebelahnya berdiri Yesung, Kyuhyun, dan Henry. Di seberang, sisi lain ranjang berdiri seorang bibi dan paman yang adalah orang tua Hye Na. Di sebelah mereka berdiri Manajer Park, dan di depan ranjang ada Ji Na dan Ji Eun yang berdiri dengan cemas.
Hye Na membuka matanya perlahan, bayangan putih atap ruangan yang pertama kali ia lihat. Ia menoleh ke sebelah kanan dan melihat orangtuanya, ibunya sedang terisak. Di sisi kirinya, masih berbayang ia melihat idolanya, Cho Kyuhyun bersama Yesung dan Henry bersama dengan laki-laki yang tadi menolongnya. Laki-laki yang menolongnya, ya, Hye Na baru sadar dan teringat dengan insiden yang ia alami tadi siang.
“Hye Na-ssi, bagaimana?” Tanya Kyuhyun yang berdiri di samping ranjang. Mereka baru saja kembali ke kamar setelah memberikan beberapa waktu untuk Hye Na sadar betul dengan apa yang terjadi dan waktu untuk berbicara dengan orangtuanya.
“Ah, aku baik-baik saja. Mianhae, aku sudah merepotkan kalian semua.” Jawab Hye Na sedikit tersipu malu mengetahui kenyataan idolanya bertanya tentang keadaanya. Lalu, teringat dengan laki-laki yang menolongnya, ia pun meboleh pada Jong Jin, “kau, gamsahabnida, oppa.” Jong Jin hanya membalasnya dengan senyuman manisnya.
“Hye Na-ssi, mungkin aku keterlaluan mengatakan hal ini padamu sekarang. Tapi, aku harus mengatakannya padamu kalau aku menyukai Lee Ji Eun, dan dia bukanlah wanita penggoda seperti yang kau dan penggemarku yang lain pikirkan.” Ujar Kyuhyun yang langsung membuat Ji Eun tertunduk malu.
“Ya, aku juga, Hye Na-ssi. Aku sama sekali tidak dalam kondisi berkelahi dengan hyung, aku dengannya baik-baik saja. Hanya saja, kami menyukai perempuan yang sama. Ji Eun tidak salah apa-apa.” Henry angkat bicara. Mendengar pernyataan kedua idolanya idi, Hye Na hanya terdiam malu.
“Ya, aku tahu. Aku mungkin hanya cemburu,” Aku Hye Na dan langsung menoleh pada Ji Eun, “kau pasti Ji Eun. Kau benar-benar beruntung, maafkan aku merusak toko kakakmu. Mianhae, unie.”
“Sudahlah, lupakan saja. Sekarang lebih baik kau istirahat, Hye Na-ssi.” Jawab Ji Eun bijak.
“Ya, lebih baik kau istirahat, baik-baiklah.” Timpal Yesung. Mereka baru saja hendak keluar dari kamar rawat, saat Hye Na memanggil Kyuhyun.
“Oppa, aku akan minta maaf padamu, Henry-oppa, Ji Eun-unnie dan kakaknya di media. Aku akan mulai mencintai kalian bertiga.”
***
“Kau akan datang ke acara nanti malam Ji Eun-ssi?” Tanya Henry pada Ji Eun saat mereka sedang berjalan di taman calon fakultasnya Ji Eun. Henry sedang menemani Ji Eun daftar ulang masuk fakultas kedokteran.
“Acara? Acara apa?” Tanya Ji Eun bingung sebelum ia menjawab sendiri pertanyaannya dan baru teringat acara nanti malam. “Ah, ya, acara nanti malam. Mm, aku tidak tahu, aku tidak pernah menonton acara-acara musik seperti itu sebelumnya.” Jawab Ji Eun jujur.
“Itu bukan acara musik, Ji Eun. Itu sebuah talkshow.”
“Ya, apalah itu. Aku hanya pernah pergi ke beberapa seminar sebelumnya.”
“Seminar? Seminar apa?” Tanya Henry yang tidak mengetahui kosa kata seminar dalam bahasa korea karena keterbatasan bahasa koreanya.
“Seminar, ya seminar.” Ji Eun berpikir keras untuk mencari kata-kata yang tepat untuk menjelaskan apa itu seminar, tapi akhirnya ia hanya mengucapkannya dalam bahasa inggris. “Seminar.”
“Oh, seminar. Ya, aku tahu, tapi acara talkshow hampir sama dengan seminar Ji Eun.” Beritahu Henry.
“Oh.” Jawab Ji Eun pendek sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. “Kau mengharapkan aku datang?” Tanya Ji Eun tiba-tiba, saat mereka sudah tiba di depan kantor berkas. Ji Eun mengeluarkan beberapa file dari tasnya. Ia mengisi formulir yang diajukan padanya oleh pegawai kantor.
“Aku?” Tanya ulang Henry dengan bingung karena pertanyaan Ji Eun yang tiba-tiba. “Aku, aku…” Henry ragu menjawabnya, rasanya sangat bimbang. “Aku terserah kau saja, Ji Eun. Tapi, kenapa tidak?”
“Baiklah aku akan datang, kau juga datangkah?” Tanya Ji Eun yang sedang sibuk mengisi formulir, dan langsung dijawab dengan anggukan Henry.
“Tentu.” Lanjutnya setelah menyadari Ji Eun tidak bisa melihat anggukannya.
***
“Selamat malam semuanya! Hari ini aku sedang bahagia, sangat bahagia. Hidupku paling tidak mulai berjalan normal kembali. Dan aku bisa tidur cukup juga akhir-akhir ini. Juga terima kasih untuk perhatian kalian semua, untuk pengertian kalian, aku sangat bahagia sekarang. Nikmati lagu ini.” Ujar Kyuhyun sebelum mulai memainkan keyboardnya dan menyanyikan lagu Sunday Morningnya Maroon5. Lalu di akhir lagu ia menunduk dan memainkan micnya sebentar sebelum membisikkan, “Saranghae, Ji Eun-ssi!”
“I love you too, Ji Eun-ssi.” Bisik Henry tidak mau kalah pada Ji Eun yang duduk di sampingnya.
***
“Anyeonghaseyo! Selamat datang, ada yang bisa saya bantu?” Tanya Ji Eun ramah pada pelanggannya yang baru masuk ke dalam toko. Pelanggan itu masuk dan memilih sebuah hamster bersama anaknya. Setelah mereka pergi, Ji Eun mengantar mereka sampai di pintu dan membungkuk ke arah mereka. Ia baru saja akan membalikkan papan tanda tutup di pintu saat dua orang laki-laki mengetuk pintunya. Kyuhyun dan Henry.
“Hei, dongsaeng, bisakah kau tidak curang?” Tanya Kyuhyun saat mereka berdua sudah masuk ke dalam toko.
“Berhentilah memanggilku dongsaeng, hyung! Aku ini tidak sekecil itu, aku hanya berbeda beberapa bulan denganmu.”
“Tapi, tetap saja, hari ini giliranku makan siang dengan Ji Eun. Bukan kau, anak kecil curang.”
“Untuk hari ini saja, boleh kita bertukar hari? Besok aku harus kembali ke Cina. Ayolah, hyung.” Bujuk Henry yang terdengar seperti rengekan.
“Enak saja.” Tolak Kyuhyun cepat, lalu ekor matanya menangkap bayangan Ji Eun yang sudah menenteng jaket musim dinginnya dan hendak membuka pintu. “Ji Eun-ah, mau kemana?” Panggil Kyuhyun.
“Makan siang.” Jawab Ji Eun pendek. Lalu tanpa aba-aba lagi, Kyuhyun sudah maju dan membukakan pintu untuk Ji Eun. Henry yang tidak mau kalah dengan Kyuhyun juga ikut maju ke depan dan membukakan pintu yang lain. Ji Eun menggeleng-gelengkan kepalanya sebentar sebelum melangkah keluar melihat tingkah laku dua laki-laki di depannya itu.
***
“Kau akan kembali ke Hongkong, ya Henry?" Tanya Kyuhyun setelah pelayan pergi membawa catatan menu makan siang yang dipesan mereka.
“Ya, sayang sekali. Aku baru sadar kalau aku tinggal di sana.” Jawab Henry dengan cengiran.
“Baguslah, pasti susah sekali berhubungan jarak jauh.” Ujar Kyuhyun tanpa dosa yang sedang menopang dagunya dengan kedua tangannya di atas meja dan mengangguk-angguk puas. Tapi, Ji Eun menatapnya tidak suka, akhirnya ia mengubah posisinya dan mulai memainkan jarinya. “Kenapa?” Tanyanya polos setelah beberapa lama tidak ada suara yang terdengar dari siapapun.
“Ushiro dan Mae bagaimanakah? Tentu kau tidak meninggalkannya padaku lagi, Henry-ssi.” Tanya Ji Eun mengalihkan topik.
“Ah, masalah itu,” Henry mengacak-acak bagian belakang rambutnya salah tingkah, “mianhae, Ji Eun-ssi. Bisakah kau mengadopsi mereka?” Tanyanya dengan wajah memelas.
“Aich! Aku sudah tahu ini akan terjadi!” Seru Ji Eun kesal. “Kau tidak benar-benar menginginkan mereka dari awal, kan?” Tanya Ji Eun penuh selidik.
“Anniyo! Kau tidak tahu, kalau aku membawa mereka, mereka akan mati. Keluargaku akan membunuh mereka, apalagi adikku.” Jelas Henry.
“Bohong, katakan saja kau hanya ingin Ji Eun terus mengingatmu dengan meninggalkan mereka.” Sela Kyuhyun.
“Bukan, hyung! Sungguh aku tidak memikirkannya sampai ke sana. Tidak, tidak, aku mengatakan yang sebenarnya.” Henry membela diri sambil mengibas-ngibaskan kedua tangannya di depan Kyuhyun.
“Ya, sudahlah. Tapi, apa kau akan kembali ke sini lagi, Henry?” Tanya Kyuhyun dengan serius.
“Tentu,” Jawab Henry cepat, “kalau ada pekerjaan di sini, kenapa tidak?”
“Kau, kau tidak tinggal di sini saja?” Tanya Kyuhyun lagi.
“Aku berharap seperti itu, tapi sedih sekali rasanya. Rumahku, keluargaku, pekerjaanku semuanya ada di Cina, hyung.”
“Kau kan bisa pindah.” Kata Kyuhyun datar, sebenarnnya ia berniat untuk menawarkan sebuah usul tapi yang keluar dari mulutnya begitu datar.
“Andai bisa, tapi, keluargaku?”
“Kau sudah tua, Henry! Seharusnya kau bisa memutuskan semuanya sendiri.” Ucap Kyuhyun kesal. Henry hanya tertunduk lemas tidak bisa menjawab ucapan seniornya itu. Tapi, apa yang bisa ia lakukan. Mereka bertiga menyelesaikan makan siang mereka dalam diam.
***
“Henry-ssi.” Gumam JI Eun yang melihat sosok Henry di samping depan tokonya. Ia baru saja akan pulang dan akan menutup pintu tokonya saat melihat sosok Henry di depan gedung toko sebelah.
“Ji Eun-ah, tidak bisakah kau memanggilku oppa?” Tanya Henry sambil melangkah maju mendengar gumaman Ji Eun yang mengartikan Ji Eun sudah melihatnya.
“Apa yang kau lakukan malam-malam begini?” Tanya Ji Eun saat mereka sudah duduk di bangku tepi trotoar yang sepi. Tempat yang sama saat mereka duduk menunggu Jong Jin dan ibunya sedang berbicara dengan Manajer Park tentang kecelakaan Yesung.
“Menunggumu.” Jawab Henry singkat.
“Kau kan bisa masuk ke tokoku dari tadi, Henry-ssi.”
“Aku tidak mau mengganggumu, aku tahu kau hanya punya waktu seminggu lagi sebelum masuk kuliah dan itu artinya hanya tinggal seminggu lagi sebelum kau berhenti mengelola toko hewan ini.” Jelas Henry.
“Kau terlalu berlebihan. Jadi ada apa, Henry-ssi?” Tanya Ji Eun.
“Tidak ada apa-apa. Tidak bisakah kau memanggilku oppa?” Tanya Henry balik.
“Ada apa? Kenapa kau kembali ke Cina tiba-tiba?” Tanya Ji Eun penuh selidik.
“Karena itulah rumahku. Memangnya aku tidak boleh pulang?” Tanyanya balik.
“Ish, kau ini. Kenapa kau senang sekali menjawab pertanyaan dengan pertanyaan?” Tanya Ji Eun kesal.
“Aku? Memang ya?”
“Ish, kau benar-benar berbakat membuatku kesal!” Seru Ji Eun sambil mendorong bahu Henry. Tapi, Henry hanya tertawa tertahan melihat kekesalan Ji Eun itu.
“Aku akan dijodohkan.” Ujar Henry tiba-tiba di tengah tawanya, mengagetkan Ji Eun.
“Mwo?” Tanya Ji Eun.
“Aku akan dijodohkan.” Ulang Henry.
“Kenapa? Ada apa memangnya? Kenapa tiba-tiba?”
“Kau panik?”
“Hanya kaget saja, kau kan baru,” kata-kata Ji Eun mengambang di udara, ia sibuk menghitung usia Henry untuk beberapa detik, “kau kan baru dua puluh tiga.”
“Hanya perjodohan.” Jawab Henry pendek.
“Kau begitu santai untuk orang yang dijodohkan! Kau tidak, tidak merasa kaget, khawatir atau apapun?” Tanya Ji Eun yang dijawab dengan gelengan kepala Henry. “Ada apa sebenarnya, Henry-ssi?”
“Boleh aku meminta sesuatu darimu?” Tanya Henry mengalihkan pembicaraan. “Bisakah kau memanggilku oppa, sekali ini saja? Bagaimanapun juga aku lebih tua lima tahun darimu.”
“Ada apa sebenarnya denganmu, sekarang harusnya kau tidak sibuk memikirkan panggilan oppa itu, kau harusnya memikirkan perjodohanmu.” Tolak Ji Eun.
“Begitukah? Ya, sudahlah, lupakan saja. Aku dijodohkan karena gossip-gosipku di Korea.” Henry diam sejenak dan meluruskan kaki-kakinya. “Ibuku melihat berita itu dan selama beberapa hari ini ia terus menghubungiku dan mengomeliku terus, katanya aku harus menikah dengan sesama Chinese tidak dengan orang Korea.”
“Menikah? Aku tidak menikah denganmu!” Sela Ji Eun.
“Ya, aku tahu. Makanya besok aku akan pulang dan melihat perjodohanku.”
“Kenapa kau begitu pasrah Henry-ssi?”
“Pasrah? Aku hanya menghormati ibuku dan menghargainya yang mencarikan jodoh untukku.”
to be cont...