home_icon
SIGN IN
SIGN UP
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
LOUNGE
HOW IT WORKS
HOW TO BE DFF OF THE WEEK
TERMS OF USE
CONTACT US
  • Latest
  • Most Viewed
  • Most Loved
  • A-Z
  • My Fanfiction
  • My Subscriptions
  • My Subscribers
  • Create New Fanfiction
Fan Fiction > Love At The First Sight

Love At The First Sight

Share:
Author : amalamal
Published : 07 Feb 2014, Updated : 13 Dec 2018
Cast : Kris, Sarah
Tags :
Status : Ongoing
0 Subscribes |23122 Views |5 Loves
Love at The First Sight
CHAPTER 4 : The Unspoken

Hari ini Ibu membangunkanku lebih awal dari biasanya. Ibu memintaku untuk membantunya berkemas. Hari ini Ibu akan berangkat ke Jepang menemui Ayah. Biasanya sebulan sekali atau dua kali Ayah pulang ke sini. Namun bulan ini pekerjaan Ayah sangat banyak sehingga belum bisa pulang ke Korea. Karena itu Ayah memintaku dan Ibu yang menemui Ayah saja di Jepang. Tentu saja aku sangat ingin ikut ke sana, namun ini bukan jadwal liburan sekolahku sehingga aku tidak bisa ikut.

Pesawat Ibu akan berangkat pukul tujuh pagi, oleh karena itu aku bisa mengantar Ibu dahulu sebelum berangkat sekolah.

“Ibu berapa lama di Jepang?” tanyaku sambil memilih baju yang akan dibawa Ibu.

“Dua minggu mungkin. Tapi Ayah menginginkan Ibu sebulan di sana, agar saat kembali ke Korea bisa bersama Ayah karena Ayah baru bisa kembali satu bulan lagi,” jawab Ibu.

“Ah ottoke, bagaimana aku bisa bertahan selama itu tanpa Ibu?” ucapku cemberut. Aku tidak terlalu pandai memasak, aku takut nantinya akan kelaparan tanpa Ibu di rumah. “Ah Ibu, bagaimana kalau aku kelaparan? Bahkan untuk memakan masakanku sendiri aku takut keracunan,”

“Makanya kau harus banyak berlatih memasak. Kasihan suamimu kelak kalau kau tak bisa memasak...” ucap Ibu sambil tertawa kecil. Aku hanya cemberut. Setidaknya aku bisa meminta Sehun membawakanku makanan, dia kan pandai memasak, batinku.

“Saat Ibu di Jepang kau harus benar-benar berlatih mandiri Sarah. Jangan andalkan bibi atau Sehun untuk membawakanmu makanan,” nasihat Ibu seperti bisa membaca pikiranku. “Belajarlah mandiri seperti Sehun, Eomma dan Appanya di luar negeri tapi dia bisa hidup mandiri tanpa punya pembantu di rumahnya,”

“Arraseo Ibu, jangan memuji-muji Sehun terus. Aku tahu Sehun memang lebih pandai mengenai apapun dibandingkan aku sendiri,” protesku. Saat membicarakan hal-hal yang berhubungan dengan mandiri, nama favorit yang selalu muncul dalam kalimat Ibu adalah ‘Sehun’. Aku akui Sehun memang benar-benar anak yang mandiri. Appa dan Eommanya di luar negeri untuk bekerja. Dulu memang Sehun tinggal bersama hyungnya, namun semenjak hyungnya kuliah di luar kota, Sehun tinggal sendiri. Tetangga-tetangga bilang Sehun itu menantu idaman.

 

...

 

Seusai mengantarkan Ibu ke bandara dan memastikan pesawat Ibu sudah take off aku segera berangkat ke sekolah. Aku tidak sabar untuk bertemu Sehun dan memegang piala yang ia peroleh dari lomba yang ia ikuti saat itu. Dia berhasil memenangkan juara pertama walaupun malam sebelum perlombaan mungkin adalah malam terkacau yang harus ia lalui.

 

...

 

“Woah keren sekali! Jjang!” ucapku sambil terus memeluk pialanya. Entah mengapa walaupun Sehun yang memenangkannya tapi aku yang merasa sangat bangga dengan piala ini.

“Yaa yaa, hati-hati memeluknya!” ucap Sehun melihatku memeluk pialanya berlebihan. “Sarah, bagaimana kalau kita merayakan kemenanganku di rumahmu?” tanyanya.

“Kenapa di rumahku? Kenapa tidak makan atau jalan-jalan di luar saja?”

“Aku ingin main ke rumahmu,” jawabnya, “lagipula merayakan kemenangan seperti ini kan seharusnya bersama keluarga, aku ingin merayakannya bersamamu dan Ibumu,” lanjutnya.

“Tapi Ibu sedang ke Jepang menemui Ayah,”

“Ibumu di Jepang? Sejak kapan?” tanyanya kaget.

“Tadi pagi,” jawabku tanpa melepaskan piala Sehun dari pelukanku.

“Woah, berarti kau di rumah sendirian? Daebak! Woah... berarti... kita...” ucap Sehun dengan nada menggoda.

“Yaaak! Apa yang kau pikirkan?! Aku tidak akan mengizinkanmu masuk rumahku!” ujarku tak tahan dengan tatapan menggoda Sehun itu.

“Aku kan hafal kode kunci rumahmu, aku bisa masuk kapanpun...” ucapnya masih dengan nada menggoda. Dia menyunggingkan senyuman khasnya.

“Yaaaak! Awas kalau kau berani! Awas!” aku segera beranjak dari tempat dudukku tak tahan dengan nada bicaranya. Aish kenapa ada sih orang seperti ini, batinku.

“Arra arra... Hahaha, aku tak akan melakukan apapun. Tapi jangan kau bawa pergi pialaku, hahaha...” ucapnya sambil tertawa geli melihatku pura-pura ngambek dan beranjak pergi tapi masih membawa pialanya.

 

...

 

Sepulang sekolah, aku dan Sehun membeli beberapa bungkus makanan kecil dan cake untuk merayakan kemenangannya di rumahku.

“Woah asyik... benar-benar sepi...” ucap Sehun begitu memasukki rumahku.

“Yaaak! Awas kalau kau macam-macam! Aku pemegang sabuk hitam karate!” ancamku sambil menatap tajam matanya.

“Kau tak ingat? yang memegang sabuk hitam karate itu aku, dulu kau hanya ikut-ikutan merengek minta dibelikan sabuk hitam seperti yang aku miliki gara-gara menontonku bertanding,” ucapnya sambil tersenyum mengejek dan mengacak rambutku. Aku langsung memasang wajah cemberut.

“Kau duduklah dulu, aku akan menyiapkan minumannya. Kau mau apa? Coklat?” tanyaku. Sehun hanya mengangguk.

Aku segera beranjak menuju dapur untuk menyiapkan minuman. Entah mengapa sejak tadi aku merasa tatapan Sehun tidak beralih dariku. Aku bisa merasakan dia sedang memperhatikanku saat ini. Dan entah mengapa kali ini Sehun meminta untuk merayakan kemenangannya di rumahku. Biasanya jika memenangkan sesuatu, dia akan mentraktirku makan di luar.

Beberapa menit aku di dapur menyiapkan minuman. Sehun duduk di ruang keluarga sambil menata cake dan makanan kecilnya. Antara dapur dan ruang keluarga di rumahku hanya dibatasi tembok setinggi pinggang, jadi aku bisa melihatnya dari dapur dan sebaliknya dia bisa melihatku dari ruang keluarga. Sebenarnya aku merasa aneh juga diperhatikan seperti itu olehnya sejak tadi. Ada apa sih dengannya? ucapku dalam hati.

Sekitar sepuluh menit kami menyiapkan minuman dan makanannya dalam suasana hening. Tidak ada yang bersuara.

“Yoo Sarah,” panggilnya. Aku membalikkan badanku. Aku melihat Sehun menatapku dengan tatapan yang tajam dan serius.

“Wae?” tanyaku.

“Saranghae,” ucapnya tiba-tiba yang membuat aku sangat terkejut. Seingatku belum pernah Sehun menatapku dengan tatapan seperti ini sebelumnya.

“Na doo, saranghae bepu!” jawabku berusaha untuk tenang. Sehun hanya terdiam. Aku segera membalikkan badanku dan melanjutkan membuat minuman untuknya walaupun pikiranku sudah kemana-mana. Selesai dengan menyiapkan minuman, aku segera menuju ruang keluarga dan duduk di sampingnya.

“Yoo Sarah,” ucapnya lagi. Dia menatapku dengan tatapan itu lagi. “Sebenarnya sudah sejak lama aku ingin mengatakan ini, tapi aku terlalu takut...”

“Wae?” tanyaku berusaha membalas tatapannya.

“Saranghae,” balasnya pelan.

“Bukannya aku sudah menjawabmu tadi? Na doo, saranghae bepu!” ucapku mengulang kalimat yang tadi sudah aku lontarkan.

“Ani... Bo... bolehkah aku memelukmu? Sebentar...” tanyanya ragu. Aku tak tahu harus menjawab apa, aku benar-benar bingung dengan sikapnya seperti ini. Ia melingkarkan tangannya di leherku dan memelukku erat tanpa aku sempat menjawab apapun. Beberapa detik kemudian dia melepaskan pelukannya.

“Ah mian,” ucapnya. Suaranya terdengar tercekat seperti menahan sesuatu. Aku benar-benar tidak paham dengan sikapnya.

“Kau... kenapa?” aku memberanikan diri untuk bertanya.

“Saranghae Yoo Sarah. Saranghae... Tapi ini lebih... Aku menyayangimu lebih dari sekedar sebagai teman... Aku menyukaimu... Aku menyayangimu sebagai seorang namja...” jelasnya terbata-bata. Aku benar-benar kaget mendengar ucapannya. Aku tak menyangka Sehun akan mengatakan ini semua. Aku tak pernah menyangka sebelumnya Sehun bersikap seperti ini, walaupun sejak awal aku pernah berpikiran mengenai ini. Aku bisa melihat air di sudut matanya. Tenggorokanku terasa perih melihatnya seperti itu. Dia masih menatapku, namun tidak setajam tadi. “Miane Yoo Sarah, mian aku mengucapkan ini semua... Kau tak perlu menjawabnya...” lanjutnya.

“Ani... Sehunie mian... Aku...” aku bingung harus berkata apa. Aku sangat membenci diriku sendiri saat ini karena tak mampu berbuat apapun melihat Sehun seperti ini.

“Arra. Kau tak perlu menjawabnya...” Sehun mampu menangkap gelagatku yang nampak benar-benar kebingungan. Aku melihatnya mengusap air di sudut matanya dan berusaha tersenyum. Rasanya benar-benar sakit melihatnya seperti ini, menangis karenaku.

“Aku tahu kau menyayangiku sebagai seorang teman. Aku saja yang keras kepala, aku menyayangimu lebih dari itu. Bahkan aku tetap menyayangimu lebih dari seorang teman walaupun aku tahu... walaupun aku tahu kau sudah menyukai seseorang lain... Kadang aku masih berani berharap kau akan menyukaiku juga, tapi kini aku tau aku terlambat...” ucapnya sambil memaksakan senyumnya.

Pertahananku seketika runtuh mendengar ucapannya. Air mata tak terbendung muncul dari kedua mataku. Bodohnya aku memiliki seorang Sehun yang begitu menyayangiku, namun selama ini aku hanya menganggapnya sebagai seorang sahabat. Aku merasa betapa selama ini aku seperti hanya memanfaatkannya, memintanya untuk selalu ada saat aku butuh. Namun aku tak bisa selalu ada untuknya. Tiba-tiba kalimat terakhir yang barusan diucapkannya melintas di kepalaku.

“Walaupun aku menyukai orang lain?” tanyaku sambil terisak mengulang pernyataan yang barusan ia ucapkan.

Sehun tersenyum, “Ya aku tahu kau suka dengannya. Kau selalu membiarkan diarymu terbuka saat aku masuk ke kamarmu. Aku membacanya... Mian...”

Aku merasa lebih kaget mendengarnya. Selama ini Sehun telah mengetahuinya, namun dia tak pernah membicarakannya padaku.

“Miane Sehunie, miane...” ucapku sambil terus terisak. Aku merasa sangat bersalah.

Sehun melingkarkan tangan kirinya ke leherku dan mengacak rambutku dengan tangan kanannya. “Kenapa malah kau yang menangis? Kau tak perlu meminta maaf,” ujarnya sambil tersenyum. “Aku juga tak tahu kenapa aku mengungkapkan ini semua padamu. Namun aku selalu berpikir, memang aku rasa suatu saat aku harus berani mengungkapkannya. Dan ku pikir ini waktu yang tepat, sebelum aku pergi...” tatapan Sehun terlihat menerawang ke depan.

“Mwo? Pergi?” tanyaku kaget.

“Sebenarnya aku ingin memberitahukannya padamu malam itu... Namun ternyata malam itu, malam sebelum lomba itu malah...”

“Apa maksudmu pergi?” tanyaku memutus ucapannya.

“Sebenarnya aku telah memberitahu Ibumu tentang ini sebelum aku menemuimu malam itu... Yoo Sarah, sebenarnya lomba kemarin yang aku ikuti adalah untuk memperebutkan tempat melanjutkan sekolah di Jerman... di sekolah yang sangat aku impikan...” jelas Sehun.

Aku tercekat. Sehun tak pernah mengatakan ini sebelumnya. Aku hanya tahu dia ingin sekolah di Jerman, namun ia tak pernah mengatakan kalau lomba yang ia ikuti itu ada kaitannya dengan sekolah impiannya.

“Jerman?” tanyaku.

“Ya... Ini impianku sejak dulu, aku ingin bisa melanjutkan sekolahku di sana... Karena itu aku mengikuti kompetisi itu... Dua hari lagi aku berangkat. Aku akan melanjutkan tahun ketiga sekolahku dan kuliah di sana...”

Tangisanku yang sempat terhenti kini runtuh lagi. Aku benar-benar merasa tak sanggup bila ia harus pergi. Dua hari lagi? Bahkan aku tak pernah berpikir tentang ini sebelumnya.

“Yaaa, kau tak pernah menceritakannya padaku... wae? Kenapa begitu cepat?”

“Miane... maaf aku baru memberitahumu sekarang...”

“Babo! Babo yaaa babo!” aku memukul-mukulnya sambil terus mengeluarkan air mataku.

Sehun menarik kepalaku dan menjatuhkannya di pundaknya.

“Kau menangislah sekarang, tak apa... Mian...” ucapnya begitu lembut sambil mengelus rambutku dan membiarkan aku menangis di pundaknya.

“Kau... kau benar-benar orang yang jahat... Kau membiarkanku begitu nyaman berada di sampingmu sampai aku tak membutuhkan teman lain... Tapi sekarang kau meninggalkanku... Babo...” ucapku sambil terus terisak. Selama ini aku benar-benar tak pernah membayangkan jauh darinya. Orang yang sejak dulu selalu ada di sampingku, yang selalu membuatku tersenyum dalam menjalani hari-hariku. Aku baru sadar Ibu memintaku untuk mandiri dan tidak mengandalkan Sehun karena Ibu telah mengetahui tentang ini.

“Kau... kau benar-benar orang yang baik... Kau membiarkanku selalu ada untukmu, kau membiarkanku untuk selalu bisa membuatmu tersenyum, membuatmu merasa nyaman... Gomawo Sarah, gomawo... Miane, miane aku orang yang jahat...” ucapnya pelan.

Tangisanku semakin tak bisa di tahan mendengar ucapannya. Dua jam lebih aku menangis di pundaknya. Sehun hanya terdiam sambil sesekali mengelus rambutku dan membiarkanku menangis seperti ini.

“Kau, berjanjilah padaku... Kau sudah menangis sebanyak ini. Berjanjilah kau tak akan menangis lagi saat aku sudah pergi nanti,” ucapnya sambil membangkitkanku dari pundaknya dan mengusap air mata yang tersisa di wajahku.

Aku hanya mengangguk meskipun aku tak bisa berjanji untuk tidak menangis lagi saat ia pergi.

“Mungkin kau tak akan menemukan orang sepertiku lagi di sini. Namun aku yakin kau akan menemukan yang bahkan lebih baik dariku. Tersenyumlah,” lanjutnya.

Aku berusaha tersenyum mendengar ucapannya.

“Charasso bepu... Teruslah tersenyum seperti itu,” Sehun merapikan rambutku yang acak-acakan karena posisiku menangis tadi. “Oh ya, aku dengar Kris Sunbae orang yang sangat baik. Aku sudah merestuimu jika kau bersama Kris Sunbae. Bahkan saat kemarin dia mengambil motornya di rumahku, aku memberinya nomer hapemu,” ucapnya menggodaku.

“Yaaaak!” aku menjitak kepalanya.

“Appo!” protesnya, “Hah, aku harap Kris Sunbae juga bisa membuatmu selalu merasa nyaman... Dan tidak membuatmu menangis seperti apa yang aku lakukan ini,” ucapnya.

“Aku menangis bukan karena kau, tapi karena aku sendiri,” jawabku. “Gomawo Sehunie, aku harap kau bisa meraih impianmu di sana...”

“Geure, jangan menangis lagi eoh?” ucap Sehun sambil mengeluarkan kelingkingnya.

“Arra” jawabku sambil mengaitkan kelingkingku di kelingkingnya. “Kau juga harus berjanji...”

“Mwo?” tanyanya.

“Kau mungkin tak akan menemukan orang sepertiku lagi di sana. Namun aku yakin kau akan menemukan yang bahkan lebih baik dariku,” ucapku menirukan kalimatnya tadi. “Kau juga harus berjanji, kau harus sering kembali ke sini karena aku akan sangat merindukanmu,”

Sehun menganggukkan kepalanya. “Tentu, aku janji,” ucapnya, ”kajja kita makan cakenya!”

Aku memang merasa sangat sedih saat ini. Tapi di satu sisi aku merasa begitu lega, hal-hal yang selama ini tidak saling aku dan Sehun ceritakan sebelumnya kami ungkapkan semua kali ini. Kini aku tahu, mengapa Sehun meminta untuk merayakan kemenangannya di rumahku, tidak mentraktirku makan di luar seperti biasanya. Karena ini memang bukan perayaan kemenangannya seperti biasanya, it’s a farewell.

POPULAR FANFICTION

BERITA PILIHAN

COPYRIGHT 2024 DREAMERS.ID PUBLISHED BY DREAMERS NETWORK