Hari ini sekolah rasanya sepi sekali. Bahkan teriakan-teriakan gaduh anak-anak di sepanjang koridor pun rasanya tidak bisa aku dengarkan.
Aku melirik bangku tepat di sampingku. Tidak ada yang mengajakku mengobrol di pelajaran membosankan ini. Tidak ada yang dengan sabar berusaha menjelaskan ulang apa yang telah disampaikan karena aku bukan orang yang mudah menangkap pelajaran. Baru satu hari Sehun tidak masuk, rasanya sudah sehampa ini.
Hari ini Sehun tidak masuk sekolah. Sehun akan packing untuk mempersiapkan keberangkatannya ke Jerman. Pesawatnya akan berangkat sore ini. Sebenarnya aku ingin sekali membolos sekolah hari ini. Aku ingin membantu Sehun packing, dan yang paling aku inginkan adalah berlama-lama dengannya. Berbicara dengannya, menatapnya, mendengarkan suaranya selama mungkin sebelum ia harus benar-benar pergi dan aku harus merindukannya.
Masih teringat jelas di telingaku, suara Sehun yang terdengar agak marah mendengarku mengatakan di telepon bahwa aku akan bolos sekolah dan membantunya packing. Sehun melarangku untuk membantunya dan tetap memintaku untuk sekolah hari ini. Apasih yang ada di pikirannya? Berangkat sekolah tanpanya hari ini rasanya wasting time sekali. Tak satupun yang diutarakan guruku tertambat di otakku. Bukankah lebih baik kalau saat ini kita sedang bersama-sama menghabiskan waktu sebeleum kamu berangkat? gerutuku dalam hati.
...
Bel istirahat berbunyi.
Seperti hari-hari biasanya, kantin sekolah pasti ramai sekali. Lebih baik duduk di bawah pohon di pinggir lapangan dan menikmati sejuknya angin di sana daripada harus berlama-lama antri dan berdesak-desakan di kantin.
Biasanya Sehun akan menemukanku duduk di sini sendirian karena ia tahu kalau aku tidak mau ke kantin. Aku melemparkan pandanganku jauh kedepan. Aku berusaha mengingat apa saja yang biasa aku dan Sehun bicarakan di sini, dan berusaha menyimpan memori itu agar aku tidak melupakannya saat ia sudah pergi.
Aku masih menetap kosong lapangan di depanku saat aku menyadari ada seseorang menyodorkan es krim padaku dari belakang. Aku begitu terkejut dan langsung membalikkan badanku.
“Yaaa, Seh...” seketika ucapanku terputus menyadari seseorang yang menyodorkan es krim ini bukan Sehun melainkan Kris. Kris tersenyum dan segara duduk di sampingku. Deg!
“Ah, maaf aku kira kau Sehun...” ucapku.
“Ini ambil, cocok di udara yang panas ini,” Kris menyerahkan es krim coklat padaku. Ia menggenggam satu es krim lagi di tangannya, rasa mocca.
Apa ini? Kenapa dia tiba-tiba kesini? Batinku. Tiba-tiba pikiranku menjadi lebih kacau.
“Kau kenapa? Tidak biasanya kau terlihat kosong seperti ini?” tanya Kris membuka percakapan.
Tiba-tiba pikiranku berputar cepat mencerna kata ‘tidak-biasanya’ yang ia ucapkan. Bukankah kata ‘tidak-biasanya’ berarti dia sering mengamatiku sehingga tahu bahwa biasanya aku tidak terlihat lesu. Plis jangan salah fokus dulu Sarah, batinku.
“Tidak biasanya?” otak dan mulutku rasanya tidak tersinkron dengan benar. Pertanyaan ini tiba-tiba muncul dari mulutku padahal aku sudah melarangnya untuk keluar.
“Ah, maksudku kau ini sepertinya tipe cewek yang ceria, jadi aneh rasanya kalau tiba-tiba kau terlihat duduk murung di sini,” jawab Kris seperti bisa menangkap gelagatku.
“Oh...” aku hanya mengangguk lalu mencomot es krim coklat darinya. Dari sudut mataku aku bisa melihat Kris sedang menatapku. Es krim yang ia pegang tidak segera ia makan, walaupun panas siang ini membuat es krim tersebut cepat meleleh. Badanku terasa dingin dan kaku melihatnya seperti ini. Jantungku berdegup kencang dan aku yakin mukaku merah saat ini.
“Oh ya, mana Sehun?”
“Dia tidak masuk hari ini... dan tidak akan masuk lagi...” jawabku mendadak lemas mendengar kata ‘Sehun’.
“Maksudmu?” Kris terdengar kaget.
“Sehun akan pindah ke Jerman. Sore ini dia berangkat,”. Sepertinya Kris mulai paham mengapa aku terlihat lesu seperti ini. “Haah... aku harap aku bisa pulang cepat agar tidak terlambat ke bandara untuk mengantar Sehun pergi...”
“Emm... kau... mau aku antar?” tanyanya.
Aku menatapnya. Yang benar saja tiba-tiba dia ingin mengantarku ke sana. Jantungku berdegup semakin kencang.
“Itung-itung, sebagai ucapan terimakasihku untuk malam itu,” ucap Kris sambil tersenyum, “Lagipula, kau nanti siang ada jam tambahan pelajaran kan? Kalau setelah itu kau ke bandara naik bus, bisa-bisa kau terlambat,”
“Kau tahu aku ada jam pelajaran tambahan?” tanyaku kaget. Bahkan aku sendiri kadang lupa kalau ada jam tambahan setiap dua hari sekali. Bagaimana bisa dia justru tahu? Aku menganggukkan kepalaku tanda menyetujuinya.
“Sarah, aku ingin tanya sesuatu,” ucapnya sambil mulai memakan es krimnya yang sudah agak meleleh.
“Apa?”
“Malam itu, kau bertemu hyungku? Apa yang dia katakan padamu?”
Aku berusaha memutar ulang rekaman kejadian malam itu di otakku.
“Dia bercerita banyak tentangmu,” jawabku singkat meski apa saja yang terjadi malam itu masih teringat jelas di otakku, bahkan untuk setiap kata yang mereka ucapkan masih aku ingat. Sepertinya aku masih belum mampu untuk berbicara banyak dengannya. Setiap dia menanyakan sesuatu saja rasanya jantungku sudah mau keluar.
“Ah... Sebenarnya aku ingin menanyakan ini padamu Sarah. Apa kau tahu kenapa hyungku selalu berkata seperti ini,” sebelum Kris melanjutkan kalimatnya, ia merapikan dasi seragamnya dan mulai berbicara meniru hyungnya dengan suara berat, “Kris, mana yeojachingumu? Kapan kau ajak dia kesini? Aku tahu kau sudah dewasa, jadi aku tidak akan memarahimu kalau kau punya yeojachingu. Lagipula dia terlihat sangat baik. Jangan kau suruh dia untuk sembunyi-sembunyi dariku, kapan kau akan memperkenalkannya padaku secara resmi?”
Mendadak aku tercekat kaget mendengar ucapannya. Aliran darah di tubuhku seperti terhenti sesaat. “Uhuuuk!” sebongkah es krim yang baru saja aku comot sebelum Kris bercerita membuatku tersedak. Beberapa tetes tersembur keluar. Mataku membulat dan wajahku sudah seperti kepiting rebus saking merahnya. Jantungku berdegup tidak aturan. Aaaaaargh aku benar-benar bodoh. Kenapa pakai acara kaget berlebihan seperti ini? Aku semakin tidak bisa berpikir dengan benar. Aku segera bangkit dan membersihkan seragam putihku dari semburan es krim coklatku.
Tiba-tiba Kris ikut bangkit. Ia mengangkat tangannya dan mengusap mulutku yang penuh es krim coklat dengan ibu jarinya. Aku menatapnya kaku. Benar-benar kaku dan tak tahu apa yang harus aku lakukan. Ini perlakuan yang tidak asing bagiku. Sehun sering melakukan ini saat aku makan es krim. Tapi mendapatkan perlakuan ini dari Kris benar-benar membuatku merasakan hal yang berbeda. Melihatku seperti itu, Kris juga ikut menatapku. Eye contact. Suasana benar-benar menjadi hening. Aku tidak bisa mendeskripsikan lagi bagaimana detak jantungku sekarang.
“Mian,” ucapku salah tingkah membuang tatapanku dari matanya. Aku kembali membersihkan bajuku.
“Ah, aku yang minta maaf. Gwenchana?” ucapnya terdengar panik.
“Tak apa, miane aku kaget mendengar apa yang hyungmu katakan...”
“Ah, hyungku mungkin salah mengira kau sebagai yeojachinguku, hahaha” ucapnya sambil tersenyum berusaha mencairkan lagi kondisi awkward tadi. “Sebentar lagi masuk, kau lebih baik ke kamar mandi dulu untuk membersihkan seragammu. Nanti siang aku tunggu di depan sekolah oke?” lanjutnya.
Aku anggukkan kepalaku dan bergegas pergi. Jantungku benar-benar bekerja dengan sangat keras barusan. Aku berjalan menuju kamar mandi sambil menyentuhkan tanganku ke pipiku. Dingin, dingin sekali tanganku.
...
Kris sudah duduk di atas motornya dan menunggu saat aku keluar dari sekolah.
“Kajja!” Kris menyodorkan sebuah helm padaku.
Aku segera duduk di belakangnya. Kris mulai menjalankan motornya.
“Pegangan,” ucapnya dan melajukan motornya semakin cepat. Aku menggenggam erat tas punggungnya. Rasa canggung gara-gara kejadian tadi masih terasa. Hanya berpegangan pada tas punggungnya membuatku merasa agak tidak seimbang, sementara Kris terus melajukan motornya dengan kecepatan tinggi, tidak ingin aku terlambat mengantar Sehun pergi, namun aku tentu saja tidak bisa berpegangan di pinggangnya, aneh rasanya.
...
Jam menunjukkan pukul tiga tepat. Aku bergegas mencari Sehun di bandara. Pesawatnya berangkat sekitar 45 menit lagi. Kris berjalan di sampingku, mengikutiku kemana aku pergi. Tak satu patah kata pun terucap darinya, mungkin dia tidak ingin membuat perasaanku menjadi semakin tidak enak. Ya, tenggorokanku sudah terasa sangat perih. Air mataku sudah terkumpul di sudut mata mengingat sebentar lagi Sehun benar-benar akan pergi.
“Sarah!” ucap seseorang dari kejauhan. Suara Sehun.
Aku segera berlari menghampirinya.
“Akhirnya kau datang juga,” ucapnya sambil mengacak rambutku. “Oh, Kris Sunbae. Annyeonghaseo... Kau datang dengan Kris Sunbae?” tanya Sehun sambil melambungkan senyumnya. Aneh, ada yang aneh dengannya. Aku melihat matanya tampak sembab. Aku menatapnya lekat-lekat. Ini hanya pikiranku saja atau mungkin ini benar terjadi. Mungkin ini alasan mengapa Sehun melarangku datang ke rumahnya dan membantunya packing. Sehun tadi menangis, sorot matanya tidak bisa berbohong. Senyumannya terlihat sedikit dipaksakan. Ini membuatku semakin tidak kuat untuk menahan air mataku keluar.
“Yaaa, kau sudah janji untuk tidak menangis lagi,” Sehun menepis air mata yang jatuh di pipiku. Aku berusaha menarik nafasku dalam dalam dan menahan tangisku.
“Kajima...” ucapku lirih.
“Aku akan belajar dengan sungguh-sungguh, aku akan baik-baik saja, begitupula kau,” jawabnya terlihat begitu tegar. Sebenarnya aku ingin berkata, Sehun, kau sebenarnya sedang membohongi dirimu sendiri. Menangislah kalau kau ingin menangis. Matamu tidak bisa berbohong... namun aku urungkan niatku untuk berkata seperti itu saat melihatnya berusaha begitu keras untuk nampak tegar di depanku. Hampir dua puluh menit kami lewatkan hanya dengan diam. Sesekali aku menatapnya. Aku merasa, justru dalam diam inilah sebenarnya kami semakin dekat. Sampai akhirnya Sehun harus benar-benar masuk ke pesawat. Aku memeluknya erat. Rasanya aku tidak ingin melepasnya. Air mataku kembali jatuh dan membasahi bajunya.
“Aku akan sering pulang kesini. Kau jangan khawatir. Kita juga bisa video call. Mungkin kau tak akan menemukan orang sepertiku lagi di sini. Namun aku yakin kau akan menemukan yang bahkan lebih baik dariku. Mulailah mencari teman,” kata-kata perpisahan darinya. Aku sungguh membencinya.
“Kabari aku kalau kau sudah sampai. Hati hati Sehunie, kau tidak akan melupakanku kan?” hanya itu yang mampu aku ucapkan sambil melepaskan pelukanku. Sehun tersenyum dan merapikan rambutku yang tadi diacaknya. Ia mulai mengangkat kopernya dan memakai jaketnya. Mataku tidak bisa lepas dari punggungnya saat ia berjalan menjauh, bahkan sampai saat pesawat yang ia naiki tinggal landas.
Aku menghela napasku panjang dan mengusap air mata yang masih tersisa di pipiku. Kini Sehun sudah benar-benar pergi. Aku masih tidak tahu apa yang harus lakukan tanpanya di sampingku setelah ini.
Aku membalikkan badanku. Seseorang berdiri tepat di belakangku, menatapku lekat. Seseorang yang ada di situ sejak tadi, berdiri tanpa mengucapkan kata apapun. Orang yang untuk beberapa waktu tadi tidak terlihat olehku, namun sejak beberapa waktu itu pula ia memperhatikanku.
“Kajja,” ucap Kris, “kau mau ikut denganku sebentar? Aku tahu tempat yang nyaman untuk menenangkan hatimu saat ini,”
...