Taxi berhenti tepat dihadapan Ji Yoon. Ia langsung masuk setelah pasangan yang berada di taxi itu keluar. Tanpa menunggu lama, taxi itu langsung meluncur meninggalkan restoran itu. Ji Yoon mencoba menenangkan diri dengan menghela nafas berulang kali, tapi gagal. Akhirnya ia berteriak di dalam Taxi dan mengejutkan supir di depan.
“Maaf... Saya hanya sedang tertekan...” ujarnya dengan wajah datar.
“Ji Yoon-ah.. tunggu...”
Taemin mengejar taxi itu, tapi tidak ada tanda-tanda Ji Yoon akan menyuruh taxi berhenti. Kemudian ia langsung berbalik menuju tempat parkir saat teringat mobilnya.
“Tunggu... apa kau mengenal putriku?”
Ayah Ji Yoon yang sudah berada diluar restoran langsung menghadang langkah Taemin.
“Ayah mana yang tidak mengenal putrinya sendiri? Baru kali ini saya menemukan hal seperti ini.”
Taemin menghela nafas.
“Apa kau tahu dimana dia tinggal?”
“Baiklah, sepertinya ada yang harus diselesaikan. Silahkan ikuti saya, saya akan mengantar Ahjussi ke flatnya. Tapi Ahjussi harus menyelesaikannya sendiri dengan Ji Yoon. Ia pasti terpukul sekali...”
“Ah, terimakasih....”
Pria itu langsung menjabat tangan Taemin dan bergegas memasuki mobilnya sendiri. Taemin menyalakan mobilnya dan keluar dari parkiran diikuti mobil pria itu.
Taemin memarkirkan mobilnya di pinggir jalan dan keluar. Pria itu melakukan hal yang sama.
“Saya rasa, sampai disini saja. Anda bisa menemuinya sendiri ahjussi? Saya tidak ingin kena marah olehnya. Ahjussi bisa naik lewat tangga, kamarnya ada di lantai 2, kamar ke 3...”
“Sekali lagi terimakasih sudah membantu.”
“Lain kali, kuharap kita bisa berbincang bersama, dengannya.. Ahjussi..”
“Ya, sampai bertemu lain kali...”
Taemin langsung masuk ke mobilnya dan pulang. Dia ingin membiarkan mereka berdua berbicara empat mata. Siapa yang tahu apa yang akan terjadi kalau dia ikut mengantar pria itu langsung ke dalam flat Ji Yoon? Kemungkinan Ji Yoon tidak akan mau menemuinya lagi.
~~~~***~~~~
Ji Yoon menyeka air mata yang membasahi kedua pipinya dengan ujung sweater dan bergerak menuju pintu saat mendengar ada orang yang baru mengetuk pintunya.
“Siapa?” ujarnya dengan suara serak.
Tidak ada jawaban. Perlahan ia membuka pintu, dan tangannya yang menggenggam kenop pintu langsung kaku.
“Ada keperluan apa anda datang?”
Suaranya terdengar sangat pelan, bahkan nyaris hanya bisa didengarnya sendiri.
“Yoon-ee, putri kecilku...” kata pria itu dengan suara bergetar menahan emosi yang meluap karna bahagia.
“Putri anda sudah mati. Anda bisa melihat jasadnya 12 tahun lalu.”
Air mata Ji Yoon menetes seiring dengan ucapannya barusan, tapi ekspresinya masih dingin. Bahkan kalimat yang dia ucapkan sendiri itu terasa melukai hatinya sendiri.
“Yoon-ee... Putriku...” ayahnya sedikit mendorong pintu supaya ia bisa masuk kedalam.
Dengan mudah pintu terbuka, karna Ji Yoon tidak punya tenaga lagi untuk menahannya.
“Putriku, bagaimana kabarmu...?”
“GEUMANHAE...!! Aku tidak ingin mendengar anda memanggilku seperti itu. Anda tidak berhak memanggil namaku, sejak anda meninggalkanku dan melupakanku.”
Ji Yoon menutup telinganya dengan kedua tangannya dan bergerak mundur.
“Mianhae... Mianhae Yoon-ee... Appa tidak bermaksud meninggalkanmu.”
“Tapi faktanya anda... anda meninggalkanku waktu itu. Bahkan anda tidak mau tinggal demi aku.”
Tangis pria itu pecah sembari mendekap Ji Yoon yang sudah terduduk dilantai.
“Mianhae... Appa tidak ingin membuatmu terluka dengan pertengkaran appa dan eomma..”
“Hhh.... terluka? Ini bukan luka biasa. Anda bahkan melupakanku...” Ji Yoon mendengus dan berusaha melepaskan pelukan pria itu.
“Bukan, Appa bukan melupakanmu. Appa hanya tidak percaya, bertemu denganmu di Tokyo.. Mianhae, Appa tidak melihatmu besar, tidak melihatmu lulus sekolah, dan tidak memberi apa yang kau butuhkan. Appa memang salah. Appa orang paling jahat dan paling bodoh di dunia ini.”
Pria itu mengeratkan pelukannya dan membenamkan wajahnya yang sudah basah di bahu Ji Yoon.
“Anda bisa pergi sekarang. Setidaknya saya tahu kalau orang tua ku masih hidup.”
“Ji Yoon-ee.. kalau mau membenci appa silahkan... tapi biarkan appa merawatmu dan berada di dekatmu.”
“Ani... sudah terlambat. Sekarang aku sudah bisa menjaga diri sendiri dan sudah bisa hidup mandiri. Aku tidak butuh uang anda.”
Ji Yoon melepaskan pelukan pria itu dengan paksa dan berdiri di samping pintu.
“Sudah malam. Aku harus bekerja besok.” Ujarnya dingin.
Pria itu menyeka air matanya dan berdiri dengan lesu.
“Appa hanya meminta untuk dimaafkan.”
“Dan aku dulu hanya meminta untuk tidak ditinggalkan...”
Jawaban Ji Yoon itu sontak membuat ayahnya terdiam dan melangkah keluar dari flat. Ji Yoon memandang punggung pria itu yang tidak sekokoh dulu. Perlahan ditutupnya pintu dan tubuhnya menggelesor ke lantai sering dengan isak tangisnya yang kembali pecah.
Ayahnya masih bisa mendengar suara tangisnya. Ia bermaksud mengetuk kembali pintu untuk memastikan keadaan putrinya itu. Tapi diurungkannya niat tersebut, untuk memberi waktu bagi Ji Yoon menenangkan diri.
~~~***~~~