XXX
“Orang bernama Choi itu sangat menyebalkan, ke mana pun dia mengikutiku, apa-apa tidak boleh, ke sana tidak boleh, ke sini tidak boleh, dia sangat mengganggu tahu!” teriak Yuri sebisanya untuk membela diri ketika Ji Yong mulai bertanya tentang orang itu, yah si pengawal aneh.
“Iya, iya, tidak usah berteriak begitu!”
“Aku bahkan tidak tahu nama lengkapnya, huh,” lanjut Yuri tanpa menoleh, ia bicara sendiri. Saat itu Ji Yong tiba-tiba tersenyum dan cepat-cepat menyembunyikannya sebelum Yuri mengetahui.
“Sekarang kau mau ke mana lagi?” tanya Yuri akhirnya, setelah melupakan pembicaraan mengenai pengawal Choi yang cukup membuatnya panik. Jelas saja, ia takut Ji Yong bertemu dengan pengawal Choi, oh tidak, ia lebih takut pengawal Choi menemukannya—meski tadinya ia sedikit menyesal telah pergi. Aksi pergi dari rumah tanpa alasan yang dilakukannya mungkin bisa dibilang sebagai salah satu perbuatan dosa yang tidak dapat dimaafkan, apalagi kalau kakaknya tahu. Untung saja Young Bae masih di luar negeri.
“Kita harus membeli bahan makanan, semua bahan yang ada di kulkasku rusak karena kau yang tidak bisa memasak,” jawab Ji Yong enteng.
Yuri menghela nafas mengingat aksi memasaknya tadi. Ia baru pertama kali berkutat di dapur dan hasil kerja keras beberapa jamnya tidak dihargai sama sekali. Hampir sama dengan para juru masak di rumahnya yang seringkali ia marahi, yah setidaknya para juru masak itu harusnya lebih ahli dari dirinya. Ah, tak perlu membela diri.
“Jangan suruh aku memasak lagi, atau akan kuracuni makananmu!”
“Begitu ya? Kupikir masakanmu tadi lumayan?”
Yuri tidak menanggapi. Pasti itu ulah Ji Yong untuk menyiksanya saja. Dia sudah merasakan sendiri hasil masakannya yang tidak enak, ia sendiri bergidik ngeri melihat Ji Yong mau menghabiskan makanan hasil eksperimen itu.
“Di sini?” Yuri tak habis pikir melihat tempat yang baru didatanginya sekarang.
“Sudah kubilang kita berbelanja?” Ji Yong merasa aneh dengan sikap Yuri. Apa wanita ini tidak pernah melihat yang namanya pasar?
“Hey, hey! Tidak bisakah kita belanja di supermarket saja? Tempat ini sepertinya...”
“Tentu saja kita akan belanja di supermarket kalau saja aku kaya raya. Atau kau mau membayar semuanya?”
“Tidak masalah,” jawab Yuri dengan tenang. Tentu saja, dia punya begitu banyak uang di dompetnya, kalau perlu bisa gunakan saja kartu kredit.
Ji Yong tidak menanggapi peryataan Yuri tadi sebagai sesuatu yang meyakinkan. Ia Tetap melangkah keluar dari mobil yang terparkir itu, sementara Yuri mengejarnya dengan susah payah.
“Sudah kubilang akan kubayar!” teriak Yuri sambil terus berjalan di samping Ji Yong. Percuma saja, Ji Yong yang tidak percaya tidak menggubrisnya lagi. Ia malah mengeluarkan kertas yang dilipat rapi dari dalam kantung jaketnya. Entah kapan ia membawa itu.
“Daftar apa saja yang harus kau beli,” Ji Yong menjelaskan pada Yuri yang menatapnya bingung.
“Aku tahu, memangnya aku bodoh! Kenapa tak kau sendiri saja melakukan ini? Ah iya, aku lupa, kau hidup sendirian, harusnya kau bayar orang untuk melakukan pekerjaan ini, huuh,”
“Kau lupa sekarang kau jadi apa?”
“Jadi asisten, tapi kan bukan untuk urusan seperti ini!!”
“Kau lupa kalau di sini juga ada polisi?”
Yuri mendadak pucat. Hanya dengan polisi Ji Yong berhasil mengancam Yuri.
“Huuh, baiklah. Tapi aku tidak tahu cara belanja di sini,...”
Ji Yong tidak berbicara lagi dan mendorong Yuri pada stand penjual di sampingnya. Yang benar saja, masa tidak tahu cara beli barang.
“Permisi, eh aku... mau beli...,” Yuri membaca daftar di tangannya. “Errr, sawi, eh benar tidak? Yang mana sawi?” Yuri terbata-bata, sedangkan Ibu penjual sayur itu hanya menatapnya dengan heran. “Sawi? Ini?” Ibu itu menunjuk sayuran yang berada tepat di depan Yuri.
“Oh, iya aku beli satu,”
“Lima ratus won,”
“Oke, ternyata murah sekali, aku beli banyak deh,” Yuri mengeluarkan dompet dan membayarnya.
“Hey, benda ini lima ratus won? Yang benar saja!” oh iya, hampir lupa kalau ada Ji Yong di sebelah Yuri.
“Kenapa?”
“Itu mahal sekali!”
“Memang semua barang mahal sekarang ini! Ini semuanya, terima kasih sudah membeli,” kata ibu penjual itu.
“Ah, sudahlah, kita cari yang lain lagi,” Yuri beranjak pergi.
“Hey, kalau kau berbelanja di sini kau harus pandai menawar! Masa begitu saja tidak tahu!” Ji Yong tidak terima. “Kau mau menghamburkan banyak uang apa?” lanjutnya lagi.
“Iya-iya maaf, aku belum pernah ke sini tahu,”
“Kalau begitu sekarang lakukan dengan baik!”
Yuri berjalan mendekati pedagang buah di dekat situ karena Ji Yong menuliskan satu kilogram apel dalam daftar.
“Omo, jarang sekali ada wanita cantik yang datang ke tokoku!” kata Paman pedagang buah itu dengan semangat saat melihat Yuri datang. Yuri tidak terlalu menanggapi perkataan paman itu.
“Paman, aku mau beli apelnya,”
“Ya, apel di sini masih segar, baru saja dikirim dari kebunnya!”
“Yang tidak segar juga tidak apa,” ujar Yuri sekenanya, toh yang memakan bukan dirinya.
“Berapa aku harus membayar?”
“Khusus untuk wanita cantik sepertimu akan kuberi setengah harga saja! Hanya seribu lima ratus won!”
“Hah? Benarkah? Semurah itu?” Yuri tidak percaya.
“Asalkan kau akan sering berkunjung ke sini, kau akan kuberi ini semua gratis,”
“Terimakasih Paman!” Yuri terlonjak senang sambil sesekali menoleh pada Ji Yong dengan senyum kemenangan. Tidak perlu susah menawar dia sudah bisa mendapat setengah harga, benar-benar berbakat!
“Huh, dasar paman mesum!” Ji Yong berjalan pergi sambil mengumpat, untungnya paman tadi tidak mendengar itu karena sibuk dengan pembeli lain.
“Lihat, hebatkan aku? Kalau begini aku bisa membeli semua barang dengan murah, hahahaha,”
“Huh, begitu saja bangga,”
“Heh, kau meremehkanku ya? Kau sendiri bisa tidak hah?”
“Ahh... itu mudah saja. Lihat penjual ikan itu, aku akan membeli ikannya,” Ji Yong menunjuk pada penjual ikan dekat sana. Ia pun berjalan dengan penuh percaya diri, tanpa peduli sudah beberapa orang menatapnya dengan terkagum-kagum—sekaligus merasa aneh.
“Silahkan tuan, salmonnya masih segar!” kata paman penjual ikan menawarkan ikan-ikannya di bak. Yuri hanya berdiri di belakang Ji Yong, jujur saja ia tidak suka dengan bau ikan.
“Hmm, aku ingin beli yang ini, dua ekor saja,” ucap Ji Yong sekenanya. Sebenarnya ia tidak berniat beli ikan, hanya iseng saja melakukan itu.
“Semuanya seribu won,”
“Eh paman, apa aku tidak boleh dapat setengah harga?”
“Yak, ini saja sudah murah sekali, kau mau aku bangkrut?”
“Ah, paman, nanti akan kuberi tanda tanganku,”
“Tanda tangan? Untuk apa?”
“Hey paman ini? Paman tidak tahu siapa aku?” Ji Yong merapikan rambutnya.
“Siapa?” paman itu bingung.
“Kwon Ji Yong!” Ji Yong mulai hilang kesabaran. Tadinya ia ingin memanfaatkan popularitasnya agar bisa mendapat potongan harga.
“Haaaaah, oh Kwon Ji Yong? Kapan aku mengenalmu? Cepat bayar ikannya!!”
“Ah tidak jadi paman!!” Ji Yong merasa kesal. Artis terkenal seperti dirinya benar-benar dipermalukan di depan penjual ikan. Sementara Yuri yang mendengar itu berusaha keras untuk tidak tertawa, ia tahu itu pasti berat untuk Ji Yong.
“Apa kau bilang? Tidak jadi beli? Kau mempermainkanku ya?!”
“Tidak jadi pokoknya!!”
“Yak dasar kau! Belum pernah disiram air bekas ikan ya?”
“Mwo?” Yuri kaget mendengar itu. Bisa-bisa ia juga menjadi korban. Cepat-cepat ia menarik Ji Yong lari sebelum keributan di pasar semakin menjadi. Rupanya penjual ikan itu masih saja marah dan meneriaki dua orang yang berlari itu.
Mereka berdua kini sudah berlari menjauh, entah berada di sudut pasar yang mana. Yuri berusaha keras mengatur nafasnya yang tersengal. “Ini pasti karena nilai pelajaran olahraga di sekolahku dulu bagus,” gumamnya, “Aku berbakat menjadi atlet,”
“Aigooo, paman itu, benar-benar!!” Ji Yong masih saja kesal. Rasanya ingin menghancurkan stand penjual-penjual yang ada di sana.
“Sudahlah, kalau memang tidak terkenal mau apa lagi? Ayo kita belanja lagi,” ajak Yuri.
“Tidak usah, kita pulang saja! Aku kesal sekali hari ini!!”
“Oh, tidak jadi? Ya sudah, di mana tadi kau parkir mobil?”
“Astaga, aku parkir di sisi sana,” katanya dengan sedikit menyesal—entah karena apa—sambil menunjuk ke salah satu arah. “Hey, tidak usah ke sana, nanti melewati paman yang tadi!” Ji Yong cepat-cepat menahan Yuri berjalan pergi.
“Lalu?”
“Jalan kaki saja,”
“Hey kau gila! Mau pulang jalan kaki? Mobilmu mau kau tinggal?”
“Biarkan saja,”
“Hey, terserah mau kau buang mobilmu, tapi setidaknya kita naik taksi atau apa, masa jalan kaki? Tidak tahu hari ini panas?” Yuri protes dengan keras.
“Ah berisik, ayo jalan.”
Yuri sebenarnya tidak mau mengikuti Ji Yong, namun daripada sendirian di tempat asing begini hal itu jadi lebih baik. Lagipula menurutnya Ji Yong tidak akan serius meninggalkan mobilnya. Dia kan tidak sekaya itu.
XXX
“Hari ini untuk pertama kalinya aku ke pasar tradisional,” gumam Yuri saat duduk di sebuah bangku panjang di tepi jalan.
“Kau mau mencatat itu di buku diarymu?” tanya Ji Yong yang sebenarnya heran pada Yuri. Baru pertama kali ke pasar? Yang benar saja.
“Buku diary?”
“Buku yang kau bawa itu? Itu buku diary bukan?”
“Bukan, aku mencatatnya dalam ingatanku saja,”
“Nanti pasti akan kau tulis dalam buku sejarah,”
“Hah? Maksudmu?” Yuri merasa heran lagi. Ji Yong sebenarnya masih berpikir kalau Yuri adalah putri kerajaan di masa lalu yang menggunakan sihir untuk sampai di masa depan.
“Lupakan,”
“Aneh, sekali, tadi sangat panas, kenapa sekarang mendung?” Yuri menatap langit yang berwarna kelabu itu.
“Tentu saja, sekarang terjadi cuaca ekstrim, jadi bisa hujan tiba-tiba,” jawab Ji Yong sekenanya.
“Benarkah? Apa tidak sebaiknya kita pulang?”
“Nanti dulu, aku lelah,” Ji Yong merasa lelah setelah lari-lari di pasar tadi.
“Tapi sepertinya...., ini gerimis ya, eh hujan, ayo pindah!” Yuri buru-buru membawa barang belanjaannya dan berlari menuju emperan toko di dekat situ, begitupun JI Yong. Anehnya hujan mendadak turun dengan deras sehingga meski sudah berlari cepat tetap saja baju mereka basah.
“Aku baru ingat kalau belum mandi, uh segarnya!” pekik Yuri. Jaketnya sudah lumayan basah terkena hujan.
“Astaga kau ini wanita macam apa, menjijikkan sekali!” ejek Ji Yong di sebelahnya. Rambutnya yang hitam sudah terlihat basah, dan sesekali ada air yang menetes dari ujungnya.
“Ini semua gara-gara kau sampai aku tidak sempat mandi! Lagipula aku hanya tidak bawa baju ganti!”
Ji Yong tidak menjawab. Sementara angin mulai berhembus agak kencang bersamaan dengan hujan deras itu. Ia merasa kasihan pada Yuri, dengan jaket yang basah itu ia pasti lebih kedinginan.
“Pakai ini,” Ji Yong melepaskan jaketnya.
“Hah?”
“Jaketmu basah,”
“Heh kau bodoh atau apa? Bukannya jaketmu juga basah?”
“Iya tapi tidak separah punyamu karena aku lebih cepat sampai,”
“Benar juga, ini semua karena aku harus membawa barang-barang ini sambil berlari! Ini kau pegang sendiri!” Yuri menyerahkan dua plastik di tangannya pada Ji Yong.
“Iya, kau pakai dulu ini!” bentak Ji Yong. Meski berniat membantu tetap saja ia sangat kasar. Ji Yong hanya sekedar meletakkan jaket itu dibahu Yuri tanpa peduli kalau Yuri belum memasukkan kedua lengannya pada jaket hitam itu.
“Pegang ini!”
“Iya-iya huh!” Ji Yong menerima dua kantung plastik itu dengan kesal.
Beberapa menit berlalu dalam diam. Hanya suara hujan deras yang terdengar sedari tadi. Yuri malas bicara, sedangkan Ji Yong tidak tahu harus bicara apa. Ia hanya melihat ke arah lain, tidak ingin melihat Yuri, begitu juga Yuri yang tidak mau melihat ke arah Ji Yong.
“Apa kau ingin minum?” tanya Ji Yong tiba-tiba.
“Oh? Ide bagus,” jawab Yuri.
“Belilah di minimarket itu, sebelah sana, kau lihat itu?” Ji Yong menunjuk ke satu arah.
“Jauh sekali, aku malas,” Yuri pikir akan dibelikan.
“Hey, tidak sampai dua puluh meter dari sini!”
“Ck, kau beli saja untukmu sendiri, aku tidak butuh!”
“Haiish, wanita ini... Iya baiklah!” Ji Yong mulai berjalan menjauh. Yuri sedikit terkejut melihat sikap Ji Yong itu. Sungguh aneh kali ini ia tidak meladeninya berdebat dan menyuruh-nyuruhnya seperti biasa.
Yuri hanya berdiri sendirian di tepi jalan itu. Lama sekali Ji Yong pergi, pikirnya. Ia semakin mengeratkan jaket milik Ji Yong yang belum terpasang sempurna di tubuhnya. Tanpa sengaja ia meraba kantung jaket itu, ada sesuatu di dalamnya.
“Handphone?” Yuri terkesiap melihat benda itu. Ia melihat ke arah minimarket yang tadi di datangi Ji Yong, tak ada tanda Ji Yong akan segera keluar dari sana. Ini kesempatan bagus! Yuri berpikir sebisanya untuk menyusun rencana, bisa mendapatkan benda itu adalah suatu keberuntungan besar dan harus dimanfaatkan.
“Taxi!!” ia berteriak ketika melihat taxi lewat. Beruntung, taxi itu segera berhenti dan Yuri buru-buru masuk, sebelum Ji Yong melihatnya kabur.
“Antarkan aku ke stasiun,” kata Yuri pada sopir taxi itu.
“Baiklah,” ujar sopir itu tanpa bertanya dan segera memacu mobilnya.
“Maaf Ji Yong, sampai di sini saja aku bisa membantumu, aku harus pergi,” lirih Yuri sambil menatap hujan di luar jendela mobil. Handphone milik Ji Yong pun masih berada di tangannya. Mau diapakan benda itu?
Yuri buru-buru mengetik sebuah nomor, dan tak berapa lama sebuah suara terdengar di telepon.
“Halo? Siapa ini?” jawab orang itu, suara yang sangat dikenal Yuri. Ia bersyukur masih bisa mendengarnya setelah kejadian kemarin. Ia sedikit merasa bersalah.
“Ini aku,” jawab Yuri.
“Kau? Nona Yuri? Di mana kau? Apa yang terjadi denganmu?” suara itu terdengar senang dan sedikit panik.
“Aku tak apa, bisakah kau menemuiku di stasiun?”
XXX