Suatu siang, di sebuah stasiun TV...
“Apakah kau tidak ada niat itu reuni bersama The Dragons lagi?” tanya pembawa acara talkshow.
“Tidak, maksudku aku tidak memikirkan itu. Bisa saja terjadi, tapi tidak untuk saat ini,” jawab Ji Yong mantap.
“Wah sayang sekali. Banyak orang menunggu kembalinya The Dragons,”
“Ya.., aku tahu. Tapi kami tidak pernah berkomunikasi lagi, dan aku hanya fokus dengan yang ada saat ini saja, aku tidak mau memikirkan masa lalu,”
“Hahaha, masih lebih banyak yang menunggu comebackmu daripada The Dragons, aku juga lama menunggunya,”
“Haha, terimakasih,”
Sudah sejam acara itu berlangsung dan akhirnya proses shooting selesai. Ji Yong sudah semangat bersiap pulang namun lagi-lagi tertunda karena Chaerin datang menemuinya. “Mau ke mana kau? Jangan bilang sudah mau pulang!” ujarnya dengan tampang kejam seperti biasa. Ia selalu suka memarahi Ji Yong, meski Ji Yong sendiri sudah terbiasa juga.
“Kenapa kau selalu mengikutiku?” Ji Yong tidak memahami Chaerin yang selalu saja muncul di saat tidak tepat. Padahal sebenarnya Chaerin adalah asisten pribadi Manajer Kang, bukan asistennya. Tapi karena Manajer Kang seringkali kewalahan mengurus Ji Yong yang sering tidak beres, akibatnya Chaerin juga yang harus sibuk mengatur kegiatan Ji Yong.
“Sebentar lagi kau harus ke SBS!” Chaerin benar-benar tidak habis pikir. Masa semua hal harus diingatkan. Mau bagaimana lagi, kalau tidak begitu bisa-bisa Ji Yong terlambat atau paling parah lupa datang shooting. Memang sudah kelakukan yang tidak bisa diubah.
“Acara apa itu?” Ji Yong mendengus kesal.
“SBS Music dasar bodoh! Masa begitu saja,...”
“Iya-iya, jangan marah-marah kenapa sih? Aku bisa pergi sendiri, jangan ikuti aku!”
XXX
Ji Yong sedang duduk di depan cermin. Rambutnya sudah ditata sejak tadi. Saat ini ia sedang menunggu gilirannya untuk melakukan pengambilan gambar untuk sebuah acara musik. Sesekali ia menggumam untuk sekedar mengingat lirik, atau bersenandung sambil mendengarkan lagi dari ipodnya seperti biasa.
Hari ini ia tidak terlalu bersemangat. Rasanya ingin tidur saja seharian setelah semalaman ia terjaga. Padahal sudah bergelas-gelas bir ia minum tapi tidak membuatnya mabuk. Kalau sudah begini konsentrasinya pasti terganggu.
“Ji Yong, giliranmu sebentar lagi,” kata seorang kru yang mengingatkan.
“Ya,” jawab Ji Yong yang hampir beranjak dari kursinya.
“Oh tunggu sebentar, pianonya masih disiapkan,” kru itu terburu-buru pergi untuk mengurus sesuatu, dan Ji Yong kembali duduk.
Tak berapa lama, gilirannya untuk tampil tiba. Sebenarnya ini bukan adalah rekaman untuk acara musik yang tayang minggu depan jadi Ji Yong tenang-tenang saja menjalaninya. Ia lebih gugup untuk tayangan langsung karena tidak bisa mengulang jika terjadi kesalahan.
“Ah, aku lupa! Ulang lagi musiknya!” perintah Ji Yong pada pemain musik di belakangnya. Ia sedang berusaha mengingat-ingat potongan lirik dan permainan pianonya.
“Hey Ji Yong. Ini sudah tiga kali kita mengulang,” mereka sudah mulai protes melihat kelakukan Ji Yong.
“Bisakah kau lebih berkonsentrasi? Kau membuang waktu saja,”
“Apa kita tunda lain waktu?” usulnya yang lain.
“Argh, aku tidak bisa!” Ji Yong memukul pianonya hingga mengeluarkan suara yang menggema
“Ada apa lagi dengannya sih? Selalu saja!”
Ji Yong tidak mempedulikan mereka dan berjalan pergi.
“Hey Ji Yong! Apa-apaan kau ini!” Chaerin berteriak-teriak memanggil Ji Yong. Astaga, sejak kapan dia sudah ada di sini.
Ji Yong tidak mendengarkan Chaerin dan segera pergi menuju suatu tempat. Percuma, mau kembali pada mereka pun, Ji Yong tidak akan bisa berkonsentrasi pada musiknya. Sepertinya kemampuannya mulai menurun lagi seperti beberapa waktu lalu.
XXX
Dua jam lagi Sandara akan berangkat ke bandara. Hari ini ia akan pergi menghadiri New York Fashion Week seperti biasa sebagai salah satu desainer papan atas. Ia sedang di kantornya untuk mengurus beberapa hal sebelum pergi.
“Ji Yong! Kau ini selalu tidak mengetuk pintu dulu!” protesnya ketika melihat Ji Yong masuk ke ruangannya tanpa permisi, seakan masuk rumah sendiri.
“Baju pesananmu belum selesai, sedang dikerjakan. Tidak perlu datang ke sini pasti kuberi tahu!” kata Sandara lagi sambil membanting map yang dipegangnya ke meja. Ia terkadang tidak suka dengan kelakukuan Ji Yong yang seperti ini.
“Aku tidak sedang memesan baju, aku ingin tanya sesuatu,”
“Tidak bisakah kapan-kapan saja? Aku harus ke bandara sebentar lagi!”
“Tidak,” ujar Ji Yong sambil duduk di kursi di hadapan meja Sandara.
“Haiish kau ini,” Sandara menghela nafas. Lebih baik turuti maunya saja biar ia cepat pergi.
XXX
“Dong Young Bae? Dia itu sebenarnya putra pertama tuan Dong Young Nam,” Sandara menjelaskan dengan sabar. Sesekali ia melirik jam tangannya dengan gelisah.
“Dong Young Nam? Bukankah dia direktur bank..?” Ji Yong mengingat-ingat. Sepertinya ia pernah tahu nama itu saat menonton acara berita ekonomi.
“Tidak hanya bank, tapi juga beberapa perusahaan tambang, sebenarnya untuk apa kau tanya ini?”
“Tidak apa-apa,”
“Apa katamu? Aku sudah menjelaskan panjang lebar tapi kau sendiri tidak mau menjelaskan padaku apa maksudmu!”
“Ah kau tidak akan mengerti,”
“Aku tahu! Aku tahu! Kau sebenarnya ingin bertanya tentang adiknya kan? Sebenarnya ada apa dengan kalian?”
“Apa maksudmu?”
“Kemarin Yuri sangat aneh saat bertemu denganmu. Pasti ada sesuatu! Ayo mengaku saja!”
“Tanyakan saja padanya kenapa dia sangat aneh. Kemarin aku biasa-biasa saja,”
“Apanya yang biasa saja, setelah acara kau menghilang begitu saja. Kau pasti ke bar lagi. Ada apa denganmu ini? Jangan-jangan kau sekarang kabur shooting?”
“Baiklah-baiklah. Aku ingin tahu tentang adiknya,” Ji Yong akhirnya menyerah.
“Nah, begitu dong dari tadi,” Sandara tersenyum senang. Kecurigaannya terbukti benar. Dia hanya kesal kenapa sulit sekali mendesak Ji Yong untuk bercerita.
“Kenapa kau malah marah-marah sih? Aku ini bertanya baik-baik,” protes Ji Yong yang melihat Sandara tidak begitu ramah hari ini.
“Tidak sadarkah kau membuatku hampir terlambat?”
“Maaf, maaf. Hanya kali ini saja. Terimakasih sudah membantu.” Ji Yong buru-buru pergi sambil mengaktifkan teleponnya. “Halo, Chaerin?”
“Hey ke mana saja kau! Kau mau mati ya!!” Chaerin sudah mengamuk di ujung sana.
“Diamlah. Aku butuh bantuanmu,”
“Bantuan apa?”
XXX
“Kakak, kapan kita akan berangkat? Kau mau aku terlambat bekerja?” pagi-pagi sekali Yuri sudah siap untuk berangkat kerja. Saat ini sangat termotivasi untuk ingin menyaingi Sandara. Itulah kenapa dia bersemangat berangkat kerja beberapa hari terakhir.
“Oh iya, aku lupa harus mengantarmu,” ujar Young Bae sambil membaca berkas-berkas di meja. Yuri heran. Tidak biasanya ia melihat Young Bae sesibuk ini. Kalaupun memang sibuk ia selalu bersedia mengantar Yuri ke mana pun.
“Halo? Ya, sebentar lagi aku ke sana,” Young Bae menerima telepon. “Yuri kau berangkat sendiri saja,”
“Berangkat sendiri?”
“Aku sudah menyuruh orang untuk mengantarmu, maaf aku sibuk sekali, ya halo?” Young Bae menerima telepon lain.
Tak apalah. Young Bae memang sibuk. Yuri pun pasrah harus pergi diantar orang lain hari ini. Mobilnya juga sudah siap di teras depan.
“Selamat pagi Nona,” sapa seseorang yang berjalan dari balik mobil.
“C,Choi...,”
“Ada apa dengan Nona?” tanya orang itu lagi yang sedikit khawatir melihat ekspresi Yuri yang aneh. Apa dia terlihat menakutkan? Ia langsung mengamati pakaiannya, sepertinya juga tidak ada yang salah.
“Kenapa kau ada di sini?”
“Bukankah kakak anda yang memintaku ke sini?”
“Oh iya. Bodoh sekali pertanyaanku. Ayo kita pergi!”
Yuri tersenyum sendiri melihat Pengawal Choi sudah kembali. Sudahlah, lupakan saja masalah kemarin. Sepertinya Young Bae dan Pengawal Choi sudah berbaikan, anggap saja masalah yang dulu tidak pernah terjadi dan memulai hidup yang baru. Yuri berjanji tidak akan mengulangi kesalahan yang sama.
Satu hal yang membuat Yuri heran adalah Pengawal Choi selalu hidup tanpa ekspresi. Meskipun Yuri marah-marah padanya, mengajaknya tertawa, atau apapun, ekspresinya selalu sama. Benar-benar manusia yang aneh. Tapi justru itu menariknya. Mungkin bisa membuat Pengawal Choi tertawa itu tantangan tersendiri.
“Apa ada yang lucu?” tanya Pengawal Choi saat melihat Yuri tersenyum sendiri dari kaca mobil.
“Ah tidak. Teruslah menyetir dengan benar!”
“Maaf,”
Mereka pun sampai di kantor tempat Yuri bekerja. Sebenarnya Yuri ingin sekali Pengawal Choi bertanya kenapa dia sekarang bekerja di sini. Ia ingin menunjukkan kalau dia sekarang sudah bisa mandiri, meskipun dengan gaji yang tidak seberapa. Namun sepertinya Pengawal Choi hanya memandangi kantor itu tanpa minat, atau lebih tepatnya biasa-biasa saja.
“Jam berapa aku harus menjemputmu?” tanya Pengawal Choi sebelum pergi.
“Jam dua siang, jangan sampai terlambat!”
“Baiklah. Selamat bekerja. Kalau butuh sesuatu telepon aku,”
Ah selalu saja itu yang dia ucapkan. Apa tidak ada yang lain. Yuri sedikit kecewa dibuatnya.
“Hyuniiiee..!!” terdengar seseorang memanggil ke arah mereka. Wanita itu berjalan keluar dari kantor. Yuri kenal betul dengannya. Siapa lagi kalau bukan Nona Park.
“Aku lupa membawa fileku, bisakah kau ambilkan?” tanya Nona Park pada Pengawal Choi.
“File yang mana?”
“Yang di map merah, ada di mejaku,”
Yuri menatap mereka dengan aneh, terutama mendengar perbincangan mereka tadi. “Eh Yuri? Aku tidak melihatmu lewat, hehehe,” Nona Park menoleh pada Yuri yang masih berdiri tidak jauh dari situ.
“Ada apa menatapku begitu? Cepat masuk sana,” Nona Park mengusir.
“Eh maaf.” Yuri mulai berjalan, tapi ia menghentikan langkahnya lagi. Ia memang penasaran dan ingin menanyakan sesuatu.
“Nona Park,” panggil Yuri.
“Ada apa lagi?” Nona Park tidak sabar.
“Jangan terlalu kasar padanya,” potong Pengawal Choi.
“Apa kalian berdua saling kenal?” tanya Yuri. Ia memberanikan diri untuk bertanya. “Eh apa maksudmu? Masa aku tidak kenal dengan suamiku sendiri?” Nona Park keheranan.
Bagai disambar petir. Yuri hanya terdiam terpaku mendengar itu. Langit seakan runtuh tiba-tiba, begitu juga dengan kantor di belakangnya yang seakan ambruk menimpanya hidup-hidup.
“Apa?” Yuri ingin memastikan pendengarannya.
“Kau ini kenapa? Hey, apa kau tidak pernah bercerita padanya?” Nona Park bertanya pada Pengawal Choi di sebelahnya yang diam saja, seperti tidak ada yang terjadi.
“Cerita apa?” tanyanya dengan polos.
“Hahhh, kau ini masih saja bodoh! Dari tadi kau tidak dengar apa?” Nona Park kesal padanya. Sementara Pengawal Choi masih tetap innocent seperti biasa.
“Sudahlah Yuri, masuklah sana,”
“Y,ya,” Yuri pun segera meninggalkan mereka berdua yang sepertinya masih ingin membicarakan sesuatu.
XXX
Hari belum terlalu siang, tapi pekerjaan Yuri hari ini sudah beres. Ia mendapat kekuatan super entah darimana saat ini. Karena tidak ada yang bisa ia kerjakan ia memilih pergi ke ruangannya. Ia ingin menyepi sebentar.
Tempat favoritnya adalah tangga darurat di gedung itu. Sepi dan jarang ada yang lewat sana, kecuali jika ada kebakaran saja.
Yuri menghela nafas dalam-dalam sambil menunduk. Rambutnya yang tergerai benar-benar menutupi seluruh wajahnya. Ia tidak tahu apa yang ia rasakan saat ini. Tapi sepertinya ini pernah terjadi padanya. Rasanya sama seperti saat mengetahui Lee Seung Hyun ternyata tidak pernah mencintainya. Rasanya sama persis, dan ia tidak bisa menggambarkannya.
Baguslah. Lee Seung Hyun, pria yang hanya mencintai uang Yuri. Dan sekarang, Pengawal Choi, pria aneh selalu membuat Yuri penasaran itu rupanya..., argh! Nasib yang buruk sekali. Tidak ada orang yang menyukai Yuri. Tidak ada yang mau berteman dengannya. Semua orang membencinya karena ia sangat sombong. Benar-benar merana hidupnya.
Ia tidak tahu ini dapat disebut sedih atau konyol. Ia benar-benar merasa bodoh sekarang, dan hanya ingin meratapi nasib.
“Aku ini orang yang kuat! Aku tidak mungkin menangis hanya karena itu!” Yuri bertekad.
“Menangis hanya untuk orang lemah! Menangis hanya untuk anak kecil! Aku bukan anak kecil!” katanya lagi untuk menguatkan diri.
Percuma saja bilang begitu. Tanpa bisa dikontrol air matanya mulai tumpah dan membasahi pipinya. Tidak ada siapa-siapa di sini. Tidak akan ada yang tahu kalau dia menangis. Ya, menangis saja sepuasnya. Tidak usah peduli pada yang menganggapnya cengeng atau seperti anak kecil. Siapa yang peduli dengan itu semua. Yuri hanya ingin melepaskan sesuatu yang terasa sangat sesak di dadanya saat ini.
XXX
Sejam berlalu.
Yuri kembali ke ruangannya dengan mata sembab. Untungnya ia sempat membasuh wajahnya di wastafel dan itu cukup menyamarkan keadaan wajahnya yang benar-benar kusut. Lagipula sepertinya tidak ada yang menyadari keadaan Yuri karena ruangan itu mendadak sepi. Yuri yang merasa lemas lalu duduk di tempat kerjanya seperti biasa. Ia membuka buku katalog yang tergeletak di meja daripada tidak ada kegiatan lain.
Di tengah kesedihannya ia tersenyum sekilas saat melihat salah satu hasil desainnya terpampang di buku katalog itu. Tidak sia-sia ia bekerja. Mungkin cuma hal ini yang bisa membuatnya bersemangat hari ini. Ya tidak terlalu juga sih.
“Wah kenapa kau ke sini? Kau tidak ingin ke ruangan pemotretan?” tanya seorang wanita yang tiba-tiba masuk.
“Ada apa memangnya?” Yuri tidak tahu kalau mereka harus ke sana. Ia tetap membaca katalog dengan tatapan hampa.
“Ya ampun! Kau ini ketinggalan berita! Ada Kwon Ji Yong! Kau tahu dia kan?”
“Oh, sedang apa memangnya?” tanya Yuri tanpa minat.
“Dia model kita untuk katalog edisi bulan depan! Kau ini bagaimana sih. Masa begitu saja tidak tahu,”
“Oh.” Yuri hanya merespon begitu saja.
“Sepertinya kau tidak suka ya? Ah... untuk apa aku cerita. Oh ya, daripada tidak pekerjaan begini sebaiknya kau buatkan aku kopi,” suruhnya.
“Baik,” Yuri berjalan pergi untuk menuju dapur. Wanita itu terkejut. Tidak biasanya Yuri mau-mau saja ia suruh begitu, lagipula tadinya ia juga hanya bercanda.
“Ini kopimu,” Yuri meletakkan secangkir kopi panas di meja rekannya itu. Sementara wanita tadi benar-benar tidak percaya melihat Yuri melakukan ini.
“Oh, terima kasih. Kau baik sekali hari ini,”
“Dong Yuri!” panggil seseorang yang lain. “Bisa kau antarkan teh ke ruang pemotretan?”
“Ya, sebentar,” Yuri pergi lagi.
“Astaga! Apa dia benar-benar tidak waras! Kenapa dia mau-maunya melakukan itu!” dua rekan Yuri itu tidak habis pikir. Padahal mereka hanya iseng saja mengerjai Yuri.
XXX
Nona Park memantau sesi pemotretan dengan semangat. Sudah banyak artis yang melakukan di studi itu, tapi entah kenapa hari ini dia senang sekali. Apa karena sekarang modelnya adalah Kwon Ji Yong? Tak hanya Kwon Ji Yong, tapi terlihat beberapa model yang juga artis di sana. Dan itu sudah pemandangan biasa di gedung itu. Apalagi bagi Nona Park yang sudah malang melintang di dunia fashion begini, pasti sudah sangat biasa. Yah, seharusnya sudah biasa.
Yuri juga berada di sana dan melihat pemotretan itu tanpa minat. Pikirannya sedang tidak ada di tempat saat ini. Ia ada di sana karena sedang mengantar teh yang disuruh tadi. Ia bahkan tidak peduli kalau di sana sudah ada Kwon Ji Yong yang baru saja ia temui beberapa hari lalu.
Saat itu Ji Yong sedang melihat beberapa hasil foto yang ditunjukkan fotografer. “Yak bagus! Hmmm... sepertinya kita ulang yang ini saja,” kata fotografer itu. “Bagaimana kalau kau menghadap ke arah sini, biar pencahayaannya lebih bagus,” si fotografer memberi arahan.
“Bagaimana?” Ji Yong merasa kurang paham.
“Coba kau melihat ke arah sana, ya begitu,”
Tepat saat itu Ji Yong menoleh ke arah Yuri yang berdiri di pojok ruangan, di antara kerumunan orang-orang di sana. Sepertinya dia menatap ke arahnya juga, tapi kenapa tatapannya seperti mayat hidup begitu. Padahal dia berharap melihat Yuri yang salah tingkah seperti di acara Sandara kemarin. Kenapa Yuri malah biasa saja?
“Nah, Ji Yong bisa kita mulai lagi?” tanya fotografer dan mengagetkan Ji Yong.
“Ah, iya,” Ji Yong harus sibuk berpose lagi.
“Hey Yuri jangan diminum! Itukan teh untuk kru!” tegur seseorang yang melihat Yuri meminum teh dari salah satu gelas kertas yang ia bawa sedari tadi.
“Maaf-maaf,”
“Ya sudah tidak apa, kalau kau haus minum saja satu. Mana biar kubawa,” orang itu mengambil alih nampannya. Ia khawatir akan tumpah kalau dipegang Yuri selain karena ia kasihan. Sepertinya Yuri haus sekali sampai seperti itu.
XXX
Akhirnya kita bisa tahu kenapa Nona Park sangat senang hari ini. Ternyata Kwon Ji Yong dengan sukarela menjadi modelnya. Padahal sudah lama sekali ia meminta tapi lama tidak direspon. Akhirnya hari bahagia itu tiba juga.
“Terimakasih atas kerja kerasmu,” Nona Park berterimakasih pada Ji Yong yang sekarang sudah duduk santai di ruangannya.
“Bukan apa-apa, asal kau menepati janjimu,”
“Tentu saja, karena kau sudah bersedia tidak dibayar, mana mungkin aku ingkar,” dan yang paling penting bagi Nona Park adalah ia tidak perlu mengeluarkan biaya sepeser pun.
“Baguslah kalau begitu,”
“Hmm..., tapi permintaanmu ini sangat aneh, apa kau yakin?” Nona Park mulai ragu.
“Apa kau meragukanku? Kau sudah menyanggupinya lho,”
“Mm... bukan begitu. Maksudku..., pasti akan banyak sekali yang berminat, hehehe, aku sendiri juga mau,”
“Hahaha, biar aku memilih sendiri,” Ji Yong berdiri dan berjalan menuju jendela ruangan yang masih tertutup tirai. Ia membuka celah tirai itu untuk melihat ke luar.
“Aku berharap kau memilihku,”
“Sayang sekali Nona Park, aku ingin pegawaimu yang itu,” Ji Yong menunjuk salah seorang yang sedang bertopang dagu di mejanya, sedangkan salah satu tangannya terlihat sedang menggambar. Bukan menggambar sih, tapi membuat corat-coret tidak jelas. Padahal pegawai lain di sekitarnya sangat antusias melihat Kwon Ji Yong berkunjung ke ruangan itu, tapi dia tidak.
“Hey Dong Yuri! Kau tidak dengar apa? Aku memanggilmu!” Nona Park berteriak dari pintu ruangannya. Yuri yang mendengar itu buru-buru menghampiri.
“Maaf. Apa tehnya kurang?” tanya Yuri.
“Apa yang kau bicarakan? Tempat ini juga bukan restoran!” Nona Park heran melihat kelakuan Yuri. Ia aneh sejak tadi pagi.
“Apa benar yang ini?” Nona Park bertanya pada Ji Yong yang masih di dalam sana.
“Benar sekali,” jawab Ji Yong tanpa menoleh. Ia sudah duduk di kursinya lagi.
“Yuri, besok kau tidak usah masuk kerja. Mulai besok kau jadi penata busana Ji Yong,” Nona Park menjelaskan.
“Bukankah aku desainer? Kenapa aku harus...?”
“Hanya untuk sementara Yuri, bukankah ini kesempatan yang sangat langka?”
“Nona Park! Sepertinya Yuri sedang tidak sehat. Bagaimana kalau aku saja yang menggantikan?” sergah yang lain.
“Aku saja Nona Park. Aku memang penata busana kan?”
“Aku saja!”
“Jangan aku saja!”
“Haish, diam kalian semua!” Nona Park memandang ke arah Yuri lagi, terlihat dengan jelas matanya yang sembab dan wajahnya sedikit pucat.
“Yuri kau yakin tidak apa-apa? Kau sakit ya?”
“Tidak, apapun perintahmu akan kukerjakan,” jawab Yuri dengan mantab. Sebenarnya berhadapan dengan Nona Park saat ini membuat hatinya sangat sakit. Ia ingin menangis lagi tapi sekuat tenaga ia tahan. Benar-benar memalukan kalau sampai semua orang melihatnya seperti itu.
“Baguslah. Ini Kwon Ji Yong, mulai besok kau kerja dengannya,” Nona Park mengajaknya masuk.
“Salam kenal tuan.” Yuri membungkukkan badannya untuk memberi hormat.
Ji Yong menatap Yuri heran. Apa benar ini Yuri yang kemarin? Sikapnya sungguh berbeda jauh. Apa salah orang lagi? Apa orang yang mirip? Apa dia punya saudara kembar? Kenapa ia bersikap seolah tidak mengenalnya?
“Besok aku akan datang ke sini jam tujuh pagi,” kata Ji Yong sambil mengalihkan pandangan.
“Ya,” Yuri mengangguk saja.
Ji Yong mulai khawatir. Mata Yuri memang terlihat bengkak. Apa dia habis menangis?
“Baiklah, kembalilah ke mejamu,” Nona Park mempersilahkan Yuri pergi, sementara para pegawai lain terlihat kecewa.
XXX
LANJUUUUT? *ala Ariel Noah*
Eh kenapa jadi gini ya ceritanya, hehhehe
Makasih udah baca.
Maaf typonya belum terkoreksi