“Kalau begitu, nanti saat aku tidak denganmu lagi, kau juga tidak perlu mengingatku kan...?”
“Aku tidak mungkin lupa padamu karena kau masih belum mengganti jasku! Kalau kau kabur aku akan lapor polisi,” ujar Ji Yong serius dan masih tetap memandang lurus ke depan.
“Heh kau masih tidak percaya padaku! Jas murahan itu, ya ampun..., akan kubelikan yang baru, kau mau butik mana, siapa desainer yang kau mau?”
“Hentikan omong kosongmu,” Ji Yong terlihat sudah tidak ingin bicara lagi. Mungkin ia tidak percaya kalau orang sepertiku sebenarnya punya harta yang berlimpah.
“Aku serius!”
“Baiklah, kalau kau sudah mengganti semuanya kau pergilah sesuka hatimu,” Ji Yong kesal.
“Kau juga harus berjanji untuk berpura-pura tidak mengenalku nanti!” Yuri masih saja tidak percaya dengan kata-kata Ji Yong. Baginya akan sangat berbahaya kalau Ji Yong tahu siapa dirinya—atau meski tidak akan ada pengaruhnya sekalipun—Yuri tetap memilih berjaga-jaga daripada kemungkinan terburuk terjadi.
“Cerewet sekali! Aku tidak mungkin bertemu denganmu lagi bodoh!” ujar Ji Yong mengakhiri pembicaraan itu.
XXX
Sepuluh menit berlalu dan akhirnya kami sampai di apartemen Ji Yong. Tempat itu masih berantakan dan kotor seperti beberapa jam yang lalu. Jujur saja Yuri merasa sangat jijik kembali ke tempat ini, tapi setidaknya malam ini ia mendapat tempat tinggal sebelum pergi lagi besok.
“Aku mau tidur, kau bersihkan ruangan ini,” perintah Ji Yong sambil menutup mata karena sudah mengantuk. “Hah? Kau pikir aku apa ha?” Yuri kesal sekaligus merasa ngeri melihat sampah-sampah yang berserakan itu, beberapa kaleng bir, bungkus pizza, kertas-kertas, dan debu. Ji Yong tidak mau menanggapi protes Yuri lagi. Ia langsung masuk ke kamarnya dan mengunci pintu.
Yuri masih terdiam dan berdiri memandangi ruang itu. Sebenarnya dia juga merasa lelah dan mengantuk. Dia baru sadar, bagaimana dia bisa tidur kalau Ji Yong tidak menyediakan kamar untuknya.
“Huuuh, aku merindukan kamarku..., daripada tempat ini, ya ampun, menjijikan sekali! Haah, bagaimana aku bisa tidur?” keluhnya. Yuri berpikir lagi. Ada satu sofa panjang di situ, namun sangat kotor dan terdapat beberapa kaleng bir yang diletakkan sembarangan di atasnya. Yuri akhirnya terpaksa membersihkan sofa dan tentu saja ruangan juga itu demi bisa tidur dengan nyaman. “Ini benar-benar menyiksaku...aarghhh! Awas kau Ji Yong!!” Yuri mengeluh sambil mengerjakan pekerjaan yang belum pernah ia lakukan seumur hidupnya.
XXX
Pagi telah tiba. Yuri tertidur di sofa itu karena kelelahan membersihkan tempat itu semalaman. Ji Yong yang baru bangun memandang sekeliling ruang tengahnya yang sudah lebih baik daripada malam terakhir sebelum ia masuk kamar kemarin. Ji Yong tersenyum simpul sambil mengambil minuman di kulkas.
“Dasar pemalas, sampai kapan mau tidur di rumahku,” pikir Ji Yong. Ia berjalan mendekati sofa panjangnya. “Cepat bangun! Aku mau duduk di sini, minggir!” usir Ji Yong. Yuri membuka mata perlahan akibat keributan yang mengganggunya itu. “Siapa sih ah,... mengganggu saja,” Yuri masih berusaha tidur lagi.
“Cepat bangun, kau tidak dengar apa!” teriak Ji Yong.
Kali ini Yuri benar-benar kaget dan terjatuh dari sofa. “Nona Kim!!! Jangan ganggu aku!!” tanpa sadar Yuri memanggil pelayannya yang biasanya bertugas membangunkan Yuri di pagi hari. Akhirnya ia sadar sedang berada di mana setelah membuka mata. Yuri yang sangat kesal lalu hanya terdiam di atas karpet itu tanpa mau menoleh pada orang yang sudah menonton TV. Ji Yong hanya berusaha menahan tawanya karena berhasil mengganggu tidur pagi Yuri yang damai pagi ini.
“Cepat siapkan makanan, aku harus sarapan,” ujar Ji Yong santai, tangannya sedang sibuk mengganti channel TV.
“Aku tidak bisa masak!” memang benar, seumur hidup Yuri, semua makanan selalu tersedia tanpa ia harus repot-repot beli, apalagi memasaknya sendiri. “Kalau begitu aku akan memakanmu,” entah apa maksud Ji Yong mengatakan itu. “Cepat masak atau aku akan jadi kanibal!”
“Kau tunggu saja di sini, aku akan beli, di mana restoran terdekat?” Yuri meraih tasnya di meja. “Tidak, kau pasti akan kabur, ingat hutangmu, nona!” Ji Yong memukulkan remote TV ke kepala Yuri.
“Baiklahhhh...!!” Yuri menurut saja dan menuju dapur. Ia membuka kulkas dan semua lemari di dapur untuk mencari sesuatu yang bisa dimakan. Dia benar-benar tidak tahu apa yang harus dilakukan. “Bagaimana cara menyalakan kompor ini?” pikirnya bingung.
Hampir satu jam Yuri berkutat di dapur. Ji Yong hampir saja tertidur di depan TV kalau saja ia tidak ingat kalau ia lapar. “Heh kau itu masak atau melukis hah? Lama sekali!”
“Diamlah, sudah kubilang aku tidak bisa masak,” Yuri menuangkan sesuatu yang ia masak dari panci ke mangkuk.
“Apa ini?” Ji Yong melihat makanan yang kini sudah siap di meja makannya. “Astaga, nasi macam apa ini!” ejeknya lagi. Yuri hanya diam dan pasrah. Dia tahu pasti reaksi Ji Yong akan seperti itu, dan sebenarnya dirinya sendiri juga berpikir hal yang sama melihat hasil masakannya sendiri. Ia juga tidak sudi makan makanan itu.
Sambil memandang ragu, Ji Yong mencoba masakan yang mirip sup itu. “Huueek!! Ini benar-benar tidak enak!!” bentaknya.
“Apa memang setidakenak itu?”
“Cobalah sendiri, kau mau meracuniku ya!” Ji Yong menyodorkan mangkuknya.
Yuri mencobanya dengan ragu, butuh waktu yang cukup lama baginya untuk memberanikan diri memakan sup itu. “Ueeehh..., makanan apa ini!!” teriaknya.
“Dasar tidak berguna! Selama ini bagaimana caramu mencari makan?”
“Harusnya aku beli saja tadi, kau sendiri yang menyuruhku masak, aku tidak peduli, pokoknya kau harus habiskan ini!”
“Apa?!”
Di tengah perdebatan mereka itu tiba-tiba bel pintu berbunyi. “Siapa sih datang ke sini pagi-pagi,” keluh Ji Yong,”... kenapa diam saja, buka pintunya!” Ji Yong memerintah Yuri.
Yuri menuju pintu dengan tergesa-gesa dan membukanya. Ia terdiam sejenak melihat sosok yang juga sedang menatapnya dengan sedikit terkejut. “Kau pembantu baru di sini?” kata wanita berambut hitam panjang itu akhirnya.
“Apa kau bilang?” Yuri merasa tersinggung. Sebutan pembantu yang wanita itu katakan sangat menghina harga dirinya. Tapi wanita itu tetap tidak peduli dengan reaksi Yuri.
“Sudah kubilang aku tidak butuh asisten baru,” ujar Ji Yong cuek dari meja makannya. Dari tempat duduk ia bisa melihat siapa yang datang. “Bodoh, siapa yang mau melamar kerja? Manajer Kang menyuruhku ke sini,” wanita itu langsung menuju ke tempat Ji Yong.
“Ternyata seleramu dalam memilih pembantu meningkat, sekarang kau memilih gadis-gadis cantik seperti dia, dasar pria,” cibir wanita itu sambil memandang ke arah Yuri yang sudah duduk di sofanya. Yuri kini berusaha menahan emosinya.
“Apa ini?” Ji Yong menatap sesuatu yang diletakkan wanita itu di meja makannya. “Naskah dramamu! Kau harus pelajari ini, syutingnya minggu depan, ini satu-satunya caramu mencari nafkah kan, maka kerjakan dengan baik, mengerti?”
“Aku tahu, maksudku ini!” Ji Yong menunjuk bungkusan di sebelah sebendel kertas itu.
“Oh, kupikir kau butuh sarapan, aku belikan untukmu. Aku pulang dulu,” ujarnya sambil tersenyum dan langsung berjalan menuju pintu untuk keluar. “Oh ya, Manager Kang juga bertanya kapan kau akan menyanyi lagi,” katanya lalu menghilang dari balik pintu. Ji Yong tidak menanggapi.
“Siapa orang itu? Kurang ajar sekali! Ah, setidaknya dia membelikanmu makanan!” ujar Yuri yang merasa tertolong melihat sekotak makanan di meja. Dengan semangat ia langsung membuka kotak makanan itu. “Wah...makanan apa ini, tapi sepertinya lezat...,”
“Dasar bodoh, masa nasi kotak begitu saja tidak tahu?”
“Aku belum pernah makan ini,”
“Benarkah? Kau itu hidup di hutan atau apa? Buang saja itu,” kata Ji Yong dingin.
“Dibuang? Makanan ini mau dibuang?
Ji Yong tidak menanggapi protes Yuri, ia malah melahap sup aneh buatan Yuri tadi. “Kau serius mau makan itu, katanya tidak enak?” Yuri heran melihat Ji Yong. Ia tidak menjawab dan meneruskan makannya. “Kalau begitu aku saja yang makan ini,” Yuri cepat-cepat membawa kotak makanan itu dan duduk di sofa.
XXX
Setengah jam berlalu. Ji Yong masih belum beranjak dari meja makannya. Ia sedang membaca naskah drama dalam diam sejak tadi. Yuri sedikit merasa diabaikan dan hanya diam di sofa panjang. Ia sedang memikirkan sesuatu.
Mengapa pria itu tidak mau aku mengganti jasnya dengan uang? Aku yakin uang di dompetku cukup untuk mengganti itu semua. Apa dia hanya cari alasan untuk memperalatku? Benar juga, dia hanya memanfaatkanku, dia tidak punya uang untuk bayar asisten dan menggunakan alasan ganti rugi jasnya itu, lagipula pria yang hidup sendirian di tempat buruk ini, apa jangan-jangan...? Ah dasar pria keparat, pikir Yuri sambil memandang Ji Yong dari belakang. Ia mulai memikirkan hal buruk dan semua hal tidak terduga bisa terjadi di dunia yang keras ini. Aku harus kabur, ujarnya dalam hati.
Di tengah kekhawatirannyanya Yuri melihat handphone milik Ji Yong tergeletak di meja. Ini kesempatanku, pikirnya. Awalnya ia ragu untuk melakukan ini, karena itu artinya dia harus kembali ke rumah mewahnya lagi. Tapi daripada harus terkurung di sini dengan orang aneh bernama Kwon Ji Yong yang mengaku artis itu, Yuri terpaksa melakukannya.
Yuri meraih handphone itu pelan-pelan sambil sesekali mengawasi Ji Yong, ia segera membuka buku agendanya dan mengetikkan nomor yang tercatat di buku itu.“Apa yang kau lakukan?” Ji Yong tiba-tiba berdiri di samping sofa. “Astaga!” pekik Yuri. Ia sangat gugup dan hanya terdiam saat Ji Yong merebut handphonenya. “Jangan sentuh barang-barangku!” Ji Yong mulai marah.
“Maaf,” Yuri tertunduk lesu. Yuri bahkan belum sempat menyelesaikan memasukkan nomor handphone yang tercatat di agendanya.
Ji Yong lalu duduk di sebelah Yuri sambil memainkan handphonenya itu. “Kau membuka fileku ya?” Ji Yong curiga. Saat itu sebenarnya Yuri merasa sangat gugup—atau lebih tepatnya—sangat takut ketika Ji Yong berada di sebelahnya. Pikiran-pikiran negatif mulai melintas lagi. “Oh Tuhan tolong aku dari orang ini...,” Yuri berdoa dalam hati.
“Oh apa itu!” teriak Yuri sambil menunjuk ke suatu arah tepat saat Ji Yong menoleh padanya. “Ini bukan meja kan? Kenapa diberi taplak? Aneh sekali, kenapa ada vas bunganya segala, ckckck,” Yuri berjalan ke arah benda yang ia maksud. Ji Yong memandangnya dengan heran. “Dia mulai gila rupanya, pasti gara-gara makanan tadi,” pikir Ji Yong.
“Hey apa yang kau lakukan?” Ji Yong mulai kesal melihat Yuri melepaskan kain penutup benda di sudut ruangan itu. “Ini kan piano, wah cantiknya..., terbuat dari kayu,”
Baguslah, aku harus mengalihkan perhatiannya terus, pikir Yuri. “Bolehkah aku memainkannya? Aku dulu pemain piano terhebat di SMA!” Yuri membuka penutup kayu piano itu dan memainkan melodi seenaknya.
“Hentikan bodoh! Berisik!”
“La..la..la...~ ! ” Yuri semakin tidak peduli.
Ji Yong yang semakin hilang kesabaran mendekati Yuri. “Apanya yang pemain piano, kau lebih cocok jadi pemukul gong!”
“Gong?”
“Lihat, seperti ini caranya!” Ji Yong mengambil sebuah kursi dan langsung duduk di depan piano. Ia mulai memainkan sebuah lagu.
“Waah.., lagu terindah yang pernah kudengar...,” ujar Yuri tersenyum senang. Sebenarnya ia tidak tahu dan tidak peduli dengan lagu yang sedang dimainkan Ji Yong. Dia berhasil mengalihkan perhatiannya, setidaknya dengan begitu Ji Yong tidak terus memainkan handphonenya dan tahu kalau tadi ia menelpon.
Tapi Ji Yong tiba-tiba berhenti bermain. Matanya tercenung menatap tuts piano yang agak kusam itu. Yuri mulai merasa takut lagi melihat ekspresi aneh Ji Yong. “Ke, kenapa berhenti, aku mendengarkannya kok, kau lanjutkan saja,” ujarnya sambil berjalan mundur, ia juga berusaha mengingat di mana letak pintu keluar.
“B,bagaimana bisa?” Ji Yong seperti bicara sendiri. Yuri tidak menanggapi, ia sibuk berdoa sekarang.
“A, Aku bisa memainkan piano ini lagi..., aku bisa mengingatnya lagi,” katanya sambil menatap kedua tangannya dengan takjub. Baru kali ini Yuri melihat Ji Yong tersenyum senang dan bahagia. Apa ia sudah gila, terkadang marah tapi tiba-tiba bisa tersenyum gembira seperti anak kecil.
“Kau ke,kenapa...?” Yuri semakin takut.
XXX