Setelah selesai makan siang, Kai mengantarkan Ji Yoon kembali ke kantor.
“Gomawo..” ujar namja itu pelan.
“Mwo? Wae? Kenapa harus berterimakasih? Aku kan tidak melakukan apapun. Bahkan kau yang membayar makan siang kali ini.” Ji Yoon mengernyitkan keningnya tidak paham.
“Ani, aku hanya merasa senang bisa makan bersamamu. Suatu peningkatan, kalau mengingat bagaimana sikapmu padaku di Seoul.”
“Ah, itu... mianhae.. aku sudah bersikap buruk pada semua orang.”
“Kau ada waktu nanti malam?” Kai menatap Ji Yoon penuh harap.
Ji Yoon menyentuh tengkuknya sambil berusaha mengingat kegiatannya.
“Sepertinya aku harus menyelesaikan pekerjaanku. Aku belum mengerjakan apa-apa hari ini.”
“Ah, sayang sekali.”
“Kenapa? Kau mau mengajakku keluar?”
“Tadinya sih begitu.. Tapi apa boleh buat, kau harus bekerja.”
Ji Yoon mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Kalau begitu aku kembali kerja dulu ya...” Ji Yoon memutuskan untuk masuk ke kantor.
“Sampai jumpa lagi, Ji Yoon-ah.. Kalau kau ada waktu, jangan sungkan telpon aku. Aku akan selalu punya waktu untukmu.”
“Ne, hati-hati dijalan ya. Gomawo, sudah mengajakku makan dan memberikanku bunga.”
“Ah, Woo Bin Hyung titip salam padamu. Eomma mu juga.. kau belum mengabarinya sampai sekarang?”
Ji Yoon tertegun mendengar ucapan Kai barusan. Tadinya ia ingin menanyakan kabar ibunya, tapi ia melupakan hal itu setelah bertemu dengan ayahnya.
“Aku akan menghubunginya nanti.”
“Kalau begitu, aku pergi..” Kai mengelus puncak kepala Ji Yoon dan bergegas pergi sebelum Ji Yoon sempat mengomentari perbuatannya.
*&*
“Apa makan siangmu menyenangkan?”
Ji Yoon dikejutkan dengan kehadiran Taemin di tangga flatnya.
“Yak! Kau mengagetkanku...” pekik Ji Yoon.
“Kau menikmati makan siangmu tadi?”
Cecar Taemin lagi.
“Taemin-ah, wae geure? Kenapa kau selalu bicara dengan nada menyudutkan seperti itu?”
“JAWAB PERTANYAANKUUU..!!”
“Taemin-ah... Kau membuatku takut...” ujar Ji Yoon pelan.
Taemin menghembuskan nafasnya kesal lalu meninju dinding.
“Kenapa kau menolak makan denganku, tapi malah jalan dengannya?”
“Apa yang salah dengan itu? Aku bebas jalan dengan siapa saja. Kenapa kau gampang sekali marah? APA KAU PUNYA HAK UNTUK BERTERIAK DIDEPAN WAJAHKU?!!” Ji Yoon mendorong badan Taemin menyingkir dari jalannya lalu memutar kunci pintu.
“Ji Yoon-ah, aku hanya ingin menghabiskan sedikit saja waktuku denganmu. Apa tidak bisa?” Taemin meraih lengan Ji Yoon yang langsung ditepis kasar oleh yeoja itu.
“Aku sedang tidak ingin berbicara denganmu. Aku benci hidupku.”
Ji Yoon membuka pintu dengan kasar dan menutupnya dengan cepat sebelum Taemin menghentikannya.
“Ji Yoon-ah, mianhae... Aku tidak bermaksud membentakmu. Aku hanya terlalu emosi karna melihatmu jalan dengannya.” Taemin berusaha membujuk Ji Yoon untuk membukakan pintu.
Ji Yoon melemparkan tasnya dan langsung merebahkan tubuhnya diatas sofa. Ji Yoon menyeka airmata yang baru disadarinya sudah menetes membasahi pelipisnya. Ji Yoon memaki dirinya sendiri yang menjadi begitu sensitif akhir-akhir ini. Semuanya jadi terasa begitu berat.
“Memangnya siapa dia berhak membentakku seperti itu?!” isaknya sambil menelungkupkan badannya.
Taemin mengetuk pintu berulang kali. Tapi Ji Yoon tidak berniat untuk membukakan pintu. Ketukan dipintu baru berhenti beberapa menit kemudian. Setelah kondisinya lebih tenang, Ji Yoon bangkit dan meraih tissue diatas meja. Menyeka airmatanya sampai kering dan meraih ponselnya yang ada disaku. Kemudian ia mencari nomor di kontaknya dan menunggu telepon terhubung.
“Yeoboseyo..”
“Ah, Eomma.. ini Ji Yoon...”
“Aigoo, Ji Yoon-ah.. kemana saja kau? Eomma sangat mengkhawatirkanmu.”
“Ne, aku tahu itu dari Gikwang dan yang lainnya, Eomma. Mianhae sudah membuat eomma kesusahan.”
“Kau dimana? Apa kau baik-baik saja?”
Ji Yoon menggigit bibirnya yang bergetar menahan isak tangis.
“Aku... Aku di Tokyo, Eomma.. Aku baik-baik saja. Eomma sehat?” air mata Ji Yoon menetes. Tak bisa dipungkiri, ia sangat merindukan wanita yang membesarkannya seorang diri saat kecil itu.
“Eomma sudah baikan..”
“Eomma sakit? Eomma sakit apa?”
“Ah, itu tidak perlu. Eomma sudah sembuh sekarang. Kapan kau pulang?”
“Aku tidak tahu. Mianhae, Eomma. Aku tidak ada saat Eomma sakit.”
“Gwaenchana..” ujar wanita itu lemah diseberang sana.
“Eomma harus makan yang banyak ya..”Ji Yoon tidak mampu menyembunyikan isak tangisnya lagi.
“Ji Yoon-ah.. wae? Apa ada yang salah disana? Kenapa kau menangis?” suara khawatir ibunya membuat hati Ji Yoon semakin perih.
“Eomma...” isak Ji Yoon.
“Ji Yoon-ah, wae?”
“Eomma.. aku...” Ji Yoon berusaha menenangkan dirinya. “Aku bertemu Appa..”
“Nde?”
“Ne, Eomma. Aku melihatnya tadi malam.”
“Kau baik-baik saja?”
“Aniyo, Eomma...” tangis Ji Yoon semakin kuat. “Aku.. Aku tidak bisa membohongi diriku sendiri. Aku benci diriku karna aku ingin sekali memeluknya, aku merindukan orang yang paling kubenci selama ini Eomma... Aku.. aku sakit... Aku tidak baik-baik saja.” Ji Yoon mengadu pada ibunya.
Untuk pertama kalinya, Ji Yoon terbuka tentang rasa sakitnya pada Eommanya. Selama ini ia menyimpannya seorang diri dan bersikap seolah semuanya baik-baik saja.
“Ji Yoon-ah... Ssshhh... Uljima.. Eomma ikut merasakan kesakitanmu saat ini. Eomma paham itu sayang.. Tenangkan dirimu...”
Ji Yoon merasa lebih tenang saat mendengar ibunya menyanyikan lagu yang sering dinyanyikan ibunya saat ia kecil.
“Eomma.. Saranghae...” bisiknya sebelum menutup telepon..
“Eomma mencintaimu lebih dari nyawa eomma sendiri, sayang...”
Jawaban ibunya itu terus terngiang dikepalanya meskipun hubungan telepon itu sudah terputus sejak tadi. Ji Yoon kembali menelungkupkan wajahnya disela-sela lututnya yang ditekuk dan menangis disana.
Kali ini ia merasa butuh pelukan hangat ibunya. Bunyi jam berdetik semakin menambah ras hampa didalam dirinya. Ia tidak merasakan apa-apa selain rasa kosong disana.