home_icon
SIGN IN
SIGN UP
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
LOUNGE
HOW IT WORKS
HOW TO BE DFF OF THE WEEK
TERMS OF USE
CONTACT US
  • Latest
  • Most Viewed
  • Most Loved
  • A-Z
  • My Fanfiction
  • My Subscriptions
  • My Subscribers
  • Create New Fanfiction
Fan Fiction > Mary And Me

Mary And Me

Share:
Author : mumutaro
Published : 12 Feb 2014, Updated : 10 Nov 2014
Cast : Bigbang Seungri, Fictional Character, 2ne1
Tags :
Status : Ongoing
0 Subscribes |11320 Views |1 Loves
Mary and Me
CHAPTER 1 : PROLOG

12 Oktober 2013, 11:02 am

Siang yang cerah. Kegiatan di sebuah rumah kecil itu sepertinya berjalan seperti biasa. Beberapa tumpukan kardus sudah diletakkan rapi di sudut ruangan, lengkap dengan tulisan keterangan isi barang di luarnya. Seorang gadis berkaus biru nampak sibuk di sana, menyiapkan tasnya yang usang dan melipat-lipat pakaian yang akan ia bawa. Setelah tasnya tertutup rapat, ia memeriksa isi kardus dan menyegelnya dengan selotip besar.

            “Selesai sudah,” ujarnya sambil menyeka keringat di dahi. Ia mengikat rambut pendek sedagunya dengan karet agar tidak merasa terlalu panas.

            “Hm.., kau benar-benar akan pergi ya?” kata seorang wanita yang baru saja masuk ke ruangan itu. Raut wajahnya nampak tidak begitu senang. Ia juga masih membawa barang-barang belanjaannya yang cukup banyak. Semua itu adalah bahan-bahan masakan yang akan ia jual di kedai minumnya tiap malam.

            “Iya,” jawab gadis itu singkat. Ia tahu Ibunya tidak menyukai rencananya untuk pindah ke Seoul, namun sifatnya yang keras kepala membuatnya berusaha untuk tidak mempedulikan ini.

            “Iya-iya, pergi saja sana ke Seoul! Aku tahu kau akan belajar rajin di sana. Tidak masalah kalau tidak ada yang membantuku berjualan tiap malam setelah ini,” kata  wanita itu. Ia meletakkan belanjaannya di tempat biasa. “Dan kau pasti tahu kalau aku tidak bisa mengirim banyak uang untuk hidupmu di sana,” lanjutnya lagi.

            Wanita masih menggerutu. Ia masih tidak rela putri satu-satunya pergi meninggalkan rumah sewaannya yang kumuh ini. Tidak akan ada yang membantunya berjualan setiap malam mulai sekarang. Tapi selain karena masalah itu, ia sebenarnya juga merasa kesal karena hal lain. “Huh, tadi aku bertemu Nyonya Jung dan dia membangga-banggakan anak gadisnya yang sebentar lagi akan menikah dengan anak seorang pejabat! Cih! Benar-benar terlihat murahan sekali! Ia pasti hanya mengejar harta, ck, ck,” ia mengomel tidak jelas sembari menegak araknya yang sudah tersedia di meja.

            “Ibu jangan minum terus!”

            “Tapi yah..., hanya itu yang bisa kita lakukan. Orang tidak berguna seperti kita ini bisa apa? Ya kan? Hahaha,”

            Putrinya hampir menyela lagi sebelum ia mulai bicara,”Kemarin malam Song Jun Ki datang ke kedai. Kau tahu, ternyata dia sudah mengajar di SMA. Walaupun hanya seorang guru, ia terlihat baik dan tampan. Aku selalu berharap kau menikah dengannya, hahaha!”

            “Ibu ini bicara apa sih? Masih siang, jangan mabuk-mabukan dulu,” gadis berkuncir itu awalnya merasa kalau Ibunya sedih karena dirinya akan pergi. Tapi sepertinya tidak juga. Ia mulai mengerti arah pembicaraan ini.

            “Untuk apa kau jauh-jauh ke Seoul, menghabiskan uang saja! Lebih baik uang itu untuk biaya sewa rumah ini. Kalau kau menikah dengan Song Jun Ki setidaknya bebanku juga akan berkurang,”

            Gadis berkuncir itu tidak menanggapi perkataan Ibunya yang mabuk dan selalu berpikiran pendek. Sudah terlalu sering Ibunya bicara begitu meski tidak sedang mabuk sekalipun. Ia memilih tidak menanggapinya dan membereskan beberapa amplop yang ada di meja tulisnya. Sebagian sudah sempat ia buka, namun sebagian lagi masih tertutup rapat.

            “Kau juga tidak perlu membuat tulisan-tulisan tidak berguna itu! Aku tahu pasti mereka mengirimnya kembali kan?”

            Gadis itu mengiyakan tanpa suara. Isi amplop-amplop itu adalah naskah-naskahnya yang ditolak penerbit, sebagian juga ditolak oleh redaksi koran dan majalah. Mereka selalu menuliskan surat berisi permintaan maaf, penjelasan bahwa naskah itu tidak sesuai dengan kriteria mereka—atau sebenarnya tidak terpilih untuk dimuat—dan pesan untuk tidak menyerah mengirimkan naskah lagi.

            “Kau tidak akan mendapat uang dengan cara itu! Tidak akan! Sebaiknya bekerja saja di kedai kita di pinggir jalan,”

            Gadis itu masih diam. Ia meraih amplop-amplop lainnya.

            “... Dan kau masih tetap bersikeras untuk kuliah di Seoul?”

            “Maafkan aku Ibu,” lirihnya. Ia sudah bertekad meski semua orang mengatakan itu sia-sia. Ia tidak punya banyak uang dan tidak kenal siapapun di Seoul. Namun ia tetap memilih jalannya sendiri. Ibunya masih meracau akibat mabuk. Ia terus mengatakan kalau semua itu tidak ada gunanya.

            Gadis itu tidak bergeming. Ia menyadari kalau ia tidak lebih dari orang tidak berguna, atau lebih tepatnya lagi dia adalah seorang penulis yang tidak menghasilkan apa-apa. Tapi digenggaman tangannya saat ini, sebuah amplop berwarna cokelat tua dengan tulisan nama Kim Ma Ri tertulis di sana. Beberapa lembar uang ada di dalamnya, disertai sebuah surat yang menyatakan kalau uang itu adalah honor dari naskahnya yang dimuat. Gadis itu tersenyum sendiri. Ini adalah awalnya, dan dia tidak akan menyerah sekarang.

 

XXX

 

12 Oktober 2013, 07:07 pm 

Malam yang sunyi di sebuah rumah besar. Aroma harum masakan mengudara ke seluruh penjuru ruangan. Pria itu tengah memotong sayuran dan memasukkannya dalam panci berisi air mendidih. Setelah memasukkan bumbu, mengaduk, lalu memasukkan bahan lainnya, ia meraih sendok dan mencicipi sedikit kuah masakannya.

            “Hmh..,” Ia tersenyum senang. Masakannya sangat enak bahkan menurutnya sendiri. Ia yakin semua orang akan sependapat dengannya.

            “Aku akan jadikan ini menu baru di kafe, hahaha, uang datanglah padaku,” ia bicara seolah sedang mengucapkan mantra pada masakannya yang mengepul di atas kompor.

            Terdengar suara ponsel berdering. Pria itu buru-buru mematikan kompor dan berlari ke tempat ponselnya diletakkan. “Halo? Ibu? Apa kabarmu?” ia melompat kegirangan. Sudah lama sekali ia tidak mendengar suara ibunya yang tinggal di luar negeri.

            “Ya ampun, sepertinya kau senang sekali ya, hahaha,” terdengar suara riang seorang wanita dari ponsel itu.

            “Ibu tahu? Aku membuat resep baru lagi hari ini!”

            “Hmh, Ibu harus mencobanya,”

            “Tentu saja. Kapan Ibu pulang ke Seoul?”

            “Maaf,... Ayah dan Ibu masih sibuk. Besok saja kami harus ke San Fransisco untuk...”

            “Ah! Sudah kuduga akan seperti itu!” pria itu merajuk seperti anak kecil. Namun wanita di ujung telepon malah tertawa tanpa rasa bersalah.

            “Kau ini seperti anak kecil saja! Kau sendiri bisa mengunjungi kami kapanpun kau mau kan?”

            “Iya sih, tapi,..”

            “Tentu saja Ayah dan Ibu akan pulang secepatnya kalau kau menikah,”

            Pria itu langsung tersedak. Wajahnya yang tadi riang berubah kusut. Tahu begini ia tidak akan mengungkit kapan orang tuanya pulang.

            “Bagaimana?” tanya Ibunya.

            “Ck, kenapa masih saja membahas itu. Aku masih muda dan ingin bersenang-senang,” protesnya. Ia tahu Ibunya akan menyodorkan nama-nama wanita yang sudah pasti adalah nama anak-anak rekan bisnis Ayahnya. Ia bersyukur sudah berkali-kali lolos dari pernikahan bisnis macam itu. Semua orang tahu, pernikahan bisnis tidak lebih dari cara perusahaan mengikat kontrak kerjasama dengan perusahaan lain. Sebagian keluarga pengusaha memang melakukan itu demi membangun kerajaan bisnis mereka.

            “Aku tidak berminat pada mereka,” lanjut pria itu lagi. Ia sudah bosan menolak nama-nama wanita pewaris perusahaan yang diajukan Ibunya.

            “Ya sudah kalau begitu mana calonmu sendiri?”

            Pria itu tersedak lagi. Ia bahkan terbatuk-batuk karena nafasnya tercekat. Ini lebih buruk dari daftar nama-nama wanita yang akan dijodohkan padanya. Bagaimanapun ia sudah tergolong pria yang mapan. Di usia muda ia sudah membangun usaha kafenya yang kini semakin berkembang. Ia tidak lagi mengandalkan uang hasil kerja orang tuanya karena ia sudah menghasilkan uang sendiri. Tapi jujur saja, sampai detik ini ia tidak punya pengalaman apapun dengan wanita karena terlalu sibuk bekerja, walau sebenarnya hal itu lebih disebabkan karena ia pria yang terlalu pemalu. 

            “Apa sih yang Ibu bicarakan? Oh ya, tadi saat memasak aku,..” ia mencoba mengalihkan pembicaraan sekenanya. 

            “Ibu tidak mau dengar kau masak-masak lagi! Laki-laki macam apa kau ini, harusnya istrimu yang memasak untukmu, ck, ck,”

            Pria itu membuang nafas kesal. Ia selalu tidak suka dengan pemikiran Ibunya masih kolot. “Pokoknya tahun ini kau harus menikah! Kalau tidak terpaksa Ibu menjodohkanmu dengan putri Presiden Direktur Jang,”

            Pria itu masih ingin membantah tapi Ibunya terlanjur menutup sambungan telepon. Kini ia duduk terdiam karena bingung. Ia sudah lupa dengan masakannya yang perlahan dingin di atas kompor. Ia tidak ingin makan malam kalau sudah begini.

            Ia masih ingat saat dengan terpaksa menemui putri Presdir Jang beberapa bulan lalu. Gadis manja itu benar-benar menyebalkan! Membayangkannya saja sudah membuat muak. Untuk sesaat ia memilih untuk pasrah. Putri Presdir Jang mungkin tidak buruk untuknya, namun itu sebelum ponselnya berdering lagi.

            “Halo? Ya Chaerin, ada apa? Aku tidak sedang di kafe kok,” jawabnya dengan suara datar.

            “Seungri..., bisa menemuiku sebentar?”

 

XXX

POPULAR FANFICTION

BERITA PILIHAN

COPYRIGHT 2024 DREAMERS.ID PUBLISHED BY DREAMERS NETWORK