“Kau mau mengajakku kemana?” tanyaku pada Kris yang sejak tadi mengemudikan motornya pelan menuju daerah yang tidak terlalu aku kenal.
“Entahlah, berkeliling,” jawabnya tanpa mengalihkan perhatiannya dari jalan di depan.
Aku hanya mampu terdiam. Sebenarnya aku merasa canggung membonceng motornya, duduk di posisi yang sangat dekat dengannya seperti ini tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Di satu sisi jantungku berdegup kencang karena Kris, namun di sisi lain perasaanku masih kacau memikirkan Sehun.
Aneh pasti rasanya bangun tidur tanpa gangguan dari suara Sehun, berjalan ke sekolah sendirian, duduk di bangku kelas tanpa ada seseorang yang duduk di sampingku dan terus-terusan memarahiku gara-gara aku lambat dalam menangkap pelajaran. Mungkin bagi orang lain ini berlebihan. Namun bagiku yang sejak kecil tumbuh bersamanya dan tidak memiliki teman sedekat dirinya, ini benar-benar merupakan hal yang sulit. Dia sudah seperti bayanganku yang jika aku membutuhkannya, aku hanya perlu membelakangi cahaya, dan dia akan selalu hadir.
Tidak terasa air mata mengalir dari sudut mataku. Badanku rasanya lemas sekali. Tak sadar aku menyandarkan kepalaku di punggungnya. Aku bisa merasakan Kris sedikit terkejut dengan apa yang aku lakukan, namun ia tetap tidak bergerak dan membiarkanku seperti ini. Aku bisa merasakan jas seragam yang Kris kenakan mulai basah terkena air mataku. Entah berapa lama aku berada dalam posisiku seperti ini, dan Kris tetap melajukan motornya perlahan, berkeliling di daerah-daerah yang belum pernah aku lewati sebelumnya.
Matahari mulai terbenam, lampu-lampu mulai terlihat menghiasi jalan disekitar kami. Aku mengangkat kepalaku.
“Miane,” ucapku perlahan. Dari sini aku tidak bisa melihat wajah Kris dalam helm fullface-nya. Aku tidak tahu apa yang ada dalam pikirannya menghadapi sikapku yang seperti ini. Aku hanya berharap ia tidak marah dengan tingkahku. Aku tidak mau berpikiran yang tidak-tidak, memikirkan Sehun saja sudah membuatku lemas seperti ini.
“Ania... Kau sudah baikan?” tanyanya dengan suara lembut dari balik helmnya.
“Ne... Kau... kau mau mengajakku kemana? Bukankah tadi kau bilang kau akan mengajakku ke tempat yang nyaman untuk menenangkanku?”
“Bukankah nyaman seperti ini?”
“Maksudmu?” tanyaku tidak mengerti dengan ucapannya.
“Bukankah ini tempat yang nyaman dan membuatmu jauh lebih tenang?” ucapnya sambil menepuk punggungnya tempatku menyandarkan kepala tadi. “Aku sengaja mengalungkan tasku di depan, agar kau bisa merasa lebih nyaman menggunakannya,” ucapnya.
Mukaku mendadak memerah, untung Kris tidak melihatnya.
“Yaaa, apa maksudmu?” aku memukul pelan punggungnya.
“Hahaha, kau sudah benar-benar baikan kan?” ucapnya sambil mengerem motornya, memberhentikannya tepat di samping taman kota. Ia melepas helmnya dan membalikkan badannya, menatapku, memastikan aku sudah tidak menangis lagi. “Lama juga membuatmu berhenti menangis,” Kris melemparkan senyumannya padaku setelah memastikan keadaanku. “Aku tahu tempat untuk memakan tteokbokki enak di sini, kajja! Kita kesana!” lanjutnya sambil menunjuk warung tteokbokki kecil di pinggir taman ini.
...
“Kau sudah sangat dekat ya dengan Sehun?” tanyanya sambil memakan satu suap tteokbokki yang barusan dipesannya. Ia sepertinya sangat penasaran dengan sikapku sejak tadi, mengapa aku bisa sesedih ini melepas Sehun pergi. Dan ia baru berani menanyakannya sekarang.
Aku menganggukkan kepalaku, “kami berteman bahkan sebelum kami lahir mungkin,” jawabku asal.
“Aaah... Pantas kau sangat sedih. Aku belum pernah punya teman yang seperti itu. Selama ini aku hanya dekat dengan hyungku,”
“Ya, aku menganggap Sehunie seperti saudaraku sendiri. Mungkin aku sedih seperti ini juga karena aku merasa selama ini aku tidak bisa berbuat yang sebaik dia lakukan padaku. Aku tidak bisa ada dan selalu hadir di sampingnya saat dia membutuhkanku. Sementara dia bisa melakukannya untukku...” jelasku panjang lebar. Kris mengangguk, mencoba untuk memahami berada di posisiku.
Aku benar-benar tidak pernah membayangkan sebelumnya akan menjalani waktu-waktu seperti ini. Duduk berhadapan dengan seseorang yang aku anggap sebagai ‘Love at The First Sight’-ku, mengobrol, bahkan tadi menangis di punggungnya.
“Mmm, kau pandai menggambar?” tanyanya, terdengar random. Aku pikir dia hanya mencari topik pembicaraan untuk menghindari kecanggungan.
“Ani, wae?”
“Padahal gambar itu bagus. Gambar itu, gambar wajahku yang aku lihat di bukumu,” tatapannya terlihat meledekku.
“Aaaah! Ani! Itu temanku yang meminta untuk digambarkan wajahmu! Jinjja!” jawabku panik mengingat kejadian saat tracking lalu. Babo, babo... kenapa dia masih mengingatnya... gerutuku dalam hati.
“Jinjja? Chingu? Nugu? Jinjja?” nadanya semakin terdengar seperti meledekku.
“Geumanhae. Jinjja! Lagipula untuk apa aku menggambarmu?” aku berusaha melakukan pembelaan.
“Hahaha geure, arraso”
...
Drrrt... hape Kris yang diletakkan di atas meja bergetar. Tak sengaja aku melihat nama ‘Daniel Hyung’ terpampang di layarnya. Kris segera meraih hapenya dan membaca SMS yang masuk dari hyungnya itu. Tiba-tiba raut wajahnya berubah, terlihat panik dan bingung.
“O... Ottoke?” tanyanya sambil menatapku. Ia menyerahkan hapenya padaku, memintaku untuk membacanya.
Glek! Aku menelan satu suapan besar tteokbokki yang belum aku kunyah sempurna, kaget membaca sms dari hyungnya Kris.
Aku tahu kau masih bersama Sarah, benar kan? Hari ini aku pulang awal, dan aku sudah memesan banyak makanan. Ajak yeojachingumu ke rumah. Aku ingin mengenalnya secara resmi. Aku tunggu di rumah ^^
Mataku membelalak. “Ottoke??” aku bertanya balik. “Kau bilang saja kau tidak sedang bersamaku,” saranku sambil ikut bingung.
“Andwe, tadi siang aku sudah terlanjur minta izin pulang terlambat pada hyung karena ingin mengantarmu...”
“Lalu bagaimana? Bilang saja kau tidak membaca sms darinya?” saranku lagi.
“Dan kita akan terus bersembunyi? Bukankah sebaiknya kita datang saja dan menjelaskan pada hyung kalau hyung salah mengiramu? Bukankah kalau kita terus menghindarinya, hyung justru akan mengira kita benar-benar berpacaran namun kita takut dan menyembunyikannya pada hyung?” ucapnya. Aku terus mencerna kalimatnya. Ada benarnya juga, lebih baik kami datang dan menjelaskan yang sebenarnya.
“Ah... Geure, kita jelaskan yang sebenarnya...” jawabku menyetujui usulannya walaupun sebenarnya aku merasa agak ragu. Entahlah, dari hati kecilku aku merasa dikira sebagai yeojachingu Kris rasanya senang juga.
“Jinjja? Kau mau kan ikut ke rumahku menemui hyung?”
Aku menganggukkan kepalaku. “Ne... tapi, jangan pulang terlalu larut,” lanjutku.
“Geure, kajja kita berangkat sekarang sebelum terlalu larut...”
...
Di jalan aku hanya terdiam, begitupula Kris. SMS dari hyungnya Kris membuat suasana menjadi kaku. Angin dingin menerpa badanku. Pemandangan lampu-lampu malam terlintas selama perjalanan.
Badanku tiba-tiba terasa sangat lemas, aku yakin ini karena aku sangat kelelahan hari ini. Aku sudah sangat banyak menguras emosiku hari ini. Sepertinya energiku terkuras juga. Beberapa saat pandanganku terasa kabur. Terpaan angin malam membuat badanku semakin kedinginan.
Pandanganku kembali kabur, keringat dingin keluar dari pelipis dan tanganku...
Bruk!
Aku tak mengingat apapun setelah itu, sampai aku sadar... aku berada di bawah balutan selimut putih tebal, di tempat yang sama sekali tidak aku kenal. Handuk kompres air hangat menempel di dahiku. Aku berusaha membangkitkan badanku.
Tidak ada siapapun di ruangan ini. Aku edarkan pandanganku ke sekeliling ruangan. Beberapa deret foto dua orang anak yang tidak asing bagiku terpasang di dinding ruangan itu, begitu pula di atas meja. Kris dan hyungnya. Ini rumah Kris. Aku menatap ke arah jam dinding yang terpasang di dekat jendela, pukul dua tepat. Mataku membelalak. Pukul dua malam! Aku pasti sudah gila, tidur di tempat asing, sampai selarut ini. Biarpun Ibu masih di Jepang, rasanya Ibu pasti tetap akan mengkhawatirkanku kalau aku tidak segera pulang. Aku segera bangkit dari kasur meski rasanya badanku masih lemas. Aku menguatkan diri untuk berjalan menuju pintu. Tiba tiba kilatan cahaya dari layar hape yang terletak di atas meja belajar mengalihkan perhatianku. Entah itu hape siapa. Low battery. Tulisan itu terpampang di layarnya. Entah mengapa, melihat wallpaper hape itu membuatku penasaran.
Tanpa aku sadari aku sudah duduk di kursi samping meja belajar itu, menyentuh hape yang tergeletak itu dan membuka layar hapenya. Tidak dikunci. Aku melihat-lihat foto Kris di hape itu, sepertinya ini hape Kris. Kris memang tampan, batinku menatap foto-foto Kris sambil mengembangkan senyuman tipis di bibirku tanpa aku sadari.
Deg! Badanku mendadak dingin melihat foto di layar hape yang aku genggam ini. Satu foto yang tersimpan di galerynya, disamping foto-foto Kris. Aku mengamati lekat-lekat foto itu. Ini... ini kan... ini gambar wajah Kris yang ada di diaryku... batinku. Tanganku sedikit bergetar. Jantungku berdegup lebih cepat dari sebelumnya. Mengapa Kris memfotonya dan bahkan bahkan menyimpannya? Dengan penuh rasa penasaran meskipun ragu, aku melihat-lihat lagi gambar setelahnya. Namun aku hanya menemukan foto-foto Kris dan hyungnya. Ah, mungkin dia menyukai gambarku... ujarku menjawab rasa penasaranku sendiri.
Setengah sadar aku menekan tombol message, melihat beberapa nama di recent messagenya. Aku menscroll ke bawah. Jantungku terasa berdegup semakin keras. Tanganku bergetar semakin kencang. Namaku! Ada Namaku! Messagenya masih dalam draft, tidak dikirim.
Sarah, maaf dan terimakasih untuk malam kemarin. Terimakasih kau telah membuatku merasa lebih tenang...
Krek... belum sempat aku selesai membaca isi sms itu, pintu kamar terbuka. Bertepatan dengan itu, hape yang aku pegang ini mati karena low battery.
“Kau sudah baikan?” suara lembut yang sangat tidak asing bagiku. Aku menatap wajah Kris yang tampak kelelahan.
“Miane,” ujarku pelan lalu meletakkan hape itu kembali ke tempatnya. “Jeongmal miane,” ucapku.
“Gwenchana? Aku baru saja akan mengganti kompresmu, tadi kau pingsan,” ucapnya. Sorot matanya begitu tenang namun hangat. Aku bisa melihat kantung di bawah matanya, sepertinya ia tidak tidur.
“Gwenchana, jinjja. Maaf aku sangat merepotkan. Aku benar-benar minta maaf...”
Kris tersenyum, “tak apa, kau istirahatlah saja lagi... Kau masih demam,” ucapnya setelah memegang dahiku untuk memastikan keadaanku.
“Ani... aku ingin pulang,” jawabku.
“Ini jam dua malam, dan kau masih sakit. Kalau kau pulang, kau akan sendirian di rumah, tidak ada yang bisa membantumu kalau kau butuh sesuatu. Tidurlah di sini dulu, kalau kau merasa tak nyaman, kunci saja pintunya, aku dan hyung di luar... Besok pagi aku akan mengantarmu pulang,” jelasnya. Suaranya terasa begitu hangat. Aku hanya terdiam. Kris sempat melihatku memegang hapenya namun ia tak berkata apapun. Setelah Kris menutup pintu kamar, aku kembali ke tempat tidur.
Mungkin ini sudah benar-benar gila. Aku tidur di tempat yang asing, bahkan ini rumah milik namja, namun aku justru merasa tenang dan nyaman. Suaranya barusan masih terdengar jelas di telingaku, begitu menenangkan. Ini kali pertama aku melihatnya sebagai seorang yang begitu memperhatikanku. Rasanya aku semakin menyukainya. Ini mungkin bukan lagi love at the first sight. Semakin aku mengenalnya, aku semakin suka.
...