Title:
First Snow
Author:
Monie Akakuro
Rating:
PG - 13
Genre:
Romance
Length:
One Shot
Main Cast:
- Kim Minseok / Xiumin EXO
- Goo Haneul (OC)
Disclaimer:
Akhirnya betapa sambil dengerin lagu First Snow ples artinya. Jadi dapetlah ide ini kkkkk
****
Bunyi derap langkah kaki berlarian memenuhi sepanjang koridor rumah sakit. Termasuk langkah kaki Kim Minseok yang terus mempercepat langkahnya sambil menggantungkan stetoskop di leher. Bunyi sirine dari arah luar pun juga ikut memenuhi kebisingan. Tak ada kata sunyi untuk suasana disini. Kesibukan selalu terlihat di setiap sudut ruangan rumah sakit.
Baru saja tadi Kim Minseok bersiap akan pulang karena tugas praktek di rumah sakit ini sudah selesai, namun sebagai seorang dokter ia tidak bisa membiarkan begitu saja saat mendengar info ada seorang pasien yang menjadi korban kecelakaan mobil. Dengan cepat ia berlari ke arah instalasi gawat darurat akan menangani pasien itu.
"Cepat pasangkan tabung oksigennya! Pendarahan otak pasien ini benar-benar sangat kritis!" Perintah seorang dokter jaga ketika pasien itu sudah dibawa masuk dengan tempat tidur beroda yang dibawanya dari mobil ambulance. Beberapa perawat yang ada disana dengan cepat dan sigap memasangkan tabung oksigen ke wajah pasien itu dan peralatan lainnya agar nyawa pasien itu bisa diselamatkan.
"Dokter Kim! Pendarahan diotaknya semakin tidak bisa dihentikan". Beritahu salah satu dokter jaga saat melihat Minseok masuk ke ruangan UGD. Hanya Minseok seorang dokter spesialis yang masih berada disini. Maka pasien ini akan menjadi tanggung jawabnya.
"Tolong siapkan ruangan dan tim operasi.." Perintah Minseok dengan suara tenang namun sangat tegas. Dengan mendengar penjelasan singkat dari dokter jaga ia tahu keputusannya sudah tepat untuk melaksanakan operasi untuk pasien ini. Ia membersihkan tangan dengan cairan steril. Tanpa membungkus kedua tangannya dengan sarung tangan ia langsung menghampiri pasiennya.
Gerakan Minseok terhenti sesaat ketika matanya melebar terkejut melihat sosok pasien berjenis kelamin wanita yang ada dihadapannya. Wajah itu. Minseok sangat mengenal wajah pasien nya walaupun wajah itu sudah dipenuhi darah dan luka. Ia tidak akan pernah lupa.
"Dokter Kim, kita sudah mendapatkan identitasnya, nama wanita ini adalah..."
"Goo Ha Neul. 22 tahun..."
Perawat wanita yang memegang dokumen di tangannya menatap bingung Dokter Kim karena ucapannya tadi dipotong olehnya. "Kau mengenal pasien ini?" Tanya perawat itu.
Minseok tidak menjawab pertanyaan perawat yang berdiri disampingnya. Matanya terus menatap wajah pasien itu dengan tatapan tidak percaya. Ia masih sangat shock melihat wajah itu ada disini. Jantung nya pun terasa sudah tidak ada ditempatnya lagi. Sudah jatuh entah kemana di rongga dadanya yang paling dalam. Perasaannya tidak bisa merasakan apa-apa lagi.
Tangan Minseok memeriksa wajah yang masih dipenuhi oleh darah dan terus mengalir dari otak pasien ini. Minseok menyentuh sudut bibir pasien itu yang agak sedikit robek akibat terkena pecahan kaca mobil. Rasanya seperti ada yang menonjok dadanya dari dalam saat melihat bibir merah itu menjadi seperti ini.
"Oppa mianhae..."
"Minseok Oppa.."
Suara wanita itu memenuhi didalam pikiran dan telinga Minseok. Ia bisa melihat mulut pasien itu tidak bergerak sedikit pun. Tapi ia masih bisa mengingat dengan jelas bagaimana suara wanita itu terakhir kali. Suara yang telah meninggalkannya 1 tahun lalu. Suara yang telah membuatnya membenci dirinya sendiri.
"Dokter Kim! Ruangan operasi dan tim sudah siap!" Seru seorang perawat memberitahu Minseok.
Kepala Minseok berpaling dari wajah pasien itu ke arah perawat yang sudah lengkap berpakaian operasi berwarna hijau.
"Baik." Jawab Minseok dan ia menatap kembali pasien wanita itu lagi sebelum dibawa oleh beberapa perawat ke dalam ruangan operasi.
Xiumin's Story: First Snow
"Tekanan darah... Stabil"
"Detak jantung... Stabil"
"Pasien sudah siap.."
Kedua tangan Minseok sudah bersiap didepan dadanya yang sudah dipasangkan sarung tangan elastis oleh asisten dokter. Pakaian hijau operasi sudah lengkap dikenakan oleh Minseok.
"Kita mulai.." Ucapnya dengan sangat yakin dari balik masker yang menutupi hidung dan mulutnya.
Berusaha sekuat mungkin, Minseok mencoba bersikap tenang walaupun jantungnya terus berdegup dengan kencang. Saat ini ia harus berkonsentrasi. Ia harus bisa menyelamatkan pasien ini. Goo Haneul. Mantan kekasihnya.
Bertahanlah. Aku akan menyelamatkanmu, Ha Neul-ya. Janji Minseok didalam hati saat tangannya sudah mulai menoreh kepala wanita itu dengan pisau tipis.
***
1 tahun lalu
Sudah berapa kali Ha Neul mendesahkan nafasnya di atas meja. Ia menatap kembali makanan disana. Sepertinya makanan itu sudah dingin dan tidak enak lagi untuk dimakan. Ada rasa kecewa didalam hati Ha Neul melihat makanan yang telah ia masak belum tersentuh sama sekali. Dan ia tidak ada niat untuk memakan itu sendirian.
Matanya melirik ke arah jam dinding. Pukul 11 malam. Sudah hampir 4 jam ia menunggu sendirian disini. Namun pemilik apartemen ini belum kembali juga.
Lagi dan lagi Ha Neul harus memaksakan dirinya bersabar dengan keadaan seperti ini. Kalau bukan karena perasaan cinta, mungkin Ha Neul tidak akan mau bersabar menunggu pria yang telah mengingkari janji nya untuk makan malam bersama.
Ini bukan pertama kali nya Ha Neul harus menunggu. Selama hampir 2 tahun ia berpacaran mungkin hanya beberapa kali kekasih nya itu menepati janji. Sisanya, selalu seperti ini. Ha Neul menunggu dan menelan rasa kekecewaan.
Ha Neul menatap ragu ponselnya. Ya, lebih baik ia menelepon nya agar mendapat kepastian dan ia tidak usah menunggu lagi. Tapi Ha Neul takut jika ia menelepon akan mengganggu.
"Minseok oppa.." Sapa Ha Neul setelah telepon nya diangkat. Akhirnya Ha Neul memberanikan diri menelepon kekasihnya.
"Aku tahu kau sedang sibuk, aku hanya ingin memberitahu mu jika kau pulang nanti jangan lupa menghangatkan makanan yang ada di meja, aku sudah memasakkannya untukmu. Kau jangan pulang terlalu malam, jaga juga kesehatanmu oppa.. Dan jangan lupa pakai double sweater sebelum kau pulang, malam sudah semakin dingin dan sudah kutaruh sweaternya didalam tas mu. Aku pulang dulu. Saranghae oppa..."
Ha Neul mematikan telepon nya tanpa mendengar satu kata pun dari Minseok. Entahlah tadi dia mendengarkan setiap ucapannya atau tidak. Ha Neul juga menyadari saat dia menelepon tadi sepertinya Minseok sedang berada di tengah perbincangan serius. Ia bisa mendengar suara seorang pria berbicara dengan istilah kedokteran yang Ha Neul tidak mengerti.
Lebih baik ia pulang sekarang. Tidak ada lagi yang harus dia lakukan disini. Ha Neul berdiri mengambil coat dan tas yang ia simpan diatas sofa. Ia mematikan semua lampu di ruangan ini sebelum beranjak pergi. Dan hanya menyisakan cahaya dari lampu pohon natal yang ada di samping sofa. Natal memang masih 2 bulan lagi, tapi ia sengaja sudah memasang pohon natal milik Minseok. Selain karena tadi ia bosan menunggu, ia juga tahu pasti Minseok tidak akan punya waktu untuk memasang hal seperti ini.
**
"Minseok oppa!"
Wajah Minseok terlihat dengan jelas ia terkejut sekali ada seseorang yang memeluknya dari belakang dan mencium pipinya saat ia sedang berjalan di koridor rumah sakit.
"Ha Neul-ya..." Ujar Minseok pelan setelah mendengar suara kekehan yang sangat ia kenal di telinganya. "Sedang apa kau disini?" Tanya Minseok melepaskan tangan Ha Neul yang melingkar dipinggangnya dan berbalik menatap kekasihnya yang masih menyengir lebar.
"Bogosipheo..." Ucap Ha Neul pelan hampir berbisik di depan wajah Minseok dan wanita itu tersenyum.
"Dokter Kim cepatlah! Seminar nya sedikit lagi akan dimulai"
Ha Neul melihat seorang dokter pria memanggil Minseok dari balik pintu yang tidak jauh dari ia berdiri.
"Kau lihat kan? Aku sedang sibuk sekarang. Kau pulanglah.." Ujar Minseok memandang Ha Neul yang sudah tidak tersenyum lagi.
Agak sedih Ha Neul mendengar Minseok mengatakan itu. Itu terasa ucapan pengusiran untuknya. Ternyata kehadiran dirinya disini hanya mengganggu. Padahal ia sudah sengaja berlari dari kelasnya yang berada di fakultas psikologi ke rumah sakit universitas nya ini untuk bertemu dengan Minseok.
"Jamkkanman.." Ha Neul menahan tangan Minseok yang sudah mau bergegas pergi. "Ini tiket pertunjukan biola yang kau sukai. Kuharap minggu depan kau tidak lupa aku menunggu mu di concert hall. Menurut perkiraan first snow akan turun di hari itu. Jadi kau harus datang.." Ha Neul menaruh tiketnya kedalam saku kemeja Minseok kemudian ia berbalik meninggalkan Minseok yang masih berdiri disana. Ia tidak mau Minseok yang meninggalkan dirinya duluan jadi lebih baik ia yang segera cepat pergi dari sini daripada pria itu melihat matanya menahan air mata yang ia tahan sejak tadi.
***
"Oppa..."
"Hm?" Jawab Minseok singkat masih terus mengetik di laptop tanpa melihat ke lawan bicaranya. Sesekali tangannya membuka beberapa lembaran buku tebal yang baru saja dia ambil didalam tas. Akhirnya setelah beberapa hari Ha Neul menghubungi Minseok, pria ini bisa meluangkan sedikit waktu untuk bertemu.
Ha Neul yang duduk didepannya masih ragu mengatakan apa yang ada didalam otaknya. Karena saat ini otak dan hatinya sedang tidak bersatu. Disatu sisi otaknya mengatakan 'ya' tapi disisi yang lain hatinya mengatakan 'tidak'. Tangannya meraih hot chocolate yang ada diatas meja. Menyesap pelan semoga aliran coklat tersebut bisa menenangkan perasaan yang ada didalam hati nya.
"Oppa..." Panggil Ha Neul sekali lagi.
"Hm.."
Lagi-lagi Minseok hanya merespon dengan singkat panggilan wanita itu. Mata dan tangannya masih sibuk konsentrasi dengan laptop yang ada dihadapannya.
Dengan berat hati Ha Neul menarik nafasnya sebelum ia mengatakan apa yang sudah ia putuskan. Saat ini ia sangat yakin dan juga ia sudah menyerah.
"Oppa... Lebih baik hubungan kita sampai disini saja. Aku tidak bisa melanjutkan hubungan ini lagi dengan mu. Oppa mianhae..."
Jari-jari Minseok langsung berhenti mengetik saat mendengar apa yang sudah di ucapkan oleh Ha Neul. Akhirnya kedua mata Minseok teralihkan dari layar laptop dan menatap lurus ke mata yang sejak tadi meminta dia untuk menatapnya.
Minseok tidak bisa membaca apa yang dipikirkan wanita itu dari matanya. "Apa kau yakin?" Tanyanya setenang mungkin walaupun tadi jantung nya sudah jatuh entah kemana di dalam rongga dadanya.
Ha Neul mengangguk. Tidak ada ekspresi diwajahnya yang terlukis disana. Apakah dia sedih, marah atau dia senang saat ini? Minseok tidak tahu.
"Wae?" Tanya Minseok dengan singkat. Namun sepertinya ia salah dengan pertanyaannya. Karena mendengar jawaban Ha Neul akan membuatnya merasa sangat bersalah.
"Mianhae oppa, aku adalah kekasih mu. Tapi aku merasa selama ini kau menganggapku tidak ada. Kau sibuk dengan pekerjaanmu. Kau sibuk dengan penelitianmu. Selama 2 tahun ini aku bersabar dengan sikap kau yang tidak perduli denganku. Aku sangat tulus mencintaimu. Tapi kau? Kau hanya mencintai ambisimu. Bukan diriku. Aku lelah seperti ini terus. Sekarang kau juga bisa lihat, di matamu hanya ada laptop dan laporan bodoh mu itu. Aku ada disini, Oppa. Didepanmu. Tidakkah kau memperhatikanku?"
Terdengar jelas luapan kekesalan Ha Neul selama ini dari bicaranya yang sangat cepat dan sedikit parau menahan tangis. Matanya terus menatap lurus ke dalam mata Minseok. Memberitahu kepada pria itu apa yang ia rasakan.
"Ha Neul-ya.." Ucap Minseok dengan suara tercekat. Perkataan Ha Neul tadi benar-benar sangat menusuk ke hatinya. Sejahat itu kah ia selama ini?
"Oppa mianhae..." Tangan Ha Neul menepis tangan Minseok yang akan menggenggamnya. Ia sangat mencintai pria itu. Tapi mencintainya hanya membuat dirinya semakin lelah berharap pria itu akan membalas cintanya. Ini sudah mencapai maksimal tingkat kesabarannya. Ha Neul mengangkat tubuhnya dari kursi coklat yang berada di pinggir jendela. Dengan cepat ia meraih tas dan meninggalkan Minseok sendirian disana.
"Ha Neul-ya!" Panggil Minseok sedikit berteriak pada sosok Ha Neul. Ia bisa melihat wanita itu mengusap kedua matanya sambil tertunduk keluar dari coffee shop ini.
Minseok menghempaskan punggungnya ke kursi dengan keras. Ia menekankan pelipisnya sambil memejamkan mata. Tidak perduli dengan tatapan orang-orang yang melihat ke arahnya karena mereka baru saja menyaksikan seorang pria yang diputusin oleh kekasihnya.
Kenapa ini bisa terjadi? Betapa bodohnya ia tidak sadar saat ini Ha Neul datang bersamanya tapi ia malah asyik membenamkan diri ke laporan penelitian. Minseok menutup laptopnya dengan kesal. Gara-gara kebodohannya atau kepintarannya sekarang ia sudah kehilangan wanita yang selama ini sudah mencintainya. Bodoh sekali.
Drrrtt....
Minseok merasakan ponselnya bergetar di atas meja. Sesaat ia berharap itu Ha Neul yang menelepon. Tapi itu tidak akan mungkin terjadi. Wanita itu pasti sudah sangat membenci dirinya sekarang.
"Yeobeoseo.." Sapa Minseok tanpa semangat pada nomor yang tidak ia kenal.
Ternyata yang menelepon adalah kepala dokternya. Sekarang juga ia disuruh datang ke rumah sakit dimana ia melakukan penelitian. Dokter itu bilang profesor disana akan membantunya karena sudah tertarik melihat hasil laporan tentang penyakit otak yang dibuat oleh Minseok.
Ia baru saja kehilangan kekasihnya namun disaat yang bersamaan ia mendapatkan apa yang dia ambisikan selama ini. Peluangnya menjadi dokter spesialis akan tercapai.
Minseok mengacak-acak rambutnya dengan kesal. Baru pertama kali didalam hidupnya ia tidak bisa berpikir apa yang akan harus dia lakukan sekarang. Dan ia semakin terasa betapa ia sangat kehilangan sosok seorang Ha Neul. Tidak ada lagi tempat ia bertanya. Tidak ada lagi seseorang yang bisa ia ajak diskusi. Tidak ada lagi senyuman kesabaran yang selalu menyemangatinya. Kini ia sudah merindukannya tapi terlambat, Ia telah menyia-nyiakan itu semua. Ha Neul sudah pergi meninggalkan dia.
***
Mata Minseok memandang wajahnya dari dalam cermin diatas wastafel. Tangannya sibuk membuka sarung tangan yang penuh darah dan langsung membersihkan kedua tangannya dengan cairan steril. Operasinya berhasil. Dia bisa menghentikan pendarahan di otak Ha Neul yang masih terbaring di ruangan operasi.
Kedua tangan Minseok mencengkram pinggiran wastafel saat ia sudah selesai membersihkan darah Ha Neul di seluruh tangannya. Ia terus memandang wajahnya yang sudah berantakan di dalam cermin. Nafasnya sedikit terengah tapi ia tidak merasakan kelelahan karena selama 2 jam otaknya dipacu untuk berkonsentrasi dengan beberapa aliran syaraf otak yang selalu dipelajarinya dari dalam buku. Perasaan lega yang ia rasakan saat ini. Ia telah berhasil menyelamatkan hidup Ha Neul.
***
Minseok memeriksa lagi lembaran x-ray yang ada di tangannya. Tidak ada yang salah dari gambar ini. Namun kenapa ia merasa tidak yakin dengan hasil pemeriksaan otak Ha Neul. Ia terus memperhatikan setiap detailnya dari lembaran yang hanya seorang dokter saja yang bisa membaca gambar itu.
"Tok tok tok..."
Terdengar suara ketukan pintu di ruangan prakteknya. "Masuk." Jawab Minseok meletakkan kembali gambar x-ray itu diatas meja.
"Dokter Kim, pasien di kamar 402 mulai kambuh lagi. Kau harus segera kesana" Pinta seorang perawat yang sudah masuk ke ruangannya.
"Baiklah tunggu sebentar.." Minseok dengan cepat mengambil coat putih yang ia sampirkan dibangku dan langsung memakainya. Tak lupa juga ia mengambil stetoskop yang ia gantungkan di leher dan sebuah dokumen milik pasien itu.
"Sejak kapan ia mulai kambuh?" Tanya Minseok kepada perawat yang berjalan cepat disampingnya. Matanya masih mengecek beberapa lembaran dokumen yang ia pegang.
"Baru beberapa menit yang lalu dok.." Jawab perawat itu yang kini sedikit berlari menyesuaikan langkah Minseok yang semakin cepat.
"Seharusnya ia tidak merasakan sakit setelah aku memberinya obat 1 jam yang lalu.." Gumam Minseok kepada dirinya sendiri. Ia khawatir pasien yang baru masuk 3 hari yang lalu ini semakin masuk ke stadium yang sudah sangat membahayakan.
Langkah Minseok terhenti di depan kamar 402. Ia membuka pintu itu dan telinganya mendengar sebuah erangan kesakitan. Minseok berlari mendekati tempat tidur pasien. Beberapa perawat sudah ada disana memegangi pasien itu yang terus memberontak karena tidak tahan dengan sakit yang ia derita.
"Kris Wu bertahanlah... Aku ada disini" Ucap Minseok menenangkan pasien pria itu yang umurnya hanya terpaut beberapa bulan saja dengannya.
"Dokter Kim.. Aku mohon.. ini sakit sekali.." Tangan Kris mencengkram pinggang Minseok dengan kuat. Ia terus meringis kesakitan dan nafasnya terengah.
Tanpa perduli rasa sakit dipinggangnya karena Kris mencengkramnya begitu kuat, Minseok dengan tenang memasukan sebuah cairan kedalam suntikan. Dengan perlahan ia menyuntikan cairan obat itu ke lengan Kris yang sedang terjulur ke arahnya.
Dosis obat yang diberinya sangat begitu kuat. Cengkraman di pinggangnya sudah mengendur. Tangan Kris terkulai lemah di pinggiran tempat tidur. Kris langsung kembali tertidur setelah ia memberinya obat.
Perlahan Minseok membetulkan kepala Kris ke atas bantal agar tertidur dengan nyaman. Ia menatap kasihan wajah tampan pasiennya itu. Usia sama dengannya tapi Kris sudah harus merasakan penderitaan seperti ini. Sebagai dokter ia hanya bisa memberikan yang terbaik untuknya. Walaupun ia tahu sudah tidak ada obat lagi yang dapat menyembuhkan penyakit Kris.
"Tolong perhatikan dia, jangan sampai ia lepas kontrol seperti tadi lagi.." Perintah Minseok kepada perawat khusus yang mengurus Kris sebelum ia keluar dari ruangan. Dan kepala perawat itu mengangguk mengerti dengan perintah Minseok.
Letak ruangan Kris tidak jauh dari ruangan Ha Neul dirawat. Langkah Minseok membawanya ke ruangan wanita itu. Secara perlahan Minseok membuka pintu. Tidak ada siapa-siapa disana. Hanya Ha Neul sendiri yang masih terbaring di tempat tidur.
Minseok duduk disamping tempat tidur. Matanya terus menatap Ha Neul yang masih belum siuman. Ia terus memperhatikan dalam diam wajah wanita itu yang kepalanya sudah dibalut dengan perban putih. Tangan Minseok meraih tangan Ha Neul yang tidak di infus kedalam genggamannya.
"Naega neomu mianhae.." Lirih Minseok pelan mencium tangan Ha Neul dengan lembut. Akhirnya ia bisa bertemu kembali dengan Ha Neul setelah 1 tahun walaupun dengan cara seperti ini. Minseok ingin menebus kesalahannya. Ia ingin Ha Neul kembali bersama dirinya. Ia telah sadar sebetulnya ia sangat mencintai wanita ini.
"Ha Neul-ya... Bangunlah... Kau mau memaafkan ku kan?" Gumam Minseok menidurkan kepalanya diatas tempat tidur disamping tangan Ha Neul. Tangannya terus menggenggam tangan wanita itu tanpa ingin melepaskannya. Diciumnya terus menerus tangan Ha Neul berharap wanita itu segera siuman. Sikap yang tidak pernah Minseok lakukan sebelumnya.
***
"Pasien bernama Goo Ha Neul sudah sadar!?" Tanya Minseok kepada seorang perawat yang memberitahunya setelah ia keluar dari ruangan operasi. Tanpa melepaskan pakaian operasi dan masker nya Minseok berlari dengan cepat ke arah ruangan Ha Neul.
Minseok terus melangkahkan kakinya dengan cepat sampai-sampai ia mau menabrak seorang perawat yang sedang membawa beberapa obat. "Ah mian!" Ucapnya tanpa menoleh dan terus berlari.
Goo Ha Ra?
Minseok memelankan langkahnya ketika sudah dekat ke ruangan 407 dan matanya melihat gadis berseragam sekolah berdiri mematung di depan pintu. Minseok mengenal siapa gadis itu. Goo Ha Ra, adik Ha Neul.
Ia mendekati gadis itu yang kini seperti sedang menangis. "Ha Ra-ya?" Sapa Minseok pelan dan membuka masker yang menutupi mulutnya.
Gadis itu mendongak dan tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya saat melihat Minseok berdiri dihadapannya. Mantan kekasih kakaknya ada disini. Pria yang sudah membuat kakaknya selalu menangis setiap malam. "Minseok oppa??"
"Ha Ra kenapa kau ada diluar? Bukankah Ha Neul sudah sadar?" Tanya Minseok tanpa memperdulikan tatapan kaget Ha Ra saat dirinya datang.
Ha Ra menggelengkan kepalanya dan ia kembali menangis lagi. "Minseok oppa, kenapa dengan eonni?? Dia bukan Ha Neul eonni.."
Kening Minseok mengernyit mendengar perkataan gadis itu. "Apa maksudmu dia bukan Ha Neul?" Jantung Minseok sedikit berdebar. Apa mungkin perkiraannya benar?
"Aku adiknya, tapi eonni tidak mengenal siapa aku! Dan dia juga tidak tahu jika nama dia Goo Ha Neul.." Tangisan Ha Ra semakin kencang di depan pintu.
Mata Minseok terpejam dan menarik nafasnya pelan. Seperti yang sudah ia duga dengan hasil tes otak Ha Neul kemarin. Ha Neul mengalami syndrom amnesia setelah kepalanya terbentur kuat karena kecelakaan.
"Ayo kita masuk kedalam.." Ajak Minseok merangkul Ha Ra yang masih menangis. Ketika pintu terbuka Minseok melihat Ha Neul sedang duduk diatas tempat tidur sambil memandang ke arah luar jendela. Ada 2 perawat yang sedang mengganti infusan disampingnya. Perlahan Minseok dan Ha Ra berjalan mendekati Ha Neul yang masih terdiam memandang keluar. Tidak bergeming sama sekali dengan kehadiran mereka berdua.
"Ha Neul-ya..." Minseok mencoba menyapa Ha Neul dengan memegang bahunya secara perlahan. Kepala Ha Neul menoleh ke arah Minseok dan juga Ha Ra. Dan ia menelengkan kepalanya dengan bingung. "Ha Neul?" Tanyanya tidak mengerti kenapa dia dipanggil Ha Neul.
"Oppa... Wae oppa.." Ha Ra menarik-narik baju Minseok dengan suara menahan tangis. Ia sangat mencemaskan keadaan kakaknya yang menjadi seperti ini.
Dada Minseok menjadi terasa sesak melihat Ha Neul tidak mengenal siapa dirinya. Ia membuka baju operasi serta maskernya dan memberikan ke salah satu perawat yang ada disana. Matanya masih terus menatap mata Ha Neul yang juga masih menatapnya dengan bingung.
"Kau... Siapa?" Ha Neul bertanya pelan melihat Minseok berdiri dihadapannya.
Minseok mengetahui dengan baik bagaimana amnesia syndrom terjadi dan bagaimana cara mengatasi penyakit ini kepada pasien. Namun ia tidak pernah merasakan sebelumnya jika pasien itu adalah wanita yang sangat dicintainya. Ternyata begitu menyakitkan.
Perlahan tangan Minseok menjulur meraih kepala Ha Neul kedepan dada. Memeluknya.
"Siapa aku? Aku adalah Minseok mu. Pria yang selalu mencintaimu Ha Neul-ya.." Kedua tangan Minseok mendekap bahu Ha Neul lebih erat kedalam pelukannya. Ia mencium puncak kepala Ha Neul yang masih tertutup oleh perban lagi dan lagi.
**
"Yang benar??"
"Kau tidak percaya?? Aku melihat dengan kedua mataku sendiri! seorang dokter Kim Minseok yang terkenal dingin dan berhati beku di rumah sakit ini tadi menangis dan memeluk pasien Goo Ha Neul yang ternyata adalah mantan kekasihnya!"
"Jinjja!? Walaupun dia pintar tapi aku tidak pernah melihatnya tersenyum kepada pasien yang lain. Jangankan pasien kepada kita saja dia tidak pernah tersenyum kan? Selalu serius!"
"Iya benar, tapi kasihan sekali dia... Kau lihat kan keadaan wanita itu? Dia mengalami amnesia.."
"Apa mungkin karena wanita itu makanya kepribadian dokter Kim menjadi dingin dan beku selama ini?"
"Sssstttt.."
Kedua perawat itu berhenti bergosip dan langsung pura-pura merapikan obat yang ada dimeja saat melihat Minseok melewati mereka ke arah mesin minuman yang ada disana.
Minseok memberikan kaleng susu dingin ke Ha Ra yang sedang duduk di bangku taman rumah sakit. "Apa keadaan eonni bisa sembuh?" Tanyanya sambil mengambil susu dingin yang diberikan oleh Minseok dan matanya menatap mata Minseok yang sudah duduk disampingnya.
Bibir Minseok tersenyum melihat mata gadis itu yang masih berkaca-kaca karena terus menangisi keadaan kakaknya. "Amnesia syndrom bisa teratasi jika pasien itu memiliki dukungan yang kuat dan positif oleh keluarga dan orang-orang disekitarnya, jadi kuharap kau selalu memberikan perhatian yang lebih untuk Ha Neul dan juga jangan menangis didepan dia.."
"Kau juga jangan menangis oppa.." Ucap Ha Ra melirik Minseok dan sedikit tersenyum dibalik sedotannya masih sambil meminum susu.
Minseok mendenguskan tawanya mendengar Ha Ra meledeknya. Ia membuka kaleng kopi yang terus ia pegang dan meneguknya.
"Oppa..." Panggil Ha Ra.
"Hm?" Minseok menoleh ke gadis itu.
Ha Ra menarik nafasnya dulu sebelum ia melanjutkan perkataannya. Minseok melihatnya ia sangat mirip dengan Ha Neul saat melakukan ini. Pasti ada sesuatu serius yang ingin ia bicarakan.
"Apa benar kau masih mencintai eonni?" Tanya Ha Ra ragu-ragu. Agak sedikit lancang juga sebetulnya ia menanyakan hal ini padanya. Namun Ha Ra benar-benar ingin tahu karena sikap Minseok tadi yang memeluk Ha Neul dan mengatakan dia mencintai kakaknya.
Mungkin Ha Ra mengira Minseok akan marah atau tersinggung dengan pertanyaannya ini. Tapi Minseok hanya menghelakan nafasnya mendengar pertanyaan Ha Ra.
"Kau benar-benar sangat menyayangi kakakmu.." Minseok tersenyum dan mengacak-ngacak rambut Ha Ra.
Ha Ra merapikan rambutnya kembali masih terus menatap mata Minseok. Pertanyaan dia belum dijawab.
"Sejak dulu aku selalu mencintai Goo Ha Neul.." Ucap Minseok mulai mengakui perasaannya kepada orang lain. Kepada gadis SMA yang baru berumur 18 tahun. "Orang-orang selalu mengatakan aku itu pintar. Tapi sebetulnya aku adalah orang yang bodoh. Sangat bodoh. Selalu menuruti apa yang otak aku inginkan. Bukan menuruti hatiku. Menyia-nyiakan seseorang yang sangat begitu berharga. Menyia-nyiakan kasih sayang yang Ha Neul berikan untukku. Memang pantas dulu Ha Neul membenciku dan meninggalkan diriku.."
"Minseok oppa..." Tangan Ha Ra membelai punggung Minseok yang sudah melengkung disampingnya. Pria itu menutup wajahnya dengan kedua tangan yang ia sanggakan dilututnya. Begitu sangat frustasi.
"Sebetulnya Ha Neul eonni tidak pernah membencimu..."
Kepala Minseok menoleh sedikit dan memperlihatkan matanya dari balik jemari mendengar perkataan Ha Ra. Ha Neul tidak pernah membencinya? Bukankah dia sangat marah ketika terakhir kali mereka bertemu?
"Ha Neul eonni selalu mencintaimu... Dia selalu bersabar dengan sikap acuh mu kepadanya. Sampai pada akhirnya dia menyerah. Ia meninggalkan mu karena tidak mau menjadi pengganggu lagi. Menurutnya dia selalu menjadi pengganggu disaat kau sedang mengejar impian mu menjadi dokter spesialis. Dia tidak mau kau kehilangan impian itu. Eonni tahu menjadi seorang dokter spesialis adalah impian terbesar oppa..."
"Oppa, aku dulu sangat membenci mu... Karena kau sudah membuat eonni selalu menangis tiap malam. Dia selalu merindukan mu. Tapi kau tidak pernah menghubunginya sama sekali. Sewaktu eonni mendengar kabar kau sudah mendapatkan impian terbesarmu menjadi dokter spesialis, dia sangat bahagia..."
"Dan kau tahu kemana sebenarnya tujuan eonni sebelum ia mengalami kecelakaan?"
Minseok menegakkan duduknya melihat Ha Ra membuka tasnya mengambil sesuatu didalam. Ia belum tahu ini. Kemana tujuan Ha Neul membawa mobilnya sampai ia mengalami kecelakaan.
"Ini..." Ha Ra memberikan 2 lembar tiket ke tangan Minseok. "Tujuan eonni malam itu adalah kesini. Ke rumah sakit ini untuk menemui mu. Ia ingin memberikan tiket pertunjukan biola yang selalu diadakan 1 tahun sekali itu. Kau sangat menyukainya kan? Ia tidak mau kau sampai lupa dengan hal ini karena pekerjaan oppa yang sangat super sibuk."
"Tapi aku tidak menyangka eonni benar-benar sampai ke rumah sakit ini dan bertemu denganmu walaupun tujuannya menjadi berbeda.." Air mata Ha Ra kembali mengalir lagi.
Semua perkataan Ha Ra seperti menusuk ke hati Minseok. Semakin meyadarkan hati dan otaknya betapa sangat berharganya Goo Ha Neul untuk seorang Minseok.
Tangan Minseok menggenggam erat lembaran tiket yang diberikan Ha Ra tadi. Mengempaskan punggungnya ke bangku taman sambil mengadahkan kepalanya menahan agar air matanya tidak jatuh seperti Ha Ra. Setelah ia berbuat jahat kepada Ha Neul namun wanita itu masih mengingat apa kesukaannya dan apa impiannya. Semakin membuat Minseok merasa bersalah dan membenci dirinya sendiri.
"Seperti yang aku bilang sebelumnya, aku sangat membenci mu... Tapi setelah aku tahu kau dokter yang telah menolong eonni, aku tidak tahu harus seperti apa.. Aku hanya ingin mengatakan terima kasih kepadamu..." Ujar Ha Ra mengucapkan perkataan langsung nya lagi sembari mengusap air matanya yang mengalir di pipi.
"Kau boleh terus membenciku jika aku membuat kakakmu menangis lagi..." Ucap Minseok masih memejamkan matanya tanpa menoleh ke Ha Ra.
***
Haaa~ Minseok menyenderkan punggungnya ke bangku taman sambil menghelakan nafasnya melepas lelah. Ia hirup udara sebanyak mungkin dan menghembuskannya secara perlahan. Udara awal musim dingin pagi ini tidak terlalu dingin yang ia kira. Matahari masih bisa menghangatkan tubuhnya dan beberapa pasien yang sedang bersantai di taman ini.
"Kau melukis apa?" Tanya Minseok kepada pasien nya yang sejak tadi sudah duduk disampingnya sambil terus melukis.
Kris Wu, pasien Minseok yang mengidap penyakit kanker otak menoleh ke arahnya sambil memamerkan senyuman di wajah tampannya yang begitu pucat. "Hidupku..." Jawabnya singkat.
"Hidupmu?" Tubuh Minseok menggeser kesamping lagi lebih dekat ke Kris karena penasaran apa yang sebetulnya ia lukis.
"Wuah bagus sekali..." Puji Minseok setelah melihat lukisan Kris. "Hidupmu adalah seorang penari balet?"
Senyuman Kris merekah lagi sambil mengangguk menjawab pertanyaan Minseok. "Benar.. Karena dia aku bertahan hidup.."
Minseok tersenyum mendengar jawaban Kris. Sebagai seorang dokter ia tahu betul seperti apa keadaan Kris saat ini. Dan ia begitu senang melihat Kris mempunyai seseorang yang membuatnya memberi semangat hidup. Karena itu baik untuk kesehatan Kris.
"Dokter Kim..." Panggil Kris dengan nada sedikit ragu.
"Ya?"
"Boleh aku minta izin keluar? 1 hari saja.." Pinta Kris memohon kepadanya.
Minseok menghelakan nafasnya dan menatap Kris dengan wajah memohon. Sudah entah keberapa kali dia meminta izin kepadanya untuk keluar dari sini. Tapi Minseok selalu melarangnya karena hampir 3 jam sekali pusing di kepalanya selalu kambuh.
"Aku mohon dokter Kim... Aku ingin memberikan lukisan ini untuk hidupku.." Pinta Kris lagi sambil memelaskan wajahnya.
Sepertinya Kris telah melemparkan alasan yang tepat sekali sehingga Minseok tidak bisa melarangnya lagi. Tidak mungkin Minseok menahan Kris untuk menemui hidupnya kan?
"Baiklah... 1 hari. Tapi ingat jika kau mulai merasakan sakit mu kambuh sedikit saja, kau harus cepat-cepat kembali kesini." Peringat Minseok memberikan izin Kris keluar.
"Pasti! Aku akan kembali kesini lagi!" Janji Kris sambil memeluk Minseok karena saking girangnya ia telah mendapatkan izin.
"Eoh?" Kris baru menyadari ada seseorang yang duduk di kursi roda disamping Minseok. "Siapa dia?"
"Dia?" Minseok berdiri dan mendorong kursi roda kedekat kaki Kris.
"Dia adalah hidupku..." Minseok tersenyum menoleh ke arah Kris. "Ha Neul-ya, kenalkan ini adalah Kris"
Mata Ha Neul menatap wajah Minseok. "Minseok oppa?" Ucapnya pelan.
Bibir Minseok tersenyum menanggapi ucapan Ha Neul. Ia berlutut disamping kursi roda mengambil tangan Ha Neul dan menjulurkan ke arah Kris. "Annyeong.." Ujar Minseok melihat ke dalam mata Ha Neul agar ia bisa mengikuti gerakan bibirnya.
"Ann...nyeo..ng.." Ucap Ha Neul dengan sangat perlahan mengikuti suara Minseok.
"Annyeong, Kris imnida.. Kau sangat cantik.." Kris menjulurkan tangannya menyambut tangan Ha Neul yang masih dipegangi oleh Minseok dan senyuman Kris semakin lebar saat melihat Ha Neul ikut tersenyum karena melihat senyumannya.
****
"Kau... Siapa?"
"Annyeong.. Namaku Kim Minseok. Dan kau adalah Goo Ha Neul. Wanita yang sangat aku cintai. Hari ini aku akan mengajakmu melihat pertunjukan biola. Oh iya, hari ini diperkirakan akan turun salju. Kau suka kan melihat first snow bersamaku?"
Bibir Minseok tersenyum ke arah wajah Ha Neul yang masih menelengkan kepalanya melihat kedatangan Minseok. Ia memakaikan syal tebal dileher Ha Neul dan langsung memeluk kepala Ha Neul ke dadanya. Ia tidak akan pernah bosan memperkenalkan dirinya setiap hari kepada Ha Neul seperti pertemuan pertama kali agar Ha Neul bisa mengingat dirinya lagi secara perlahan.
Mungkin ini adalah cara dari Tuhan untuk menebus kesalahan Minseok karena telah mengabaikan seseorang yang baik hati terhadapnya. Ia akan memulai nya dari awal lagi.
"Baju mu hangat..." Terdengar suara pelan Ha Neul didada Minseok.
Pelukan Minseok semakin erat memeluk Ha Neul kedekapannya sambil terus mencium kepala Ha Neul. Sebisa mungkin ia menahan air matanya agar tidak terjatuh mendengar Ha Neul berkata seperti itu. Karena saat ini Minseok sedang memakai sweater berwarna merah yang ia temukan disebuah kado didekat pohon natal 1 tahun lalu. Kado dari seseorang yang telah memasangkan pohon natal di apartemen tanpa sepengetahuan dirinya.
Minseok terus memeluk dan menciumi kepala Ha Neul tanpa henti karena ingin menyembunyikan air mata yang sudah tidak kuat ia tahan dan membenamkan pipinya yang basah di antara rambut Ha Neul.
Tamat.
Tolong komen atau like nya ya gomawo ^^
Next: Story 5