Sejak kecil, aku memiliki banyak impian tentang jadi apakah aku dewasa nanti. Pernah terpikir olehku untuk menjadi seorang guru atau seorang dosen di sebuah Universitas besar saat melihat Appaku—yang kebetulan adalah seorang dosen—memberikan pidato di depan mahasiswa-mahasiswanya.
Tetapi keinginan untuk menjadi seorang dosen itu hilang saat aku menonton sebuah drama musikal bersama teman-temanku saat duduk di bangku SMP. Sejak saat itulah aku menyimpan keinginan untuk menjadi seorang aktris drama musikal. Diam-diam, tanpa sepengetahuan orang tuaku, aku mendaftarkan diri di sebuah sekolah seni informal dan bergabung dengan kelompok teater disana untuk belajar akting. Di tempat itulah, aku bertemu dengan seorang sunbae namja yang hebat yang sangat aku hormati.
“Goo Eun-ah, kau sudah datang?” sunbae itu menyapaku saat aku masuk ruangan dan bergabung dengan teman-teman teater lainnya. “Silahkan cari tempat duduk yang nyaman. Tenang saja, kita belum mulai kok” kata sunbae tersebut sambil mengirimkan senyuman hangat untukku.
Syukurlah aku belum terlambat, batinku. Tadi aku ada pelajaran tambahan sehingga aku pikir aku akan terlambat untuk mengikuti kelas teater hari ini.
“Ne, Woo Bin sunbae,” aku menjawabnya dengan sedikit menambahkan nada aegyo pada suaraku. Woo Bin sunbae adalah seorang senior yang tampan dan cerdas di mataku. Dia juga juga memiliki tubuh yang ideal, berotot dan tinggi. Karena itulah dia sangat laris sebagai aktor teater dan aku dengar-dengar dia sudah banyak ditawari masuk ke beberapa agensi besar.
Mataku langsung menangkap spot kosong diantara dua yeoja yang belum kukenal tetapi aku yakin mereka seusiaku, dan aku langsung duduk di antara mereka.
“Baiklah, mari kita mulai kelas hari ini. Hari ini kita akan berlatih dan membahas tentang…….......”
Satu setengah jam kemudian, tak terasa kelas akting hari itu telah usai.
***
“Kau tampak lelah, Goo Eun,”
“Eh?” aku kaget mendengar karena Woo Bin sunbae berbicara padaku.
“Wajahmu tidak segar belakangan ini. Apakah ada sesuatu yang terjadi padamu?” Woo Bin sunbae mendekatkan wajahnya ke wajahku dengan ekspresi khawatir di wajahnya seakan ingin melihat lebih jelas seandainya ada sesuatu yang salah dengan wajahku.
“A..aku..hanya kelelahan karena harus berlatih sepulang sekolah. Akhir-akhir ini jadwal sekolahku penuh. Kelas sembilan memang penuh cobaan,” aku terkekeh.
Woo Bin sunbae tersenyum. “Himnae Goo Eun-ah. Kamu pasti bisa melewati kelas sembilan ini dan masuk ke SMA favoritmu.”
“Gamsahamnida. Kalau begitu aku pulang dulu. Ngomong-ngomong, kelas hari ini sangat hebat!” aku pun tersenyum dan melambai ke arahnya.
“Kau tidak mau diantar?”
“Eoh? Siapa yang mengantar? Sunbae?”
Woo Bin tertawa. “Siapa lagi?”
“Hehe..tidak…terima kasih. Aku ingin tetapi aku membawa sepedaku. Aku bisa pulang dengan sepeda,”
“Arraso. Hati-hati di jalan,” Woo Bin sunbae melambai ke arahku dan aku membalasnya sambil tersenyum.
Kukayuh sepedaku dengan pelan menuju rumah. Aku rasa aku tidak sanggup mengayuh lebih cepat lagi karena hari ini aku benar-benar lelah. Sebenarnya bukan hanya hari ini. Kemarin dan beberapa hari lalu aku juga merasakan bahwa aku terlalu memaksakan badanku untuk menjalani semua aktivitasku. Tubuhku serasa sudah memberikan peringatan untuk mengurangi kegiatanku, tetapi aku tidak bisa. Bagiku, sekolah dan teater sama pentingnya.
Kelelahan ini tentu tidak akan terjadi jika aku bersekolah di sekolah seni formal. Aku membayangkan jika aku bersekolah di sekolah seni seperti SOPA, aku akan dapat mengejar karir akademik maupun non akademik sekaligus.
“Appa sama sekali tidak setuju kalau kamu mendaftar di sekolah itu,” kata Appa dengan tegas saat aku mengutarakan keinginanku untuk melanjutkan SMA-ku ke sekolah seni formal. “Appa selama ini tidak melihat ada bakat seni dalam dirimu. Kamu tidak akan betah bersekolah di sekolah seperti itu.”
Perkataan Appa sangat menyakiti hatiku. Walaupun aku tidak yakin apakah aku memiliki bakat seni atau tidak, tetapi selama ini aku sudah menjadi salah satu anggota kelompok teater walaupun aku belum pernah mengikuti pementasan. Tentu saja aku tidak bisa jujur tentang hal itu karena selama ini aku telah berbohong tentang alasan mengapa aku sering pulang terlalu malam. Aku selalu memiliki seribu alasan selain mengatakan bahwa aku mengikuti kelas akting, entah itu karena ada pelajaran tambahan di sekolah, membuat tugas kelompok di rumah temanku, atau alasan lain yang menurutku masih bisa ditoleransi oleh orang tuaku.
Berdasarkan penilaian teman-teman dan orang-orang di sekitarku, aku termasuk murid yang pandai di sekolah. Aku dengan mudah mengingat dan mengerti materi pelajaran. Karena itulah aku dengan mudah diterima di sekolah menengah atas yang ditunjuk oleh Appa. Tetapi ada satu hal yang aku sesalkan dari SMA-ku itu, sekolah itu sama sekali tidak menyediakan ruang untuk murid-murid yang menyukai seni. Tidak ada pelajaran seni. Tidak ada ekstrakurikuler yang berbau seni. Sistem pembelajarannya full dengan pelajaran eksak dan sosial yang membuat aku stress selama beberapa minggu pertama bersekolah di sana.
Selama berminggu-minggu aku tidak pernah lagi datang ke studio untuk berlatih akting bersama kelompok teaterku. Woo Bin sunbae yang khawatir karena tidak melihat batang hidungku selama beberapa minggu akhirnya meneleponku dengan nada khawatir,”Apakah kamu baik-baik saja, Goo Eun?” itu adalah kalimat pertama yang kudengar darinya setelah aku mengangkat teleponku.
“Ne, Sunbae. Nan gwenchana!” sahutku dengan nada riang yang—jujur—aku buat-buat. “Aku hanya terlalu sibuk beradaptasi dengan sekolah baru ini. Maaf kalau aku tidak pernah datang ke studio.”
“Syukurlah. Aku kira….” tiba-tiba Woo Bin sunbae menghentikan kata-katanya.
“Kira apa, Sunbae?”
“Aku kira kamu sudah ketahuan,” jawabnya pelan.
Butuh waktu dua detik untukku mencerna kata-katanya. “Oooh…tidak..bukan karena itu…” aku tertawa pelan.
Woo Bin sunbae tahu kalau aku belajar akting secara diam-diam tanpa sepengetahuan orang tuaku.
“Baiklah kalau begitu. Tetapi aku berharap suatu saat kamu jujur. Terlalu banyak berbohong itu tidak baik. Dan aku tidak akan membiarkanmu terlalu lama bolos kelas akting. Segera selesaikan masalah adaptasimu di sekolah dan cepat kembali kesini, oke?”
“Ne, Sunbae. Aku juga berharap bisa belajar akting lagi.”
“Bagus. Dan satu lagi, jika kita sedang berbicara berdua secara pribadi seperti ini, bisakah kau memanggilku dengan Oppa, bukan Sunbae? Aku ingin kita merasa dekat, jadi kau tidak sungkan berbagi banyak hal denganku.”
“Hmm…Oppa? Woo Bin oppa,” aku memanggilnya sambil terkekeh. Aku sama sekali tidak keberatan diminta memanggilnya dengan sebutan Oppa, karena selama ini dia sudah terlalu dekat denganku seperti kakakku sendiri. Tetapi aku tidak bisa menyembunyikan kekagetanku ketika Woo Bin sunbae baru kali ini secara langsung memintaku memanggilnya dengan sebutan Oppa setelah kedekatan kita yang terhitung sudah lama.
Akhirnya aku mengakhiri telepon dengan Oppa baruku dengan senyuman lebar. Aku merasa mendapat suntikan semangat yang kurasakan seperti sebuah oasis di tengah-tengah tandusnya otakku akibat terlalu banyak pelajaran eksak yang masuk ke kepalaku.
Namun ternyata tahun pertama bukanlah tahun yang mudah bagi siswa SMA. Tahun pertama merupakan tahun tersibuk karena tahun itu adalah tahun untuk beradaptasi dengan lingkungan yang baru. Selain itu, tahun pertama juga diidentikkan dengan senioritas yang tinggi. Siswa senior—yaitu siswa tahun kedua dan tahun ketiga—seakan memiliki kewenangan atas kami dan tidak sungkan menyuruh siswa tahun pertama mengerjakan tugas mereka jika mereka malas, atau menyuruh kami pergi ke kantin untuk membelikan mereka makanan di saat jam istirahat, atau yang lebih parah—kami bisa ditawan sepulang sekolah entah apapun tujuannya dan membiarkan kami pulang setelah larut malam. Hal inilah yang membuatku mustahil untuk melanjutkan pelajaran aktingku sepulang sekolah di tahun pertama SMA.
***
Tidak terasa tahun pertama di SMA pun berlalu. Aku menarik nafas panjang dan menghembuskannya dengan lega sambil menatap kertas kenaikan kelasku. Senyuman lebar menghiasi wajahku dan aku tidak bisa mendeskripsikan betapa gembiranya aku karena akhirnya terlepas dari predikat junior kelas bawah. Setidaknya tahun ini aku akan memiliki junior yang bisa aku manfaatkan walaupun aku belum tentu terlepas dari jeratan senior tahun ketiga. Aku merogoh saku seragamku untuk mencari handphone ku dan setelah menemukannya, dengan semangat aku mencari sebuah nama di daftar kontakku.
“Yeoboseyo,” terdengar namja mengangkat teleponku.
“Oppa! Ini aku, Goo Eun. Oppa dengar saja, oke? Aku sudah naik ke kelas dua dan secepatnya aku akan kembali ke studio untuk belajar akting lagi. Jadi tunggu aku, mungkin sore ini aku akan mulai lagi,” lalu aku buru-buru memutus sambungan teleponku tanpa memberikan kesempatan orang itu untuk berbicara.
***
Tepat seperti janjiku, sore itu aku mengayuh sepedaku ke arah studio teater. Sepuluh menit kemudian aku tiba di depan studio dan memarkir sepedaku di tempat yang aman. Aku langkahkan kakiku menuju pintu masuk studio, tetapi sebelum masuk, aku tiba-tiba menghentikan langkahku. Satu detik kemudian kulangkahkan kakiku beberapa langkah ke belakang dan mendongakkan sedikit kepalaku. Di posisi berdiriku seperti ini, dapat kulihat bangunan studio bercat hitam yang sudah sudah sangat familiar. Kuhirup udara yang lembab pelan-pelan dan aku menikmati perasaan bahagia karena aku kembali ke tempat ini. Setelah puas memandangi gedung studio, aku melangkahkan kakiku ke pintu masuk utama.
“Ouch!” terdengar suara erangan seorang namja tepat setelah aku membuka pintu kaca studio. Tepat di depanku, aku melihat namja itu memegang dahinya. Rupanya dahinya terbentur pintu kaca yang aku buka.
Seketika aku merasa bersalah dan dengan cepat mendekatinya, menanyakan keadaannya. “Gwenchana? Maaf sekali, aku tidak sengaja membuka pintu terlalu keras jadi mungkin kam—“ kalimatku terputus ketika namja itu menurunkan tangan dari dahinya, matanya bertemu dengan mataku dan aku bisa melihat dengan jelas siapa dia.
“Byun Baekhyun?” tanyaku dengan kaget, seolah-olah aku tidak mengharapkan bertemu dengannya di tempat seperti ini.
“Han Goo Eun? Apa yang kau lakukan disini?” Byun Baekhyun balik bertanya kepadaku.
Dengan panik aku melihat sekeliling, menghindari tatapan Baekhyun. Sementara itu otakku sibuk mencari jawaban yang tepat untuk pertanyaannya.
-TO BE CONTINUED-