3 November 2014, 12:07 pm
“Ma Ri! Sudah lama menunggu ya?” teriak seorang pria bermata sipit. Ia berlari-lari menemui Ma Ri sampai tersengal bukan main.
“Tak apa, aku baru sampai kok. Ini pesananmu,” Ma Ri menyodorkan buku catatannya. Ia sedang duduk di bangku panjang di bawah pohon besar, tepat di depan gedung jurusan sastra.
Pria itu terlihat senang. Ia membuka lembar demi lembar buku catatan itu dengan semangat. “Syukurlah, catatanmu lengkap! Aku sudah tiga minggu tidak kuliah,”
“Dae Sung, memangnya kau kerja apa sih sampai seperti itu?” tanya Ma Ri yang penasaran pada teman kuliahnya ini. Sudah hampir dua semester ia berstatus pelajar. Selama itu hanya Kang Dae Sung yang setidaknya cukup Ma Ri kenal di Seoul yang tetap begitu asing baginya. Terlebih karena mereka sebenarnya pernah berteman semasa sekolah dulu.
“Tiap malam aku kerja di kedai minum, lalu siangnya jadi penjaga kasir. Kadang sore hari aku mengepel lantai restoran dekat subway,” jelas Dae Sung sambil menghela nafas. Raut wajahnya nampak lelah. “Kadang-kadang aku dapat kerja tambahan jadi tidak bisa masuk kelas. Ya begitulah, aku harus cari uang sebanyak mungkin,” katanya sambil mengalihkan pandangan dari Ma Ri. Entah apa yang membuatnya harus bekerja keras demi uang seperti ini.
“Kau memang hebat!”
“Apanya yang hebat? Aku tidak sebanding denganmu yang selalu rajin masuk kuliah. Dulu saat sekolah saja kau selalu juara kelas kan?”
“Tidak juga,”
“Apanya yang tidak juga? Kita pernah sekelas saat SMP kan? Aku masih ingat kok! Tapi setelah itu kau pindah sekolah. Ngomong-ngomong waktu itu kau pindah ke mana?”
“Aku lupa. Aku terlalu sering pindah sekolah. Aku sampai bosan berpindah rumah setahun sekali, hahaha,”
Sebenarnya Dae Sung masih ingin bertanya kenapa Ma Ri hidup nomaden seperti itu. Namun Ma Ri sudah menyelanya dengan pertanyaan lain.”Dae Sung, aku juga ingin kerja paruh waktu sepertimu. Uang beasiswaku tidak cukup untuk bayar sewa apartemen. Bibi pemilik apartemen sudah sering menegurku untuk membayar uang sewa,” Ma Ri mendadak murung mengingat biaya hidupnya.
“Sebaiknya jangan bekerja. Kerja paruh waktu itu berat lho! Kau hidup hemat saja, pasti cukup deh. Kalau kau sampai sering tidak masuk kuliah seperti aku, nanti aku pinjam catatan ke siapa?”
“Tolonglah Dae Sung..., aku bisa membantumu di kedai minum. Aku sering membantu Ibuku berjualan jadi aku ahli soal itu!”
“Tapi,..”
“Tolonglah.., kau punya info lowongan kerja kan? Tenang saja, aku tetap meminjamkan catatanku setiap saat untukmu,”
“Hmm. Baiklah. Nanti kalau ada pekerjaan untukmu aku akan kuberitahu. Aku pergi dulu ya,” Dae Sung kembali berlari karena pekerjaan menantinya.
xxx
7 November 2014, 08:09 am, Panda Cafe
“Nanti malam kafe akan disewa untuk acara ulang tahun, jadi siang ini kita tidak perlu buka. Sekarang pekerjaan kita adalah menyiapkan acara itu,” jelas Seungri. Seperti biasa setiap pagi ia memberikan pengarahan bagi para pegawainya. “Kuharap kalian mengerjakan tugas masing-masing dengan baik,” lanjutnya sambil membaca secarik kertas berisi rencana pembagian kerja. Pegawai-pegawai kafe itu mengiyakan saja. Sebagian sudah beranjak pergi untuk mengerjakan tugasnya.
“Baguslah, kurasa semua sudah siap. Mm.., kenapa pegawai kebersihan kenapa cuma satu? Cuma kamu Young Bae?” tanya Seungri kemudian. Matanya masih tertuju pada kertas di tangan.
“Iya. Nona Ahn sedang sakit, Baek Hyun dan Jung Min sedang cuti, lalu Kang Suk katanya...,” jawab Young Bae yang berdiri tepat dihadapan Seungri.
“Masa sih semuanya tidak bisa kerja?” Seungri kesal. Ia membuang kertas itu ke meja kerja. “Nanti akan ada sekitar seratus tamu, tapi pegawai kebersihan hanya kau saja, apa kau bisa mengurus ini sendirian? Cuci piring, bersihkan meja, pel lantai, ah, kalau kau bisa sih tak apa,”
“Mana mungkin aku bisa mengerjakan itu semua hanya dengan dua tangan ini Bos,” kata Young Bae. Ia malas membayangkan harus bekerja berat seperti itu sendirian, sepanjang malam lagi.
“Huh, mana mungkin juga aku mencari pekerja tambahan di saat begini. Ah kau saja Dae Sung, nanti malam kita tidak perlu kasir kan,”
Dae Sung menggerutu dalam hati. Sebenarnya ia merasa berat melakukannya karena ia pikir malam ini akan bebas tugas untuk sementara. Lagipula bekerja berdua bersama Taeyang si pemalas itu sepertinya tidak membantu sama sekali. “Bos, bagaimana kalau aku meminta bantuan temanku? Dia bisa bekerja sementara untuk kita,”
“Hmm ya.., terserah kau saja,” jawab Seungri sambil berlalu. Ia sudah sibuk meneliti pekerjaan pegawainya yang lain, tentu saja demi acara di kafe ini nanti malam.
XXX
Ma Ri berdebar-debar. Entah karena senang atau memang merasa gugup. Ia senang Dae Sung mengajaknya bekerja di kafe yang cukup besar ini, namun di saat yang sama ia juga merasa gugup karena bekerja paruh waktu untuk pertama kalinya.
“Nanti kita hanya menunggu piring dan gelas kotor untuk dicuci di sini. Nih sarung tanganmu,” Dae Sung memberikan sarung tangan karet untuk mencuci piring pada Ma Ri. “Kau tahu kan caranya cuci piring?” Dae Sung memastikan.
“Huh! Mana mungkin aku tidak bisa?” Ma Ri merasa diremehkan.
“Hey, di sini kita harus cuci piring super cepat lho! Hati-hati jangan sampai pecah,”
Ma Ri semakin gugup. Pekerjaan remeh seperti itu ternyata sanggup membuatnya sampai seperti ini. “Jangan bilang begitu dong, aku jadi takut,”
“Hahaha, tenang saja,”
Ma Ri diam sebentar. Ia mengamati ruangan dapur yang sibuk dengan aktivitas memasak. Ia lalu mengalihkan perhatiannya dengan melongok ke jendela yang menghubungkan dapur dengan kafe. Ia merasa aneh melihat gambar-gambar panda yang menempel di tembok. Tempat ini mirip TK daripada kafe. Apalagi melihat hiasan ulang tahun yang sudah terpasang rapi.
“Anak siapa sih yang ulang tahun?” tanya Ma Ri. Seumur hidup ia tidak pernah merayakan ulang tahun seperti itu.
“Bukan anak-anak. Sepertinya kenalan Bos,” jawab Dae Sung yang ikut melongok di jendela.
“Bos-mu yang mana sih?” mata Ma Ri bergerak mengamati seluruh ruangan.
“Si maniak panda itu tuh, yang sedang menemui tamu,” Dae Sung menunjuk ke arah pintu kafe yang terbuka lebar. Seorang pria berkemeja putih tampak sibuk menyalami beberapa tamunya dengan ramah.
“Maniak panda? Orang seperti itu?” Ma Ri merasa heran. Ia mengamati baju seragam yang ia kenakan sekarang, apron pink dengan gambar kepala panda di bagian atas. Ia merasa konyol dengan pakaiannya, terlebih ketika tahu semua pernak-pernik panda di tempat ini adalah benda favorit si pemilik kafe.
“Kelihatannya saja keren, tapi sebenarnya dia itu seperti anak kecil! Aku juga tidak suka pakai ini, tapi demi uang ya bagaimana lagi, huh,”
“Apanya yang anak kecil?” sebuah suara mengagetkan Dae Sung yang melongok di jendela. Ia tidak sadar kalau Seungri sudah berpindah tepat di sampingnya. Begitupun Ma Ri yang juga terkejut.
“Bukan begitu ma, maksudku,...” Dae Sung tidak tahu harus bicara apa saat ini. Tatapan mata Seungri di depannya sudah membuatnya ketakutan. Untung saja tiba-tiba mata Seungri langsung tertuju pada sosok gadis yang berdiri tepat di sebelah Dae Sung. Gadis itu menundukkan kepala, sama seperti Dae Sung.
“Siapa kau?” tanya Seungri.
“Ini temanku Bos. Dia yang akan membantuku cuci piring malam ini,” jelas Dae Sung.
Seungri menatap Dae Sung kesal. Ia tidak ingin Dae Sung yang menjawab pertanyaannya. “Baru pertama kerja ya?” tanya Seungri lagi.
“Iya Bos, dia cuma sementara kerja di sini,” sela Dae Sung.
“Hey aku bertanya padanya, bukan kau!”
Dae Sung tidak ingin bicara lagi, sementara Ma Ri sedikit bingung, apa yang harus ia lakukan saat pertama kali bertemu pemilik kafe. Apa harus berterimakasih karena bersedia menerimanya bekerja? Atau bilang akan bekerja dengan baik? Atau apa?
“Kau mahasiswa ya?”
“Iya Bos, dia juga satu jurusan denganku, kami sama-sama jurusan sastra,” jawab Dae Sung.
“Kenapa sih selalu kau yang menjawab? Memangnya dia tidak bisa bicara sendiri?” Seungri semakin kesal saja. “Siapa namamu?” ia masih ingin mendengar suara Ma Ri.
“Namaku Kim Ma Ri, Pak,” jawab Ma Ri sopan. Ia bahkan terus menundukkan kepala.
“Jangan panggil aku ‘Pak’! Memangnya aku setua itu?”
Kali ini Ma Ri mengangkat kepalanya dan tanpa sengaja menatap Seungri yang berdiri tepat dihadapannya. Ma Ri sedikit tergagap. Ia takut bosnya marah, tapi di sisi lain ia ingin mengatakan kalau ia mengira Seungri memang sudah tua.
“Maaf Pak,” Ma Ri memilih meminta maaf daripada membuatnya semakin marah.
“Huh, kau ini,” Seungri memang kesal, tapi ia tidak ada waktu untuk mengurus masalah ini. Toh dia hanya pekerja sementara. Ia lalu beralih pada para juru masak yang sedang menyiapkan makanan.
XXX
Seorang wanita berambut pirang panjang sedang berdiri di tengah-tengah ruangan. Malam ini ialah ratu pesta. Ialah yang sedang merayakan ulang tahunnya di kafe ini. Ia tampak senang dan terus tersenyum ramah pada teman-temannya yang menjadi undangan.
Seorang pembawa acara memandu para undangan itu untuk menyanyikan lagu selamat ulang tahun juga meminta wanita itu untuk meniup lilin. “Nona Lee Chaerin, apa harapanmu di ulang tahunmu ini?” tanyanya setelah lilin di atas kue tart besar itu padam. Ia menyodorkan microphone pada wanita yang berulang tahun itu.
Wanita itu tersipu malu dan bingung ingin bicara apa. “Aku ingin mengumumkan sesuatu pada kalian,” ujarnya setelah mengendalikan ekspresi wajahnya yang terlalu gembira. Para undangan menatapnya penasaran.
“Malam ini aku akan memperkenalkan tunanganku,”
Orang-orang di ruangan itu mendadak riuh. Mereka tidak sabar mengetahui siapa orang yang ia maksud. Wanita itu tidak melanjutkan kata-katanya. Ia berjalan menuju salah satu sudut ruangan, menarik pria berkemeja putih yang berdiri di sana hingga ke tengah para undangan. Orang-orang itu semakin ramai.
“Kami akan menikah dalam waktu dekat,” wanita itu berbicara lagi dengan microphone, matanya menatap pria di sebelahnya dengan bahagia. Pria itu nampak gugup, bukan karena wanita itu, tapi lebih karena sorakan orang-orang di kafenya. Ia terus tersenyum karena tidak tahu apa yang harus ia lakukan.
“Selamat Nona Lee,” kata pembawa acara, “Ternyata dia pemilik Panda Cafe ya, wah selamat untuk kalian berdua,”
XXX
Young Bae masuk ke dapur dengan tergopoh-gopoh. Ia masih membawa alat pel di tangannya karena baru saja membersihkan lantai yang terkena tumpahan kopi.
“Ada apa? Kenapa lari-lari begitu?” tanya Dae Sung yang sibuk mencuci gelas-gelas di tangannya. Tiap lima menit sekali piring dan gelas kotor selalu datang mengatri untuk dicuci.
“Kau dengar tidak? Tadi itu,..” Young Bae kesulitan mengatur nafas. Ma Ri yang mencuci piring di sebelah Dae Sung ikut penasaran.
“Bos kita baru saja mengumumkan pernikahannya!”
“Hah?” Dae Sung terkejut, atau lebih tepatnya merasa bingung saat mendengarnya. Ia tidak tahu harus bagaimana menanggapi berita itu. “Jadi yang sedang menyewa kafe ini,...” Dae Sung berpikir sendiri.
“Ya begitulah. Ternyata dia tunangan Bos. Aku juga baru tahu saat mengepel di sana. Sepertinya kita harus memberikan selamat,”
xxx
Keesokan siangnya, Seungri sudah datang menemui Chaerin di butiknya yang terletak di salah satu mall besar di Seoul. Tentu saja, Chaerin dengan bersemangat menyambutnya dengan senang hati. “Mm..., terima kasih ya soal kemarin, pestaku berjalan sukses berkat kau,” kata Chaerin yang langsung mengajak Seungri bertamu di ruang kerjanya. Berbeda dengan Chaerin, Seungri justru tampak gelisah.
“Oh ya, aku juga sudah menentukan tanggal, dan memesan gaun. Sekarang kau bisa menghubungi hotel dan...” kata Chaerin lagi.
“Apa kau yakin soal ini?” potong Seungri. Ia datang ke sini memang hanya untuk menanyakan itu.
Chaerin menatap Seungri tenang. “Apa kau tidak yakin? Apa yang kau khawatirkan?”
Seungri menarik nafas. “Aku bingung,”
“Sudahlah. Kita jalani saja ini. Oh ya, bulan depan butikku ulang tahun yang pertama. Aku ingin menyewa kafemu lagi, bisa kan?”
Pembicaraan hari itu pun berlanjut pada hal-hal seputar bisnis mereka.
XXX
Seungri pergi dari butik Chaerin dengan senang hati. Ia tampak lebih gembira daripada saat pertama datang tadi. Entah apa yang merubah perasaannya hingga seperti itu. Ia bahkan sempat berkeliling mall hanya sekedar untuk melihat apa yang dijual di sana.
“Wah? Kak Seungri?” sapa seorang wanita. Suara yang sangat dikenal Seungri. Ia menoleh ke arah suara itu. Tepat di sana seorang wanita berambut hitam kemerahan sedang melambaikan tangan. Ia buru-buru berjalan mendekat sebelum Seungri pergi. Sepatu berhak tinggi rupanya tidak menyulitkannya berjalan cepat.
“Kenapa Kakak ada di sini? Mencariku ya?” katanya dengan senyum lebar. Seungri mendengus saja. Sungguh merusak suasana hatinya yang tadi sudah lebih baik.
“Hey, Jang Jin Ah, kau memboroskan uang orang tuamu lagi ya?” Seungri nampak sebal melihat dua tas karton yang sedang dijinjing wanita itu. Ia tahu tas itu berisi baju dan sepatu dengan harga mahal.
Wanita itu tertawa saja. “Hihihi, kau juga harus membelikan barang-barang ini untukku, bersiaplah,” katanya sambil mengedipkan mata.
“Huh, bermimpilah. Untuk apa aku melakukannya?”
“Bukannya kita...”
“Tetap bermimpilah sampai tahun depan! Aku tidak lagi dijodohkan dengan putri Presdir Jang lagi! Hahaha, tiba-tiba aku jadi merasa senang!” Seungri kembali berseri-seri. Ia berjalan keluar dari gedung itu, menuju mobilnya yang terparkir, dan segera pergi menuju kafe miliknya.
XXX
Seungri tidak tahu ia sebenarnya sedang senang atau sedih. Terkadang merasa sangat gelisah, lalu tiba-tiba berubah menjadi senang. Dan sekarang perasaan aneh tengah melandanya. Ia tidak tahu apa itu, yang jelas ia merasa tidak bersemangat lagi.
Ia berjalan gontai memasuki Panda Cafe yang sudah buka seperti biasa. Sudah cukup banyak pengunjung dan pegawainya juga sudah bekerja seperti biasa pula. Namun kali ini ia hanya terdiam di tengah ruangan. Ia teringat saat Chaerin mengumumkan pernikahannya di tengah banyak orang malam itu. Ya, sejak malam itu hidupnya akan berubah.
Seungri menghela nafas, mencoba untuk tidak memikirkan semua itu. Tepat saat itu pandangan matanya menajam pada sosok gadis yang sedang sibuk mengepel lantai. Ia masih mengenalinya meski rambut sebahu gadis itu kini terikat.
“Kau yang kemarin? Kenapa ada di sini?” tanya Seungri.
Ma Ri yang mendengar itu seketika menghentikan pekerjaannya.
“Bos! Jung Min masih cuti sakit, Baek Hyun tidak tahu ke mana, Nona Ahn izin mengunjungi neneknya, lalu Yong Bae sepertinya datang terlambat!” teriak Dae Sung dari meja kasir.
“Haish, dasar mereka itu pemalas semua! Siapa yang mengizinkanmu kerja di sini?” kata Seungri dengan sinis. Ma Ri masih terdiam di tempatnya, memeluk gagang alat pel.
“Dia hanya kerja sementara sampai Yong Bae datang Bos,” jelas Dae Sung meski sedang melayani pembayaran.
“Kenapa tiap kali bertanya padanya kau yang menjawab?”
“Kalau aku tidak boleh kerja di sini, aku pergi saja Pak,” kata Ma Ri akhirnya.
“Hey, hey, mau ke mana? Lihat di pojok sana belum bersih,” Seungri menunjuk ke salah satu sudut ruangan. Ma Ri tersenyum senang dan segera melanjutkan pekerjaannya dengan semangat. Seungri tidak sempat melihat ekspresinya karena sudah berjalan naik ke lantai dua, tempat ruang kerjanya berada.
XXX
Ma Ri sangat bersyukur. Kemarin Dae Sung bilang kalau ia bisa bekerja di Panda Cafe tiga kali seminggu. Meski hanya sebagai pegawai bersih-bersih dan cuci piring di sana, setidaknya ia bisa mendapat sedikit uang untuk menunjang biaya hidupnya yang pas-pasan. Siang hari Ma Ri bisa kuliah seperti biasa, lalu di sore hari ia bekerja di kafe hingga menjelang malam.
Malam ini Ma Ri pulang dengan keadaan lelah. Entah bagaimana piring dan gelas kotor di tangannya seperti terus mengalir dan tidak ada habisnya meminta dicuci. Kafe seperti itu saja pengunjungnya banyak sekali, pikir Ma Ri.
Meski lelah Ma Ri masih menguatkan diri untuk menyalakan laptop. Ada pekerjaan menantinya di sana. Beberapa bulan lalu, sebuah redaksi majalah mengiriminya surat, memintanya untuk menulis cerita bersambung di majalah itu. Ma Ri sangat senang. Ia juga sangat ingat saat redaksi majalah yang sama mengirimkan honor untuk naskahnya yang dimuat. Naskah cerita pendek pertamanya yang berhasil dimuat majalah.
Baru dua kali Ma Ri mengirimkan naskah cerita bersambungnya. Ternyata tidak mudah. Ia lelah karena kuliah dan kerja di Panda Cafe, tapi setiap malam harus menerima email yang memintanya segera mengirimkan naskah, tanpa peduli ia masih lelah, tidak punya ide, atau apapun. Pokoknya harus segera dikirim!
Ma Ri juga baru satu kali mengambil honor di kantor majalah itu. Sebenarnya ia sangat penasaran pada siapa yang suka sekali mengirimkan email peringatan deadline. Tapi ia tidak mungkin bertemu dengannya. Biasanya Ma Ri pergi ke kantor majalah itu, menerima honor dari pegawai keuangan, dan pergi begitu saja. Meski begitu, Ma Ri sangat berterimakasih pada editor, kepala redaksi, atau siapapun yang mengurus majalah itu. Tanpa orang-orang itu ia merasa tidak punya harapan menjadi seorang penulis.
XXX
Seungri tampak murung. Panda Cafe semakin laris disewa untuk kepentingan pribadi selama berjam-jam yang artinya pendapatannya semakin bertambah. Tapi ia seperti tidak bersemangat dengan hal itu. Padahal ia selalu senang jika uang terus mengalir, tidak peduli ia harus bekerja sekeras apa, tidak peduli pegawainya juga merasa lelah, semua demi uang!
Demi menghilangkan rasa pusingnya yang bertubi-tubi, ia memilih menyibukkan diri di dapur kafenya sendiri. Di saat para juru masaknya sibuk memasak untuk pesanan para tamu, Seungri justru menggunakan salah satu kompor yang sengaja disisakan untuknya dan membuat resep baru lagi.
XXX
Akhir-akhir ini Ma Ri terpaksa bekerja lembur di Panda Cafe, karena acara pesta pribadi yang membuatnya harus bekerja lebih dari jam normal. Malam ini, sudah hampir jam 11, Ma Ri sempat mencuci peralatan masak dan menatanya kembali di rak. Setelah itu ia buru-buru melepaskan apron kerja berwarna pink cerah itu sebelum bersiap pulang.
“Akhirnya selesai juga,” kata Young Bae yang sedang merapikan tas kecilnya. Ia duduk di bangku panjang, di ruang ganti pegawai. “Berkat kau tugasku sedikit lebih ringan. Pegawai kebersihan yang lainnya sudah jarang masuk kerja,” katanya pada Ma Ri yang juga sedang merapikan isi tasnya di sana.
“Ayo semangat Kak! Meski hanya berdua kita pasti bisa!” Ma Ri masih saja bersemangat meski lelah dan mengantuk.
“Tapi ini tidak sebanding dengan gaji kita! Kita harus menuntut kenaikan gaji! Kita kerja rodi setiap hari!”
Ma Ri sangat tertarik pada ide Young Bae barusan, namun belum sempat ia menanggapi, ponsel di jaketnya yang lusuh sudah bergetar. “Siapa sih ini?” gumamnya sebelum mengangkat telepon. Sudah berkali-kali nomor asing itu menghubunginya. Karena merasa tidak kenal ia selalu mengabaikannya, kecuali saat ini. “Halo?”
“Halo? Benar kau nona..., Kim Ma Ri?” terdengar suara dari ponselnya. Suara yang sedikit aneh.
“Iya, benar. Maaf, ini siapa ya?”
“Aku dari majalah Ladies. Sulit sekali meneleponmu. Kenapa kau belum juga mengirimkan naskahnya? Majalah kita terbit besok!”
“Astaga! Aku lupa! Maaf, maaf, aku sibuk sekali akhir-akhir ini, jadi...”
“Apa? Sibuk? Kau pikir aku tidak sibuk?”
“Ma, maaf, aku akan segera menyelesaikannya,”
Young Bae sudah pergi dari ruangan pegawai itu. Ma Ri yang tergopoh-gopoh karena masalah naskahnya juga berlari keluar. Di saat yang sama, pegawai-pegawai kafe yang lain rupanya belum juga pulang. Mereka masih berkumpul di ruang tengah kafe.
“Hey Ma Ri!” panggil Dae Sung yang juga berada di antara mereka. Ia sudah memegang sendok dan terlihat senang. “Kau langsung pulang?”
“Iya, aku ada,..”
“Jangan pulang dulu. Bos memasak ini khusus untuk kita,” kata Dae Sung sambil menarik Ma Ri yang sepertinya masih ingin mengelak. “Makanlah sedikit, aku tahu kau belum makan sejak tadi,”
“Dae Sung, aku harus,...”
Dae Sung yang tidak peduli mendorong Ma Ri hingga ke tepi meja penuh makanan itu, tepat di sebelah Seungri. “Ini hasil masakan Bos lho! Masa kau tidak menghargainya,”
Ma Ri hanya melihat makanan-makanan lezat itu. Ia memang sangat lapar, namun mengingat suara menyebalkan yang baru saja menelepon membuatnya kehilangan nafsu makan. Demi menghargai bosnya, Ma Ri memaksakan diri mengambil sendok dan menyuapkan sup krim jagung yang tersedia di meja.
“Enak kan?” tanya Dae Sung dengan bersemangat, bahkan hampir membuat Ma Ri tersedak.
“Iya,” memang masakan yang sangat enak, namun Ma Ri mengatakannya dengan ekspresi datar.
“Kalau begitu makanlah yang banyak!” Dae Sung bahkan mengambilkan piring untuk Ma Ri. Tepat saat itu ponsel Ma Ri bergetar lagi. Pasti orang majalah itu lagi yang menelepon. Ma Ri buru-buru mengangkat telepon dan memang benar, orang itu lagi. Ma Ri lalu sibuk meyakinkan editor mengenai naskahnya, berjanji menyelesaikannya malam ini juga.
“Dae Sung, aku buru-buru. Maaf ya, aku pulang dulu,” Ma Ri tidak mempedulikan Dae Sung yang sudah mengambilkan banyak makanan untuknya. Ia berjalan pergi sambil terus menelepon, juga tanpa menoleh pada Seungri yang menatap kepergiannya.
XXX