home_icon
SIGN IN
SIGN UP
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
LOUNGE
HOW IT WORKS
HOW TO BE DFF OF THE WEEK
TERMS OF USE
CONTACT US
  • Latest
  • Most Viewed
  • Most Loved
  • A-Z
  • My Fanfiction
  • My Subscriptions
  • My Subscribers
  • Create New Fanfiction
Fan Fiction > Be A Maid

Be A Maid

Share:
Author : mumutaro
Published : 23 Jan 2014, Updated : 07 May 2014
Cast : Bigbang, fictional character
Tags :
Status : Complete
1 Subscribes |36947 Views |6 Loves
Be A Maid
CHAPTER 25 : WHITE SNOW

 

@New York, two years later….

15th December

                Malam itu, di sebuah ruang keluarga, Yuri sibuk menggoreskan penanya pada sebuah kertas. Ia mencoba membuat sketsa sebuah bangunan kuno yang fotonya terpampang di majalah.

                “Finish!!” Yuri menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat dan segera memamerkannya pada Hana yang terbengong-bengong sedari tadi.

                “How can you draw this so fast?” Hana terkagum-kagum dengan gambar Yuri tadi.

                “It’s so easy,” Yuri menjentikkan jarinya.

                “Teach me please,” pinta Hana.

                Sebenarnya Yuri mau-mau saja mengajari Hana, tapi dia tidak tahu bagaimana caranya mengajari orang lain menggambar. Dia mempunyai kemampuan itu begitu saja tanpa belajar. Kemampuannya membuat desain memang berasal dari hobinya menggambar.

                “Astaga! Sudah jam tujuh!” Yuri melihat jam tangannya dan baru menyadari ia harus ke suatu tempat.

                “Sorry, Hana. I need to go. Maybe I’ll teach you later,” Yuri terburu-buru mengambil mantel hitamnya.

                “Kajimaaaaa….~” Hana menarik-narik ujung mantel Yuri. Sepertinya kemampuan berbahasa Koreanya sudah mulai ada sedikit-sedikit.

                “Hana, don’t you have a piano lesson tonight?” terdengar suara Michele dari lantai atas.

                “Promise me, you’ll teach me,” kata Hana sebelum berlatih piano.

                “I promise, maybe tomorrow. I’m so sorry,”

                Hana mengangguk senang dan segera menuju pianonya di lantai atas.

                “Kau akan pergi bekerja ya?” tanya Michele sambil berjalan mendekati Yuri yang belum berpindah dari tempatnya berdiri sedari tadi.

                “Iya,”

                “Jangan bekerja terlalu keras Yuri. Kau bekerja dari siang hingga malam, pikirkan kesehatanmu,” Michele khawatir. Ia tahu Yuri tidak pernah mengerjakan pekerjaan semacam itu selama di Korea.

                “Tak apa, aku baik-baik saja. I really love what I’m doing right now,” ujar Yuri yakin.

                Di siang hari Yuri bekerja di sebuah restoran cepat saji, yah walau hanya pekerjaan kasar seperti mencuci piring atau membersihkan meja. Lalu di malam hari ia harus menjadi pegawai starbucks. Di lain waktu Yuri mencari penghasilan lain dengan penjaga tiket pertandingan baseball atau menjual popcorn di bioskop. Terkadang Yuri juga menjual lukisannya dan laku terjual meski hanya mendapat beberapa puluh dollar. Ia sungguh sibuk mencari uang sekarang.

                “Ya sudah…, tapi jagalah dirimu baik-baik..,” Michele terpaksa mengizinkan Yuri pergi karena pasti percuma melarang Yuri saat ini. Lagipula sepertinya memang Yuri menyukai semua itu.

                “It’s okay!” Yuri menutup pintu.

 

XXX

               

                Seorang pria bertopi dan berjaket serba hitam terlihat mengunjungi sebuah kedai starbucks malam itu. Ia menuju barista yang ada di sana untuk memesan sesuatu.

                “Can I help you sir?” sapa seorang barista yang berkulit hitam yang sedang bertugas di sana.

                “A coffe please,” katanya singkat.

                “What coffe?” barista itu menunjuk menu yang terpampang di sana.

                “Whatever, but I want her serve it to me,” pria itu menunjuk Yuri yang baru saja datang ke sana dan masih sibuk memakai celemeknya.

                Barista itu merasa heran dengan permintaan itu, tanpa bertanya ia langsung memanggi Yuri yang kini sedang memasang topinya.

                “Hey you! Come here,” panggilnya.

                Yuri buru-buru menuju orang yang memanggilnya. Tanpa dijelaskan ia langsung tahu apa tugasnya.

                “Why there are some perv customer like him today?” gumam barista tadi sambil berjalan pergi.

                “Can I help you sir?” Yuri bertanya pada pria berpakaian serba hitam dihadapannya. Wajah pria itu tidak terlihat jelas karena terhalang topinya.

                “I want a…. cappucino,” katanya.

                “Okay,” Yuri menyiapkan pesanannya dengan cepat. Ia sudah mahir menggunakan mesin-mesin kopi dihadapannya.

                “W,wait. I don’t want cappucino, I want moccacino,” kata pria itu tiba-tiba.

                “Oh.. okay,” Yuri langsung menghentikan pekerjaannya yang baru separuh jalan sesuai permintaan pria itu. Yuri menjalankan pekerjaannya dengan cepat seperti tadi.

                “Stop, stop it! I just need a cup of tea, oh no, water please,” kata pria itu lagi.

                “What? Are you kidding me?!” Yuri mulai kesal dengan kelakuannya. Lagipula ia dibolehkan mengusir pengunjung yang mengganggu seperti dia.

                “No, I’m serious,”

                Yuri membanting gelas yang dipegangnya ke meja karena merasa telah dipermainkan. Baru kali ini ada pengunjung yang seperti ini. Ia sudah hampir memanggil penjaga untuk mengusir pria itu sebelum akhirnya ia membuka topinya.

                Yuri terbelalak kaget melihat siapa pria dihadapannya.

                “Kau…,”

                Pria itu nampak tenang. Ia memang sengaja mengejutkan Yuri seperti itu.

                “Need a coffe break?” tanyanya sambil tersenyum.

 

XXX

               

                Kini Yuri sudah duduk berhadapan dengan pria yang tadi mengganggunya dengan sengaja. Setelah tahu siapa dia, ia tidak jadi marah-marah seperti rencananya tadi. Untungnya bos starbucks-nya mengizinkan Yuri menemui tamunya ini.

                “Bagaimana bisa kau lupa dengan suaraku?” Young Bae mendengus kesal sambil meminum kopi panas.

                “Maaf-maaf, kau sungguh terlihat berbeda, hehehe,” kata Yuri sambil menahan tawanya.

                “Ck, kau rupanya sudah terlalu senang tinggal di sini sampai-sampai melupakanku begitu saja,”

                “Bukannya tadi aku sudah minta maaf? Kenapa tidak bilang kalau kau mau datang?”

                “Kalau aku bilang bukan kejutan lagi namanya!”

                “Hahaha, sudah lama aku tidak bicara dengan bahasa korea, aku lelah berbahasa Inggris terus,”

                “Bagus sekali, bahasa Inggrismu mengalami kemajuan pesat, tidak rugi kau jauh-jauh ke sini,”

                “Bagaimana keadaanmu?” tanya Yuri.

                “Sangat baik!” Young Bae bersemangat.

                “Haha, syukurlah,”

                “Aku juga senang kau tinggal bersama Tom dan Michele, sepertinya mereka merawatmu dengan baik selama aku tidak ada,”

                “Iya, mereka baik sekali padaku. Apa kau juga akan tinggal di sini?” Yuri berharap.

                “Tidak… aku justru ingin menjemputmu pulang. Ayah memintamu kembali,” jelas Young Bae dan membuat Yuri sedikit terkejut.

                “Kenapa terkejut begitu? Memangnya kau tidak mau pulang?”

                “Aku baru saja memperpanjang izin tinggalku, berarti sia-sia usahaku mengurus itu semua,”

                “Astaga…, memangnya kau tidak rindu kampung halaman?”

                “Mmmm…, aku masih betah di sini kak,”

                “Lalu bagaimana dengan Panda? Kau tidak rindu padanya?”

                “Panda? Siapa itu?” cibir Yuri.

                “Hahaha,” Young Bae tertawa saja. Ia tahu Yuri hanya berpura-pura.

                “Apa kau tidak rindu dengan mantan-mantanmu di Seoul?” tanya Young Bae lagi.

                “Mantan yang mana? Selama ini kau selalu mengusir semua pria tampan yang mendekatiku, kecuali Panda,” Yuri kesal mengingat masa lalunya. Dulu Young Bae selalu membatasi pertemanannya dengan banyak orang terutama pria. Young Bae akhirnya hanya mengizinkan Yuri menjadi kekasih Lee Seung Hyun, walau sebenarnya tidak juga sih. Young Bae selalu menyuruh Pengawal Choi mengikuti mereka berdua saat pergi bersama, dan itu benar-benar mengganggu suasana romantis mereka. Young Bae memang sengaja melakukan semua itu hingga akhirnya mereka berpisah seperti sekarang.

                “Hahahah, ayolah…, aku sudah jauh-jauh datang ke sini, kau malah tidak mau pulang. Aku tahu di Seoul rumah kita tidak sebesar dulu, kau juga tidak akan punya pesawat pribadi, mobil,…”

                “Aku tidak butuh pesawat, lagipula aku tidak masalah dengan keadaan kita sekarang. Uang bisa dicari, kita bisa membangun bisnis kita dari awal lagi,”

                “Lalu kenapa tidak mau membantuku?” Young Bae saat ini memang sudah sibuk dengan bisnisnya lagi.

                “Bukan begitu kak,…”

                “Lalu apa?”

                “Bagaimana kalau dua tahun lagi…?”

                “Dua tahun? Lama sekali!!”

                “Mmmm, satu tahun deh,” Yuri memohon.

                “Tidak bisa, itu juga terlalu lama! Kau mau mengganggu keluarga Michele sampai kapan hah?”

                “Baiklah-baiklah…, satu bulan lagi!”

                “Hmmm, ya sudah.” Young Bae menyanggupi saja.

 

XXX

 

                Yuri senang sekali setelah sekian lama bisa bertemu dengan Young Bae kemarin malam. Walau demikian ia masih ragu untuk pulang ke Seoul secepat ini. Ia terlanjur betah tinggal di New York bersama keluarga barunya di sana. Rasanya kejadian buruk yang menimpanya di masa lalu terngiang kembali saat memikirkan akan kembali ke Seoul.

Bagaimanapun ia juga harus pulang. Young Bae sudah mengatakan kalau permasalahan yang menimpa bisnis keluarganya dulu sudah diselesaikan dengan baik meski mereka tidak sekaya dulu saat ini. Sebenarnya itu sudah cukup menjelaskan bahwa Yuri memang sudah bisa kembali ke Seoul tanpa ada tuduhan apapun padanya.

 “Cih! Tahu begini aku tetap hilang ingatan saja, kenapa dunia tidak mengizinkanku untuk itu!!” pikir Yuri sambil mengeratkan mantelnya di tengah terpaan hujan salju malam ini. Tidak dapat dipungkiri kejadian di bandara waktu itu memang telah membuatnya sakit hati hingga seperti ini. Ia merasa sudah bisa melupakan kejadian menyakitkan itu, namun tetap saja rasa dendamnya masih membekas di dalam hati. Yang lebih menyakitkan dari hal itu adalah pria itu sempat menc…, ah, jangan mengingatnya lagi!

“Oh iya, aku sudah berjanji mengajari Hana menggambar! Kenapa aku malah berjalan-jalan tidak jelas begini!” sesal Yuri sambil mempercepat langkahnya sambil mengeratkan syal yang melingkar di lehernya. Syal tebal berwarna merah itu kini telah menutup sebagian wajahnya.

Sejak selesai bekerja di starbucks tadi ia berjalan lambat sekali menuju rumah Michele. Tadinya ia ingin menikmati salju tapi malah memikirkan hal lain.

“Excuse me, can you help me?” tanya seorang pria yang bermantel hitam tebal dan bertudung.  Yuri berhenti sejenak meski takut melihatnya, tapi ia lebih berniat membantu pria yang sepertinya kebingungan itu.

“I think I’m lost,” katanya. Rupanya  ia tersesat. Sekilas ia tampak seperti orang Asia. Matanya yang tidak tertutup tidak begitu jelas  karena mereka berada di jalan yang sedikit remang, dan juga tudungnya itu semakin membuatnya  misterius, dan lagi ia juga memakai masker. Lengkap sudah penampilannya, ia sudah seperti orang yang sedang ingin mengutil di supermarket.

“Oh, where do you want to go?” tanya Yuri. Sudah dua tahun ia tinggal di sana dan sudah hafal jalan.

“Starbucks,”

“You can follow this way, it’s near from here,” Yuri menunjuk salah satu arah.

“Okay, thanks,”

“But wait,” Yuri menahan orang yang sudah mulai jalan lagi. “Starbucks is now close, you should come tomorrow,” jelas saja Yuri tahu. Ia bekerja di Starbucks dan sudah tutup sejak ia pulang tadi.

“Oh? I don’t know,” orang itu berbalik arah, mendekati Yuri lagi. “I don’t know that I’m late too, hehehe,” ujarnya sambil tertawa.

 “Why?” orang itu mendadak heran saat Yuri menatapnya dengan aneh, seakan dia adalah pencuri atau apa di situ.

“Oh, I was wrong, sorry...,” Yuri mulai berjalan lagi, meninggalkan orang yang masih mengeryitkan dahi.

“W,wait! Wait! Yuri-ya?” orang itu berteriak. Yuri langsung menghentikan langkahnya mendengar namanya dipanggil. “Why you walk so fast huh!” orang itu mengejarnya.

“Am I know you?” tanya Yuri dengan dingin.

“Don’t try to kidding me, you know me so well,” orang itu membuka tudungnya dan melepaskan maskernya. Wajahnya kini terlihat sempurna karena mereka kini berdiri di dekat lampu jalan yang lebih terang daripada tadi.

Memang benar Yuri mengetahui siapa orang itu. Ia tidak menyangka orang itu benar-benar berdiri di depannya saat ini, dan dia juga bingung harus melakukan apa.

“Kenapa tidak memelukku?” tanyanya tanpa malu-malu.

“Kurang ajar! Bisa-bisanya kau bilang begitu! Memangnya kau siapa hah?”

“Kau masih marah padaku rupanya,” ia tersenyum.

“Bukan marah, aku benci padamu!” teriak Yuri. Sementara orang-orang lain yang lewat di sekitar sana tidak mengerti bahasa yang mereka gunakan.

“Hahahahaha, aku berhasil rupanya!” ia malah tertawa.

“Heh apa maksudmu!!?”

“Aku sengaja membuatmu membenciku agar kau selalu mengingatku,”

“A,apa?”

“Karena kau membenciku seluruh pikiranmu akan tertuju padaku, bukan begitu, Yuri-ya?”

“Brengsek kau Ji Yong!!” Yuri memakinya. Ia baru menyadari kenapa ia tidak bisa melupakannya meski sudah lama berlalu, dan meski sudah berusaha menyibukkan diri dengan kegiatan lain, tapi tetap saja…., ergh!

“Kau jahat! Kau lebih mementingkan fansmu daripada,…argh! Berani-beraninya kau menemuiku setelah melakukan itu!” Yuri menumpahkan kekesalannya selama ini.

“Bukan begitu…, kau salah paham. Aku melakukan itu untuk melindungimu,” jawab Ji Yong.

“Ng?”

“Aku tahu kau pergi ke New York diam-diam, apa jadinya kalau ada media yang meliputmu sedang berada di sana?”

Yuri terdiam sejenak. Matanya tidak berkedip sama sekali mendengar itu.

“Waktu itu aku sedang mengalihkan perhatian orang-orang. Dengan begitu kau bisa pergi dengan aman,”

“Be, benarkah?”

“Waktu itu aku hanya ingin memastikan kau pergi dengan tenang,”

“Pergi dengan tenang katamu? Kau pikir aku akan pergi ke alam baka apa?!” Yuri marah-marah lagi. Ia mulai memukul Ji Yong dengan tangan mengepal. Rasanya sudah lama sekali ia tidak melakukan itu.

“Awh! Sakit tahu! Kau ini!”

“Ini balasan untukmu! Dasar brengsek!”

“Hey, hey bukannya sudah kujelaskan semua! Hey, hentikaan!!”

“Kenapa baru sekarang kau menjelaskannya! Kau tidak tahu betapa sakitnya aku mengalami semua itu! Kau sengaja ya! Kau senang aku menderita!!”

“Bukan  begitu, aku…,”

“Setidaknya kau menelpon, mengirim surat, atau apa! Memangnya ini jaman batu!! Sudah ada teknologi secanggih itu!!”

“Hey aku bahkan tidak punya nomor teleponmu!!”

“Oh,.. benar juga,” Yuri baru menyadari. “Lalu bagaimana kau tahu aku ada di sini?” Yuri curiga.

“Akhirnya aku bertemu Young Bae lagi, jadi aku bertanya padanya,”

“Haah.. alasan!” Yuri memukuli Ji Yong lagi.

“Hentikan! Polisi di sana bisa melihat kita!!” kata Ji Yong yang ketakutan melihat polisi yang sedang bertugas di ujung jalan mulai mencurigai mereka.

“Menyebalkan! Menyebalkan!” Yuri menendang-nendang salju yang menumpuk di trotoar itu.

“Sudah-sudah, aku kan sudah datang,” hibur Ji Yong.

Yuri mengambil sebongkah salju dan melemparkannya pada Ji Yong. Rupanya ia masih ingin menumpahkan kekesalannya pada Ji Yong masih saja meluap-luap.

“Argh kau ini!” Ji Yong memutuskan untuk memeluk Yuri agar bisa menghentikan tangannya yang tidak bisa diam menyiksanya sejak tadi.

“Lepaskan! Lepaskan!”

“Tidak mau,”

“Hey Kwon Ji Yong!! Lepas…”

“Yuri-ya, aku merindukanmu,”

Yuri terdiam lagi. Ah, kenapa selalu saja…

“Maaf aku baru bisa datang sekarang, aku memang terlambat sekali. Maafkan aku,”

Yuri tidak menjawab.

“Kenapa diam saja?” tanya Ji Yong dan sedikit mengagetkan Yuri dari lamunannya.

“Oh?” Yuri bingung mau menjawab apa.

Ji Yong melonggarkan pelukannya untuk menatap Yuri. Sudah lama sekali ia tidak melihat wajahnya, dan rasanya ingin berlama-lama melakukan itu. Wajah Yuri memerah karena malu terus-terusan ditatap seperti itu, ia sendiri tidak berani menatap Ji Yong meski sebenarnya ingin juga melakukannya.

Ji Yong tidak mengatakan apapun. Ia terus menatap Yuri dengan tajam hingga tanpa sadar mulai mendekatkan wajah padanya. Yuri yang mengetahui itu dengan sigap memalingkan wajahnya yang semakin memerah dan panas. Sangat panas hingga hampir mencairkan salju-salju yang turun itu. Ia memejamkan mata karena benar-benar tidak berani menatap Ji Yong dengan jarak sedekat itu.

“Kenapa?” tanya Ji Yong heran. Ia seperti merasa ditolak detik itu, ya… sangat menyakitkan.

Yuri menggelengkan kepala sambil membuka matanya pelan-pelan. Ia mencoba menatap Ji Yong dengan sisa keberanian yang ada dalam dirinya. Ji Yong masih di sana menatapnya dengan tajam di antara butiran salju tipis yang berjatuhan di antara mereka.

Yuri seperti ingin mengatakan sesuatu, namun lidahnya sulit sekali bergerak. Ji Yong hanya bisa menunggunya dengan sabar dengan tatapan bertanya.

“Ja,jangan…,” lirih Yuri.

“Oh?” Ji Yong sedikit kecewa mendengarnya, ia lalu sedikit melonggarkan pelukannya pada Yuri. Dengan sigap Yuri justru menahannya, membuat Ji Yong terkesiap tidak mengerti apa maunya.

“Jangan beritahu kakakku,” kata Yuri lagi, menjelaskan maksudnya yang tertunda.

Ji Yong mulai tersenyum mendengar itu. “Tidak akan,” janjinya sambil berusaha menahan tawa. Raut wajah Yuri saat ini sangat lucu menurutnya. Tanpa bicara lagi, mereka mulai memejamkan mata dan detik itu bibir mereka bertemu kembali. Hmm…, sepertinya Yuri lupa kalau ia sudah berjanji akan menggambar bersama Hana.

 

XXX

 

 

POPULAR FANFICTION

BERITA PILIHAN

COPYRIGHT 2025 DREAMERS.ID PUBLISHED BY DREAMERS NETWORK